AL-QUR’AN
January 18, 2016 marbotillah 0 Comments
BAB I PENDAHULUAN
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian itulah yang akan
menentukan apakah ia bisa menjadi pendidik yang baik bagi anak didiknya atau justru ia
menjadi perusak atau bahkan penghancur anak didiknya. Anak didik merupakan generasi
penerus, terutama mereka yang masih duduk di sekolah dasar dan menengah, yang masih
atau sedang mengalami kegoncangan jiwa. Guru akan menjadi anutan (teladan, contoh yang
baik) yang akan ditiru oleh para siswanya. Bukan hanya hal-hal yang baik, bahkan hal-hal
yang buruk pun akan mereka tiru. Guru yang baik bukan hanya guru yang profesional tentu
akan memiliki kepribadian yang baik pula. Lalu apa yang disebut dengan keribadian guru?
Dalam makalah ini, akan dibahas apa makna kepribadian guru secara sederhana sehingga
siapapun bisa menilai apakah seorang guru itu berkepribadian baik atau buruk.
BAB II
PEMBAHASAN PENGERTIAN KEPRIBADIAN GURU
Dalam pengertian mu’allim, ia mengandung arti bahwa guru adalah orang berilmu yang tidak
hanya menguasai ilmu secara teotorik tetapi mempunyai komitmen yang tinggi dalam
mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan dalam konsep ta’dib, terkandung
pengertian integrasi antara ilmu dan amal sekaligus. Secara terminologis, guru sering
diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, afektif,
maupun psikomotor.
Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan pertolongan pada siswa
dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu
berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan khalifah alloh (khalifatulloh),
dan mampu sebagai makhluk individual yang mandiri. Pendidik yang pertama dan yang
paling utama adalah orangtua di rumah. Mereka bertanggungjawab penuh atas kemajuan
perkembangan anak-anak mereka, karena pada dasarnya kesuksesan anak adalah sukses
orangtua juga
.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Secara normatif guru adalah mereka yang bekerja di sekolah atau madrasah, mengajar,
membimbing, melatih para siswa agar mereka memiliki kemampuan dan keterampilan untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, juga dapat menjalani kehidupannya
dengan baik. Inilah makna guru dalam arti sempit. Secara umum dan dalam makna yang luas,
guru adalah orang yang mengajari orang lain atau kelompok orang, baik di lembaga
pendidikan formal, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun.
Dalam perspektif pendidikan kandungan surat Al-Rahman ini seharusnya menjiwai atau
menjadi sifat hamba Alloh yang melaksanakan tugas ketuhanan, yaitu mendidik manusia.
Dialah guru/pendidik atau sebutan teknis lainnya.
Dengan berpedoman pada ayat diatas, seorang guru harus memiliki sifat (rahman) kasih
sayang kepada anak didiknya. Dengan sifat ini guru akan menjauhkan diri dari berbagai
perilaku negatif yang merugikan diri dan anak didiknya. Sikap kasih sayang tersebut akan
menempatkan dirinya sebagai sosok yang mampu meneladani Alloh SWT dalam
melaksanakan tugas pendidikan.
Meneladani Alloh dengan mewujudkan kasih sayang dalam mendidik merupakan salah satu
aktualisasi hadits Nabi yang memerintahkan manusia untuk berakhlak dengan akhlak Alloh
SWT (Takhallaqu bi Akhlaq Alloh). Selain memberikan petunjuk untuk menerapkan kasih
sayang dalam tugas mendidik, ayat ini juga memberikan isyarat adanya kewajiban utama
seorang pendidik yaitu mendidik atau yang lebih operasional lagi, mengajar (‘allama yang
melahirkan konsep ta’lim). Disamping dengan meneladani Alloh dan Rosul-Nya, dunia
pendidikan misalnya di Indonesia mengharuskan dimilikinya sejumlah kompetensi oleh guru,
yang secara teologis rujukannya ditemukan dalam ajaran Islam dan secara yuridis formal
dibakukan dalam berbagai regulasi negara seperti dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan atau keputusan Menteri, dan sebagainya.
Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa, komponen ketiga ini terkait juga dengan
aspek-aspek keyakinan, nilai-nilai, idealitas, aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat
hidupnya. Dilihat dari jenisnya, self-concept ini terdiri atas:
The Basic Self-Concept, yaitu konsep seseorang tentang dirinya. Jenis ini meliputi persepsi
seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan
status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
The Transitory Self-Concept, yaitu bahwa seseorang memiliki self-concept yang pada suatu
saat dia memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. Self-concept ini mungkin
menyenangkan, tetapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat
dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang telah lalu.
The Social Self-Concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang
lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga
dikatakan sebagai “mirror image”. Jersild mengatakan, apabila seorang anak diterima,
dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya,
kemudian guru dan teman) maka anak dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan
menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (significat people) itu
menghina, meyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang
tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
The Ideal Self-Concept, yakni persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai
dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep ini terkait
dengan fisik mauun psikis. b. Traits (Sifat atau Karakteristik) Traits dapat diartikan sebagai
aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi
seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas.
Diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari
lingkungan.
Sama halnya dengan “self-concept”, “traits” pun dalam perkembangannya diengaruhi oleh
faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah pola asuh orang tua,
dan imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa traits dipelajari secara
“trial and error”, artinya anak lebih bersifat kebetulan, seperti perilaku agresif dalam
mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis sambil memecahkan vas bunga, gara-gara tidak
dibelikan mainan yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua
akhirnya membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi
perbuatan tersebut. Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat (karakteristik)
dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara
universal seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, dan sikap apresiatif.
“Maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa manusia, fujur (kefasikan/kedurjanaan) dan taqwa
(beriman dan beramal sholeh)”.
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memang bukan malaikat, yang selamanya
istiqomah dalam kebenaran. Manusia adalah makhluk yang netral, kepribadiannya itu bisa
berkembang seperti malaikat, bisa juga seperti setan. Aspek-Aspek Kepribadian Guru
Memiliki kompetensi kepribadian yang baik bagi guru memang sangat penting. Pribadi guru
memiliki andil besar dalam proses pendidikan, terutama dalam menggapai keberhasilan
pendidikan. Pribadi guru memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk pribadi siwa
karena guru adalah sosok figur sentral yang mempola siswa. Keberhasilan suatu
pembelajaran atau proses pendidikan juga sangat ditentukan oleh faktor guru. Maka guru
yang memiliki kepribadian baik akan banyak berpengaruh baik pula terhadap perkembangan
siswa, terutama mental dan spiritualnya. Dengan demikian, guru tidak hanya dituntut untuk
memaknai pembelajaran, tetapi juga diharuskan menjadikan suasana pembelajaran
tersebut sebagai media pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi
peserta didik. Oleh karena itu, seorang guru dikatakan guru profesional jika telah
melekat padanya kompetensi kepribadian yang mencakup pribadi yang disiplin,
pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, memiliki akhlak yang mulia
sehingga menjadi teladan siswa dan masyarakat sekitarnya. Sementara itu Abin
Syamsuddin mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup:
Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, memegang pendirian,
atau pendapat. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan. Sikap; sambutan terhadap
objek yang bersifat positif, negativ, atau ambivalen. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan
reaksi emosioanal terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung,
marah, sedih, atau putus asa. Responsibilitas (tanggung jawab); kesiapan untuk menerima
resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mannu menerima resiko secara
wajar, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang
berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Pasal ini menjadi penting menampilkan
pandangan Islam tentang kepribadian, karena teori kepribadian yang selama ini dianut
bermula dari teori kepribadian yang dirumuskan para pemikir Barat yang cenderung
mekanistik, lebih melihat sebagai hubungan sebab-akibat, tanpa mempertimbangkan
aspek internal seseorang. Bahkan aliran Psikoanalaisis (Freud) memandang bahwa
orang beragama dianggap sebagai sebagai orang yang mempunyi gangguan jiwa
(neurotik). Islam memandang manusia sebagai makhluk Alloh yang mempunyai kewajiban
atas tugas sebagai hamba-Nya yang harus mengabdi kepada Alloh dan bertugas sebagai
khalifah Alloh di muka bumi. Islam memandang bahwa setiap individu yang lahir ke muka
bumi membawa fitrah ‘potensi’ yang dapat dikembangkan dalam hidupnya. Potensi manusia
yaitu kecenderungan untuk berbuat baik (takwa) dan kecenderungan untuk berbuat buruk
(fujur). Dalam hal beragama, manusia mempunyai potensi untuk bertauhid kepada Alloh.
