Pendekatan Spiral
Pendekatan Konstrukstivisme
Pendekatan Realistik
A. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Ingris Prancis Bacon (1561)
yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak
mungkin. Berpikir induktif ialah suatu proses berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke
umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik
kesimpulan bahwa ciri-ciri itu terdapat pada semua jenis fenomena.
Menurut Purwanto (dalam Sagala, 2003 : 77) tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara
berpikir yang diambil secara induktif bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang
diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti
refresentatif dan tingkat kepercayaan dari kesimpulan itu makin besar, dan sebaliknya semakin
kecil jumlah sampel yang diambil berarti refresentatif dan tingkat kepercayaan dari kesimpulan itu
semakin kecil pula. Dalam konteks pembelajaran, pendekatan induktif berarti pengajaran yang
bermula dengan menyajikan sejumlah keadan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu
konsep, prinsip atau aturan.
Pada hakikatnya matematika merupakan suatu ilmu yang diadakan atas akal yang
berhubungan dengan benda-benda dan pikiran yang abstrak. Ini bertentangan dengan sejarah
diperolehnya matematika. Menurut sejarah, matematika ditemukan sebagai hasil pengamatan dan
pengalaman yang pernah dikembangkan dengan analogi dan coba-coba (trial dan error).
Bagian Bagian
{a} { },{ a } 2
{a, b}
{a, b, c}
{a, b, c, d}
Keterangan :
Setelah semua himpunan bagian tiap himpunan itu ditulis, siswa dapat menentukan
banyak himpunan bagiannya. Bilangan-bilangan banyak anggota dan banyak himpunan
bagiannya adalah :
Banyaknya anggota 1 2 3 4
Contoh :
Sesuatu yang sama dengan sesuatu yang lain, satu sama lain sama
Dari aksioma (1) dan aksioma (2) dapat disusun pernyataan benar sebagai berikut.
Jika x = y maka x + a = y + a .
Dari aksioma (3) dapat dinyatakan sebagai berikut
didefinisikan didefinisikan
Dalil-dalil yang dirumuskan itu banyak sekali. Jadi matematika itu terorganisasikan dari
unsur-unsur yang tak didefinisikan, unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma-aksioma dan dalil-
dalil dimana dalil-dalil itu setelah dibuktikan kebenarannya, berlaku secara umum. Karena itu
matematika sering disebut ilmu deduktif.
Mungkin Anda bertanya, bukankah dalil-dalil, dan lain-lain dalam matematika itu
ditemukan secara induktif (coba-coba, eksperimen, penelitian, dan lain-lain)? Memang Anda betul,
bahwa para matematis itu menyusun (menemukan) matematika atau bagiannya itu secara induktif,
tetapi begitu suatu pola, aturan, dalil-dalil itu ditemukan maka dalil itu harus dapat dibuktikan
kebenarannya secara umum (deduktif).
Contoh : Jumlah n buah bilangan asli ganjil pertama adalah : n X n. Perhatikan pola berikut :
1 = 1 X1
1 + 3 = 4 = 2 2
X
1 + 3 5 = 9 3 X3
+ =
1 + 3 5 + 7 16 = 4 X
+ = 4
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Secara deduktif pembuktian kebenaran pola itu adalah sebagai berikut (induksi matematika).
C. PENDEKATAN SPIRAL
Pada pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan spiral, suatu konsep tidak
diajarkan dari awal sampai akhir secara sebagian-sebagian, berulang-ulang, atau dalam selang
waktu yang terpisah-pisah.Tetapi dalam pembelajaran, mula-mula konsep tersebut dikenalkan
dengan cara dan dalam bentuk sederhana yang makin lama makin kompleks dan dalam bentuk
abstrak. Pada akhirnya digunakan bentuk umum dalam matematika, di antara selang waktu yang
terpisah itu diberikan konsep-konsep lain.
Misalnya dalam pembelajaran konsep A, di selang waktu pertama konsep A dikenalkan dalam
sebuah topik dengan cara intuitif melalui benda-benda konkret, atau gambar-gambar sesuai
kemampuan siswa dan konsep A dinyatakan dengan notasi symbol yang sederhana. Setelah selang
waktu itu selesai, pembelajaran dilanjutkan dengan konsep-konsep lain (misalnya, konsep B dan C),
mungkin konsep A dengan notasi yang sederhana itu digunakan dalam konsep B dan konsep C. Di
selang-selang waktu yang terpisah selanjutnya, konsep A diajarkan lagi yang makin lama semakin
kompleks dan lebih abstrak yang akhirnya menggunakan notasi yang umum digunakan dalam
matematika.
Pembelajaran dengan pendekatan spiral dapat dilukiskan seperti gambar spiral di bawah ini.
Nampak semakin keatas spiral tersebut melingkar semakin besar, yang menggambarkan makin
lama materi yang dibahas semakin tinggi tingkatannya dan semakin luas.
Lengkungan spiral itu terbentuk dari topik-topik yang diajarkan sejak pembelajaran untuk konsep
itu dimulai sejak pembelajaran untuk konsep itu dimulai. Misalnya dalam kurikulum 1994. Konsep
luas mulai diajarkan di kelas III SD sampai di kelas II SMP.
Di kelas III SD, mula-mula dikenalkan dengan perbandingan luas permukaan benda dengan
bangun persegi atau persegipanjang, menghitung luas daerah persegi dan persegipanjang
dengan membilang petak persegi, kemudian meluas untuk permukaan tidak teratur namun
masih menggunakan cara yang sama.
Di Kelas IV SD, menghitung luas persegi dan persegipanjang dengan membilang petak persegi
satuan (ulangan), dilanjutkan dengan cara mengalikan banyak petak persegi pada kolom dan
baris, dan dikenal rumus luas persegi dan persegipanjang dan satuan bakunya.
Di kelas VI SD, mulai dikenalkan luas jajargenjang dengan membandingkan luas persegi
panjang yang tinggi dan alasnya sama, dikenalkan rumus lingkaran dan penggunaannya.
Di SMP kelas I Catur wulan 2, mengingat kembali mengenai luas persegi dan persegipanjang
(ulangan), dilanjutkan menentukan luas bidang kubus dan balok.
Di SMP kelas I Catur wulan 3, mengingat kembali mengenai luas persegi dan persegipanjang
(ulangan), dilanjutkan menemukan rumusnya, kemudian menghitung luas bangun datar lain
(jajargenjang, segitiga) menggunakan luas persegipanjang, dan dalam selang lain baru
dikenalkan menemukan rumus segitiga.
Di SMP kelas II Catur wulan I, dikenalkan menemukan rumus luas belah ketupat, laying-layang,
dan trapezium.
D. PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
Menyediakan atau memberikan kegiatan – kegiatan yan g merangsang keingin tahuan siswa
membantu mereka untuk mengeskpresikan gagasan – gagasannya dan mengkomunikasikan ide
ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus
menyemangati siswa.
Memonitor, mengevalauasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan.
Guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa, sebab perkembangan intelektual dan
matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang
pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber
informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.
Prinsip konstrukstivisme Piaget menurut De Vries dan Kohlberg ( Suparno,1997:70 ).yang
perlu diperhatikan dalam pembelajarn matematika antara lain adalah :
Stuktur psikologi ( skemata ) harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal diajarkan.
Simbol adalah bahasa matematis suatu konsep, tetapi bukan konsepnya sendiri.
Siswa harus mendapatkan kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri,
jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya menstransfer apa yang
dipunyai guru kepada siswa dalam wujud perlimpahan fakta matematis dan prosedur
perhitungan serta bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal belaka.
A. PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Salah satu upaya untuk merubah cara mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan KTSP
adalah merubah cara pandang guru terhadap mengajar dan belajar. Mengajar menurut pandangan
lama adalah proses pemberian pengetahuan dan prosedur kepada siswa, dimana pandangan ini
berimplikasi terhadap cara belajar siswa yang hanya dan menghapalkan langkah-langkah pemecahan
sebuah persoalan. Belajar menurut pandangan kontemprorer adalah proses interaksi individu dengan
lingkungannya dengan melibatkan fisik, mental dan emosional, hingga siswa memperoleh sejumlah
pengalaman bermakna (konstruktivisme). Menurut pandangan ini pengetahuan yang diperoleh siswa
bukan proses pemindahan dari guru ke siswa, melainkan dibentuk atau disusun sendiri oleh siswa
melalui interaksinya dengan lingkungan. Sesuatu yang diketahui siswa itu sendiri dari
pengalamannya.
1. Konstruktivisme (Contructivism)
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki
informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas
menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir
konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan
pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih
diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan
pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan
dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi
mereka sendiri dalam belajar.
