- Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari Yusuf lahir pada 3 Juli 1628 M, bertepatan
dengan 8 Syawal 1036 H di Gowa, Sulawesi Selatan, beliau bernama asli Muhammad
Yusuf. Dalam catatan Lontara yang diwariskan kerajaan Gowa-Tallo, disarikan data
bahwa Syekh Yusuf lahir setelah dua dekade pengisalaman kerajaan kembar Gowa-
Tallo oleh ulama Minangkabau, yakni Syekh Abdul Makmur, disebut Datuk Ri
Bandang. Beliau biasa disebut juga dengan nama Syekh Yusuf Abu Mahasin
Hadiyatullah Taj al-Khalawati al-Makassari atau dikenal juga dengan sebutan Tuanta
Salamaka ri Gowa yang berarti (guru kami yang Agung dari Gowa) adalah seorang
ulama, sufi dan pejuang bangsa Indonesia.
- Dikutip dari Lontarak Riwayakna Tuanta Salamaka Ri Gowa, ibu Syekh Yusuf
bernama Aminah puteri Gallarang Monconglowe. Sedangkan dalam buku Buya
Hamka yang berjudul Sejarah Umat Islam pada jilid 4 disebutkan bahwa Ayah Syekh
Yusuf bernama Abdullah, seorang yang dikenal sebagai orang suci dan konon katanya
memiliki banyak karomah.
- Setelah 40 hari kelahiran Syekh Yusuf, ibunya diceraikan oleh ayahnya yang
kemudian dipersunting oleh Raja Gowa. Syekh Yusuf diangkat oleh Sultan Alaudin
dan kemudian dibesarkan di Istana Sultan. Beliau dibesarkan dalam kehidupan dunia
islami, dan berhasil menghatamkan al-Qur’an di usianya yang masih diniBeliau
mengaji al-Qur'an kepada Daeng ri Tamassang. Setelah itu, ia berkelana ke pesantren
Bontoala untuk mengaji ilmu-ilmu bahasa, semisal Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan
mantiq. Pada waktu itu, Syekh Yusuf mengaji kepada ulama asal Yaman, Syed
Ba'alawi bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-allamah Tahir, pengasuh pesantren
Bontoala. Setelah menamatkan belajar di Bontoala, Syekh Yusuf melanjutkan
mengaji kepada Syekh Jalaluddin Aidit, ulama asal Aceh yang mengembara ke Bugis.
Di bawah asuhan Syekh Jalaluddin, di pesantren Cikoang, belajar selama beberapa
tahun. Syekh Jalaluddin kemudian mengutus Syekh Yusuf untuk belajar ke tanah
Hijaz, untuk mengaji lebih intens kepada ulama-ulama Haramain.
- Pada 22 September 1644, Syekh Yusuf berangkat menuju Hijaz, ketika singgah di
Banten, Syekh Yusuf berkenalan dengan Pangeran Surya, yang merupakan putra
Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), penguasa kerajaan Banten. Dalam
perjalanannya, Syekh Yusuf singgah di Aceh. Syekh Yusuf melakukan komunikasi
dengan ulama dan pemimpin thariqah al-Qadiriyah di Aceh, Syekh Muhammad Jilani
bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniry. hingga beliau menerima ijazah tarekat
Qadiriyah. Setelah mendapat ijazah tarekat tersebut, Syekh Yusuf meneruskan
perjalanannya kembali untuk menuntut ilmu di Timur Tengah.
- Di Yaman, Syekh Yusuf berguru kepada Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdul
Baqi (w. 1664), hingga pada akhirnya Syekh Yusuf menerima ijazah tarekat
Naqsyabandi. Syekh Yusuf meneruskan perjalanan ke Bandara al-Zubaid, berguru ke
Syed Ali al-Zubaidy (w. 1084), seorang muhaddits dan sufi. Dengan Syed Ali, Syekh
Yusuf mendapatkan ijazah thariqah dari silsilah keluarga al-Sadah al-Ba'alawiyah.
- Akhirnya setelah beberapa waktu, tepatnya pada tahun 1665M Syekh Yusuf kembali
ke Gowa dan menjadi seorang guru besar. Namun beliau merasa kecewa dengan
kondisi daerahnya itu yang sudah mengalami perubahan di mana syariat-syariat islam
mulai ditinggalkan hingga maksiat merajalela. Hingga pada akhirnya Syekh Yusuf
memutuskan pergi dari Gowa menuju Banten. Kondisi daerah Banten saat itupun juga
mengalami perubahan, sahabatnya yang dulu Pangeran Surya sudah menjadi seorang
Sultan yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Dan pada saat itu Syekh Yusuf sudah
didaulatkan sebagai ulama tasawuf dan tarekat. Syekh Yusuf menerima mandat untuk
mendidik anak-anak para Sultan dalam bidang agama islam, selain itu beliau juga
memiliki peran lain yaitu sebagai guru tarekat, mufti, dan penasihat kerajaan. Syekh
Yusuf juga menulis beberapa karya terkait ajaran tasawufnya di Banten.
- Ketika musim haji tiba, Syekh Yusuf mengajar santri-santri Nusantara, terutama yang
berasal dari kawasan Bugis. Di antara murid-muridnya, ialah Syaih Abu al-Fath
Abdul Basir al-Darir (Tuan Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul
Kadir Majeneng, merekalah yang kemudian meneruskan ajaran tarekat Khalwatiyyah
Syekh Yusuf di tanah Bugis.
- Dalam pandangan Syekh Yusuf, Allah tidak ada yang menyerupai, tidak ada yang
menandingi.
“Sesungguhnya, Allah Ta'ala disifati dengan ayat al-Qur'an al-Shura ayat II,
yang bermaksud: Tiada Tuhan apapun yang menyerupai-Nya”.
- Konsep tauhid Syekh Yusuf tidak lepas dari konsep tauhid ahl as-sunnah wal-jama'ah
yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang terkandung dalam al-
Qur'an. Syekh Yusuf menyebutnya sebagai um al-i'tiqad, induk dari keimanan.
Baginya, ayat tersebut menegaskan bahwa dasar Tauhid yang sebenarnya mesti
dipegangi dan diyakini. Bahwa, unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini orang
yang menjalani suluk (pendekatan), di antaranya:
- Dimensi tasawuf Syekh Yusuf bergerak dalam konsep keyakinan terhadap Allah,
mengelaborasi konsep tauhid sebagai pintu masuk untuk mengenal dzat yang Maha
Besar, Allah Maha Agung. Dalam risalah al-Futuhah al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf
merinci rukun tasawuf dalam sepuluh perkara. Bagi Syekh Yusuf rukun tasawuf ini,
menjadi penting bagi salik untuk berada dalam garis perjalanan mendekat menuju-
Nya. Sepuluh rukun tasawuf, yakni:
b. Kedua, faham al-Sima'i, bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan
bimbingan Syekh Mursyid dalam menjalani pendekatan diri, kepada Allah.
e. Kelima, tark al-ikhtiyar, bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i'timad
kepada ikhtiar sendiri.
f. Keenam, surat al-wujd, memahami secara jernih hati nurani yang seiring
kehendak al-Haq.
- Bagi Syekh Yusuf, manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) merupakan manusia
yang sampai ke makam ma'rifat. Bukan hanya manusia biasa yang berislam secara
dangkal. Syekh Yusuf memberi penekanan tentang hakikat ma'rifat dalam kekhususan
tingkatan manusia sebagai al-insan al-kamil. Manusia sempurna akan ingat Allah
dalam segala urusan, kapanpun dan di manapun berada.
- Syekh Yusuf selain dikenal sebagai seorang sufi, beliau juga merupakan seorang
pejuang. Hal ini dibuktikan pada saat tertangkapnya Sultan Ageng oleh Belanda yang
telah menghasut putera mahkota Pangeran Gusti untuk memberontak pada ayahnya
sendiri. Kala itu Syekh Yusuf memimpin 5000 pasukan untuk bergerilya melintasi
daerah Jawa Barat hingga ke Karang Dekat Tasikmalaya. Namun pada tanggal 14
Desember 1683 Belanda berhasil menangkap Syekh Yusuf di Sukapura dengan
memanfaatkan puterinya (Asma) yang sudah tertangkap terlebih dahulu oleh pihak
Belanda. Syekh Yusuf pun dimasukkan penjara yang lokasinya sering berpindah-
pindah dari Cirebon hingga ke Batavia. Setelah kurang lebih 6 bulan lamanya, Syekh
Yusuf dipindahkan bersama keluarga dan beberapa orang lainnya ke daerah Seylon
(Sri Lanka) untuk diasingkan. Setelah 9 tahun Syekh Yusuf berada di Sri Lanka,
karena kagigihan beliau dalam menyebarkan agama islam Belanda pun mulai
mencurigainya dengan tuduhan menghasut pemberontakan rakyat di Hindia. Hingga
pada akhirnya pada bulan Juli tahun 1693 Belanda memutuskan untuk mengasingkan
Syekh Yusuf dan beberapa pengikutnya ke tempat yang lebih jauh lagi yaitu di Cape
Town, Afrika Selatan. Mereka diberangkatkan menggunakan kapal De Voetboong
kemudian ditempatkan di Zandvliet (Madagaskar). Kedatangan Syekh Yusuf di
Afrika Selatan disambut baik oleh Gubernur Willem Adriaan.
