Anda di halaman 1dari 10

Filsafat Matematika

Filsafat matematika adalah cabang ilmu filsafat yang bertujuan untuk menjelaskan sifat
dan hakekat dari matematika. Misalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti :
Apa yang menjadi dasar pengetahuan matematika? Bagaimana sifat kebenaran matematika?
Apa karakteristik kebenaran matematika? Apakah pembenaran untuk pernyataan-pernyataan
yang ada? Mengapa kebenaran matematika adalah suatu kebenaran yang penting?
Sebelum menanyakan hakikat dari ilmu matematika, pertama-tama perlu kita mengetahui
hakikat ilmu pengetahuan pada umumnya, sehingga pada akhirnya matematika memilki
peran khusus di dalamnya. Dimana, pengetahuan adalah kepercayaan yang dibenarkan. Lebih
tepatnya, bahwa pengetahuan proposisional terdiri dari proposisi yang diterima (dipercaya),
asalkan ada dasar yang memadai untuk menegaskannya. (Sheffler,1965; Chisholm,1966;
Woozley,1949)
Pengetahuan diklasifikasikan berdasarkan pada pernyataan tersebut.
Pengetahuan apriori terdiri dari proposisi hanya berdasarkan alasan saja, tanpa pengamatan
dari dunia. Alasannya terdiri dari penggunaan logika deduktif dan makna istilah, biasanya
dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau pengetahuan posteriori terdiri dari
proposisi yang menjelaskan berdasarkan pengalaman, yaitu, dengan pengamatan dunia
(Woozley, 1949).
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori, karena terdiri dari
proposisi yang menjelaskan atas dasar alasan saja. Alasannya, termasuk logika deduktif dan
yang digunakan sebagai definisi, hubungannya dengan aksioma matematika atau postulat,
adalah sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika.
Misalnya dalam membuktikan pernyataan  “1 + 1 = 2” dalam Sistem Aksiomatik
Aritmatika Peano. Untuk bukti ini kita membutuhkan definisi dan aksioma s0 = 1, s1 = 2, x +
0 = x, x + sy = s (x + y) dari Aritmatika Peano, dan aturan inferensi logis dari P (r), r= t ⇒ P
(t); P (v) ⇒ P (c) (di mana r, t, v, c, dan P (t) kisaran lebih dari istilah; variabel, konstanta,
dan dalil dalam istilah t, masing-masing, dan '⇒’ menandakan implikasi logis). Berikut ini
adalah bukti 1 + 1 = 2: x + sy = s (x + y), 1 + sy = s (1 + y), 1 + s0 = s(1+0), x+0 = x, 1 +0 =
1, 1 + s0 = s1, s0 = 1, 1 +1 = s1, s1 = 2, 1 +1 = 2.
Penjelasan tentang bukti ini adalah sebagai berikut. s0 = 1 [D1] dan s1 = 2 [D2] adalah
definisi dari konstanta 1, dan 2 masing-masing, dalam Aritmatika Peano, x +0 = x [A1] dan x
+ sy = s (x + y) [A2] adalah aksioma Aritmatika Peano. P (r), r = t ⇒ P (t) [R1] dan P (v) ⇒ P
(c) [R2]. Simbol-simbol diatas adalah aturan-aturan logika penarikan kesimpulan. Kebenaran
dari pembuktian tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.
Langkah Pernyataan Pembenaran dari pernyataan
L1 x + sy = s ( x + y ) A2
L2 1 +  sy = s ( 1 + y) R2 diterapkan pada S1, menggunakan v = x, c = 1
L3 1 + s0  = s ( 1 + 0) R2 diterapkan pada S2, menggunakan v = y, c = 0
L4 x + 0  = s A1
L5 1 + 0   = 1 R2 diterapkan pada S4, menggunakan v = x, c = 1
L6 1 + s0  = 1 R1 diterapkan S3 dan S5, menggunakan r = 1 + 0, t =1
L7 s0 = 1 D1
L8 1 + 1 = s1 R1 diterapkan S6 dan S7, menggunakan r = s0, t = 1
L9 s1 = 2 D2
L10 1+1=2 R1 diterapkan S8 dan S9, menggunakan r = s1, t = 2