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya
merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual. Dalam
sebuah pembelajran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
menggali informasi, baik administrasi maupun akademis; (2) mengecek pemahaman siswa;
(3) membangkitkan respon pada siswa; (4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; (5)
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (6) memfokuskan perhatian siswa pada
sesuatu yang dikehendaki guru; (7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;
dan (8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Pada semua aktivitas belajar, questioning
dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru
Menemukan (Inquiry)
Penyimpulan (Conclusion). Sedangkan kata kunci dari strategi inquiry adalah siswa
menemukan sendiri, dengan langkah-langkah kegiatannya adalah: (1) merumuskan masalah;
(2) mengamati atau melakukan observasi; (3) menganalisis dan menyajikan hasil baik dalam
bentuk tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; serta
mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau
audience lainnya.
“Masyarakat Belajar” bisa terjadi apabila ada prose s komunikasi dua arah. “Seorang guru
yang mengajari siswanya” bukanlah seb uah contoh masyarakat belajar, karena komunikasi
hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa. Dalam belajar,
dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi belajar memberikan informasi
yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang
diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada
pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya,
tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan.
Setiap pihak harus merasa bahwa orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau
keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari
5. Pemodelan (Modeling)
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke
belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Siswa
mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons
terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran
berakhir, siswa merenung “Kalau be gitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, ya!
Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, file computer saya lebih tertata dan lebih
rapi”.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan yang dimiliki
siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit
sehingga semakin berkembang. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat
hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan
yang baru. Dengan refleksi itu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
tentang apa yang baru dipelajarinya.
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara. Tes
hanya salah satunya, itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Penilai tidak hanya guru,
tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assesment adalah: (1)
dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (2) bisa digunakan
untuk formatif maupun sumatif; (3) yang diukur keterampilan dan penampilan, bukan hanya
mengingat fakta; (4) berkesinambungan; (5) terintegrasi; dan (6) dapat digunakan sebagai
feed back. Dengan demikian pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada
upaya membantu siswa agar mampu mempelajari
Problem atau masalah menurut Hayes (Halgimon SL, 1992:2) adalah suatu kesenjangan
(gap) antara di mana Anda berada sekarang dengan tujuan yang Anda inginkan, sedangkan Anda
tidak tahu proses apa yang akan dikerjakan.
Menurut Hudoyo (1996:190), suatu pertanyaan merupakan suatu permasalahan bila
pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan prosedur rutin, sedangkan pemecahan masalah
adalah proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Selanjutnya Hudoyo (1996:189) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah dapat
diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun aplikasi
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara kreatif
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum kita ketahui penyelesaiannya ataupun
masalah-masalah yang belum kita kenal.
Polya (Sumarno, 1994:2) secara rinci menguraikan empat langkah penyelesaian pemecahan masalah
matematika disertai ilustrasi masalah, pertanyaan yang membimbing pemahaman tiap langkah, dan
cara-cara penyelesaiannya. Keempat langkah tersebut adalah : 1) pemahaman masalah, 2) membuat
rencana penyelesaian, 3) mengerjakan rencana, dan 4) peninjauan kembali hasil perhitungan. Proses
yang harus dilakukan para siswa
Suydam yang dikutip oleh Klurik dan Reys (Sumarmo, 1994:14) merangkum karakteristik
kemampuan seorang problem solver yang baik sebagai berikut :
Mampu mengidentifikasi unsur yang kritis dan memilih prosedur dan data yang benar.
Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang kuat disertai hubungan baik dengan sesama
siswa.
Berbicara pemecahan masalah tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya, yaitu George Polya.
Menurut Polya, dalam pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan
yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3) menyelesaikan masalah sesuai
rencana langkah kedua, dan (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back).
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang strategi pemecahan masalah, berikut
akan disajikan beberapa strategi pemecahan masalah yang mungkin diperkenalkan pada anak
sekolah dasar.
Strategi ini dapat membantu siswa dalam proses visualisasi masalah yang tercakup
dalam soal yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya, strategi ini dilakukan dengan
menggunakan gerakan-gerakan fisik atau dengan menggerakkan benda-benda konkrit.
Gerakan bersifat fisik ini dapat membantu atau mempermudah siswa dalam menemukan
hubungan antara komponen-komponen yang tercakup dalam suatu masalah
Strategi ini dapat membantu siswa untuk mengungkapkan informasi yang terkandung
dalam masalah sehingga hubungan antar komponen dalam masalah tersebut dapat terlihat
dengan lebih jelas. Pada saat guru mencoba mengajarkan strategi ini, penekanan perlu
dilakukan dilakukan bahwa gambar atau diagram yang dibuat tidak perlu sempurna, terlalu
bagus atau terlalu detail. Gambar atau diagram adalah bagian-bagian terpenting yang
diperkirakan mampu memperjelas permasalahan yang dihadapi.
