Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 3

MEREVIEW BUKU KARYA PAUL ERNEST BERJUDUL:


PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION

Diitunjukkan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

NAMA: Fitri Nur Hidayah

NIM: 22309251014

KELAS: S2 Pendidikan Matematika A

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2022

1
The Philosophy of Mathematics Education karya Paul Ernest

Buku ini merupakan buku yang mencoba melawan gagasan umum bahwa pengetahuan
matematika itu pasti, mutlak dan netral. sebagai gantinya menawarkan penjelasan matematika
sebagai konstruksi sosial. Buku ini memberikan gagasan segar mengenai implikasi pendidikan
yang mendalam untuk isu-isu sosial, termasuk gender, ras dan multikulturalisme. Selain itu
dalam konteks matematika untuk pedagogi, termasuk penyelidikan dan pemecahan
masalah; serta menantang pandangan hierarkis matematika, pembelajaran matematika, dan
kemampuan siswa. Buku ini terdiri dari 2 bagian utama. Bagian pertama membahas mengenai
filsafat matematika. Bagian kedua membahas mengenai filsafat Pendidikan matematika.
Filsafat matematika
Pada bagian pertama mengenai filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang
filsafat yang tugasnya adalah untuk merenungkan, dan menjelaskan sifat matematika. Hal Ini
adalah kasus spesifik dari tugas epistemologi yang menjelaskan pengetahuan manusia secara
umum. Filosofi matematika menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa dasar pengetahuan
matematika? Apa sifat kebenaran matematika? Apa yang mencirikan kebenaran matematika?
Apa pembenaran atas pernyataan mereka? Mengapa kebenaran matematika merupakan
kebenaran yang diperlukan?. Atas dasar ini, pengetahuan matematika terdiri dari seperangkat
proposisi bersama dengan bukti-buktinya.
Karena bukti matematika didasarkan pada alasan saja, tanpa bantuan data empiris,
pengetahuan matematika dipahami sebagai yang paling pasti dari semua Pengetahuan. Peran
filsafat matematika adalah untuk memberikan dasar yang sistematis dan benar-benar akurat
untuk pengetahuan matematika, yaitu untuk kebenaran matematika.
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai apriori pengetahuan, karena terdiri
dari proposisi yang ditegaskan berdasarkan alasan saja. Pandangan absolutisme tentang
pengetahuan matematika adalah bahwa ia terdiri dari kebenaran- kebenaran tertentu dan tak
terbantahkan. Logika adalah aliran pemikiran yang menganggap matematika murni sebagai
bagian dari logika. Tidak semua teorema matematika dan karenanya tidak semua kebenaran
matematika dapat diturunkan dari aksioma logika saja. Ini berarti bahwa aksioma matematika
tidak dapat dihilangkan demi logika.
Buku ini menawarkan Program konstruktivis sebagai salah satu dari merekonstruksi
pengetahuan matematika (dan mereformasi praktik matematika) untuk menjaganya dari
kehilangan makna, dan dari kontradiksi. Pengetahuan matematika telah menjadi sasaran kritik
yang keras, dan tidak terbantahkan. Penolakannya mengarah pada penerimaan pandangan
fallibilisme yang berlawanan tentang pengetahuan matematika. Ini adalah pandangan bahwa
kebenaran matematis dapat salah dan dapat diperbaiki. Tesis fallibilist dengan demikian
memiliki dua bentuk yang setara, satu positif dan satu negatif. Bentuk negatif menyangkut
penolakan absolutisme: pengetahuan matematika bukanlah kebenaran mutlak, dan tidak
memiliki validitas mutlak. Bentuk positifnya adalah bahwa pengetahuan matematika dapat
diperbaiki dan selalu terbuka untuk direvisi (Ernest, 1991).