Bukti dari pernyataan “1 + 1 = 2” ini memperlihatkan kebenaran pengetahuan


matematika sesuai analisis sebelumnya, dengan bukti deduktif menetapkan jaminan logis
untuk menegaskan pernyataan tersebut.
Pengetahuan matematika pada dasarnya telah diterima seperti dalam Euclid di atas,
pengetahuan matematika dibentuk oleh deduksi logis dari teorema dari aksioma dan dalil-
dalil (yang termasuk aksioma). Logika yang mendasari tidak ditentukan (selain pernyataan
dari beberapa aksioma tentang hubungan kesetaraan). Aksioma yang tidak dianggap sebagai
asumsi sementara untuk diadopsi, yang digunakan hanya untuk membangun teori
berdasarkan pertimbangan. Aksioma yang menjadi dasar kebenaran tidak diperlukan adanya
pembenaran (Blanche, 1966). Karena itu, bukti logis mempertahankan kebenaran yang
diasumsikan aksioma adalah kebenaran yang jelas, maka setiap teorema yang berasal darinya
juga harus kebenaran (alasan ini secara implisit, tidak eksplisit dalam Euclid). Namun, klaim
ini tidak lagi diterima karena aksioma Euclid dan postulat tidak dianggap sebagai dasar dan
tak terbantahkan kebenaran, tidak satu pun yang dapat menegasikan atau menolak tanpa
menyebabkan kontradiksi. Bahkan, penolakan beberapa dari mereka, terutama Postulat
Paralel, hanya mengarah ke tubuh lain pengetahuan geometrik (geometri non-euclidean).
Pengetahuan matematika modern mencakup banyak cabang yang bergantung pada asumsi
aksioma-aksioma yang tidak dapat diklaim sebagai dasar kebenaran universal, misalnya,
aksioma teori group atau teori himpunan (Maddy, 1984).

B.     Pandangan Absolutis Pengetahuan Matematika


Pandangan absolutis dalam pengetahuan matematika adalah bahwa hal itu terdiri dari
kebenaran tertentu dan unchallengeable (tidak dapat ditantang). Menurut pandangan ini,
pengetahuan matematika adalah kebenaran mutlak.
Banyak filsuf yang memiliki pandangan absolut dari pengetahuan matematika. Misalnya
seperti Hempel yang menyatakan validitas matematika berasal dari ketentuan yang
menentukan makna dari konsep-konsep matematika, dan proposisi matematika pada dasarnya
adalah benar dengan definisi (FeigI dan Sellars, 1949, halaman 225).
Pendukung lain tentang kepastian matematika adalah Jayer, yang menyatakan
“Kebenaran logika dan matematika adalah proposisi analitik atau tautologies
(pernyataan/berlebih-lebihan)”. Kepastian suatu pernyataan apriori tergantung pada
kenyataan bahwa pernyataan tersebut termasuk tautologi. Sebuah proposisi adalah tautologi
jika analitik. Proposisi adalah analitik jika kebenarannya mengutamakan makna
kekonsistenan, dan dengan demikian tidak dapat dikonfirmasi atau ditolak baik oleh fakta
pengalaman (Ayer, 1946, halaman 72, 77 dan 16).
Pandangan absolutis terhadap pengetahuan matematika didasarkan pada dua jenis asumsi
yaitu para pakar matematika mengenai asumsi aksioma dan definisi, dan para pakar logika
tentang asumsi aksioma, aturan inferensi, bahasa formal dan sintaksnya. Namun semua ini
adalah suatu pendapat yang masih lokal atau masih termasuk mikro-asumsi, sehingga
membutuhkan makro asumsi untuk mendirikan semua kebenaran matematis.
Pandangan absolutis pengetahuan matematika mengalami masalah pada awal abad kedua
puluh ketika sejumlah antinomies (pernyataan kontroversi) dan kontradiksi (pertentangan)
diturunkan dalam matematika (Kline,1980; Kneebone,1963; Wilder,1965). Dalam
serangkaian publikasi Gottiob Frege (1879, 1893) yang didirikan sangat ketat dalam
perumusan logika matematika yang dikenal waktu itu sebagai dasar untuk pengetahuan
matematika.
Dalam publikasinya Frege menetapkan suatu Set  harus dibentuk melalui perluasan konsep
apapun, konsep/properti itu harus diterapkan pada suatu set. Dimana konsep/properti
(unsur/elemen itu sendiri). Frege memungkinkan perluasan properti ini dianggap sebagai
suatu set. Tapi kemudian set ini merupakan elemen dari dirinya sendiri, jika dan hanya jika
itu tidak kontradiksi. (Furth, 1964)