3. Menemukan Pola
Kegiatan matematika yang berkaitan dengan proses menemukan suatu pola dari
sejumlah data yang diberikan, dapat mulai dilakukan melalui sekumpulan gambar atau
bilangan. Kegiatan yang mungkin dilakukan antara lain dengan mengobservasi sifat-
sifatyang dimiliki bersama oleh sekumpulan gambar atau bilangan yang tersedia
4. Membuat Tabel
Strategi menebak yang dimaksudkan di sini adalah menebak yang didasarkan pada
alasan tertentu serta kehati-hatian. Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik
seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan dengan permasalah yang
dihadapi.
Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang diketahui itu
sebenarnya merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan komponen yang ditanyakan
merupakan komponen yang seharusnya muncul lebih awal. Penyelesaian masalah seperti
biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan strategi mundur. Contoh masalahnya adalah
sebagai berikut.
Jika jumlah dua bilangan bulat adalah 12, sedangkan hasil kalinya 45, tentukan kedua
bilangan tersebut.
Strategi ini merupakan cara penyelesaian yang sangat terkenal sehingga seringkali
muncul dalam buku-buku matematika sekolah.
9. Menggunakan Kalimat Terbuka
Strategi ini juga sering diberikan dalam buku-buku matematika sekolah dasar.
Walaupun strategi ini termasuk sering digunakan, akan tetapi pada langkah awal anak
seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan kalimat terbuka yang sesuai. Untuk sampai
pada kalimat yang dicari, seringkali harus melalui penggunaan strategi lain, dengan maksud
agar hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat dilihat secara jelas.
Setelah itu baru di buat kalimat terbukanya. Berikut adalah contoh masalah yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan strategi kalimat terbuka.
Contoh Soal:
Ada berapa cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh jumlah uang sebesar Rp. 25.000,00
dengan pecahan puluhan ribu, lima ribuan, dan ribuan?
Memahami masalah. Terdapat banyak cara bisa dilakukan untuk memperoleh jumlah uang
sebesar Rp. 25.000,00. Puluhan ribu (P), lima ribuan
(L), dan ribuan (R) tidak perlu digunakan semua sekaligus untuk mendapatkan jumlah yang
diinginkan. Dengan demikian 25 lembar uang ribuan adalah merupakan salah satu contohnya.
P 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2
L 0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 0 1
R 25 20 15 10 5 0 15 10 5 0 5 0
Dari tabel ini jelas terlihat bahwa terdapat 12 kemungkinan pasangan uang pecahan sehingga
diperoleh jumlah Rp. 25.000,00
Melakukan Pemeriksaan Kembali. Periksa kembali jumlah untuk tiap kolom serta
kemungkinan adanya pasangan lain yang belum termuat.
. PENDEKATAN REALISTIK
Dalam praktek pembelajaran matematika di kelas, pendekatan realistic sangat memperhatikan aspek-
aspek informal, kemudian mencari jembatan untuk mengantarkan pemahaman siswa pada
matematika formal. De Lange (1987) mengistilahkan informal mathematics sebagai horizontal
mathematization sedangkan matematika formal sebagai vertical mathematization. Menurut Treffers
dan Goffree (1985) dalam proses pematematikaan kita membedakan dua komponen proses
matematisasi yaitu horizontal mathematization dan vertical mathematization. Menurutnya bahwa
“mula-mula kita dapat mengidenti fikasi bagian dari matematisasi bertujuan untuk mentransfer suatu
masalah ke dalam masalah yang dinyatakan secara matematika. Melalui penskemaan dan
mengedentifikasi matematika khusus ke dalam konteks umum.
Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber
dan sebagai terapan konsep matematika;
Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi
konstruktif dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi
sendiri (yang mungkin berupa algoritma, rule, atau aturan), sehingga dapat membimbing
para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal;
Kelima prinsip pembelajaran menurut filosofi ‘ realistic’ di atas inilah yang menjiwai setiap
aktivitas pembelajaran matematika.
adalah:
Bagaimana “guru” memberi atau mengarahkan kelas, ke lompok, maupun individu untuk
menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal.