Fahruddin Faiz
TASAWWUF
“Tasawwuf ialah Allah mematikanmu (menjauhkanmu)
dari dirimu sendiri dan menghidupkanmu di dalam-Nya”
“Kita tidak menjalankan tasawuf dengan banyak bicara
saja (al-qil wa al-qâl). Tapi kita melakukannya dengan
lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan
melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang
indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan
dengan Allâh Swt yang dasarnya menghindari
kesenangan dunia, (Tadzkirat al-Auliyâ’,
“Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran
dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan
kecuali segala tumbuhan yang baik.”
“Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang di injak
orang saleh maupun munafiq; juga seperti mendung,
memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi
segala sesuatu.”
“Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian
kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud
batinnya rusak.”
Mempertemukan Syari’at dan Hakkikat
"Ilmu kami diukur dengan Al Quran dan As Sunnah. Siapa yang tidak hafal Al
Quran, tidak menulis hadist, dan tidak belajar fiqh, tidak boleh ikut."
Ketundukan kepada syariat Allah Swt yang haq, yakni al-Qur’an dan sunnah Rasul
Saw, adalah keniscayaan amal yang mesti dijunjung selalu oleh siapa pun,
termasuk para sufi.
Kritik terhadap ungkapan-ungkapan mistis sejumlah sufi yang menimbulkan
kontroversi khalayak. Hal-hal semacam itu hanya melahirkan polemik di
masyarakat dan sekaligus risiko intimidasi penguasa yang tidak berada di derajat
pemahaman yang sama dengan para sufi.
Seseorang berkata kepada Imam Junaid bahwa ahli
makrifat dapat sampai kepada suatu keadaan ia boleh
melakukan semua hal, termasuk meninggalkan
kewajiban.
Imam Junaid berkata kepadanya: “Ini bagiku adalah
suatu pendapat yang sangat berbahaya. Sesungguhnya
seorang Arif billâh adalah mereka yang mengerjakan
seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh Swt.,
karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali.
Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku
dan memperkokoh keadaanku”.
Murah hati seperti Nabi Ibrahim AS
Ridha seperti Nabi Ismail AS
Sabar seperti NabiYa’kub AS
Mampu berkomunikasi dengan isyarat seperti
DELAPAN Nabi Zakaria AS
SIFAT SUFI Uzlah seperti NabiYahya AS
Jubah wool (sederhana) seperti Nabi Musa AS
Pengembara seperti Nabi Isa AS
Rendah-hati seperti Nabi Muhammad SAW
TAUHID
“Orang-orang yang mengesakan Allah (al-muwahhid) ialah mereka
yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini
bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak
diperanakan, menafikan segala bentuk politeistik. Dia tidak bisa
diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia
tanpa padanan dan Dia adalah zat yang Maha Mendengar dan Maha
Melihat.”
Akal tidak mampu memahami itu. Sebab, “seandainya pemikiran para
pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran
itu akan berakhir dengan kebingungan.”__“Ungkapan terbaik tentang
tauhid adalah ucapan Abu Bakr al-Siddiq: Maha Suci Zat yang tidak
menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan
ketidakmampuan mengenal-Nya.”
Unsur utama tauhid “pemisahan yang baqa’ dan fana’.
PIJAKAN TAUHID: MITSAQ
Titik tolak tauhid: perjanjian azali (Al-A’raf 172)
ُ ش َه َد ُه ْم َع َل ٰى أَ ْنفُسِ ِه ْم أَ َل ْس
ۖ ت ِب َر ِّب ُك ْم ْ َور ِه ْم ُذ ِّر َّي َت ُه ْم َوأ
ِ َوإِ ْذ أَ َخ َذ َر ُّب َك مِنْ َبنِي آ َد َم مِنْ ُظ ُه
َش ِهدْ َنا ۛ أَنْ َتقُولُوا َي ْو َم ا ْلقِ َيا َم ِة إِ َّنا ُك َّنا َعنْ ٰ َه َذا َاالِلِين
َ ۛ َقالُوا َب َل ٰى
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka : "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Seluruh rangkaian sejarah manusia adalah upaya dalam
memenuhi perjanjian itu dan kembali ke ihwal asalnya.
