Kemudian bacakan sepuluh ayat terakhir surah al-‘Imraan, iaitu ayat 190 –
200. Selepas itu mengambil wuduk dan berdoa:
“Kemenangan untuk Allah! Segala puji untuk-Mu. Tidak ada yang lain
daripada-Mu yang layak menerima ibadat. Daku bertaubat dari dosaku.
Ampuni dosaku, maafkan kehadiranku, terimalah taubatku. Engkau Maha
Pengampun, Engkau suka memaafkan. Wahai Tuhanku! Masukkan daku
ke dalam golongan mereka yang menyedari kesalahan mereka dan
masukkan daku ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang salih yang
memiliki kesabaran, yang bersyukur, yang mengingati Engkau dan yang
memuji Engkau malam dan siang”.
Jadi, empat rakaat itu tasbih diucapkan sebanyak tiga ratus kali.
Sebagaimana Nabi s.a.w ajarkan kepada bapa saudara baginda Ibnu
Abbas, dianjurkan juga kepada orang yang bersuluk melakukan
sembahyang tersebut.
Selain daripada tugas tersebut orang yang di dalam suluk juga dianjurkan
membaca Quran sekurang-kurangnya sebanyak 200 ayat sehari. Dia juga
hendaklah mengingati Allah secara terus menerus dan menurut suasana
rohani, samada menyebut nama-nama-Nya yang indah secara kuat atau
senyap di dalam hati. Ingatan di dalam hati secara senyap hanya bermula
bila hati kembali jaga dan hidup. Bahasa zikir ini adalah perkataan rahsia
yang tersembunyi.
Kaji diri Intinya apaun aliranya tetap pada Rukun = tidak ribut2, Islam/asalamah = keselamatan, jgn kita
mengkaji yg 99 tapi marilah kita mengkaji Yang 1, jalannya boleh dari mana ja, tidak ana amal jika tidak ada
perbuatan, apapun amalan kta gak ada lain tujuannya adalah Rahman n Rahim.
Riwayat hidup Maulana S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc berikut menurut saya sangat lengkap yang di
tulis oleh Anwar Rangkayo Sati saksi hidup dan merupakan murid sekaligus menantu dari Maulana
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi dan di kemudian hari Beliau juga mengakui S.S.
Kadirun Yahya MA. M.Sc sebagai guru nya . Ayahanda Guru merupakan panggilan dari murid-
murid Maulana S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc kepada Beliau dan Nenek Guru adalah panggilan
murid-murid Maulana S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc kepada Maulana Saidi Syekh Muhammad
Hasyim Al-Khalidi. Tulisan ini di tulis pada tanggal 08 Desember 1986, tentu saja semasa Maulana
S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc masih hidup. Beliau berlindung kehadirat Allah pada tanggal 9 Mei
2001 dan di makam kan di Surau Qutubul Amin Arco, Jawa Barat.
rodhar76@gmail.com>, saya ucapkan terimakasih atas kemurahan hatinya dan tulisan ini pertama
sekali disampaikan oleh Bapak Anwar Rangkayo Sati pada acara hari Guru ke-70. Tulisan ini telah
saya sempurnakan setelah saya cocokkan dengan keterangan langsung dari Maulana S.S. Kadirun
Yahya MA. M.Sc, Bapak Anwar Rangkayo Sati dan Bapak Zyauddin Sahib yang hadir pada hari
Guru ke-70 tanggal 20 Juni 1987 di Surau Darul Amin Medan. Agar pembaca tidak bosan maka
tulisan ini saya bagi menjadi dua bagian dan tulisan ini menurut saya merupakan tulisan
terlengkap tentang sejarah ber guru Maulana S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc. Namun demikian jika
ada kesalahan dan kekeliruan silahkan memberikan kritik di komentar atau kirim ke email :
sufimuda@gmail.com.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk murid-murid Maulana S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc dan juga
BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM
membaca Al Fatihah dan Qulhu atau surat Al Ikhlas yang dihadiahkan kepada rohaniah silsilah
Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah serta diiringi pula dengan shalawat dan salam kepada
junjungan Nabi besar Muhammad SAW, maka saya beranikan diri untuk menulis risalah yang saya
anggap sangat berharga ini, untuk memnuhi permintaan dari saudara-saudara seperamalan saja
Dengan tidak melupakan sifat ’ubudiyah atau sifat kehambaan, hina, papa, daif dan lemah saya
pandang diri saya sekecil-kecilnya sehingga menjadi nol kosong melompong yang menurut hemat
kami tidaklah bernilai sebesar rambut dibelah tujuh pada sisi Allah SWT, Rasul dan Aulia-Nya.
Sangat miskin hatinya daripada ilmu-ilmu dan amal dan jauh sekali daripada kesempurnaan adab
yang menjadi pokok utama di dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dikarenakan oleh hal-hal yang saya uraikan di atas dengan penuh kerendahan hati, terlebih
dahulu saya memohon maaf yang sebesar-besarnya keharibaan Ayahanda Guru, sekira tulisan
kami ini tidak berkenan di hati Ayahanda Guru, tidak tepat sasarannya, kurang lengkap
keterangannya dan lain sebagainya, karena maklumlah sesuai pula dengan pepatah orang tua kita
Sesuai dengan judul Risalah ini, maka saya mulailah menguraikan apa-apa yang langsung saya
Muhammad Hasyim Al Khalidi bersama saya (Anwar Rangkayo Sati) sebagai murid atau Khadam
beliau, berangkat dengan bus umum dari Sawah Lunto ke Bukit Tinggi dengan maksud dan tujuan
menemui salah seorang murid beliau yang tergolong intelek yaitu Sdr. Zyauddin Sahib, jabatannya
Bahwa Sdr. Zyauddin Sahib pada waktu itu mendapat musibah, mertua lelaki beliau meninggal
dunia dan jenazahnya dibawa ke rumah tempat tinggalnya Sdr. Zyauddin Sahib di lorong
Saudagar No. 46 A pasar Atas bukit tinggi. Jadi kedatangan YMM Nenek guru memperlihatkan hati
yang duka, muka yang sabak turut belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang
Sdr. Zyauddin Sahib jauh sebelumnya telah lama berkenalan dengan Bp. Kadirun Yahya M.A, guru
SPMA dan bertempat tinggal di Aur Tajungkang Bukit Tinggi. Di samping jabatan beliau sebagai
guru SPMA, beliau pun merangkap sebagai perwira menengah dengan pangkat Mayor pada
komandemen Divisi IX Banteng Sumatra bagian persenjataan dan kami melazimkan memanggil
beliau waktu itu Pak Mayor. Diangkatnya beliau sebagai perwira menengah bagian persenjataan
dikarenakan beliau adalah ahli kimia. Sekarang beliau telah memperoleh gelar dan untuk lebih
lengkapnya disebut Prof. Dr. Haji Saidi Syekh Yahya Muhammad Amin. Dalam kesempatan
beberapa hari Nenek guru berada di rumah Sdr. Zyauddin Sahib, beliau mengajak teman beliau
yaitu Bp. Kadirun Yahya MA bertemu muka dengan Nenek Guru dan kesempatan baik ini
dimanfaatkan oleh beliau dan beliau berulangkali datang berbincang-bincang dan berceramah kaji
Pada suatu hari, kalau kami tak salah bertepatan dengan petang Kamis malam Jum’at Sdr.
Zyauddin Sahib memohon kepada Nenek Guru berkenan mengadakan wirid tawajuh pada hari
tersebut. Permintaan Sdr. Zyauddin Sahib diperkenankan oleh Nenek Guru. Lalu beliau dengan
segera menemui teman-temannya mengajak datang ke rumahnya untuk ikut bertawajuh. Teman-
1. Sdr. Ghulam Gaus yang menghubungkan Sdr. Zyauddin Sahib dengan Nenek Guru di
Selesai shalat Isya’ yang langsung diimani oleh Nenek Guru, maka tawajuh pun segera akan
dimulai. Sdr. Ghulam Gaus tidak lagi datang dan hadir hanya kami 4 (empat) orang, yaitu Nenek
Guru, saya sendiri (Anwar Rangkayo Sati), Zyauddin Sahib dan Ayahanda Guru.
Anehnya Ayahanda Guru belum lagi dibaiat masuk Thariqat Naqsyabandiyah, telah diizinkan ikut
bertawajuh dan sebelum tawajuh dimulai, saya bisikkanlah dahulu secara ringkas sekali kepada
Selesai bertawajuh yang lamanya + setengah jam, lalu Ayahanda Guru menyampaikan perasaan
atau pengalaman yang beliau alami selama bertawajuh tersebut kepada Nenek Guru, lalu Nenek
Saya jadi bertanya-tanya di dalam hati saya, mengapa Ayahanda Guru belum lagi dibaiat masuk
Thariqat Naqsyabandiyah kok sudah diijinkan ikut tawajuh. Sedangkan selama ini belum pernah
kejadian. Rupanya kasus pada Ayahanda Guru ada keistimewaan dari Nenek Guru. Tentu ada
hikmah yang terkandung, bak pepatah mengatakan : ”Kalau tidak ada berada, tidaklah tempua
bersarang rendah”.
Akan saya tanyakan langsung kepada Nenek Guru, saya takut kalau-kalau salah menurut adab,
lalu saya tafakkur dan merenungkannya secara mendalam. Akhirul kalam … berkat syafaat Nenek
Guru, terbukalah hijab saya dan saya bacalah yang tersiratnya, apa yang dibalik keistimewaan
yang diberikan Nenek Guru kepada Ayahanda Guru. Nenek Guru berkata kepada Ayahanda Guru,
”Kapan saja anak datang untuk bersuluk akan saya layani walaupun Cuma satu orang”
dan janji itu Beliau penuhi di kemudian hari ketika Ayahanda Guru pertama sekali ikut suluk
Kedatangan Nenek Guru ke Bukit Tinggi secara lahiriah menemui Sdr. Zyauddin Sahib yang
sedang mendapat musibah, tetapi secara hakikinya bertemu dan menemui salah seorang yang
bakal menjadi ulama intelek, ahli sufi, besar dan ulung, yang lengkap ilmu pengetahuannya baik
dunia maupun akhirat yang akan menjadi penyambung, penerus, dan pewaris dari silsilah
Tharikatullah ’Ubudiyah Naksyabandiyah Khalidiyah yang berpusat di Jabbal Qubaisy Mekkah yang
cocok pula dengan jamannya, yaitu zaman mutakhir, zaman teknologi modern yang akan menjadi
ikutan bagi para mahasiswa, para sarjana, para intelektuil, para pejabat pemerintah baik sipil
maupun ABRI, dan lain-lain. Orang tersebut tak lain adalah Ayahanda Guru Prof. Dr.H.SS. Kadirun
Tidaklah berkelebihan rasanya saya sampaikan dalam risalah singkat ini, keistimewaan-
keistimewaan lainnya yang diberikan oleh Nenek Guru kepada Ayahanda Guru, untuk lebih
Pada tahun 1947 itu juga setelah Nenek Guru kembali ke Sawah Lunto, datanglah Ayahanda Guru
ke rumah Ibu Saimah di Bukit Apit No. 13 Bukit Tinggu untuk masuk thariqat. Ibu Saimah
sekarang sudah almarhum (wafat tgl. 21-12-1985) adalah keponakan kandung Nenek Guru. Pada
waktu sebelum Nenek Guru naik haji ke Mekkah tahun 1918 dan dibuang ke Boven Digoel tahun
1928-1932, almarhumah Ibu Saimah selalu berada di samping Nenek Guru dan ke mana saja
Nenek Guru bepergian selalu dibawa dan beliau bertemu dengan Ompung Hutapungkut (Maulana
H. SS Sulaiman) Guru Nenek Muhammad Hasyim dan Ayah Nenek Syekh Muhammad Baqi.
Ayahanda Guru masuk thariqat dipimpin langsung oleh kalifah Nenek Guru, yaitu Inyiak Gadang
(Almarhum). Alm Inyiak Gadang semasa hayat beliau, di samping sebagai khalifah Nenek Guru,
juga sebagai seorang pendekar ulung yang sangat ditakuti dan disegani oleh masyarakat pada
waktu itu, karena Nenek Guru juga seorang pendekar ulung, jago silat kawakan yang tak ada tolok
bandingnya.
Setelah selesai Ayahanda Guru masuk thariqat, sesuai pula dengan situasi keamanan waktu itu,
dengan bercokolnya pemerintah kolonial Belanda di kota Padang dan membunuh wali kota Padang
Bagindo Aziz Chan, di samping kesibukan Ayahanda Guru dengan tugas-tugas Beliau utama sekali
sebagai perwira menengah bagian persenjataan maka secara zahir Beliau boleh dikatakan belum
Pada waktu itu Pemerintah Kolonial Belanda menduduki kota Padang dan sesuai dengan perjanjian
Linggarjati, daerah pendudukannya hanya sampai dekat lintasan kereta api di Tabing + 7 km dari
pusat kota Padang. Kemudian Belanda mengkhianati perjanjian Linggarjati dan bulan Juli 1947
dibunuhnya walikota Padang Bagindo Aziz Chan dan mereka melakukan serangan lagi sampai
diadakannya pula perjanjian yang kedua yang disebut perjanjian Renville dan daerah
pendudukannya berbatas di Batang Tapakis Kec. Lubuk Alung Kab. Padang / Pariaman.
Karena Belanda sangat berhasrat sekali hendak mengulangi kembali penjajahannya di bumi
persada Indonesia yang kita cintai ini, maka kembali Belanda berkhianat melakukan serangan
terhadap RI yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 yang disebut pada waktu itu Agresi
Belanda Kedua yang dimulai pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 dan Belanda waktu itu
Pada hari Kamis tanggal 23-12-1948 dengan mengambil langkah pada 08.30 pagi WSU (sekarang
jam 09.00) mulailah Nenek Guru meninggalkan kota Sawah Lunto bersama anak-anak dan istri
dan salah seorang di antaranya termasuk saya, berdarurat ke daerah pedalaman RI yaitu ke
Nagari Lunto Kecamatan Sawah Lunto Kabupaten Sawah Lunto (Sijunjung). Di negeri ini banyak
pertama Ayahanda Guru dengan Nenek Guru di Alkah Nenek Guru di Kubang Sirakuk Sawah Lunto
tahun 1950.
Ayahanda Guru beserta keluarga meninggalkan kota Bukit Tinggi berdarurat ke daerah pedalaman
RI dalam daerah Kabutapaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Tanah Datar.
Menurut cerita yang saya dengar langsung dari Ayahanda Guru, bahwa Beliau selama berdarurat
selalu suluk-suluk saja atau berkhalwat dan setiap tentara-tentara Belanda sampai ke tempat
Ayahanda Guru, mereka hanya melihat hutan belukar saja. Begitu juga dari Nenek Guru saya
dengar pula kalau tentara Belanda sudah sampai ke Pondok Nenek Guru, mereka melihat lautan
Memperhatikan kejadian-kejadian tersebut di atas, jelas bagi kita bahwa kedua Beliau-Beliau
tersebut di atas adalah ahli/kekasih Allah SWT yang selalu dilindungi dan mendapat perlindungan
dari Allah Yang Maha Kuasa, Maha akbar, Maha Agung, dan Maha Suci, begitu juga bagi mereka
yang selalu berhampiran dan selalu kontak dengan Beliau akan selalu dilindungi dan mendapatkan
Selama tidak berjumpa dengan Nenek Guru, Ayahanda Guru sangat rajin mengamalkan zikir ismu
zat karena memang hanya zikir itulah yang beliau terima dari Nenek Guru. Suatu saat Ayahanda
Guru sampai ke sebuah surau tua dan disitu beliau beramal dalam waktu lama. Kebetulan juga di
surau itu ada seorang syekh beserta 12 muridnya ikut berzikir disitu. Syekh tersebut berzikir di
Kemudian Syekh tersebut meminta Ayahanda Guru memimpin suluk, tentu saja tawaran tersebut
Beliau tolak secara halus karena memang saat itu Beliau tidak mengerti sama sekali tentang ilmu
suluk. Ayahanda Guru berkata, ”Saya tidak berani, silahkan tuan musyawarahkan dengan Guru
saya (syekh Hasyim) kalau Beliau mengizinkan maka saya berani melaksanakannya”. Kemudian
Syekh tersebut berkomunikasi secara rohani dengan Nenek Guru, 3 hari kemudian syekh tersebut
Dalam suluk Syekh tersebut berkata, ”Hai engku mudo tolong tawajuhkan murid den ko (Hai anak
muda tolong tawajuhkan murid aku ini)”. Pada waktu itu Ayahanda Guru belum lagi diangkat jadi
khalifah bahkan suluk pun belum pernah sehingga Beliau bingung bagaimana harus melaksanakan
sesuatu yang belum diajarkan. Akhirnya Ayahanda Guru menawajuhkan murid-murid Syekh
tersebut namun karena seluruh energi zikir ditumpahkan maka seluruh yang ditawajuhkan itu
pingsan. Selesai tawajuh Ayahanda Guru orang yang pingsan, ajaibnya seluruh yang pingsan
sadar kembali. Pada waktu itu Ayahanda Guru masih berumur 33 tahun. Penomena ini sangat luar
Ayahanda Guru ikut juga dan tersiarlah kabar akan diadakan suluk lagi, kebetulan saat itu datang
bulan puasa maka berbondong-bondong orang kampung ikut suluk. Masyarakat kampung
meminta Ayahanda Guru untuk menyulukkan mereka namun Ayahanda Guru tidak menerima
permintaan itu dan Ayahanda Guru tinggal disebuah surau dan zikr sendiri. Kemudian orang
kampung datang kembali kepada Beliau meminta untuk ikut suluk akhirnya Beliau penuhi dan
pada saat itu banyak pula syekh-syekh yang datang ikut suluk dengan Beliau dan Para Syekh
mengakui bahwa suluk yang dipimpin oleh Ayahanda Guru sangat luar biasa.
Setelah kejadian itu (memimpin suluk sebelum ikut suluk) maka Ayahanda Guru merasa bersalah
dan dalam hati Beliau berkata, ”Ah tidak benar aku ini, bagaimana aku harus mempertanggung
jawabkan semua ini kepada Guruku dan Allah?”. Akhirnya Beliau memutuskan untuk mencari
seorang Syekh yang ahli tentang tasawuf untuk menanyakan hal-hal mengenai suluk sekaligus
melaporkan apa yang telah Beliau kerjakan. Pada waktu Ayahanda Guru sampai dalam daerah
Kabupaten Tanah Datar, Beliau bertemu dengan Syekh Abdul Majid (juga ahli tasawuf) murid dari
Syekh Busthami yang terkenal dengan kekeramatannya. Jauh hari sebelum Ayahanda datang
”Hai Majid, 30 tahun engkau menjadi Syekh akan datang kepadamu seorang anak muda yang
akan meminta suluk kepada engkau, engkau akan memberikan ijazah kepada dia”
Dan ternyata anak muda yang dimaksud tidak lain adalah Ayahanda Guru sendiri yang sudah 30
”Ya Tuan Syekh, saya mohon disulukkan, saya sudah menyulukkan tapi rasanya tidak bertanggung
Syekh Abdul Majid berkata dalam bahasa Padang: ”oh indak begitu doh, awak suluk menyulukkan”
maksudnya, ”Tidak begitu, kita ini saling suluk menyulukkan”. ”Saya tidak mau menyulukkan tuan
tapi diantara kita salig suluk menyulukkan”,maksudnya antara Syekh Abdul Majid dengan
Mula-mula Ayahanda Guru menganggap ucapan itu hanya gurauan atau basa basi, ketika jamaah
suluk sudah berkumpul Syekh Abdul Majid mempersilahkan Ayahanda Guru untuk zikir dalam satu
kelambu barulah Ayahanda Guru menyadari kalau ucapan ”Kita ini saling suluk menyulukkan”
adalah ucapan yang serius dan dalam pandangan Syekh Abdul Majid kedudukan rohani Ayahanda
Guru sudah sedemikian tingginya walaupun secara zahirnya belum pernah ikut suluk.. Ada
kejadian menarik dan lucu yang sering kali diceritakan oleh Ayahanda Guru tentang suluk dengan
kaki saya ke kepala Beliau (Syekh Abdul Majid) dan begitu juga sebaliknya, awak anak muda yang
lasak baru berumur 33 tahun sedangkan Beliau orang tua yang jinak, waktu tidur bergulung
Setelah kejadian itu, Ayahanda Guru merasa bersalah dan meminta izin kepada Syekh Abdul Majid
”Abuya, tidak usah lah saya zikir satu kelambu dengan Buya, saya ini kalau tidur lasak, masak
kepala Buya saya tendang, salah hadap saya ini, mohon diberi tempat lain untuk saya
Syekh Abdul Majid memberikan tempat zikir kepada Ayahanda Guru dibawah tempat biasa Beliau
berzikir sedangkan Beliau tetap berzikir di atas ditempat biasa. Selama suluk itu banyak terjadi
keajaiban, Ayahanda Guru berzikir selama 3 hari 3 malam tanpa keluar dari kelambu, tidak mandi,
tidak makan dan tidak minum sedikitpun. Syekh Abdul Majid terus memimpin suluk sedangkan
Ayahanda Guru tetap zikir sendiri. Setelah 3 hari Syekh Abdul Majid mandi, selesai mandi
kebetulan Ayahanda Guru juga keluar, ketika bertemu dengan Ayahanda Guru, Syekh Abdul Majid
berkata, ”Abuya, setelah ini saya tidak boleh memimpin suluk lagi”.Ayahanda Guru terkejut karena
Syekh Abdul Majid memanggilnya ”Abuya” kepada Beliau, sebuah panggilan kehormatan untuk
para ulama yang dihormati, ucapan itu lebih cocok dari Ayahanda Guru kepada Syekh Abdul Majid.
Ayahanda Guru bertanya, ”Jadi siapa yang akan memimpin suluk ini?”
Ayahanda Guru agak sedikit bingung, kenapa dipertengahan suluk Syekh Abdul Majid
menyerahkan kepemimpinan suluk kepada Beliau padahal tujuan Ayahanda Guru menemui Syekh
”Janganlah saya, saya tidak pengelaman tentang suluk” jawab Ayahanda Guru menolak tawaran
”Oh tidak boleh saya lagi, nanti dihantam saya” kata Syekh Abdul Majid
”Buya semua, termasuk saya ini mohon ditawajuhkan” Jawab Syekh Abdul Majid
Ayahada Guru kembali menolak, tidak mungkin mentawajuhkan (mendoakan) orang yang sudah
”Ah tidak mau saya mentawajuhkan Buya, durhaka saya nanti” kata Ayahada Guru.
”Tidak lah, harus ditawajuhkan, ini perintah dari ATAS” kata Syekh Abdul Majid. Akhirnya Ayanda
Guru memenuhi permintaan dari Syekh Abdul Majid untuk memimpin suluk. Syekh Abdul Majid
mengalami gangguan pada matanya, namun setelah di tawajuhkan oleh Ayahanda Guru mata nya
kembali sembuh. Sehingga kelak Syekh Abdul Majid pernah berkata kepada salah seorang murid
dari Ayahanda Guru ketika berkunjung ke tempat Beliau, ”Guru mu itu sangat luar biasa, saya ini
sembuh berkat syafaat dari Gurumu, jangan pernah kalian menggantikan Gurumu dengan yang
lain”
Kebetulan Suluk itu berlangsung pada bulan Zulhijah (suluk Haji) dan ditutp satu hari sebelum
Hari Raya. Syekh Abdul Majid di akhir suluk memberikan sebuah Ijazah yang istimewa kepada
Ayahanda Guru. Disebut istimewa kerena selama ini Syekh Syekh Abdul Majid tidak pernah
memberikan satupun ijazah kepada orang lain. Kebetulan pula Syekh Abdul Majid adalah seorang
yang buta huruf tidak pandai menulis dan membaca. Tapi anehnya malam itu Syekh Abdul Majid
menulis ijazah dengan huruf yang sangat bagus dan didalam ijazahnya tertulis keistimewaan-
Walaupun telah mendapat Ijazah dari Syekh Abdul Majid namun dalam hati Ayahanda Guru belum
puas, dari Guru nya Syekh Muhamamad Hasyim Buayan belum sempat diberikan Kayfiyat,
meminta suluk kepada Syekh Abdul Majid malah disuruh memimpin suluk. Akhirnya Ayahanda
Guru memutuskan untuk menemui Nenek Guru (Syekh Muhammad Hasyim) untuk meminta ikut
suluk.
Saat itu kebetulan menjelang Ramadhan tahun 1950 dan Nenek Guru sudah memutuskan dan
mengumumkan kepada seluruh muridnya bahwa pada bulan Ramadhan kali ini tidak diadakan
suluk dikarenakan ada hal-hal yang teramat berat yang tidak bisa diberitakan oleh Nenek Guru.
Ketika Ayahanda Guru datang dan meminta izin untuk suluk Nenek Guru terkejut, satu sisi Beliau
sudah memutuskan untuk tidak suluk namun disisi lain Nenek Guru telah berjanji kepada
Ayahanda Guru kalau kapan saja datang ke tempat Beliau akan diadakan suluk walau cuma satu
orang. Akhirnya Nenek Guru memenangkan janjinya dan membuka suluk. Sebelum suluk dimulai
Ayahanda Guru menyerahkan ijazah yang diberikan oleh Syekh Abdul Majid kepada Nenek Guru
Suluk Pertama itu Ayahanda Guru langsung diangkat menjadi Khalifah dan Nenek Guru berkata
kepada, ”Lihatlah itu, pelajarilah itu”. Maksudnya lihatlah apa yang dilakukan dalam suluk,
lihatlah cara memasak, cara membangunin jama’ah, mengatur jama’ah, menghidang dan lain
sebagainya tidak pernah diajarkan kepada Ayahanda Guru cara zikir bahkan kifiyat pun tidak
Itulah pertama kali Ayahanda Guru ikut serta suluk dengan Nenek Guru. Selama Suluk tersebut,
Ayahanda Guru sangat kuat sekali beramal, betul-betul Beliau laksanakan adab yang 21 dan
secara jujur kami akui, bahwa kami yang jauh lebih dahulu berguru dengan Nenek Guru tak
sanggup mengikuti ketekunan Beliau dan kami menghaturkan salut yang setinggi-tingginya
kepada Beliau. Pada suluk yang pertama kali itulah saya melihat dan mengetahui keistimewaan
yang kedua kalinya diberikan Nenek Guru kepada Ayahanda Guru yaitu memberikan kaji suluk
secara keseluruhan sampai kepada tingkat yang paling tinggi, sedangkan kami (Rangkayo sati)
angkatan yang lama-lama sudah puluhan kali ikut suluk belum lagi mencapai yang demikian.
Sungguh hebat dan luar biasa sekali yang diterima dan dialami oleh Ayahanda Guru dan di balik
itu tentu Nenek Guru telah mengetahui dan melihat tanda-tanda bahwa Beliaulah satu-satunya
nanti yang akan menjadi Pewaris Penerima Panji-Panji Silsilah Thariqatullah ’Ubudiyah
Naqsyabandiyah Khalidiyah, setelah Nenek Guru nantinya telah tiada atau berlindung. Tepat sekali
apa yang dikatakan oleh pepatan ”Bukan intan bukan baiduri, bukan emas dapat dibeli,
Setelah selesai suluk, Ayahanda Guru pun diberi ijasah oleh Nenek Guru dan keesokan harinya
Beliau bersama murid-murid kembali ke Bukit Tinggi. Semenjak itu sesuai pula dengan tugas-
tugas dan kesibukan Ayahanda Guru, Beliau sering datang menemui Nenek Guru baik Nenek Guru
sedang berada di Sawah Lunto maupun sedang berada di Buayan. Adakalanya kedatangan Beliau
sebagai ziarah biasa saja dan adakalanya ikut suluk. Kedatangan Beliau selalu diiringi oleh
Kalau kami tak salah, selama Nenek Guru masih hidup, Ayahanda Guru ada 3 (tiga) kali ikut suluk
dengan Nenek Guru dan yang terakhir suluk di Buayan. Pada suluk yang ketiga kalinya Ayahanda
Guru diberi oleh Nenek Guru tentang asal muasal Thariqat Naqsyabandiyah yang diterima oleh
YMM Nenek Guru dari Maulana Saidi Syekh Husin yang mendampingi Maulana Saidi Syekh Ali
Ridho di Jabal Qubaisy Mekkah pada tahun 1918 dan langsung pula oleh Ayahanda Guru diizinkan
untuk mendirikan suluk. Nenek Guru menumpahkan seluruh isi dada Beliau ke dalam dada
Ayahanda Guru sebagaimana Rasulullah SAW menumpahkan seluruh isi dadanya kepada dada
Saidina Abu Bakar Siddiq. Resmilah Ayahanda Guru menjadi pewaris ilmu Rasulullah sebagai Ahli
Silsilah ke-35 yang telah diberitakan dalam hadist Nabi. Kali ketiganya kami mengetahui dan
mempersaksikan keistimewaan yang diberikan oleh Nenek Guru kepada Ayahanda Guru dan cukup
kuat hasil renungan kami sebagaimana yang kami uraikan di atas. Kali pertama Ayahanda Guru
mendirikan suluk di Aur Tajungkang Bukit Tinggi tahun 1953 pada waktu Nenek Guru masih hidup
dan dibantu oleh Nenek Guru dengan 2 (dua) orang khalifahnya, yakni :
2. Alm. Kamu Mantari Ameh (semasa agresi Belanda kedua 19-12-1948 patuh dan setia
mengikuti Nenek Guru sebagai khadam dan menjadi kuda tunggangan Nenek Guru selama
berdarurat, karena Nenek Guru terpaksa pindah-pindah tempat naik bukit turun bukit selalu Nenek
Guru dalam dukungannya, karena fisik dan usia Nenek Guru tidak mengizinkan lagi untuk jalan
sendiri).
Betapa banyaknya murid Nenek Guru yang telah dituakan dan yang telah diangkat jadi khalifah
jauh sebelum Ayahanda Guru bertemu dengan Nenek Guru, satu pun belum ada yang diijinkan
Nenek Guru untuk memimpin suluk, hanya baru diizinkan menurunkan thariqat, memimpin wirid
khatam tawajuh di tempat alkah masing-masing yang telah mempunyai alkah, dan mohon ampun,
bukan karena Penulis menonjolkan diri hanya sekedar memenuhi sejarah yang berkaitan dengan
risalah ini. Selain dari Ayahanda Guru, kami pun telah diijinkan untuk mendirikan suluk serta
dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas berat tersebut.
Pemberian ijin ini terjadi pada tahun 1947 di saat kami menerima ijasah dari Nenek Guru pada
tanggal 18 Ramadhan tahun 1367 H. Kemudian Ayahanda Guru sepeninggal Nenek Guru, pindah
ke Medan dan membuka Alkah sendiri dengan modal Nol, sampai mencapai sukses besar dan
perkembangan yang pesat sekali sebagaimana yang telah kita persaksikan bersama dan yang
telah banyak mempunyai murid yang terdiri dari berbagai macam tingkatan dan golongan sejak
dari tingkatan yang tertinggi dan mempunyai banyak alkah yang tersebar di seluruh pelosok tanah
Kira-kira awal tahun 1954 kami satu rombongan dengan mencarter sebuah bus dibawa oleh Nenek
Guru dari Sawah Lunto untuk ziarah ke Hutapungkut di Bukit Tinggi. Ayahanda Guru diajak ikut
serta oleh Nenek Guru. Selama kami di Hutapungkut, Nenek Guru berkata pada kami ”Nanti
sepeninggal ayah telaih tiada, kalian boleh langsung ziarah ke makam Nenek kalian”. Rupanya
Nenek Guru sudah mulai sakit-sakitan dan tak berapa lama sesudah itu Nenek Guru berangkat
meninggalkan Sawah Lunto menuju Padang, istirahat beberapa hari di Purus I di rumah Sdr. B.
Rajo Bujang (sekarang bernama H. Abdul Majid dan masih hidup). Kemudian Nenek Guru terus ke
Buayan dan sakit Nenek Guru bertambah parah juga, sehingga pada hari Rabu tanggal 7 April
1954 jam 1.05 WSU (+ 13.35 WIB) Nenek Guru dipanggil oleh Allah YME dan atas amanatnya
Padang/Pariaman Propinsi Sumatera Barat. Sepeninggal Nenek Guru telah tiada sebelum
Ayahanda Guru pindah ke Medan. Beliau selalu datang ziarah ke Kubang Sirakuk Sawah Lunto dan
ke Tanah Dingin Buayan. Setelah Beliau pindah ke Medan, terakhir Beliau ziarah ke Kubang
Sirakuk Sawah Lunto tahun 1957 dengan sedan dan didampingin oleh Bp. H. Nurdin dan Bp.
Hamdan Siregar, menginap semalam di tempat Nenek Guru dan besoknya Beliau kembali ke
Medan dan saya ikut mengantar Beliau sampai ke Muara Sipongi. Setelah itu Beliau ziarah ke
Tanah Dingin Buayan saja 3 atau 4 kali dalam setahun di luar yang isidentil.
Ayahanda Guru sangat disiplin memegang amanat, segala sesuatu yang Beliau terima dari Nenek
Guru berupa ilmu, nasehat dan petunjuk, pengajaran dan lain-lain, Beliau amalkan dengan
mati ditomapang”, dan kepada Ayahanda Guru berlaku apa yang dijanjikan Tuhan ”Amalkan
oleh kamu ilmu yang telah sampai kepada engkau, mewarisi Aku ilmu yang belum
engkau ketahui”.
Seperti yang pernah diucapkan oleh Nenek Guru bahwa ilmu laduni yang dihunjamkan Allah SWT
kepada Sirr hati hamba-Nya yang dikasihi-Nya dan Ayahanda Guru berhasil dengan gilang-
Berbahagialah kita semuanya di dunia dan di akhirat, baik yang dekat maupun yang jauh di mana
saja kita berada yang selalu mengadakan kontak dengan Beliau. Amin … Amin Ya Rabbal ’Alamin
…………
Demikianlah ala kadarnya yang dapat saya sumbangkan kepada teman-teman seperjuangan dan
seperamalan saya dan akhirul kalam kembali saya mengucapkan ”Astaghfirullah Al ’Azim” yang
sedalam-dalamnya dan diiringi dengan Laa Haula wa laa Quwwata Illa billaahil ’Aliyil ’Azim serta
saya tutup dengan mohon ampun yang sebesar-besarnya ke haribaan Ayahanda Guru atas salah
Napak Tilas Ayahanda Guru Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc yang kami ambil dari
tulisan Menantu Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi ini semoga bermanfaat untuk kita
semua para penempuh jalan kebenaran teristimewa kepada murid-murid Beliau dan juga kepada
cucu murid Beliau (orang yang berguru kepada murid/penerus Beliau) yang sampai saat ini masih
terus berzikir memuja Allah, menyebarkan salam, menebarkan Rahmat Allah di seluruh penjuru
dunia.
Kisah hidup dan perjuangan sampai Beliau berlindung kehadirat Allah SWT pada tanggal 9 Mei
2001 di Surau Qutubul Amin Arco tidak sempat kami ceritakan disini karena sudah ada disebutkan
Sekarang bukan saatnya lagi memperdebatkan siapa yang paling berhak sebagai penerus Beliau
yang menyandang gelar Ahli Silsilah-36. Pada suatu kesempatan Beliau pernah berfatwa
sebagaimana yang sering di kutip oleh putra Beliau Buya H. Iskandar Zulkarnain SH : ”Seorang
Walaupun Beliau telah tiada, namun Arwahul Muqadasah Rasulullah yang ada dalam dada Beliau
akan tetap abadi membimbing murid-muridnya sampai akhir zaman. Beliau akan selalu datang
dalam zikir dan mimpi. Mimpi dengan seorang Guru Mursyid adalah benar dan setan tidak akan
bisa menyerupai wajah Guru Mursyid yang Kamil Mukamil. Fatwa Beliau kepada salah seorang
muridnya ketika menanyakan yang mana paling benar Beliau berkata : ”Arco Benar, Panca Budi
Benar dan Batam juga benar, silahkan kalian ikuti yang mana cocok bagi kalian karena
Saudaraku, kalau hanya memandang dari kacamata kesurauan dunia ini terlalu luas, masih
banyak tempat yang belum di singgahi Kalimah Allah. Mari kita satukan energi untuk
membesarkan nama-Nya. Seorang Wali Allah akan tetap harum namanya walaupun semua
manusia mencaci, walaupun semua kita tidak mau berdakwah. Akan tetapi sangat disayangkan
kalau kita tidak menyiapkan diri untuk dilewati rahmat dan karunia-Nya.
Salam cinta dan sayang untuk semua yang membaca tulisan ini, Guru kita selalu berpesan untuk
menghindari fitnah, gunjing dan caci maki karena itu akan mengurangi amal ibadah kita. Masih
ingat pesan-pesan sejuk dari Guru kita, ”Jangan kau jelek-jelekkan saudaramu, belum tentu
Menyatakan diri sebagai murid wali sangat mudah, tetapi menjalankannya sungguh sangat sulit.
Maqam kita terkadang sudah melewati maqam Khalifah bahkan malaikatpun terkadang iri melihat
kita. Tapi sayangnya zikir La Thaifsebagai zikir sangat dasar belum duduk dengan benar dalam
qalbu sehingga tanpa sadar setan bersemayam dengan nyaman di sana. Saling menyalahkan
Penutup tulisan ini saya mengutip sebuah lagu yang dibawakan oleh Bimbo yang kalau saya
menyanyikan lagu ini terkenang suatu masa indah, tanpa terasa air matapun mengalir….
Secara Bersahaja…
Terimakasih tidak terhingga selalu kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat yang luar biasa dengan diperkenalkannya kita kepada salah seorang kekasih-Nya.
Semoga kita diberi kekuatan untuk bisa terus memuja dan mengabdi kepada-Nya.