2
Ada semacam hipotesis bahwa pengetahuan matematika adalah seperangkat
kebenaran, dalam bentuk seperangkat proposisi dengan bukti, dan bahwa fungsi filsafat
matematika adalah untuk menetapkan kepastian pengetahuan ini. Namun, Matematika adalah
multi-faceted, dan serta tubuh pengetahuan preposisional, dapat dijelaskan dalam hal konsep,
karakteristik, sejarah dan praktik. Pandangan fallibilisme tentang sifat matematika, dengan
mengakui peran kesalahan dalam matematika tidak dapat lepas dari mempertimbangkan
penggantian teori dan pertumbuhan pengetahuan.
Telah dikemukakan bahwa peran filsafat matematika adalah untuk menjelaskan sifat
matematika, di mana tugas ini dipahami secara luas untuk memasukkan “eksternal” isu seperti
sejarah, asal-usul dan praktik matematika, serta 'internal' isu yaitu matematika itu sendiri.
masalah epistemologi dan ontologis, seperti pembenaran pengetahuan matematika. Kriteria ini
dapat dinyatakan lebih eksplisit: filosofi matematika yang diusulkan harus memperhitungkan:
(i) Pengetahuan matematika: sifatnya, pembenaran dan asal-usulnya. (ii) Objek matematika:
sifat dan asal-usulnya. (iii) Aplikasi matematika: efektivitasnya dalam sains, teknologi, dan
bidang lainnya. (iv) Praktik matematika: kegiatan matematikawan, baik di masa sekarang
maupun masa lalu.
Terpisah filsafat absolutisme formal dan absolutis progresif matematika. Pandangan
absolutis formal matematika adalah lambang kepastian, kebenaran abadi, dan metode tak
terbantahkan(Confrey, 1981). Pandangan ini kontras dengan pandangan absolutis progresif
tentang matematika, yang sementara absolutis melihat matematika sebagai hasil dari
perjuangan manusia untuk kebenaran, bukan pencapaiannya. Pandangan empiris tentang sifat
matematika ('empirisisme naif*, untuk membedakannya dari quasi-empirisisme Lakatos)
menyatakan bahwa kebenaran matematika adalah generalisasi empiris. Istilah Quasi-
empirisme adalah nama yang diberikan untuk filsafat matematika yang dikembangkan oleh
Imre Lakatos (1976, 1978). Ini adalah pandangan bahwa matematika adalah apa yang
matematikawan sedang lakukan dan telah dilakukan, dengan segala ketidaksempurnaan yang
melekat pada setiap aktivitas (Lakatos, 1980).
Matematika adalah dialog antara orang-orang yang menangani masalah matematika.
Matematikawan dapat salah dan produknya, termasuk konsep dan bukti, tidak pernah dapat
dianggap final atau sempurna, tetapi mungkin memerlukan negosiasi ulang sebagai standar
perubahan yang ketat, atau ketika tantangan atau makna baru muncul. Sebagai aktivitas
manusia, matematika tidak dapat dilihat secara terpisah dari sejarah dan aplikasinya dalam
sains dan di tempat lain. Quasi-empirisme mewakili 'kebangkitan empirisme dalam filsafat
matematika baru- baru ini' (Lakatos, 1967).
Pola sederhana penemuan matematika—atau pertumbuhan teori matematika informal
terdiri dari tahapan berikut: 1) Dugaan primitif. 2) Bukti (eksperimen atau argumen kasar,
menguraikan dugaan primitif menjadi subkonjektur atau lemma). 3) Contoh tandingan
'Global' (contoh tandingan dari dugaan primitif) muncul. 4) Bukti diperiksa kembali. 'lemma
bersalah' di mana contoh tandingan global adalah contoh tandingan 'lokal' terlihat. Lemma
bersalah ini sebelumnya mungkin tetap 'tersembunyi' atau mungkin salah diidentifikasi.
Sekarang dibuat eksplisit, dan dibangun ke dalam dugaan primitif sebagai suatu kondisi.
Teorema — dugaan yang ditingkatkan — menggantikan dugaan primitif dengan konsep baru

