Anda di halaman 1dari 6

TUGAS FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Oleh:

Halimi Firdausi Al Mumtahanah

220230101004
Rekonseptualisasi Filsafat Matematika
1. Wilayah Filsafat Matematika
Ada tiga hal yang dianggap penting tentang filsafat dan pendidikan. Setiap masalah ini
digambarkan dalam bentuk sebuah dikotomi yang selalu berisi perbandingan pemikiran
sudut pandang filsafat absolutis dan fallibilis.
1. Pertama, ada perbedaan antara pengetahuan sebagai produk akhir yang sebagian besar
diwujudkan dalam bentuk dalil-dalil dengan kegiatan memahami atau kegiatan mencari
pengetahuan. Yang terakhir berhubungan dengan asal-usul pengetahuan dan dengan
keterlibatan manusia dalam penciptaannya
2. Kedua, ada perbedaan antara matematika sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri dan
bebas nilai dengan matematika sebagai sesuatu yang berhubungan dan menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari jaringan ilmu pengetahuan manusia.
3. Ketiga, perbedaan ini memisahkan pandangan matematika sebagai ilmu yang objektif
dan bebas nilai karena hanya terfokus pada logika internalnya sendiri, dengan
memandang matematika sebagai bagian yang menyatu dengan budaya manusia dan oleh
karena itu dipengaruhi oleh nilai-nilai manusia seperti halnya wilayah dan pengetahuan
lainnya.
Kriteria filsafat matematika yang ditawarkan
1. Pengetahuan matematika : hakikat, nilai kebenaran dan asal-usul
2. Obyek matematika : hakikat dan keaslian
3. Penerapan matematika : kefektifannya terhadap sain, teknologi dan wilayah lain
4. Praktek matematika : aktifitas ahli matematika baik di waktu sekarang atau di
waktu
lampau.
2. Pengujian Lebih Jauh Tentang Aliran-Aliran Filsafat
A. Aliran Absolutis
Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran logis, formalis dan
kontrukstivisme adalah pengikut aliran absolutis. Pada bab sebelumnya telah diberikan
contoh kegagalan pemikiran aliran ini dan telah membuktikan ketaktepatan aliran
absolutis untuk filsafat matematika.
B. Absolut Progesif
Meskipun berbagai macam absolutisme telah dikelompokan dan menjadi objek kritik
bersama, ada bentuk-bentuk absolutisme yang berbeda dalam matematika.
Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey (1981) memisahkan absolute formal
dengan absolute progresif dalam filsafat matematika.
Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut padang aliran absolutis)
matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran dari pada
hasilnya. Filsafat absolut progresif:
1. Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis (yang kebenarannya
hampir dianggap mutlak).
2. Mengakui bahwa keberadaan matematika formal karena intuisi matematika
diperlukan sebagai dasar dari penciptaan teori
3. Mengakui aktifitas manusia dan akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-
teori baru.
Intusionisme (dan konstruktifisme, lebih umumnya) sesuai dengan deskripsi ini.
Karena intusionisme adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi
(dasar) yang kuat untuk pengetahuan matematika melalui pembuktian-pembuktian
intusionistik dan urintuition (Kalmar, 1967).
Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara umum memenuhi kriteria
dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara keseluruhan tetap
memberikan penentangan karena aliran ini memberikan ruang, meskipun terbatas, untuk
para ahli matematika yang beraktivitas (Kriteria 4). Mereka memandang elemen
manusia, meskipun dalam bentuknya yang unik, memiliki tempat dalam matematika
informal. Harus diakui bahwa aliran ini memenuhi sebagian kriteria.
C. Platonisme
Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif
yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Pandangan ini berasal dari Plato dan dapat
dilihat dalam tulisan penganut aliran Logis seperti Frege dan Rusell, dan juga Cantor,
Bernays (1934), Hardy (1967) dan Godel (1964).Penganut aliran Platonis berpendapat
bahwa objek dan struktur matematika memiliki eksistensi nyata yang terpisah dari
kemanusiaan dan oleh karena itu matematika adalah proses untuk menemukan hubungan
yang ada dibaliknya. Menurut penganut aliran Platonis pengetahuan matematika terdiri
dari penjelasan objek-objek dan hubungan dengan struktur yang menghubungkan
mereka.
Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan terhadap persoalan objektifitas
matematika. Platonisme mencakup baik kebenarannya dan eksistensi objeknya
sebagaimana juga kemandirian matematika yang memiliki hukum dan logika
sendiri.Yang lebih menarik disini adalah adanya fakta bahwa filsafat yang tampaknya
tidak masuk akal ini berhasil menciptakan ahli matematika seperti Cantor dan Godel.
Disamping hal yang menarik seperti itu, platonisme memiliki dua kelemahan penting.
Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat terkait dengan
bagaimana ahli matematika memperoleh akses kedalam pengetahuan yang ada dalam
wilayah platonic. Kedua, aliran ini tidak mampu memberikan deskripsi yang tepat untuk
matematika baik secara internal atau eksternal. Karena aliran ini tidak dapat memenuhi
persyaratan diatas, platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
D. Konvensionalisme
Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan bahwa pengetahuan matematika
dan kebenaran didasarkan pada konvensi(kesepakatan) linguistik. Filasafat matematika
konvensionalis telah dikritik oleh penulis sebelumnya dengan dua alasan:
Pertama, dikatakan disini bahwa aliran ini tidak banyak memberikan informasi.
Terlepas dari penjelasan tentang sifat social matematika, konvensionalisme hanya
memberikan sedikit informasi.
Kedua, , penolakan dari Quine. Penolakan Quine tidak memiliki alasan kuat karena
penolakan itu tidak dapat dikenakan pada bahasa asli dan dikenakan pada peran pembatas
pada konvensi umum. Sebaliknya dia benar dengan mengatakan bahwa kita tidak akan
menemukan semua kebenaran matematika dan logika yang dikemukakan secara literal seperti
aturan dan konvensi linguistik. Meskipun Quine mengkritik konvensionalisme terkait dengan
logika, dia memandang aliran ini memiliki potensi menjadi filsafat matematika yang sedikit
berbeda.
E. Empirisme
Pandangan empiris tentang pengetahuan matematika menyebutkan bahwa kebenaran
matematika adalah generalisasi empirik (pengamatan).
Ada 2 tesis empiris :
1) konsep matematika memiliki asal usul empirik
Konsep ini tidak dapat disangkal dan telah diterima oleh sebagian besar filsuf
matematika (sehingga banyak konsep tidak terbentuk secara langsung dari
pengamatan tetapi terdefinisi karena adanya konsep lain yang menyebabkan
terbentuknya konsep dari pengamatan melalui serangkaian definisi).
2) kebenaran matematika memiliki dasar kebenaran empirik maka diambil dari dunia
nyata
Tesis yang kedua ditolak oleh semua pihak kecuali penganut aliran empiris karena
arahnya yang mengarah ke ketidakjelasan. Penolakan pertama beralasan bahwa
sebagian besar ilmu matematika diterima dengan dasar alasan teoritis dan bukan
empiris. Oleh karena itu saya tahu bahwa 999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui
pengamatan kebenarannya di dunia tetapi melalui pengetahuan teoritis saya tentang
angka dan penjumlahan.
Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik.
Pertama, ketika pengalaman kita berlawanan dengan kebenaran matematika dasar, kita
tidak akan menyangkalnya (Davis dan Hersh, 1980). Kita justru akan berasumsi bahwa
mungkin ada kesalahan dalam penalaran kita karena ada kesepakatan bersama tentang
matematika sehingga kita tidak dapat menolak kebenaran matematika (Wittgenstein, 1978).
Oleh karena itu, “1 + 1 = 3” sangat jelas salah, bukan karena jika seekor kelinci ditambahkan
ke kelinci lainnya tidak dapat berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi “1 + 1” artinya
“pengganti” dari “1” dan “2” adalah pengganti dari “1”.
Kedua, matematika sangat abstrak dan begitu banyak konsepnya tidak memiliki keaslian
dalam pengamatan di dunia nyata. Justru konsep tersebut didasarkan pada konsep yang sudah
terbentuk sebelumnya. Kebenarankebenaran tentang konsep seperti itu yang membentuk
bangunan matematika tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari observasi dunia
luar.
Ketiga, empirisme bisa dikritik karena terfokus secara eksklusif (khusus) pada masalah-
masalah pondasionis dan gagal menguraikan kecukupan tentang pengetahuan matematika.
Dengan dasar kritik ini kami menolak pandangan empirik sebagai filsafat matematika yang
tepat.
D. Empris Kuasi
Empirisme kuasi adalah nama yang diberikan kepada filsafat matematika yang
dikembangkan oleh Imre Lakatos (1976, 1978). Aliran ini memandang matematika sebagai
apa yang ahli matematika lakukan dan dengan semua kekurangan yang melekat pada aktifitas
atau ciptaan manusia. Empirisme kuasi menampilkan “arah baru dalam filsafat matematika”
(Tymoczko, 1986), karena penekanannya pada praktek matematika. Para pendukung dari
pandangan ini adalah Davis (1975), Hallett (1979), Hersh (1979), Tymoczko (1979) dan
setidaknya sebagian, Putnam (1975).