Dalam menghadapi hidup di dunia ini, manusia diberi kebebasan untuk memilih. Dalam
Islam kepribadian dikenal dengan syakhsiyyah. Kata tersebut berasal dari kata syakhsun
yang berarti pribadi. Selanjutnya diberi ya nisbat sehingga menjadi nomina (kata benda)
buatan, syakhsiyyat yang berarti kepribadian. Abdul Mujib menjelaskan bahwa
kepribadian adalah intergrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan
tingkah laku. Tipe kepribadian dalam Islam dapat dijelaskan bahwa pilihan manusia
untuk berbuat hak dan bathil akan melahirkan perilaku-perilaku tertentu, sesuai
karakteristik atau tuntutan yang hak atau bathil tersebut. Dalam Al-Qur’an, tipe
kepribadian manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: mukmin (orang yang
beriman), kafir (menolak kebenaran), dan munafik (meragukan kebenaran). Perubahan
Kepribadian Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian diantaranya
sebagai berikut: Faktor fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi), mengkonsumsi
obat-obat terlarang, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan). Faktor lingkungan sosial
budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang menyebabkan terjadinya
masalah pribadi (stres, depresi) dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan
kriminalitas). Faktor diri sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan),
dan identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang berkeripadian menyimpang.
Kepribadian adalah sifat dan tingkah laku khas yang membedakannya dengan orang
lain; integrasi karakteristik dari strukur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian,
kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain.
Janawi mengemukakan bahwa kepribadian merupakan kemampuan penyesuaian diri
(adaptasi) seseorang yang bersifat unik (khas). Secara terminologis, guru sering diartikan
sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan
perkembangan seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Selain memberikan petunjuk untuk menerapkan kasih sayang dalam tugas
mendidik, ayat ini juga memberikan isyarat adanya kewajiban utama seorang pendidik yaitu
mendidik atau yang lebih operasional lagi, mengajar (‘allama yang melahirkan konsep
ta’lim). Sebagai contoh, seorang guru yang memiliki sifat kepribadian seperti yang
disebutkan dalam QS. A-Rahman: 1-4 ini, apabila ia berhadapan dengan peserta didiknya,
tutur katanya akan menyejukkan, perilakunya akan menjadikan anak didik bersimpati dan
meneladaninya. Dia tidak akan keras dan kasar, tidak akan cepat marah apalagi melakukan
tindakan kekerasan fisik yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agung ketuhanan dan
nilai-nilai luhur pendidikan. Abin Syamsuddin mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang di dalamnya mencakup karakter, temperamen, sikap, stabilitas emosi,
responsibilitas (tanggung jawab), dan sosiabilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Undang, Anwar, Cecep, 2014. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Bandung. Janawi,
2011.Kompetensi Guru Citra Guru Profesional, Bandung: Alfabeta.
Rochman, Chaerul, Gunawan, Heri. 2011. Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru,
Bandung: Nuansa Cendikia Ruswandi, Uus, Badruddin, 2010. Pengembangan Kepribadian
Guru, Bandung: CV. Insan Mandiri. Yusuf, Syamsu, Nurihsan Juntika, 2011. Teori
Kepribadian, Bandung: Rosda Karya.