3
yang dihasilkan bukti sebagai fitur barunya yang terpenting. Keempat tahap ini merupakan
inti penting dari analisis bukti. Tetapi ada beberapa tahapan standar lebih lanjut yang sering
terjadi: 5) Bukti teorema lain diperiksa untuk melihat apakah lemma yang baru ditemukan
atau konsep baru yang dihasilkan bukti terjadi di dalamnya: konsep ini dapat ditemukan
terletak di persimpangan bukti yang berbeda, dan dengan demikian muncul sebagai
kepentingan dasar. 6) Konsekuensi yang diterima sampai sekarang dari dugaan asli dan
sekarang disangkal diperiksa. 7) Contoh tandingan diubah menjadi contoh baru—bidang
penyelidikan baru terbuka.
Dalam konteks ini penulis mengusulkan filosofi matematika baru yang disebut
'konstruktivisme sosial'. Tentu, karena menyangkut filsafat matematika baru, hal tersebut
lebih tentatif daripada yang sebelumnya, yang sebagian besar berkaitan dengan eksposisi ide-
ide mapan. Di sisi lain, tidak terlalu banyak kebaruan yang harus diklaim, karena
konstruktivisme sosial sebagian besar merupakan elaborasi dan sintesis dari pandangan
matematika yang sudah ada sebelumnya, terutama pandangan konvensionalisme dan kuasi
empirisme. Konstruktivisme sosial memandang matematika sebagai konstruksi sosial. Hal ini
mengacu pada konvensionalisme, dalam menerima bahwa bahasa manusia, aturan dan
kesepakatan memainkan peran kunci dalam membangun dan membenarkan kebenaran
matematika. kuasi empirisme termasuk pandangan bahwa pengetahuan dan konsep
matematika berkembang dan berubah.
Asumsi yang mendasari konstruktivis sosial penciptaan pengetahuan adalah sebagai
berikut.
1. Seorang individu memiliki pengetahuan subjektif matematika
2. Publikasi diperlukan (tetapi tidak cukup) agar pengetahuan subjektif menjadi
pengetahuan matematika objektif
3. Melalui pengetahuan yang diterbitkan heuristik Lakatos menjadi pengetahuan objektif
matematika
Meskipun terdapat sentralitas peran pengetahuan objektif dalam matematika, penulis
juga menyatakan bahwa peran pengetahuan matematika subjektif juga harus diakui.
Pengetahuan subjektif diperlukan untuk menjelaskan asal-usul pengetahuan matematika baru
serta penciptaan kembali dan keberlanjutan pengetahuan yang ada. Karena pengetahuan
objektif bersifat sosial, dan bukan entitas yang berdiri sendiri yang ada di alam ideal, maka
seperti semua aspek budaya, pengetahuan ini harus direproduksi dan ditransmisikan dari
generasi ke generasi (dengan bantuan artefak, seperti buku teks).
Menurut penggunaan yang dianut, pemikiran matematis seseorang adalah pemikiran
subjektif. Agar menjadi pemikiran objektif, ia harus diwakili secara linguistik, biasanya dalam
bentuk tertulis. Tindakan kunci yang mengubah pemikiran subjektif yang dipublikasikan ini
menjadi pemikiran objektif adalah penerimaan sosial, mengikuti pengawasan publik yang
kritis.
Dalam hal ini, Konstruktivisme sosial adalah filsafat matematika, berkaitan dengan
kemungkinan, kondisi dan logika pengetahuan matematika. Dengan demikian, penerimaannya
tergantung pada kriteria filosofis. Telah terbukti memiliki lebih banyak kesamaan dengan

4
beberapa cabang filsafat lain, daripada dengan filsafat matematika tradisional, karena itu tak
terhindarkan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan empiris, dan domain
sosial dan psikologis. Meskipun mengangkat isu- isu tersebut, tidak ada asumsi empiris
mengenai sejarah, sosiologi atau psikologi matematika yang sebenarnya telah dibuat.
Perlu dikembangkan konstruktivisme sosial paralel dari: 1) sejarah matematika:
perkembangannya pada waktu yang berbeda dan dalam budaya yang berbeda; 2) sosiologi
matematika; matematika sebagai konstruksi sosial yang hidup, dengan nilai- nilainya sendiri,
institusi, dan hubungannya dengan masyarakat secara luas; 3) psikologi matematika:
bagaimana individu belajar, menggunakan dan menciptakan matematika.
Filsafat Pendidikan matematika
Pada bagian kedua membahas mengenai filsafat Pendidikan matematika. Tujuan dari
bagian ini adalah untuk menghubungkan filosofi publik dan pribadi dari matematika dan
pendidikan. Selama periode waktu yang dipertimbangkan, publikasi resmi tentang kurikulum
matematika bergeser dari pandangan berbasis konten hierarkis dari ideologi humanis dan
utilitarian lama menuju penekanan pendidik progresif pada sifat pengalaman matematika
pelajar. Kurikulum Nasional dalam matematika memberikan studi kasus instruktif tentang
dampak kuat dari kepentingan sosial dan politik dalam pengembangan kurikulum. Para
profesional di Kelompok Kerja Matematika mencoba untuk tetap setia pada tujuan pendidik
mereka yang sebagian besar progresif. Namun, tekanan eksternal yang kuat memaksa mereka
untuk mengakui posisi mereka, dan berkompromi dengan tujuan utilitarian dan humanis lama.
Hubungan antara matematika dan kurikulum memiliki dua hubungan alternatif yang
dimungkinkan. (1) Kurikulum matematika harus merupakan pilihan yang representatif dari
disiplin ilmu matematika, meskipun dipilih dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat
diakses oleh peserta didik. (2) Kurikulum matematika merupakan entitas yang berdiri sendiri,
yang tidak perlu merepresentasikan disiplin matematika. Kebanyakan ahli teori kurikulum
menolak kemungkinan kedua ini, dengan alasan kasus umum bahwa kurikulum harus
mencerminkan baik pengetahuan dan proses penyelidikan dari disiplin mata pelajaran (Hirst
& Peters, 1984; Schwab, 1972; Stenhouse, 1975).
Buku ini menawarkan kritik terhadap hierarki pembelajaran dalam matematika. kritik
yang cukup substantif adalah bahwa keunikan hierarki pembelajaran tidak terkonfirmasi
secara teoritis atau empiris. Resnick dan Ford menyimpulkan ulasan mereka tentang
penelitian tentang hierarki pembelajaran dengan peringatan bahwa hierarki harus digunakan
dengan hati-hati (Resnick & Ford, 2012). Konsep diperoleh sekaligus, baik dipahami atau
kurang dipahami oleh pelajar. Pertama-tama, mengingat bahwa sebagian besar konsep
sebenarnya adalah struktur konseptual gabungan, jelaslah bahwa konstruksi mereka harus
menjadi proses pertumbuhan yang diperluas. Kedua, penguasaan konsep oleh pembelajar
hanya dapat dimanifestasikan secara tidak langsung, melalui penggunaannya, karena struktur
mental adalah entitas teoretis yang tidak dapat diamati secara langsung. Tetapi penggunaan
konsep oleh pembelajar harus berada dalam beberapa konteks, sehingga konsep tersebut
terkait dengan konteks penggunaannya. Ketiga, gagasan bahwa suatu konsep adalah entitas
yang ada secara objektif dan dapat ditentukan secara unik, terbuka untuk kritik filosofis dan
psikologis. Ruthven memberikan kritik yang kuat terhadap stereotip kemampuan, dengan

5
alasan di satu sisi, bahwa konsistensi pencapaian matematika siswa kurang dari yang
seharusnya, bervariasi di kedua topik dan waktu (Ruthven, 1987).
Pendidik progresif bertujuan agar matematika menyangkut realisasi dan pemenuhan
manusia melalui matematika sebagai sarana ekspresi diri dan pengembangan pribadi.
Penekanan dari perspektif ini sangat individualistis. Sementara itu diarahkan pada kemajuan
individu dalam beberapa cara, itu tidak menempatkan mereka dalam matriks sosial, juga tidak
mengakui kekuatan yang saling bertentangan bekerja di masyarakat yang merusak
kemanjuran pendidikan progresif. Dengan demikian, perspektif meskipun progresif secara
sosial, tidak secara serius melemahkan kekuatan reproduktif yang bekerja di masyarakat dan
sekolah.
Semua bidang pengetahuan manusia saling berhubungan. Konstruktivisme sosial
dimulai dari premis bahwa semua pengetahuan dihasilkan oleh aktivitas intelektual manusia,
memberikan kesatuan genetik yang mendasari semua bidang pengetahuan manusia.
Konstruktivisme sosial juga menyandarkan pembenaran semua pengetahuan di atas landasan
bersama, yaitu kesepakatan manusia. Jadi, baik dari segi asal-usulnya maupun landasan
pembenarannya, pengetahuan manusia memiliki kesatuan fundamental, dan dengan demikian
semua bidang pengetahuan manusia saling berhubungan. Akibatnya, menurut konstruktivisme
sosial, pengetahuan matematika terkait tak terpisahkan dengan bidang pengetahuan lain, dan
melalui akar bersama, itu juga sarat nilai, karena bidang pengetahuan lain diakui, karena
terhubung dengan mereka.
Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan manusia, maka ia juga terikat
budaya dan dijiwai dengan nilai-nilai pembuatnya dan konteks budaya mereka. Akibatnya, ia
meresapi kehidupan sosial dan budaya (Davis & Hersh, 1988). Ini berarti bahwa dasar untuk
lokasi budaya matematika diperlukan. Shirley mengusulkan bahwa matematika dapat dibagi
menjadi matematika formal dan informal, terapan dan murni (Shirley, 1986). Dowling
menawarkan model yang lebih kaya dari konteks aktivitas matematika. Dia membedakan
empat bidang sebagai satu dimensi modelnya. Empat bidang tersebut adalah bidang Produksi
(kreasi), Rekontekstualisasi (retorika guru dan representasi pedagogik), Reproduksi (praktik
kelas) dan Operasionalisasi (aplikasi dan implementasi pengetahuan matematika) (Dowling,
1988).
Dengan memasukkan berbagai konteks matematika ini maka tepat apa yang
disampaikan D'Ambrosio dengan istilah 'etnomatematika' (D’ambrosio, 1985). Menurut
tesis Bishop, matematika yang tertanam secara budaya seperti itu, khususnya kegiatan yang
muncul dari menghitung, menemukan, mengukur, merancang, memainkan dan menjelaskan,
adalah akar budaya dari semua matematika (Bishop, 1988). Dowling mengklaim bahwa
identifikasi invarian budaya seperti itu adalah ilusi (Dowling, 1988). Namun demikian, ada
kesepakatan bahwa lebih dari matematika akademis tradisional adalah sah. Hasil dari
pandangan matematika ini adalah tantangan terhadap dominasi budaya matematika abstrak,
putih, laki-laki. Karena jika etnomatematika diakui sebagai matematika asli, maka matematika
tidak lagi menjadi wilayah elite yang diistimewakan. Sebaliknya, matematika adalah
karakteristik manusia universal, yang seperti bahasa, adalah hak lahir budaya semua orang.
Sebagai bagian dari budaya masyarakat, matematika memberikan kontribusi untuk tujuan

6
keseluruhan. Yaitu untuk membantu orang memahami kehidupan dan dunia, dan untuk
menyediakan alat untuk menangani berbagai pengalaman manusia. Sebagai bagian dari
budaya, matematika melayani tujuan keseluruhan ini. Tetapi dalam setiap budaya yang
berbeda, matematika dapat diberikan peran dan bagian yang berbeda untuk dimainkan,
sebagai kontribusi untuk tujuan ini. Dengan demikian tujuan matematika dalam suatu budaya
dapat berupa agama, seni, praktis, teknologi, studi untuk kepentingannya sendiri, dan
sebagainya. Apa pun itu, matematika dari setiap budaya mungkin melayani tujuannya sendiri
secara efisien dan baik, karena telah berevolusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan
bertahan. Akibatnya, matematika setiap budaya sama berharganya, karena semua budaya
sama-sama valid.

7
Daftar Pustaka

Bishop, A. J. (1988). Mathematics education in its cultural context. Educational Studies in


Mathematics, 19(2), 179–191. https://doi.org/10.1007/BF00751231
Confrey, J. (1981). Conceptual Change Analysis: Implications for Mathematics and
Curriculum. Curriculum Inquiry, 11(5), 243–257.
D’ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its Place in the History and Pedagogy of
Mathematics. For the Learning of Mathematics, 5, 44–48.
Davis, P. J., & Hersh, R. (1988). Descartes’ dream : the world according to mathematics.
Penguin Books.
Dowling, P. (1988). The contextualising of Mathematics: Towards a Theoretical Map.
University of London Institute of Education.
Ernest, P. (1991). The philosophy of mathematics education (Routledge (Ed.)). Falmer Press.
https://www.routledge.com/The-Philosophy-of-Mathematics-
Education/Ernest/p/book/9781850006671
Hirst, P. H., & Peters, R. S. (Richard S. (1984). The logic of education. Routledge & K. Paul.
https://books.google.com/books/about/The_Logic_of_Education.html?id=33s9AAAAIA
AJ
Lakatos, I. (1967). Problems in the Philosophy of Mathematics. North Holland Publishing
Company. https://www.amazon.com/Problems-Philosophy-Mathematics-Imre-
Lakatos/dp/B000PSX26Q
Lakatos, I. (1980). The Methodology of Scientific Research Programmes: Volume 1:
Philosophical Papers. Cambridge University Press.
https://www.amazon.com/Methodology-Scientific-Research-Programmes-
Philosophical/dp/0521280311
Resnick, L. B., & Ford, W. W. (2012). Psychology of Mathematics for Instruction. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203056622
Ruthven, K. (1987). Ability stereotyping in mathematics. Educational Studies in
Mathematics, 18(3), 243–253. https://doi.org/10.1007/BF00386197
Schwab, J. J. (1972). Structure of the disciplines : Meaning and significances. In J. M. Rich
(Ed.), Readings in the Philosophy of Education. Belmont, Calif., Wadsworth Pub. Co.
Shirley, L. (1986). Editorial. International Study Group on the Relations Between the History
and Pedagogy of Mathematics Newsletter, 13.
Stenhouse, L. (1975). An Introduction to Curriculum Research and Development. Heinemann.

Anda mungkin juga menyukai