- Kondisi penyebaran agama islam di Afrika kala itu tengah berkembang, Imam
Abdullah Ibnu Kudi Abdus Salam merupakan seorang pelopor penyebaran islam di
negara tersebut. Dalam waktu yang singkat Syekh Yusuf sudah banyak
mengumpulkan pengikut di wilayah itu. Dari hal tersebut akhirnya mereka
mendirikan komunitas muslim di Cape Town yang hingga pada saat ini orang yang
memeluk agama islam mencapai 600 ribu orang. Kemudian tepat 6 tahun Syekh
Yusuf berada di wilayah Cape Town, pada tanggal 23 Mei tahun 1699 tepat pada
usianya yang ke-72 Syekh Yusuf meninggal dunia.
- Presiden Afrika Selatan, pada 1994, menetapkan Syekh Yusuf sebagai pejuang
kemanusiaan. Sedangkan, pemerintah Indonesia menetapkan Syekh Yusuf sebagai
seorang pahlawan di tahun 1995. Jenazah Syekh Yusuf dibawa ke Gowa oleh
Belanda, hal ini dilakukan karena diminta langsung oleh Sultan Abdul Jalil. Pada
bulan April 1705, keranda jenazah Syekh Yusuf telah datang di Gowa dan akan
dikebumikan di Lakiung esok harinya. Menurut sejarawan Profesor Anhar Gonggong
di antara beberapa banyak makam Syekh Yusuf, makam asli Syekh Yusuf ada di
wilayah Lakiung Sulawesi Selatan.
- Syekh Abdus Samad al-Palembani lahir pada 1116 H atau bertepatan pada tahun 1704
M. Beliau merupakan putra dari Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin
Syeikh Ahmad Al-Mahdani dengan Radin Ranti. Ayah beliau adalah ulama yang
berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18.
Sementara ibu beliau adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul
Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di
Kedah.
- Syekh Abdus Samad al-Palembani wafat tahun 1203 H atau bertepatan pada tahun
1788 M dalam usia 85 tahun.
- Tentang nama lenggkap Syeikh Al-Palimbani, yang tercatat dalam sejarah ada tiga
versi nama. yang pertama, dalam Ensiklopedia Islam, dia bernama Abdus Samad Al-
Jawi Al-Palembani. Versi kedua, sebagaimana yang ditulis oleh Azyumardi Azra
dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, ia bernama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palembani. Dan
versi terakhir, dalam tulisan rector UIN Jakarta yang merujuk pada sumber-sumber
arab, nama lengkapnya Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurramah Al-Jawi.
- Syekh Abdus Samad al-Palembani memulai pendidikan dasar dari ayahnya sendiri,
Syekh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syekh Abdul Jalil mengantar semua anaknya
ke pondok di negeri Patani. Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui
dengan jelas hanyalah Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Sistem
pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-
ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat
Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang
tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut paham
Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari Imam Syekh Abul Hasan al-Asy’ari
dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi.
- Dia juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain
mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin
Al-Sumaterani. Orang tua al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab
yaitu Makkah, dan Madinah. Di negeri barunya ini, dia terlibat dalam masyarakat
Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara
lainnya seperti MuhammadArsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman
Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa
dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani,
Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri.
- Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar,
antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan
Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram
dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama
Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
- Adapun nama nama guru yang pernah mengajar Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani
ini diantara lain:
- Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Dia
dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan.
Dia selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran
tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa
banyak kesesatan di Aceh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syekh Al-
Palembani menulis intisari dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad
pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´
Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya
Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka
yang mempraktikkan aliran sufi.
- Syekh Abdus Samad al-Palembani berangkat dari Palembang menuju Mekah dengan
beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, dia bergiat dalam pengajaran dan
penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan keislaman, terutamanya
tentang tasawuf, fikah, usuluddin dan lain-lain.
- Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku tentang
jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi
Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah.
- Syekh Abdus Samad al-Palembani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah
satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan,
dia lebih tertarik membantu umat Islam di Patani dan Kedah melawan keganasan
Siam yang beragama Buddha. Sebelum perang itu terjadi, Syekh Wan Abdul Qadir
bin Syekh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada
Syekh Abdus Samad al-Palembani di Mekah. Surat itu membawa maksud agar
diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahwa umat Islam Melayu
Patani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan
(tanah air) mereka. Dalam peperangan itu, Syekh Abdus Samad al-
Palembani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya.
Ada catatan menarik mengatakan dia bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya
tetapi dia bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih,
bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.
1) Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati, dikaruniai dua keturunan, yaitu: Nyai
Khotimah dan Kiai Muhammad Hasan
2) Nyai Ummu Rahma. Dikaruniai seorang anak, yaitu Nyai Minnah
3) Nyai Raden Ayu Arbi’ah. Dikaruniai dua orang anak, yaitu: Kiai Ahmad
Baidhowi dan Kiai Muhammad Imron
4) Seorang wanita dari Telaga Biru, Bangkalan. Belum diketahui namanya
5) Nyai Su’lah
6) Nyai Kuttab
7) Nyai Raden Ayu Nur Jati
8) Nyai Mesi. Dikaruniai seorang anak yaitu Nyai Asma
9) Nyai Sailah