MACAM TAUHID
TAUHID AWAM: terletak dalam penegasan atas keesaan Allah, menolak semua sekutu dan
mempersamakan Allah, namun mereka tetap memiliki harapan dan ketakutan kepada daya-daya selain
Allah.
TAUHID ALIM: terletak dalam penegasan atas keesaan Allah, menolak semua sekutu dan
mempersamakan Allah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Namun mereka tetap
memiliki harapan dan ketakutan yang muncul dari hasrat/pemahaman/keinginan mereka sendiri.
TAUHID KHAWAS: Sebagaimana tauhid awam dan alim, namun tanpa harapan dan ketakutan selain
kepada Allah.
TAUHID KHAWAS AL-KHAWAS: Sebagaimana tauhid awam dan alim, tanpa harapan dan ketakutan
selain kepada Allah. Bahkan tidak lagi memiliki keinginan /hasrat pribadi karena menepati mitsaq dan
mengalami fana.
FANA’
MUSYAHADAH
MA’RIFAT
Ma’rifat adalah kesadaran akan adanya ketidaktahuan (kebodohan) ketika
pengetahuan tentang Tuhan datang.
Pada hakikatnya manusia itu berada pada ketidaktahuan tentang hakikat
Tuhan. Dimana keadaan yang demikian ini, baru disadarinya ketika datang
makrifat kepadanya. Pada saat itu, dia akan mendapatkan pengetahuan
tentang hal-hal yang berkenaan dengan Tuhan yang sebelumnya tidak
pernah diketahuinya.
Makrifat atau pengetahuan tentang Tuhan, akan dapat dicapai oleh seorang
sufi, dalam keadaan fana.
SAHW
Sahw adalah kembalinya seorang arif (sufi) pada kesadarannya, setelah
sebelumnya mengalami fana dan kehilangan kesadarannya.
Imam Junaid : “Allah mengembalikan sufi kepada keadaannya semula, adalah
agar dia dapat menjelaskan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga
cahaya anugerah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-
sifatnya sebagai manusia. Dengan demikian hal ini menjadikan masyarakat
menghargai dan tertarik kepadanya.”
Sahw ini merupakan tahapan setelah seorang sufi mengalami fana dan baqa.
Pada kondisi inilah ujian sebenarnya bahwa seorang sufi harus mampu kembali
kepada kesadarannya dengan hati yang telah disucikan oleh Allah. Para sufi ini
harus mampu menyucikan hatinya secara terus-menerus dalam kesadaran
manusia sehingga dia benar-benar menjadi yang mencintai dan dicintai Allah.
MUHASABAH: HAJI
Suatu ketika Syekh Junaid Al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja
menunaikan haji, namun merasa tidak ada perubahan apa-apa dalam hidupnya.
1) Apakah Anda berjanji akan meninggalkan dosa-dosa saat meninggalkan rumah untuk pergi
haji?, 2) Saat dalam perjalanan dan berhenti di suatu tempat, apakah Anda memikirkan tentang
usaha mencapai kedekatan dengan Allah?, 3) Saat mengenakan pakaian Ihram dan melepas
semua pakaian biasa, apakah Anda berketetapan untuk membuang semua perilaku buruk
menjadi pribadi lebih baik?, 4) Saat Wuquf di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada
Allah, apakah Anda merasakan bahwa Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?, 5) Saat datang
ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menaklukkan nafsu jasmaniah?, 6) Keindahan
Ilahiah apa yang Anda tangkap saat thawaf, mengitari Kakbah. 7) Ketika sa’i, apakah Anda
menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?, 8) Saat Anda menyembelih
hewan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?, 9)
Ketika Anda melempar jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu
busukmu?
“Ulangi, tahun depan tunaikan haji lagi.”
KISAH
Seperti diketahui, sebagai sufi besar Al-Junaid punya banyak murid. Seorang di
antaranya Manshur Al-Hallaj, yang terkenal dengan ucapannya “Anal Haqq”
(Akulah Sang Kebenaran). Pernyataan ini kemudian menyebar dan
menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Apalagi banyak para ulama
yang menuduh Al-Hallaj telah melakukan perbuatan sesat. Pengaduan pun
dialamatkan kepada Khalifah Al-Muqtadir Billah. Khalifah menolak
persetujuan untuk mengeluarkan fatwa hukuman jika hal itu tidak
ditandatangani oleh qadi kepala yaitu Junaid, yang notabene gurunya Al-Hallaj.
Draf fatwa itu sampai dikirim enam kali oleh Khalifah, tetapi kembali lagi
tanpa tanda tangan Junaid. Dan pada pengirimannya yang ke-7 Khalifah
menyertakan permintaan khusus agar sang guru besar menjawab “ya” atau
“tidak”. Akhirnya, Al-Junaid memberikan jawaban: “Menurut hukum syariat
Manshur Al-Hallaj dapat dihukum mati. Tetapi menurut hakikat, Allah Yang
Maha Mengetahui.”
KISAH
“Pada masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit
ditemukan saudara-saudara seagama,” seseorang berkata
di depan Abul Qasim al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid membalas, “Jika engkau
menghendaki seseorang untuk memikul bebanmu, maka
orang-orang seperti itu memang sulit dan sedikit
dijumpai. Tetapi jika engkau menghendaki seseorang
untuk ikut memikul bebannya, maka orang seperti itu
banyak sekali padaku.”
KISAH
Salah seorang murid Abul Qasim al-Junaid menyendiri di sebuah tempat yang
terpencil di kota Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk terlintas di dalam
hatinya. Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah olehnya betapa wajahnya
telah berubah hitam. Ia sangat terperanjat. Segala daya upaya dilakukan untuk
membersihkan wajahnya, tetapi sia-sia. Sedemikian malunya dia sehingga tidak
berani menunjukan mukanya kepada siapa pun. Setelah tiga hari berlalu, barulah
kehitaman wajahnya kembali normal sedekit demi sedikit.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. “Siapakah itu,” ia bertanya.
“Aku datang untuk mengantar surat dari Abul Qasim al-Junaid,” sebuah sahutan dari
luar. Si Murid membuka surat Abul Qasim al-Junaid.
“Mengapa tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang Maha Besar. Telah tiga
hari tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup untuk memutihkan
kembali wajahmu yang hitam itu.”
Seorang fasik yang berakhlak baik lebih aku cintai ketimbang
seorang qari’ yang berperilaku buruk.
Makan bersama-sama itu ibarat menyusu (bagi bayi), maka
lihatlah dengan siapa kalian makan bersama!
Seorang hamba dapat diangkat kepada kedudukan yang tinggi
disisi Allah walaupun amal dan ilmunya sedikit, dengan sebab 4
perkara. Pertama: kemurahan hati, kedua: kerendahan hati,
ketiga: kedermawaan dan keempat: keluhuran budi pekerti.
Ada 3 hal bagi orang awam yang dapat menjadi hijab dari
Allah SWT. Pertama: makhluk, kedua: dunia dan ketiga: nafsu.
Sedangkan bagi Ahli khawwash (khusus) juga ada 3 hijab.
pertama: mempertunjukkan amalan, kedua: mencari pahala dan
ketiga: memamerkan nikmat.
• Imam Junaid wafat hari Jum’at, tahun 297 H. atau 910 M. Abu Bakar al-
‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang
sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat
dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya.
• Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya
mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abû
Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya
engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir, membaca Al-
Qur’an hingga khatam dan mengulang lagi hingga sampai 70 ayat dari
surat al-Baqarah.