Namun, Russell (1902) mampu menunjukkan bahwa sistem Frege itu tidak konsisten
karena dapat menghasilkan paradoks yang sangat terkenal yang menyatakan
“Konsep/properti itu bukan dari unsurnya sendiri)”
Kontradiksi lainnya juga muncul dalam teori himpunan dan teori fungsi. Temuan
semacam itu tentu saja berimplikasi buruk terhadap pandangan absolut dari pengetahuan
matematika. Karena jika matematika itu pasti, dan semua teorema menghasilkan yang pasti,
bagaimana bisa kontradiksi (yaitu kepalsuan) harus ada diantara teoremanya?. Karena tidak
ada kesalahan tentang munculnya kontradiksi-kontradiksi ini, maka sesuatu harus salah
dalam dasar-dasar matematika. Hasil dari krisis ini adalah pengembangan dari sejumlah
sekolah dalam filsafat matematika yang bertujuan untuk menjelaskan sifat dari pengetahuan
matematika dan untuk mendirikan kembali kepastiannya. Ada tiga kelompok (aliran) filsafat
matematika pada waktu itu yaitu logicisme, formalisme dan konstruktivisme
(menggabungkan intuisionisme).
1.      Logicisme
Logicsme adalah sekolah pemikiran yang menganggap matematika murni sebagai
bagian dari logika. Pendukung utama  dari pandangan ini adalah G.Leibniz, G.frege (1893),  
B.Russel (1919), A.N Whitehead dan R. Carnap (1931). Di tangan Bertrand Russel
klaim logika menerima formulasi yang paling jelas dan eksplisit. Ada dua klaim aliran
logicism yaitu :
a.       Semua konsep matematika pada akhirnya dapat direduksi menjadi konsep logis, asalkan
untuk memasukkan konsep set atau sistem kekuasaan yang mirip seperti Teori Russel.
b.      Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan inferensi logika.
Jika semua matematika dapat dinyatakan dalam istilah murni logis dan terbukti dari
prinsip-prinsip logis saja,  kepastian pengetahuan matematika dapat tereduksi menjadi logika
tersebut. Maka logika dianggap memberikan landasan tertentu untuk kebenaran matematika.
Selain terlalu ambisius, upaya untuk memperpanjang logika seperti hukum Frege
melalui program logistis akan memberikan dasar logis untuk pengetahuan
matematika, mendirikan kembali kepastian yang mutlak dalam matematika.
Whitehead dan Russel (1910-1913) mampu membangun klaim pertama melalui rantai
definisi. Namun aliran ini kandas pada klaim kedua. Kenyataanya matematika membutuhkan
aksioma non-logis seperti aksioma tak terhingga (seperti himpunan semua bilangan asli
adalah tidak terbatas) dan aksioma pilihan (produk Cartesian dari himpunan tidak kosong).
Tapi meskipun semua pernyataan logis dapat dinyatakan dalam bentuk konstanta logis
bersama-sama dengan variabel dan sebaliknya, semua pernyataan dapat menyatakan cara ini
adalah logis. Aksioma ketidakterbatasan sebagai contoh dari proposisi yang meskipun dapat
diucapkan dalam hal logis tetapi tidak dapat menegaskan dengan logis untuk menjadi
kenyataan (Russel, 1919, halaman 202-3).
Teorema Matematika tergantung pada sebuah kesatuan asumsi matematika yang
tereduksi.  Memang, sejumlah aksioma teorema matematika tergantung pada kumpulan
asumsi dan negasi tanpa inkonsistensi (Cohen, 1966), sehingga klaim
kedua yang logistis disangkal.