Lima tesis dari empirisme kuasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Pengetahuan matematika dapat keliru
2. Matematika Bersifat Hipotetis-deduktif
3. Sejarah adalah pusat
4. Penegasan Pentingnya Matematika Informal
5. Dimasukkannya Teori Penciptaan Pengetahuan
Ada pola sederhana untuk penemuan matematika atau pertumbuhan teori matematika
informal. Pola tersebut terdiri dari tahap-tahap berikut:
1. Dugaaan awal.
2. Pembuktian (eksperimen atau argument, perubahan dari dugaan awal menjadi sub-
dugaan atau lemma).
3. Kontra contoh “global” (kontra contoh untuk dugaan sederhana)
4. Bukti pengujian kembali: “lemma yang salah”
Empat tahap ini adalah inti dari analisa bukti. Tetapi ada beberapa tahap standar
berikutnya yang sering muncul:
5. Bukti pengujian teori lainnya
6. Pengecekkan hasil yang diterima saat itu dari dugaan aslinya dan yang sekarang
dibuktikan kesalahannya.
7. Kontra Contoh menjadi contoh baru.
Dapat dilihat disini bahwa inti filsafat matematika Lakatos adalah sebuah teori asal usul
pengetahuan matematika. yaitu teori praktek matematika dan teori sejarah matematika.
Lakatos tidak menawarkan teori psikologi penciptaan atau penemuan matematika karena dia
tidak menyentuh asal-usul aksioma, definisi dan dugaan dalam pikiran orang perorang.
Popper (1959) mengemukakan dalil sebuah “logika penemuan ilmiah” dimana dia
berpendapat bahwa sains berkembang melalui proses pembentukan dugaan dan pembukian
keliru. Perbedaannyaa dalah bahwa Popper focus pada rekonstruksi rasional atau idealisasi
teori dan menolak validitas filsafat dari penerapan model sainsnya ke sejarah. Lakatos,
sebaliknya menolak memisahkan perkembangan teori filsafat pengetahuan dari realitas
sejarahnya.
E. Kriteria Cukup dan Empirisme Kuasi
Empirisme kuasi menawarkan penjelasan sebagian tentang pengetahuan matematika
serta asal usul dan dasar kebenarannya. Lakatos menjelaskan pengetahuan matematika
sebagai hipotetisdeduktif dan empirik-kuasi dan memiliki kesamaan dengan filsafat sainsnya
Popper (1979). Dia menjelaskan kesalahan dalam pengetahuan matematika dan memberikan
teori tentang asal-usul pengetahuan matematika. Penjelasan ini mencakup praktek
matematika dan sejarahnya juga.
Karena teori Lakatos untuk asal usul matematika memiliki banyak kesamaan dengan
sains, keberhasilan penerapan matematika dapat disamakan dengan sains dan teknologi.
Memberikan penjelasan tentang matematika terapan akan menjadi kekuatan terutama untuk
menghadapi pengabaian yang ditunjukan oleh filsafat matematika lainnya (Korbner 1960).
Yang terakhir, kekuatan penting dari filsafat matematika Lakatos adalah bahwa filsafat ini
tidak preskriptif (menekankan penerapan metode atau aturan) tetapi deskriptif (memberikan
penjelasan) dan cenderung memberikan gambaran tentang matematika seperti apa adanya dan
bukan seperti apa yang harus dipraktekan dengan menggunakan matematika. Terkait dengan
kriteria sebelumnya, empirisme kuasi memenuhi kriteria pengetahuan matematika (i),
aplikasi (iii) dan praktek (iv).
Empirisme kuasi dapat dikritik berdasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, tidak ada penjelasan tentang kepastian kebenaran matematika.
Kedua, Lakatos tidak menguraikan hakikat dari objek-objek matematika atau asal-usul
objek-objek tersebut.
Ketiga,Lakatos tidak memberikan penjelasan tentang hakikat atau keberhasilan aplikasi
matematika atau keefektifannya dalam sains, teknologi dan di wilayah lain.
Keempat, Lakatos tidak begitu mengembangkan untuk membawa sejarah matematika
kedalam inti dari filsafat matematikanya.
Kelima, Lakatos tidak dapat memberikan dasar kebenaran untuk memasukan tesis sejarah
empiris kedalam pendekatan filsafat analitis dengan menggunakan pijakan yang sama dengan
metodologi logis.
Keenam, filsafat matematika empiris-kuasi Lakatos memberikan alasan yang diperlukan
tetapi tidak cukup banyak untuk mengembangkan pengetahuan matematis.
Ketujuh, tidak ada eksposisi sistematis dari empirisme kuasi yang dijelaskan secara detail
ntuk membantah penolakan terhadap dia. Publikasi Lakatos tentang filsafat matematika berisi
studi kasus historis dan tulisan polemik.

Anda mungkin juga menyukai