-Syibli Nu’man Setiawan (11180380000029) Ideologi Tarekat Di awal pendiriannya, tarekat ini berideologi sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chistyi di India menjadikan ‘Awarif al-Ma’arif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Umar Suharawandi (539 H/1145 M – 632 H/1234 M) sebagai kitab pegangan mereka. kitab itu juga menjadi dasar bagi organisasi khanaqah mereka dan menjadi acuan para sufi senior Chisyti dalam mengajar murid-muridnya. Selain ‘Awarif, Kasyf al-Mahfub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan kaum Chisyti. Demikian populernya, Syaikh Nizham al-Din Auliya sampai mengatakan, “Siapapun seorang salik yang tak memiliki referensi spiritual, maka Kasyf al-Mahfub cukup baginya (untuk dijadikan pegangan). Selain kitab diatas, Mahfuzat Syaikh Nizham al-Din Auliya, Syaikh Nashir al-Din Chiragi Dihli, Syaikh Burhan al-Din Gharib, Khawajah Bandah Nawaz Gizu Daraz, menjadi gagasan-gagasan yang kuat dan akurat bagi pembentukan ideologi mistik Chistiyah. Literatur Chisytiyah Mahfuzat Para pengikut Tarekat Chisytiyah sebelum kehadiran Syaikh Nashir al-Din Chiragh-i Dihli tidak menyusun buku ataupun kumpulan pernyataan syaikh. Meski demikian, tulisan-tulisan sufi yang tidak dapat dilacak autentitasnya sehingga diragukan keasliannya, yakni MAHFUZAT, mulai bermunculan pada zaman Syaikh Nizham al-Din Auliya’. Karya-karya disusun dalam rangka memenuhi luasnya tuntutan akan anekdot Chysitiyah. Pada Syawwal 708 H/Maret 1309 M, Syaikh Nizham al-Din Auliya’ mengakui kepada muridnya, Amir Hasan Sijzi, bahwa dirinya telah berupaya menuliskan diskursus Baba Farid , tetapi tak sanggup merekam sepatah katapun. Kemudian, Amir Hasan menyiapkan sebuah tulisan mentah/draft awal tentang kuliah syaikh yang dituturkan selama tiga belas bulan. Setelah membacanya, 3 sang syaikh menyetujui tulisan tersebut, dan menyempurnakan beberapa kekurangannya. Maka tuturannya itu dimulai 3 Sya’ban 722 H/2 September 1322 M, ditulis oleh Amir Hasan Sijzi, dan diberi judul Fawa’id al-Fuad. Literatur Biografis Literatur biologis Chysitiyah-India paling tua yang dikenal luas adalah Siyar al- Auliya yang di susun oleh Muhammad bin Mubarak ‘Alawi Kirmani (w. 770 H/1368-69 M). Ia dikenal pula sebagai Mir Khuwrd. Keluarga Kirmani merupakan pengikut setia Baba Farid dan Syaikh Nizham al-Din Auliya. Sekitar 727 H/1327 M, ia dipaksa pindah dari Delhi ke Dawlatabad bersama para ulama dan sufi lainnya. Ia menulis Siyar al-Auliya’ sebagai sebuah monograf yang merekam ajaran-ajarannyaserta para muridnya. Hamid bin Fadhl Allah, yang juga dikenal dengan sebutan Jamali (w.942 H/1536 M), merupakan sufi dan penyair yang bisa di sejajarkan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Umar Suhrawandi. Sejumlah karya biografis dari abad ke-11-12/17-18nM membahas orang-orang suci pada masa itu, seperti Chistiya-yi Bihistiyah karya ‘Ala’ al-Din Muhammad Chisyti Barnawi (abad ke-11 H /17 M). Dan contoh lain Manaqib-i Fakhriyah karya ‘Imad al-Mulk Ghazi al-Din Khan Firuz Jang (w. 1215 H/1800 M) merupakan sebuah biografi Maulana Fakhr al-Din. Maktubat (Surat-Surat) Surat-surat peninggalan para pemuka Chysitiyah, khsususnya yang ditinggalkan oleh Sayyid Nur Quthb-i Alam, Syaikh ‘Abd al-Quddus Gangohi, dan Syah Kalim Allah Jahanabadi, samar-samar memberikan gambaran yang menarik akan keyakinan spiritual dan lingkungan kehidupan mereka. Puisi-Puisi Berbahasa Hindi Puisi-puisi memiliki peranan dalam spiritual tarekat ini. Tetapi yang memiliki peranan lebih besar adalah karya-karya puisi berbahasa Hindi karya Syaikh Hamid al-Din dicuplik di dalam Malfuzhat, dalam judul Surur al-Shudur, yang di kompilasikan oleh cucunya. Pada tahun 772 H/1370-71 M, Mulla Dawud, datang dari Dalmau di distrik Rae Bareli daerah dekat Lucknow , memulai penulisan matsanawinya yang terkenal, Chanda’in dalam bahasa Hindi, yang di selesaikan pada 781 H/1379-80 M ia merupakan pewaris Syaikh Zain al-Din, yang merupakan putra dari saudara perempuan Syaikh Nashir al-Din Chiragh-i Dihli. Matsanawi berbahasa Hindi yang mencapai kualitas tertinggi adalah karya Malik Muhammad Ja’si, yang menuliskan Padmawati pada 947 H/1540-41 M. Kehidupan Spiritual Tarekat Chisytiyah Anggota tarekat ini berbaur dengan masyarakat, tidak membangun khanaqah dengan “empat dinding serta pintu gerbangnya”. Dengan itu mereka membuat gedung sederhana dengan material lumpurdan atap jerami yang disebut jama’at khanah, merupakan pusat kegiatan utama bagi kehidupan