2.      Formalisme
Aliran formalisme dalam matematika dicetuskan David Hilbert (1862-1943), pada
tahun 1925, diteruskan oleh J. Von Neumann tahun 1931 dan H. Curry tahun 1951. Aliran ini
sering disebut aliran postulatsional atau aliran aksiomatik dan dalam pendidikan matematika
melahirkan jenis matematika yang disebut matematika modern (New Math) seperti yang
sekarang diberikan di sekolah-sekolah.
Formalisme dibentuk dengan tujuan khusus menyingkirkan semua kontradiksi dalam
matematika, antara lain mengatasi paradok dalam teori himpunan (Paradok Russel/Paradok
Tukang Cukur) dan untuk menyelesaikan tantangan matematika klasik yang disebabkan oleh
kritik kaum Intuisionis.
Dengan kata lain aliran formalisme bertujuan untuk menterjemahkan seluruh
matematika ke dalam sistem formal yang tidak dapat diinterpretasikan (kosong dari arti).
Aliran formalisme menganjurkan pendekatan murni abstrak, berangkat dari prinsip awal, dan
mendeduksi segalanya dari prinsip awal tersebut. Karya-karya yang dihasilkannnya sama
sekali tidak mempunyai (dan memang tidak perlu mempunyai) hubungan dengan ilmu
pengetahuan dan dunia nyata, sesuatu yang sangat membanggakan aliran ini.
Menurut aliran formalisme, matematika sekedar rekayasa simbol berdasarkan aturan
tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan tautologis, yang memiliki konsistensi
internal, tetapi kosong dari makna. Matematika direduksi hanya menjadi sebuah permainan
intelektual, seperti catur. Dalam bahasa populer, formalisme memandang matematika sebagai
permainan formal penuh makna yang dimainkan dengan lambang-lambang di atas kertas
menggunakan aturan tertentu.
Ada dua tesis dalam aliran formalis, yaitu;
(1)   Matematika murni dapat ditafsirkan sebagai sistem formal, dimana kemudian kebenaran
matematika diwakili oleh dalil formal.
(2)   keamanan sistem formal dapat ditunjukkan dalam hal kebebasan dari inkonsistensi
(ketidakserasian) melalui meta-matematika.
Secara ringkas, tesis kaum Formalis adalah membangun matematika yang berpusat
pada penggunaan sistem lambang formal. Programnya adalah membangun konsistensi
seluruh matematika dengan menggunakan teori bukti. Tesisnya bahwa matematika harus
dikonstruksi kembali atas dasar kaidah konsistensi dengan lambang-lambang formal,
menemukan hasilnya dalam karya Hilbert, Grundlagen der Mathematik.
Kaum formalis memandang matematika sebagai koleksi perkembangan abstrak,
dimana term-term matematika semata-mata hanyalah lambang-lambang dan pernyataan
adalah rumus-rumus yang melibatkan lambang-lambang tersebut.
Dasar untuk aritmatika tidak terletak pada logika tetapi pada koleksi tanda-tanda
pralogis atau lambang-lambang dalam seperangkat operasi dengan tanda-tanda ini.
Oleh karena itu, menurut aliran Formalisme, matematika kosong dari muatan konkrit
dan hanya memuat elemen-elemen lambang ideal, sehingga membangun kekonsistenan dari
berbagai cabang matematika menjadi sangat penting. Tanpa disertai bukti kekonsistenan,
seluruh penyelidikan matematika tidak berarti sama sekali.
Teorema ketidak lengkapan Kurt Godel (Godel, 1931) menunjukkan bahwa program
tidak dapat terpenuhi. Teorema yang pertama menunjukkan bahwa bahkan tidak semua
kebenaran aritmatika dapat diturunkan dari Aksioma Peano (atau yang lebih besar aksioma
rekursif). Hasil ini bukti-teori telah dilakukan sejak dicontohkan dalam matematika oleh Paris
dan Harrington, yang versi Teorema Ramsey benar, tetapi tidak dapat dibuktikan di Peano
aritmatika (Barwise, 1977). Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan bahwa dalam
kasus-kasus yang diinginkan memerlukan bukti konsistensi meta-matematika lebih kuat
daripada sistem yang akan dilindungi, yang dengan demikian tidak ada perlindungan sama
sekali.
Misalnya, untuk membuktikan konsistensi Peano Aritmatika mengharuskan semua
aksioma dari sistem dan asumsi lebih lanjut, seperti prinsip induksi transfuuite atas ordinals
dpt dihitung (Gentzen, 1936).
Program formalis itu sudah berhasil memberikan dukungan untuk pandangan absolutis
kebenaran matematika. Sebagai bukti formal, yang berbasis di sistem matematika formal
yang konsisten, akan memberikan batu ujian untuk kebenaran matematika. Namun, dapat
dilihat baik bahwa klaim formalisme telah membantah. Tidak semua kebenaran matematika
dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal, dan lebih jauh lagi, sistem itu
sendiri tidak dapat dijamin aman.

