Anda di halaman 1dari 6

TAREKAT SYATTARIYAH

Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15.
Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya,
Abdullah asy-Syattar.

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah.
Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan
dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari
persatuan sufi mana pun.

A. ISI AJARAN TAREKAT SYATTARIYAH

1. Hubungan Antara Tuhan dengan Alam

Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad. Sebelum
segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama
A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini
menjelma pada A’yan Kharijiyyah (kenyataan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu
merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:

a. Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah
kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan
jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-
cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari seorang
saja.
b. Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan
itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termauk dari tangan itu juga.
c. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab.
Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya.
Ilmu itu berdiri pada dzatnya dan hapus di dalam dirinya. Padahal hakikat huruf Arab itu
bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya), yang huruf
tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-
Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha
Benar’.

2. Dzikir dalam Tarekat Syattariyah

a. Aturan-aturan berdzikir
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang
membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’.
Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas
makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh
oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar,
terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan
Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah,
uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
b. Tingkatan dzikir
Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi
(tingkat permulaan), mutawasitah (tingkat menengah), dan muntahi (tingkat terakhir). Tataran ini
dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat, yaitu ma’rifat tanziyyah
dan ma’rifat tasybiyyah. Ma’rifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat
diserupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi
batiniah/hakikatnya. Sedangkan ma’rifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengiktikadkan
bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari
segi lahiriahnya.
c. Macam-macam dzikir
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke
dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh
macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat
selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:

1) Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu
kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan,
nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya
kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2) Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara
nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke
dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3) Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke
dalam hati sanubari.
4) Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah
dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5) Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan
Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar
pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Illahi.
6) Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur,
dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa
memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Illahi.
7) Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan
kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-
Mukminun ayat 17:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami
sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan
tersebut)”.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1) Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat senang
berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak
mengetahui Tuhannya.
2) Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh,
pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3) Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya:
dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan
menghadapi segala kesulitan.
4) Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-
sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah
SWT.
5) Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan
menepati janji.
6) Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih
dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7) Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin,
ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini
ke dalam tiga kelompok.
1) Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-
Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
2) Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-
Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
3) Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut,
seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di
atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih
dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat
merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

d. Syarat-syarat berdzikir

Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat
Syattariyah adalah: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata
benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya;
kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai;
berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan
kepada disiplin dan penyiksaan diri; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar,
dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan
bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah
haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

B. SANAD ATAU SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH


Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para guru atau
wasithah-nya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Di dalam tarekat ini,
wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang
tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya
sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun
(memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun
(sempurna dan menyempurnakan).
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithah-nya di
Indonesia:
1. Nabi Muhammad SAW kepada
2. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada
3. Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada
4. Imam Zainal Abidin, kepada
5. Imam Muhammad Baqir, kepada
6. Imam Ja’far Syidiq, kepada
7. Abu Yazid al-Busthami, kepada
8. Syekh Muhammad Maghrib, kepada
9. Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada
10. Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada
11. Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada
12. Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada
13. Syekh Muhammad Asyiq, kepada
14. Syekh Muhammad Arif, kepada
15. Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada
16. Syekh Hidayatullah Saramat, kepada
17. Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada
18. Syekh Muhammad Ghauts, kepada
19. Syekh Wajihudin, kepada
20. Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada
21. Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada
22. Syekh Muhammad Ibnu Muhammad,
23. Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada
24. Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai
25. Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada
26. Kiai Mas Bagus Nida’ (Muhyiddin) di Safarwadi, kepada
27. Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada
28. Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada
29. Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada
30. Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada
31. Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada
32. Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada
33. Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada
34. Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada
35. Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada
36. Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada
37. Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada
38. Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada
39. Kiai Muh. Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada
40. KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

C. HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT SYATTARIYAH

Sebelum diuraikan tentang Hubungan Antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui
terlebilih dahulu mengenai pengertian syariat dan tarekat.
Ulama mutaakhirin memberikan istilah syariat sama dengan hukum fikih yaitu ‘peraturan yang
ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’.
Peraturan itu disusun secara terperinci yang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-
prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal yang diperbolehkan
untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang salah.
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ”Tariqatun” yang berarti ‘jalan atau mazab’ atau
‘cara’. Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu
ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing oleh seorang
guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad
Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek
lahiriahnya, dengan cara memperbanyak dzikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan
suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin.
Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini
akan dibatasi pada tiga hal:
1. Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah
2. Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah
3. Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah

1. Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan dzikir. Di
dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah dzikir yang jumlahnya
lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan dzikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting
dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan dzikir di dalam tarekat Syattariyah
dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan dzikir secara bersuara
merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan
umat Islam. Sedangkan pembacaan dzikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh
kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berdzikirlah kau dengan hatimu
secara merendahkan diri dan rasa takut, dzikir itu tidak diucapkan secara lisan. Dan didasarkan
pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Dzikir yang tidak terdengar
oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada dzikir secara bersuara, dengan perbandingan
satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu 1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-
ladzi tasma’u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi’fan).

2. Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.

a. Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinya, ‘Barangsiapa tidak
memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan’.
b. Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a man ma’a ‘I-Laah
fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat
demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan
Allah’.
c. Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh ‘Waliyyam
Mursyida’ (pembimbing kerohanian).
d. Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah ‘Al-
Wasilah’ (Channel..berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di
jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).

3. Tujuan pengamalan dzikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat
insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini
dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat
Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara
lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid
ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha
Batin.

D. MAKNA MAKRIFAT DALAM SYATTARIYAH

Di dalam naskah Syattariyah dikemukakan tentang tiga pengertian ma’rifat yaitu:


1. Makrifat Tanziyyah adalah pengetahuan makrifat yang diperoleh dengan cara
memperhatikan/mempelajari segala sesuatu dari segi batiniah/hakikatnya. Orang yang memiliki
makrifat ini mengiktikadkan bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun. Hal
ini didasarkan pada Alquran surat Asy-Syura: 11.
2. Makrifat Tasybiyyah adalah ma’rifat yang diperoleh dengan cara mempelajari segala sesuatu
dari segi lahiriahnya. Di dalam makrifat ini mereka mengiktikadkan bahwa Allah memiliki sifat
Maha Mendengar dan Maha Melihat (Q.S.Asy-Syura: 11).
3. Himpunan antara makrifat Tanziyyah dan Tasybiyyah, yaitu makrifat yang diperoleh oleh
orang-orang sufi dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriah dan batiniahnya.
Makrifat inilah yang dianggap sempurna oleh orang-orang sufi, hal ini didasarkan kepada firman
Allah bahwa “Ia (Maha Kuasa) terhadap hal-hal yang lahir dan yang batin (Q.S. Al-Hadid: 3).
Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syech Abu Sa’id Al-Harazi bahwa ”Hakikat ke-Tuhanan itu
dapat dikenal meialui pemaduan dari dua hal yang bertentangan” (hal. 18).
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa fungsi khusus naskah Syattariyah
adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang masalah ketauhidan dan hal ihwal
ma’rifat.

Anda mungkin juga menyukai