spiritual dan sosialnya. Tidak dilengkapi dengan furnitur, yaitu dengan cabikan tikar dan selimut. Ranjang untuk membedakan antara mistis dan ulama. Dan dibangun sel-sel meditasi untuk para pemimpin sufi dan syaikh-syaikh. Keluarga syaikh hidup pada sebuah rumah sederhana yang memiliki satu dua ruangan dekat jama’at khanah. Syaikh dan para anggotanya hidup dalam prinsip futuh, yakni tidak meminta-minta pada pemberian orang. Etika Sosial Prinsip Tarekat ini pada pelajaran pertama dalam tasawuf mengedepankan kemampuan teringgi untuk “melakukan apa yang kau inginkan agar orang lain melakukannya bagimu”, para mursyid Chisytiyah mengakui tanggung jawab keluarga yang pada gilirannya diikuti dengan keterlibatan pada urusan duniawi, dan hanya sedikit yang memiliki kesanggupan untuk hidup asketik secara total. Namun, mereka menentang siapapun yang mencari uang lebih dari sekadar kebutuhan hidupnya. Khawajah Mu’in al-Din beristiri dua orang djejadi hari tua nya demi mengikuti jejahnya lebih mek Sunnah Nabi dalam memimpin keluarga, tetapi Syaikh Nizham al-Din sesungguhnya lebih memilih untuk hidup membujang. Siapapun yang terserap dalam pengaruh Tuhan akan dibuat terpesona kepada- Nya. Para anggota tarekat mendorong masyarakat untuk melakukan usaha perdagangan/perniagaan sebagai cara memperoleh penghasilan. Dan harus dilakukan dengan penuh kejujuran. Ritual Tarekat Chisytiyah Pada umumnya, murid-murid dibaiat sebagai anggota tarekat setelah memiliki pengetahuan tentang syariat yang memadai. Thariqah, jalan sufi, menuntut disiplin spiritual yang amat ketat. Tarekat chisytiyah pun melakukan tobat sebelum baiat, dzikir khafi (zikir dalam hati), fikr (refleksi atau meditasi),muraqabah (kesadaran rohani sang hamba bahwa senantiasa mengawasinya), dan chillah (mengasingkan diri selama empat puluh hari). Zikir merupakan pengulangan nama-nama Tuhan secara ritmis, utnuk merasakan kehadiran Tuhan dalam wujud diri. Umunya yang dilantunkan adalah salah satu 99 nama Tuhan. Zikir tarekat Chisytiyah tidaklah lengkap tanpa pengingatan kembali kehadiran pembimbing spiritual atau mursyid. Tarekat Chisytiyah mengembangkan dengan sungguh-sungguh teknik pas i anfas (kontrol pernafasan), dengan pola duduk mirip dengan Yoga Hindu dan Siddazs (orang suci yang sempurna). Signifikasi Spiritual Tarekat Chisytiyah Tarekat Chysitiyah berakar pada sunni. Bagi para penganutnya, empat khalifah Rasulullah di anggap sebagai simbol kemuliaan spiritual, kebenaran dan pengorbanan diri. Mereka meyakini diantara keempat Khalifah, Nabi memilih Ali sebagai pewaris Khirqah (jubah Spiritual), yang telah diperoleh nabi ketika mi’raj. Literartur tasawuf dalam bahasa Hindawi – bahasa dialek lokal di anak benua India tersebut memberikan kontribusi yang amat jelas dalam bidang ini, dan menjadi jembatan bagi jurang yang memisahkan mistisisme Islam dan mistisisme Hindu. Para Nath Yogi mendefinisikan Sang Pencipta sebagai Alakh-Nath (Tuhan tidak dapat dirasakan atau disaksikan), atau sebagai Niranjana (Yang Ababdi). Istilah sahaja (status kenikmatan) dalam Nath Yogi, memiliki signifikasi yang amat besar bagi Syaikh ‘Abd al-Quddus. Ini mengantarkan pada pencapaian baqa, keabadian ontologi dalam peristilahan sufi. Tatkala seorang pencari mengalami derajat pencapaian Rahasia Ilahiah, sekalipun hanya dalam waktu satu jam, dirinya dikenal sebagai wali (kekasih atau sahabat Tuhan), seseorang yang telah memperoleh pengetahuan akan ketuhanan. Pengaruh Tarekat Chisytiyah Pengaruh spiritual tarekat Chisytiyah amatlah luas di masyarakat. Perkembangan politik pada abad ke-8 H/14 M, bagaimanapun memunculkan para pendakwah dari tarekat ini. Contohnya Khawajah Bandah Nawas Gizu Daraz yang mempelajari bahasa sanskrit dalam rangka memasuki arena perdebatandengan para Brahmain, yang akhirnya – menurut pengakuannya – berhasil ditaklukannya. Kaisar-kaisar Mughal, mulai Akbar (963-1014 H/1556-1605 M) sampai akhir dinasti ini pada (1274 H/1857 M memiliki hubungan yang amat mendalam dengan Tarekat Chisytiyah. Sejumlah anggota tarekat ini menjadi pegawai pemerintahan, tetapi para mursyid utama tetpa mempertahankan kemandirian tarekat ini, serta menjaga tradisi spiritual yang diwariskan para pendahulunya. Pengaruh pemikiran saintisme moderen dan perkembangan politik di anak benua India itu tak pernah mampu membunuh tasawuf. Kekayaan dan daya jangkau pesan-pesan sufi dalam prosa maupun puisi, terus hidup untuk membangkitkan hasrat dalam meraih pengetahuan, amal, dan kemanusiaan.