3.      Kontruktivisme
Para konstruktivis berdiri dalam filsafat matematika dapat ditelusuri kembali
setidaknya oleh Kant dan Kronecker (Korner, 1960). Salah satu program para konstruktivis
adalah merekonstruksi pengetahuan matematika dalam rangka untuk menjaga dari kehilangan
makna dan kontradiksi. Untuk tujuan ini, konstruktivis menolak argumen non-konstruktif
seperti bukti Cantor bahwa bilangan real tak terhitung, dan sifat logika dari Law of the
Excluded Middle.
Para konstruktivis terpopuler adalah intuitionists LEJ Brouwer (1913) dan Heyting A.
(1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop (1967) telah melakukan konstruktivis
dengan merekonstruksi sebagian besar Analisis. Berbagai bentuk konstruktivisme masih
berkembang saat ini, seperti dalam karya filosofis intuisionis M. Dummett (1973, 1977).
Konstruktivisme meliputi berbagai seluruh pandangan yang berbeda, mulai dari ultra-
intuitionists (A. Yessenin-Volpin).
Ahli matematika ini beranggapan bahwa pandangan matematika klasik mungkin tidak
aman, untuk itu perlu dibangun kembali dengan mengkonstruktif metode dan penalaran.
Konstruktivis menyatakan bahwa kebenaran matematika dan keberadaan objek matematika
harus dibentuk dengan metode konstruktif. Ini berarti bahwa tujuan konstruksi matematika
adalah untuk mendirikan kebenaran atau keberadaan objek matematika, sebagai lawan untuk
metode yang bergantung pada pembuktian dengan kontradiksi.
Bagi konstruktivis pengetahuan harus ditetapkan melalui pembuktian konstruktif,
berdasarkan logika konstruktivis terbatas, dan makna dari istilah matematika / objek terdiri
dari prosedur formal dengan mana mereka dibangun.
Meskipun beberapa konstruktivis berpendapat bahwa matematika adalah studi tentang
proses konstruktif yang dilakukan dengan pensil dan kertas, pandangan yang lebih ketat dari
intuitionists, dipimpin oleh Brouwer, adalah matematika terjadi terutama dalam pikiran, dan
matematika tertulis adalah sekunder. Satu konsekuensi dari hal ini, Brouwer menganggap
semua axiomatizations dari logika intuitionistic adalah tidak lengkap. Refleksi selalu dapat
menemukan secara intuitif lebih lanjut tentang kebenaran aksioma dalam intuitionistic logika,
sehingga tidak pernah dapat dianggap sebagai berada dalam bentuk akhir.
Dua klaim dari intuisionisme yaitu tesis positif dan tesis negatif.
(1)      Tesis positif adalah efek bahwa cara intuitionistic dari mengkonstruksi gagasan matematis
dan operasi logis adalah satu koheren dan sah bahwa matematika intuitionistic membentuk
tubuh dipahami dari teori.

(2)      Tesis negatif adalah efek bahwa cara klasik construing gagasan matematis dan operasi logis
yang koheren dan tidak sah, bahwa matematika klasik, sementara yang mengandung, dalam
bentuk terdistorsi (memutar balikan fakta), banyak nilai.

Di daerah-daerah terbatas di mana terdapat baik klasik dan konstruktivis bukti


hasilnya, yang terakhir sering lebih baik sebagai lebih informatif. Sedangkan bukti
keberadaan klasik hanya mungkin menunjukkan perlunya logis dari keberadaan, bukti
keberadaan konstruktif menunjukkan bagaimana untuk membangun objek matematika yang
eksistensinya ditegaskan. Hal ini meminjamkan kekuatan pada tesis positif, buih titik
pandang matematika. tentunya, tesis negatif jauh lebih bermasalah, karena tidak hanya gagal
ke account untuk tubuh besar matematika klasik non-konstruktif, tetapi juga menyangkal
validitasnya.
Para konstruktivis tidak menunjukkan bahwa ada masalah tak terelakkan menghadapi
matematika klasik atau bahwa hal itu tidak koheren dan tidak valid. Memang klasik
matematika baik murni dan diterapkan telah semakin kuat sejak program konstruktivis
diajukan. Oleh karena itu, tesisnegatif dari intuisionisme ditolak.
Masalah lain untuk tampilan konstruktivis, adalah bahwa beberapa hasil yang tidak
konsisten dengan matematika klasik. Jadi, misalnya, kontinum bilangan real, sebagaimana
didefinisikan oleh intuitionists, adalah dpt dihitung. Hal ini bertentangan dengan hasil klasik
bukan karena ada kontradiksi yang melekat, tapi karena definisi bilangan real berbeda.
Konstruktivisme gagasan sering memiliki makna yang berbeda dari konsep-konsep klasik
terkait.
Dari perspektif epistemologis, baik tesis positif dan negatif dari intuisionisme adalah
cacat. Klaim para intuisi untuk memberikan landasan tertentu dalam versi mereka kebenaran
matematis dengan menurunkan itu (mental) dari intuitif aksioma tertentu, menggunakan
metode yang aman secara intuitif. Pandangan ini pengetahuan dasar matematika secara
eksklusif pada keyakinan subjektif. Tapi kebenaran mutlak (yang intuitionists klaim untuk
menyediakan) tidak dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga tidak ada jaminan
bahwa intuisi intuitionists berbeda 'kebenaran dasar ini akan bertepatan.
Jadi tesis positif dari intuisionisme tidak memberikan dasar tertentu bahkan untuk
bagian dari pengetahuan matematika. Kritik secara luas menjadi bentuk lain dari aliran
konstruktif yang juga mengklaim kebenaran dasar matematika konstruktif atas dasar
kejelasan asumsi sebagai landasan konstruktivis.
Tesis negatif dari aliran intuisi, (dan aliran kontruktif ketika memeluk), menyebabkan
penolakan dasar pengetahuan matematika diterima, dengan alasan bahwa hal itu tidak dapat
dimengerti. Tapi matematika klasik dapat dipahami. Ini berbeda dari matematika konstruktif
yang sebagian besar menggunakan asumsi sebagai dasarnya. Jadi konstruktivisme punya
kesalahan yang analog dengan jenis kesalahan tipe I dalam statistik, yaitu penolakan terhadap
pengetahuan yang valid.

C.    Kekeliruan pada Absolutisme.


Kita telah melihat bahwa sejumlah filosofi matematika absolutisme telah gagal untuk
membangun arti pentingnya pengetahuan matematika. Masing-masing dari ketiga faham
pikiran logisme, formalisme, dan intuisiisme (bentuk konstruktivisme) mencoba untuk
memberikan suatu  fondasi yang kuat untuk kebenaran matematika, dengan mengambilnya
dengan bukti matematika dari suatu realita kebenaran walaupun terbatas. Untuk tiap-tiap
kasus ada dasar yang akan menjadi kebenaran absolut. Bagi para ahli logika, formalisme dan
intuisme, hal ini terdiri dari aksioma logis, prinsip-prinsip meta-matematika dan aksioma
primordial intuisi, secara berurutan. Masing-masing dari aksioma-aksioma atau prinsip-
prinsip ini diasumsikan tanpa demonstrasi atau dibuktikan. Oleh karena itu masing-masing
tetap terbuka untuk bagi tantangan, dan dengan demikian dapat diragukan. Akibatnya
masing-masing paham memakai logika deduktif untuk menyatakan kebenaran dari teorema
matematika dari dasar asumsi mereka. Konsekwensinya ketiga paham pikiran ini gagal untuk
membangun kepastian yang absolut dari kebenaran matematika. Karena logika deduktif
hanya meneruskan kebenaran dan kesimpulan dari suatu bukti logis serpasti dari pemis paling
lemah.
Tiga usaha dari paham pikiran ini juga gagal untuk menyediakan suatu fondasi untuk
rangakaian penuh dari apa yang nantinya dinamakan kebenaran matematika . Bukti tidak
cukup untuk mengungkap seluruh kebenaran. Dengan demikian ada kebenaran pengetahuan
matematika yang tidak tertangkap dari paham-paham pikiran ini.
Fakta bahwa ketiga paham pikiran tersebut telah gagal membangun kepastian dari
pengetahuan matematika tidak mnenyudahi isu secara umum. Masih mungkin ada alasan-
alasan lain untuk menentukan kepastian dari kebenaran matematika. Kebenaran absolut
dalam matematika masih tetap menjadi suatu kemungkinan. Namun kemungkinan ini ditolak
oleh argumen umum untuk menolak memberikan status kepastian kepada kebenaran
matematika. Ini semua menyerupai argumen umum yang digunakan diatas untuk mengkritik
ketiga paham fikiran tersebut, karena mereka semua tergantung pada sistem deduktif.
Lakatos (1962)  menunjukkan bahwa  pencarian kepastian dalam matematika
membawa kepada suatu lingkaran yang tak berujung pangkal. Sistem matematika apapun
tergantung pada seperangkat asumsi, dan mencoba untuk membangun kepastian dengan
membuktikan, membawa kepada suatu regresi infinitif. Tidak ada cara laian untuk
menghilangkan asumsi-asumsi tersebut. Tanpa bukti, asumsi-asumsi tetap merupakan
kepercayaan yang  dapat salah, dan bukanlah pengetahuan yang pasti. Apa yang dapat
dilakukan adalah untuk meminimalisir untuk mendapatakan seperangkat aksioma ayang
dikurangi/diturunkan, yang kita harus terima tanpa bukti-bukti, dengan demikian merusak
lingkaran setan yang harus dibayar dengan kepastian yang hilang atau kita dapat gantikan.
Penggantian membawa kita pada lingkaran setan yang lebih jauh. Seperangkat aksioma hanya
dapat dilepaskan dengan menggantinya dengan asumsi paling tidak dengan kekuatan yang
sama. Dengan demikian kita tidak dapat membangun kepastian matematika tanpa membuat
asumsi-asumsi dengan cara demikian, gagal untuk menjadi kepastian absolut.
Harus dipahami bahwa argumen ini ditujukan secara keseluruhan kepada pengetahuan
matematika, dan tidak ditujukan pada sistem atau bahasa formal yang bersifat tunggal.
Banyak cara untuk memberikan suatu fondasi bagi matematika dalam suatu bahasa seperti itu
berhasil untuk mengurangi asumsi-asumsi dalam bahasa atau sistem formal. Apa yang telah
dilakukan dalam kasus tersebut  adalah untuk menekan beberapa atau semua asumsi dasar ke
dalam meta-bahasa, seperti strategi eksplisit formalisme. Kapanpun hal itu terjadi, dan dan
dimanapun, ada sebuah kernel dari asumsi yang memperkenalkan kebenaran kedalam sistem,
dan yang deduksi mentransfer kepada seluruh teorema dari sistem (dengan syarat sistemnya
ama, yaitu konsisten).
Kebenaran matematika tergantung pada suatu seperangkat asumsi yang iadopsi tanpa
demonstrasi. Tetapi sebagai kualitas pengetahuam murni, asumsi tersebut memerlukan
pembenaran untuk  pernyataan-pernyataan mereka. Tidak ada pembenaran yang valid bagi
pengetahuan matematika dari pada demonstrasi atau bukti-bukti. Oleh karena itu asumsi itu
berupa keepercayaan,bukan pengetahuan, dan tetap terbuka untuk ditantang, dan maka
diragukan.
Hal ini merupakan argumen pusat dalam melawan kemungkinan dari pengetahuan
yang pasti dalam matematika. Hal ini juga secara langsung menimbulkan kontradiksi klaim-
klaim absolut dari pemikiran fondamental. Dibawah paham pemikiran, dianggap menjadi
suatu reputasi absolutisme yang tak terjawab oleh sejumlah penulis.
Pandangan pokok kebenaran absolut harus di buang. Fakta-fakta tentang cabang apapun dari
matematika murni harus diingat sebagai asumsi-asumsi (dalil-dalil atau aksioma-aksioma,
atau definisi atau teorema-teorema. Yang paling banyak dapat diklaim adalah bahwa jika
dalil-dalil adalah benar dan definisi diterima, dan jika metode-metode penalaran adalah
berbunyi, kemudian teorema adalah benar. Dengan kata lain kita sampai pada konsep tentang
kebenaran relatif (kebenaran teorema dalam hubungannya dengan dalil-dalil, definisi-definisi,
dan penalaran logika) untuk menggantikan inti pandangan kebenaran absolut.
                                                                        (Stabler. 1955, halaman 24)
Apa yang kita sebut matematika murni adalah suatu sistem deduktif-hypothetico. Aksioma-
aksiomanya berperan sebagai hipotesis atau asumsi-asumsi, yang dianggap sebagai proposisi
yang mereka berikan.
                                                                        (Cohen dan Nagel, 1955, halaman 24)
Kita hanya dapat mendiskripsikan aritmetika, menemukan rumus-rumusnya, tidak
memberikan basis bagi mereka. Basis seperti itu tidak akan memuaskan kita, karena alasan
bahwa aritmetika harus sewaktu-waktu berakhir dan kemudian mengacu kepada sesuatu yang
tidak lagi dapat dibentuk. Hanya konvensi saja yang terkhir. Apapun nampaknya seperti suatu
pondasi dipalsukan dan pasti tidak memuaskan kita.
                                                                                    (Waismann,1951, halaman 122)
Pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi atau teori-teori mungkin diformulasikan
dalam pernyataan yang tegas yang mungkin benar dan kebenaran mereka berkuran, dengan
cara  derivasi/mencari asal mula dari proposisi primitif. Usaha  untuk membangun (dari pada
mengurangi) dengan alat-alat ini terhadap kebenaran mereka membawa kepada suatu regres
infinitif.
                                                            (Popper, 1979, disarikan dari tabel halaman 124)
Kritik diatas bersifat tegas bagi pandangan matematika. Namun demikian, mungkin juga
untuk menerima kritik tanpa mengadopsi filosofi matematika fallibilist. Karena
dimungkinkan untuk menerima hipotetiko deduktif yang menolak pembenaran dan
kemungkinan kesalahan mendalam dalam matematika., walaupun dari dasar yang
diasumsikan dalam matematika. Bentuk yang diperlemah ini dari posisi absolut menyerupai
dengan “jika-maka” oleh Russel dalam strateginya dalam mengadopsi aksioma-aksioma
tanpa bukti. Namun demikian posisi absolutis yang diperlemah berdasarkan pada asumsi-
asumsi yang tetap dibiarkan terbuka untuk fallibilist.

D.    Kesimpulan
Absolutisme adalah suatu pandangan tentang kebenaran matematika yang meyskini bahwa
matematika adalah suatu kebenaran yang mutlak. Namun dari pandangan ini, muncul
beberapa kontradiksi dari para tokoh filsafat matematika tentang kepastian dari kebenaran
matematika. Dengan munculnya kontradiksi-kontradiksi ini dibentuklah sekolah-sekolah atau
kelompok-kelompok aliran filsafat matematika yang bertujuan untuk membangun kembali
kepastian dari ilmu matematika dainataranya adalah aliran logisisme, formalisme dan
kontuktivisme (intuisionisme).
Alhasil, ketiga aliran filsafat matematika diatas belum bisa mempertahankan kepastian
dari ilmu matematika, sehingga membuka peluang untuk kritik falibilist. Penolakan terhadap
absolutisme tidak harus dilihat sebagai pembuangan matematika dari dunia kepastian dan
kebenaran. Hilangnya kepastian tidak berarti hilangnya pengetahuan. Demikian dalam
matematika, relativitas dan ketidakkepastian merupakan suatu kemajuan dalam pengetahuan,
bukan berarti mundur dari kepastian masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai