Anda di halaman 1dari 29

Apakah Aspek Filosofis Pembelajaran Daring?

(Filosofi Sosial Rekonstruksionisme, Filosofi Progresivisme,


Filosofi Pragmatisme, dan Filosofi Perenialisme)

Diajukan untuk tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika

Diampu oleh :
Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd.
Prof. Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd.

Disusun oleh :
Tasya Florensia (23030785003)
Nur Putri Inayati Lestari (23030785004)
Halliem Pangesti Ningrum (23030785007)

JURUSAN S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2024
A. Apa itu filsafat sosial rekonstruksionisme?
1. Filsafat Sosial Rekonstruksionisme
Filsafat rekonstruksionisme adalah kelanjutan dari progresivisme,
rekonstruksionisme lahir didasari oleh suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah yang ada pada saat ini.
Kemunculan awal filsafat rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat
Amerika dan masyarakat industri yang semakin meninggalkan sebuah tatanan dunia
yang diidam- idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi, dan industrialisasi pada satu sisi
memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia
telah menimbulkan pengaruh pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram,
dan damai, pelan-pelan telah tergiring pada keterasingan. Perlu dilakukan perbaikan-
perbaikan di bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual entrepreneurship
diubah ke arah cooperative yang bersendikan konsep kerjasama kolektif. Konsep ini,
kemudian mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Hal
inilah yang menjadi dasar yang menyakinkan para pemikir pendidik bahwa pendidikan
perlu mempunyai konsep dan peran yang positif dalam mengadakan rekonstruksi
masyarakat.
Filsafat rekonstruksionisme sepahaman dengan filsafat perealisme dalam
hendak mengatasi krisis kehidupan era modern. Namun dengan jalan yang berbeda,
rekonstruksionisme berusaha membina suatu consensus yang paling luas dan paling
mungkin mencapai tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia untuk
mencapai tujuan itu, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang
mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan baru seluruh lingkungannya. Oleh karena itu, pada aliran rekonstruksionisme
ini, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Rekonstruksionisme menaruh
perhatian terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan masyarakat.
Filsafat rekonstruksionisme sosial dikembangkan oleh Brameld (1956), filsafat
rekonstruksionisme sebagai gerakan pendidikan yang diakui dan membantu merancang
ulang program pendidikan. Brameld menyarankan bahwa sekolah menjadi kekuatan
pendorong untuk perubahan sosial dan politik. Menurut Brameld (1956) sistem
pendidikan publik yang menyadari temuan ilmu perilaku dapat membawa perubahan
mendasar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Brameld (1956) membangun
filosofi rekonstruksionisme sosial yang menekankan penanganan pertanyaan sosial dan
upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan demokrasi di seluruh dunia.

1
Pendidik rekonstruksionis fokus pada kurikulum yang menekankan reformasi sosial
sebagai tujuan pendidikan.
Ciri-ciri filosofi rekonstruksionisme sosial, sebagai berikut:
a. Percaya pada komitmen untuk membangun budaya baru dimana rakyat jelata akan
muncul sebagai pemimpin masyarakat.
b. Merasa bahwa rakyat pekerja harus mengontrol semua institusi dan sumber daya
utama jika dunia ingin benar-benar demokratis. Struktur, tujuan dan kebijakan orde
baru harus disetujui dan disahkan dengan dukungan publik
c. Percaya bahwa sekolah harus membantu individu, tidak hanya untuk berkembang
secara sosial, namun juga untuk belajar bagaimana berpartisipasi dalam
perencanaan sosial.
d. Percaya siswa harus diyakinkan akan validitas dan urgensi perubahan tetapi harus
mematuhi prosedur demokrasi.

2. Filsafat Rekonstruksionisme dalam Bidang Pendidikan


Dalam pendidikan, filsafat rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha menyambung tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang bercorak modern. Filsafat Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan
bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya,
pembinaan kembali daya intelektual spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat
dan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia (Mubin, 2018).
a. Pandangan ontologis
Filsafat rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat
universal, realita itu ada dimana-mana dan sama disetiap tempat. Pada prinsipnya
aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualism. Menurut
Bakry (Mubin, 2018), aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung
dua macam hakikat sebagai asal sumber, yakni hakikat materi dan hakikat rohani.
Menurut Descartes (Mubin, 2018), pada umumnya manusia tidak sulit menerima
prinsip dualism ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera
ditangkap oleh panca indera manusia, sementara kenyataan batin segera diakui
dengan adanya akal dan perasaan hidup.

2
b. Pandangan epistemologis
Menurut filsafat rekonstruksionisme untuk memahami realita memerlukan
suatu asas tahu. Maksudnya, kita tidak mungkin memahami realita ini tanpa
melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui
penemuan ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama
berfungsi membentuk pengetahuan yang sesungguhya. Selain itu, suatu kebenaran
dapat dibuktikan dengan self-efidence, yaitu bukti yang ada pada diri sendiri,
realita dan eksistensinya. Artinya, pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam
pengetahuan ilmu itu sendiri.
c. Pandangan aksiologis
Dalam proses interaksi sesama manusia diperlukan nilai-nilai. Begitu juga
dalam hubungan manusia dengan alam semesta, prosesnya tidak mungkin
dilakukan dengan sikap netral. Dalam hal ini, manusia sadar ataupun tidak sadar
telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia,
Filsafat rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas
supranatural, yaitu menerima nilai natural yang universal, abadi, berdasarkan
prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi potensial yang berasal dari
Tuhan. Atas dasar pandangan inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan
dapat diketahui.

3. Pengaruh Filsafat Rekonstruksionisme terhadap asas belajar dan kurikulum


Filsafat rekonstruksionisme mempengaruhi asas belajar. Belajar merupakan
proses memperoleh informasi yang yang bersamaan atau yang bertentangan dengan
yang ada, mentransformasinya, yaitu memanipulasinya dengan intrapolasi dan
ekstrapolasi, agar sesuai dengan tugas yang dihadapi, dan mengecek kesesuaiannya
dengan tugas. Kemudian belajar terdapat beberapa jenis, yaitu belajar berdasarkan
pengamatan (sensory type of learning), belajar berdasarkan gerak (motor type
learning), belajar berdasarkan pemecahan masalah (problem type of learning), dan
belajar berdasarkan emosi (emotional type learning). Karena tujuan belajaar bukan
hanya otaknya saja, tetapi secara keseluruhan, baik secara sosial dan emosional, juga
untuk bisa menata hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial mengutamakan kepentingan sosial di atas
kepentingan individu. Tujuannya adalah tanggung jawab tentang masa depan
masyarakat. Karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya dengan masa mendatang.

3
Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial mengutamakan kepentingan sosial di atas
kepentingan individu. Tujuannya adalah tanggung jawab tentang masa depan
masyarakat. Karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya dengan masa mendatang.
Sekolah dipandang sebagai agen of social change, karena sekolah merupakan jembatan
antara masa kini dengan masa mendatang (Nasution, 1993). Kurikulum perlu
didasarkan atas masalah-masalah sosial, ekonomi, politik sekarang agar siswa mampu
menghadapinya kelak. Golongan reformis bukan hanya mempersiapkan individu untuk
menghadapi masalah di masa depan, akan tetapi juga menginginkan agar individu turut
aktif mengadakan perubahan yang diinginkan.
B. Apa itu filosofi progresivisme?
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya
bergerak maju. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif
diartikan sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan
bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai
sebagai suatu gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah progresivisme
dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan. Artinya progresivisme merupakan salah
satu aliran yang menghendaki suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan membawa
sebuah perubahan. Pendapat lain mengatakan bahwa progresivisme sebuah aliran yang
menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat (Muhmidayeli, 2011:151).
Progresivisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan modern.
Menurut John S. Brubacher sebagaimana dikutip Jalaludin dan Abdullah Idi (2012:82)
aliran progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan
oleh William James (1842- 1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitik beratkan
pada segi manfaat bagi hidup praktis. Artinya, kedua aliran ini sama-sama menekankan
pada pemaksimalan potensi manusia dalam upaya menghadapi berbagai persoalan
kehidupan sehari-hari. Di samping itu, kesamaan ini didasarkan pada keyakinan
pragmatisme bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak pasif dan
tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya
secara empiris (Uyoh Sahdullah, 2003:120).

4
Berkaitan dengan pengertian tersebut, progresivisme selalu dihubungkan
dengan istilah the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan
tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, sering ingin mengetahui dan menyelidiki
demi pengembangan pengalaman (Djumransjah, 2006:176). Maksudnya aliran
progresivisme sangat menghargai kemampuan-kemampuan seseorang dalam upaya
pemecahan masalah melalui pengalaman yang dimiliki oleh masing masing individu.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa aliran progresivisme
adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki adanya perubahan
secara cepat praktik pendidikan menuju ke arah yang positif. Dengan kata lain,
pendidikan harus mampu membawa perubahan pada diri siswa menjadi pribadi yang
tangguh dan mampu menghadapi berbagai persoalan serta dapat menyesuaikan diri
dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, progresivisme sangat
menghendaki adanya pemecahan masalah dalam proses pendidikan.
Secara sederhana prinsip-prinsip pendidikan dalam aliran progresivisme adalah
sebagai berikut (Mustagfiroh, 2020) ;1) siswa harus memiliki kebebasan dan
berkembang secara wajar; 2) Pengalaman langsung adalah rangsangan terbaik dalam
belajar; 3) Guru harus mampu membimbing dan menjadi fasilitator yang baik; 4)
Institusi pendidikan harus menjadi laboratorium pendidikan bagi perubahan siswa; 5)
Kegiatan di lembaga pendidikan dan di rumah harus kooperatif.
C. Apa implikasi filsafat progresivisme dalam pendidikan?
1. Tujuan pendidikan
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, maka aliran progresivisme lebih
menekankan pada memberikan pengalaman empiris kepada siswa, sehingga
terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat (Muhmidayeli, 2012:156).
Maksudnya pendidikan dimaksudkan untuk memberikan banyak pengalaman
kepada siswa dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi di lingkungan
sehari-hari. Dalam hal ini, pengalaman yang dipelajari harus bersifat riil atau
sesuai dengan kehidupan nyata. Oleh karenanya, seorang pendidik harus dapat
melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problem-problem yang ada
dalam kehidupan.
Tujuan pendidikan progresivisme harus mampu memberikan
keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan
lingkungan yang berbeda dalam proses perubahan secara terus menerus.Yang
dimaksud dengan alat-alat adalah keterampilan pemecahan masalah (problem

5
solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis,
dan memecahkan masalah.Pendidikan bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar
yang berada dalam proses perubahan.
2. Kurikulum pendidikan
Menurut Amir Ma’ruf (2012) kurikulum dalam pandangan
progresivisme ialah sebagai pengalaman mendidik, bersifat eksperimental, dan
adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman belajar adalah
pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang
telah digariskan dalam pendidikan, dimana setiap proses belajar yang ada
membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Artinya, kurikulum
harusnya dirancang untuk mengembangkan berbagai potensi siswa, serta dapat
memberikan pengalaman yang berharga bagi kehidupan anak didik.
Aliran progresivisme menghendaki kurikulum dipusatkan pada
pengalaman yang didasarkan atas kehidupan manusia dalam berinteraksi
dengan lingkungan yang kompleks (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:91).
Namun, dalam hal ini progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran
yang diberikan terpisah, tetapi harus terintegrasi dalam unit. Zuhairini
(1991:24) menyebutkan core curriculum harus mengandung integrated
curriculum dengan mengutamakan metode problem solving.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Kilpatrick sebagaimana dikutip
Jalaluddin dan Abdullah Idi (2012:93) mengatakan suatu kurikulum dianggap
baik dapat didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
a. Meningkatkan kualitas hidup anak pada tiap jenjang.
b. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam
suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
c. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba
atas keberhasilan sekolah, sehingga kemampuan anak didik
dapat berkembang secara aktual dan aktif memikirkan hal-hal
baru yang baik untuk diamalkan.

Dalam rangka mewujudkan ketiga prinsip tersebut, Kilpatrick


mengungkapkan ada beberapa hal yang perlu diungkapkan, di antaranya:

6
a. Kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup anak didik
sesuai dengan jenjang pendidikan.
b. Kurikulum yang dapat membina dan mengembangkan potensi
anak didik.
c. Kurikulum yang mampu mengubah perilaku anak didik menjadi
kreatif, adaptif, dan mandiri.
d. Kurikulum berbagai macam bidang studi itu bersifat fleksibel.
3. Proses pembelajaran
Menurut aliran progresivisme pada proses pembelajaran dilaksanakan
berangkat dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, melainkan
manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, yang berbeda
kemampuannya, aktif, kreatif, dan dinamis serta punya motivasi untuk
memenuhi kebutuhannya (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:89). Dalam
konteks ini, belajar semestinya dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai
potensi yang dimiliki oleh anak didik. Oleh karena itu, dalam pandangan
progresivisme belajar harus dipusatkan pada diri siswa, bukan guru atau bahan
pelajaran.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam belajar menurut
pandangan progresivisme, di antaranya:
a. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar perorangan.
b. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar melalui
pengalaman.
c. Memberi motivasi dan bukan perintah.
d. Mengikut sertakan anak didik di dalam setiap aspek kegiatan
yang merupakan kebutuhan pokok anak.
e. Menyadarkan pada anak didik bahwa hidup itu dinamis
(Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:88).
Pembelajaran haruslah menghasilkan corak dari output (luaran) sebagai
hasil proses pendidikan. siswa sebagai output dari proses pendidikan diharapkan
menghasilkan siswa yang unggul, kompetitif, inovatif, dan kreatif sehingga
terbentuk siswa/warga negara yang memiliki watak yang holistik. Maka dari itu
diperlukan seperangkat kurikulum yang berpusat pada pengalaman.
Sebagaimana dijelaskan oleh Salu dan Triyanto (2017), proses
pembelajaran dalam filsafat progresivisme sekurang-kurangnya memuat:

7
1. Guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran harus memberikan
dampak meningkatnya minat belajar dan rasa ingin tahu
siswa/mahasiswa. Setiap pembelajaran dalam aliran progresivisme
diupayakan untuk membuka ruang berpikir siswa serta didorong untuk
melakukan penemuan-penemuan baru sehingga siswa dapat
berkembang sesuai dengan potensi dan kreasinya.
2. Berinteraksi dengan alam, merupakan kegiatan membuat
siswa/mahasiswa guna mengenal lingkunganya
3. Kreativitas guru dalam merumuskan langkah langkah pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan dan model yang menarik perhatian
siswa/mahasiswa.
4. Siswa/mahasiswa didorong untuk berinteraksi dengan sesama
siswa/mahasiswa guna menjalin kerjasama.
5. Kurikulum menekankan studi alam terhadap perkembangan baru dalam
saintifik dan sosial.
6. Pendidikan sebagai proses yang terus menerus bukan sekedar
menyiapkan kehidupan dewasa.
4. Peran guru dan siswa
Dalam pandangan progresivisme terdapat perbedaan antara peran guru
dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Karena prinsip pembelajaran
progresivisme menghendaki pembelajaran yang dipusatkan pada siswa. Adapun
peran guru menurut aliran progresivisme ialah berperan sebagai fasilitator,
pembimbing, dan pengarah bagi siswa. Menurut Gutek (1974:146) pendidikan
progresif mencari guru yang memang berbeda dari guru di pendidikan
tradisional dalam hal watak, pelatihan, dan teknik pengajarannya. Karena
kelas/pendidikan progresif berorientasi pada kegiatan yang bertujuan, pendidik
progresif sangat perlu mengetahui bagaimana cara mendorong untuk dapat
berpendapat, berencana, dan menyelesaikan proyek mereka. Selain itu, guru
juga perlu mengetahui bagaimana tahapan kerja kelompok karena pola dasar
pengajaran progresif berpusat pada partisipasi kelompok.
Aliran progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas guru sebagai
pembimbing aktivitas anak didik/siswa dan berusaha memberikan
kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai Pembimbing ia tidak

8
boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-
hak alamiah anak didik/siswa secara keseluruhan.
Teori progresivisme menempatkan siswa pada posisi sentral dalam
melakukan pembelajaran. karena siswa mempunyai kecenderungan alamiah
untuk belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga
memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam
kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan
kepada siswa suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.

D. Apa itu filosofi pragmatisme?


Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, tindakan, merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan
oleh William James (1842- 1910 M) di Amerika Serikat. Isme itu sendiri berarti aliran
atau ajaran atau paham. Oleh karena itu, pragmatisme merupakan sebuah paham atau
ajaran yang menekankan bahwa pemikiran menuruti tindakan. Istilah lainnya yang
dapat diberikan pada filsafat Pragmatisme adalah instrumentalisme dan
eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena menganggap bahwa dalam hidup
ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang
merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak
mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan
tersebut dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan
eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan
berdasarkan pengalaman dalam menentukan kebenaran.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau
manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa
hasil. Dengan kata lain, suatu teori dikatakan benar jika teori tersebut berfungsi.
Pengertian lain dari pragmatisme yaitu paham yang menaruh perhatian pada praktek.
Para penganutnya memandang bahwa hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk
hidup yang berlangsung terus-menerus yang di dalamnya terpenting adalah
konsekuensi- konsekuensi yang bersifat praktis. Berdasarkan beberapa pengertian
pragmatisme diatas, maka dapat diambil benang merah bahwa pragmatisme merupakan
paham yang menganggap bahwa teori dinyatakan benar jika telah berhasil
dipraktekkan.

9
Pro dan kontra pragmatisme menunjukkan bahwa pragmatisme memiliki
kekuatan dan kelemahan. Kekuatan pragmatisme yaitu:
1) Pragmatisme membawa kemajuan- kemajuan yang pesat baik dalam
ilmu pengetahuan maupun teknologi;
2) Pragmatisme mendorong berpikir liberal, bebas, dan selalu
menyangsikan segala yang ada. Pragmatisme telah mampu mendorong
dan memberi semangat seseorang untuk melakukan penelitian-
penelitian demi kemajuan di bidang sosial dan ekonomi;
3) Pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”.
Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenarannya lewat
pembuktian yang praktis sehingga pragmatis tidak mengakui adanya
sesuatu yang sakral dan mitos.
Sedangkan Kelemahan pragmatisme yaitu:
1) Pragmatis sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai
kebutuhan kehidupan, sehingga sikap ini menjurus kepada sikap
ateisme;
2) Pragmatis menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis;
3) Untuk mencapai tujuan materialistisnya, manusia mengejar dengan
berbagai cara tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan
anggota dari masyarakat sosialnya. Dengan demikian, masyarakat
pragmatisme menderita penyakit humanisme

E. Apa itu filsafat pendidikan pragmatisme?


Pendidikan menurut pandangan pragmatisme bukan merupakan suatu proses
pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemberkahan kekuatan-
kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding), melainkan merupakan suatu proses
reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu, yang berarti
bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya. Menurut John Dewey (Gutek,
1974: 114), pendidikan perlu didasarkan pada tiga pokok pikiran yaitu :
1) Pendidikan merupakan kebutuhan hidup
Hidup selalu berubah menuju pembaharuan hidup, karena itu
pendidikan adalah merupakan kebutuhan untuk hidup. Pendidikan
berfungsi sebagai alat dan sebagai pembaharuan hidup. Perubahan yang
terjadi dalam hidup dan kehidupan manusia dengan pengaruh ilmu

10
pengetahuan, teknologi dan seni. Untuk mengisi dan melengkapi
kehidupan yang selalu berubah dan Perkembangan maka sangat
diperlukan adanya pendidikan.
2) Pendidikan sebagai pertumbuhan
Hidup selalu mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan
diwarnai oleh aktivitas aktif, yang berarti bahwa pertumbuhan akan
dipengaruhi intensitas aktivitas individu yang menimbulkan
pengalaman yang akan membawa perubahan pada dirinya. Sehingga
pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan
adalah hidup itu sendiri, bukan untuk suatu persiapan.
3) Pendidikan sebagai fungsi sosial.
Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003) lingkungan merupakan
syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan suatu
proses membimbing dan mengembangkan. Melalui kegiatan pendidikan
masyarakat membimbing siswa yang masih belum matang menurut
susunan sosial tertentu. Dalam aktivitas pendidikan selalu ada interaksi
yang dapat mempengaruhi dan membimbing siswa dapat
mengembangkan diri sebagai pribadi yang dipengaruhi dan
mempengaruhi dalam situasi dan lingkungan sosial.

F. Apa implikasi dari filsafat pragmatisme dalam pendidikan?


1) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk
penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi. tujuan pendidikan pun
harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada.
Hakikatnya pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Karena itu, tujuan
pendidikan menurut pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan
tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika
sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa mempertimbangkan keadaan
lingkungan kehidupan anak.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak
bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang
aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi
manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari

11
pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan
pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta
mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal
mereka.
2) Proses pembelajaran
Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode
aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja). Metode mengajar harus
fleksibel dan menimbulkan inisiatif siswa. Pada aliran filsafat pragmatisme
lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving
method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and discovery
method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang
memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing,
berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar,
bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman
dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
3) Kurikulum
Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang
dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke
sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai
dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan
pragmatisme serta merta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal
dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap
pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi
merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu
dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan
kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di
kelas adalah masalah masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi
pusat perhatian anak.
4) Peran guru dan siswa
Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu
organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk
tumbuh. Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme
bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar

12
biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan
membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan
kebutuhan siswa”. Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi
pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan
pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan
membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap
otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan
kebutuhannya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu
permasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan
kebutuhan yang dirasakannya.

G. Apa itu filosofi perenialisme?


Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan
keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali
kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perenialisme memandang pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain
pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan
mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat
teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada
pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan itu
sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang
(zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke
masa lampau. Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai
kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas
merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.

13
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri
yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap
agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat
sebagai suatu asas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu
pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.

a. Perenialisme dalam Pengertian dan Sejarah


Perenialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai continuing
throughout the whole year atau lasting for e very long time, yakni abadi atau kekal
dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan demikian, esensi kepercayaan filsafat
perenial adalah berpegang pada nilai-nilai atau norma norma yang bersifat abadi.
Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya manusia, seperti realita sepohon
bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim,datang dan pergi, berubah
warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang terus ada dan sama. Jika
gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah
merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus menerus sama
(Djumransjah, 2006: 185-186).
Dalam pengertiannya yang lebih umum dapat dikatakan bahwa tradisi
dipandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang
sejarah manusia, karena ini adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan
memang merupakan hakikat insaniah manusia (Muhmidayeli, 2005: 173).
Aliran perenialisme beranggapan bahwa pendidikan harus didasari oleh nilai-
nilai kultural masa lampau, regressive road to culture, oleh karena kehidupan
modern saat ini banyak menimbulkan krisis dalam banyak bidang (Assegaf, 2011:
193). Perenialisme mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa
tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar
tingkah laku dan perbuatan zaman Yunani Kuno dan abad pertengahan. Yang
dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai
pengetahuan, realitas, dan nilai dari zaman tersebut (Assegaf, 2011: 193).
Perenialisme dapat dikenali dengan mudah karena memiliki kekhasan,
diantaranya adalah: pertama, bahwa perenialisme mengambil jalan regresif, yaitu
kembali kepada nilai dan prinsip dasar yang menjiwai pendidikan pada masa
Yunani Kuno dan Abad Pertengahan. Kedua, perenialisme beranggapan bahwa
realita itu mengandung tujuan. Ketiga, perenialisme beranggapan bahwa belajar

14
kenyataan tertinggi itu berada di balik alam, penuh kedamaian, dan transcendental
(Assegaf, 2011: 193-194).
Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada
sepanjang sejarah, melihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada pada
zaman yunani kuno dan abad pertengahan yang telah terbukti dapat memberikan
solusi bagi berbagai problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan diterapkan
dalam menghadapi alam modern yang sarat dengan problem kehidupan
(Muhmidayeli, 2005: 173).
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris-
positivistis yang memandang kebenaran dalam konteksnya yang serba terukur,
teramati dan teruji secara inferensial yang melihat realitas sebagai sesuatu yang
serba materi, telah pula memunculkan berbagai problem kemanusiaan, seperti
munculnya sikap ambivalensi yang mencengkam dan mendatangkan kebingungan,
kebimbangan, kecemasan, ketakutan dalam bertingkah laku, sehingga manusia
hidup dalam ketidak menentuan dan cenderung kehilangan arah dan jati dirinya.
Pengabdian berpikir logis dalam hal ini telah pula memunculkan ketidakmampuan
manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mengingat corak kehidupan
yang serba rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivistis yang melihat
realitas dan fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat, telah pula
menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai orientasi kehidupan
(Muhmidayeli, 2005: 173-174).
Dengan memperhatikan pengertian di atas dan latar belakang timbulnya
perenialisme tersebut dapat kita pahami bahwa pada dasarnya aliran ini berasal dari
pemikiran orang-orang eropa yang berusaha untuk mencari jawaban akibat
banyaknya ketimpangan, kekacauan, kebingungan, serta berbagai problematika
lainnya. Mereka menganggap bahwa ide umum yang terkandung dalam pemikiran
filosof zaman Yunani Kuno dan abad pertengahan itu adalah memiliki nilai yang
ideal dan masih relevan untuk menjawab persoalan masa kini (Assegaf, 2011: 194).
Menurut Raghib al-Isfahani terdiri dari dua unsur, yakni tubuh dan jiwa. Bila
tubuh dapat dikenal dengan indra mata, maka jiwa hanya dapat dikenal dengan akal.
Jiwa itu sendiri sangat menentukan bagi tubuh. Selain dapat menciptakan
kehidupan, ia juga dapat menggerakkan tubuh untuk bekerja, merasa, berilmu dan
berpikir (Amril M., 2002: 142).

15
Dengan demikian bahwa aliran perenialisme ini menginginkan bahwa zaman
terdahulu (lampau) tetap dipertahankan dan diabadikan. Sebab zaman modern
banyak membawa kerusakan kepada manusia. Mereka juga beranggapan bahwa
zaman modern ini suatu zaman yang sakit. Karena zaman modern ini menjadikan
krisis diberbagai bidang. Baik itu tingkah laku manusia, kebiasaan-kebiasan yang
tidak sesuai dengan budaya mereka yang terdahulu. Oleh karena itu aliran
berinisiatif agar kembali kepada budaya yang lama dan ideal. Karna budaya yang
lama dan ideal itu sesuai dengan prinsip hidup mereka.
b. Dasar Filosofis Perenialisme
Sebagaimana pada perkembangan pemikiran filsafat umumnya, dasar
pemikiran filsafat perenialisme ini pun terlihat dari keyakinan ontologis mereka
tentang manusia dan alam. Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai
makhluk rasional yang akan selalu sama bagi setiap manusia dimana pun dan
sampai kapan pun dalam pengembangan historisitasnya. Keyakinan ontologis
sedemikian, bahwa mereka pada suatu pemikiran, bahwa kemajuan dan
keharmonisan yang dialami oleh manusia di suatu masa akan dapat pula diterapkan
pada manusia-manusia lain pada masa dan tempat yang berbeda, sehingga
kesuksesan masa lalu dapat pula diterapkan untuk memecahkan problem masa
sekarang dan akan datang bahkan sampai kapan pun dan dimana pun
(Muhmidayeli, 2005: 176).
Watak insan ialah luwes, lentur (flexible). Boleh dilentur, dibentuk dan
diubah. Ia mampu untuk menguasai ilmu pengetahuan, menghayati dan sehat
dengan adat-adat, nilai, tradisi atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai dan
aliran lama, dengan cara interaksi sosial baik dengan lingkungan yang bersifat alam
atau kebudayaan. Proses membentuk identitas, sifat dan watak atau mengubah dan
memupuk serta mengajukan ciri-cirinya yang unik dinamakan sosialisasi, atau
proses” pemasyarakatan.” Mudah atau susahnya proses ini bergantung pada usia
dan cara yang digunakan untuk sampai kepada tujuan (al-Syaibani, 1979: 156).
Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi
dasar, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi
bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan secara berimbang
dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio yang besar akan manusia kelas
pemimpin, kelas sosial yang tinggi. Manusia yang besar potensi kemauannya, akan

16
menjadi manusia-manusia prajurit, kelas menengah. Sedangkan manusia yang
besar potensi nafsunya akan menjadi manusia-manusia pekerja, kelas rakyat jelata.
Pendidikan dalam hal ini hendaklah berorientasi pada potensi psikologis dan
masyarakat, sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-kelas sosial dalam
masyarakat tersebut (Muhmidayeli, 2005: 176).
Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif, yakni kembali
kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkah pada zaman kuno
dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan dengan nilai ilmu
pengetahuan, realita, dan moral yang mempunyai peranan penting dan pemegang
kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan pada abad ruang angkasa ini.
Prinsip yang bersifat aksiomatis ini tidak terikat waktu dan tetap berlaku dalam
perjalanan sejarah (Djumransjah, 2006: 187).
Hal yang sama juga diungkap Aristoteles yang mengatakan, bahwa
kebahagiaan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika
ketiga komponen potensi dasarnya terdidik dan berkembang secara seimbang.
Harmonisasi fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam aktivitasnya
merupakan kunci bagi pengembangan kualitas humanitas manusia dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, pengisian pendidikan dalam ketiga aspek ini
merupakan suatu keniscayaan. Pendidik bertugas memberikan bantuan kepada
subjek-subjek didiknya untuk mewujudkan potensi-potensi yang ada padanya agar
menjadi aktif, nyata dan aktual, melalui latihan berpikir secara baik dan benar.
Pendeknya pembinaan dan latihan berpikir merupakan teori dasar dalam
pembelajarannya, sehingga dengan demikian mental disiplin merupakan
karakteristik pokok dalam teori belajar aliran perenialisme ini (Muhmidayeli,
2005: 177).
Aliran ini berkeyakinan, bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat
yang berbeda-beda, hakikat manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh
karena itu, pola dan corak pendidikan yang sama dapat diterapkan kepada siapapun
dan dimanapun ia berada. Menurutya, setiap manusia memiliki fungsi kemanusiaan
yang sama, karena memang terlahir dari hakikat yang sama sebagai makhluk
rasional. Aliran ini berpendapat, bahwa rasionalitas adalah hukum pertama yang
tetap benar di segala waktu dan tempat. Dengan prinsip rasionalitas ini pula akan

17
memunculkan adanya prinsip kesadaran dan kebebasan. Aliran ini berkeyakinan
bahwa dimanapun manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh karena itu pola
pendidikan apapun yang diterapkan, kita sebagai manusia tetap akan menerima
pendidikan itu. Karena kita terlahir sebagai makhluk rasional yang membedakan
dengan makhluk lainnya. Tentunya dengan rasional yang dimiliki manusia akan
menggiring manusia itu untuk dapat menggunakan rasio nya itu dengan baik dan
terarah. Begitu juga rasional merupakan hukum yang pertama yang dimiliki
manusia dan dapat dimanfaatkan dengan baik dan terarah.
c. Pemikiran Perenialisme tentang Pendidikan
Filsafat perenialisme dalam pendidikan lahir pada abad ke-20. Perenialisme
lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural.
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang
dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad
pertengahan. Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap
sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dan dari abad ke
abad. Oleh karena itu, perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan
ideal yang dimaksud, education as cultural regression. Perenialisme tidak melihat
jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah
sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain
kebudayaan dahulu dan kebudayaan abad pertengahan. Perenialisme tidak
memiliki kepercayaan diri bahwa zaman ini tidak akan berubah menjadi baik jika
tidak kembali pada nilai-nilai budaya lama yang dianggapnya ideal dan sudah
mapan (Ahmadi, 2014: 100-101).
Perenialisme percaya bahwa seseorang harus mengajarkan hal-hal yang
dianggap menjadi kemanfaatan abadi bagi semua orang di mana-mana. Mereka
percaya bahwa topic yang paling penting adalah mengembangkan seseorang.
Karena detail fakta berubah terus-menerus, ini tidak dapat menjadi yang paling
penting. Oleh karena itu, seseorang harus mengajarkan prinsip-prinsip bukan fakta.

18
Karena orang adalah manusia, kita harus mengajarkan pertama tentang manusia,
bukan mesin atau teknik. Jika semuanya demikian, seorang harus mengajarkan
topik liberal, bukan topic-topik vokasiona (Ahmadi, 2014: 100-101).
Tentang pendidikan kaum Perenialisme memandang education as cultural
regression : pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap
sebagai kebudayaan ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan
tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam
kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai kebudayaan ideal
tersebut.Sejalan dengan hal di atas, penganut Perenialisme percaya bahwa prinsip-
prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi.
Robert M. Hutchins mengemukakan “Pendidikan mengimplikasikan
pengajaran. Pengajaran mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah
kebenaran. Kebenaran di manapun dan kapanpun adalah sama. Karena itu
kapanpun dan di manapun pendidikan adalah sama”. Selain itu pendidikan
dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri (Zuhairini,
2008: 27).
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang bahwa tujuan utama
pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan
kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan
konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan disiplin mental.
Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada
materi (content based, subject centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra,
matematika, bahasa, humaniora, sejarah dan lain-lain (Assegaf, 2011: 194-195).
Kelompok perenialisme misalnya, menyebutkan pendidikan itu pada
dasarnya meningkatkan kualitas manusia sebagai manusia dalam kerangka nilai-
nilai kebenaran yang universal, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan
demikian sistem pendidikan apapun dan di dalam masyarakat manapun mesti
mengacu pada nilai-nilai kebenaran universal. Sedemikian rupa anak didik dalam
pendidikan dibantu untuk menemukan dan menjalin nilai-nilai universal ini dalam
kehidupan mereka (Knellr, 1972: 43).
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
pengembalian keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan

19
zaman sekarang. Maka, dapat dikatakan bahwa perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali, yaitu sebagai suatu proses mengembalikan
kebudayaan sekarang (zaman modern atau modernistik) ini terutama pendidikan
zaman sekarang ini perlu dikembalikan kebudayaan pada masa lampau (Gandhi
HW, 2013: 165).
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang didasarkan pada kesatuan, bukan
mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukan membanding-
bandingkan; serta memahami isi, bukan melihat luar atas berbagai aliran dan
pemikiran. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa perenialisme merupakan filsafat
yang susunannya mempunyai kesatuan. Susunan tersebut merupakan hasil pikiran
yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus.
Oleh karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah
tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat
pendidikan (Gandhi HW, 2013: 165).
Perenialisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang mendasari
dirinya pada keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang
dan waktu mestilalah membentuk dasar-dasar pendidikan seseorang. Oleh karena
itu tugas pendidikan itu adalah mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang
mana pengetahuan itu termasuk kebenaran. Kebenaran itu sendiri dimana-mana
sama, sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu dimana pun mestilah sama,
sedangkan anak didik sebagai individu dipandang oleh kelompok ini adalah
sebagai makhluk rasional dan spiritual. Secara implisit tentunya juga anak didik
adalah makhluk moral dan etik (Amril M., 2005: 26-27).
Pendidikan menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi
tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Sekolah menurut
kelompok ini tidak akan pernah dapat menjadi situasi kehidupan yang riil. Anak
dalam hal ini menyusun rancangan dimana ia belajar dengan prestasi-prestasi
warisan budaya masa lalu. Tugasnya kemudian adalah bagaimana merealisasikan
nilai nilai yang diwariskan kepadanya dan jiika memunginkan meningkatkan dan
menambah prestasi-prestasi itu melalui usaha sendiri (Muhmidayeli, 2005: 180).
Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran perenial ini adalah membantu
subjek-subjek didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi,
karena memang kebenarannya sifat universal dan tetap. Kebenaran-kebenaran

20
seperti ini hanya dapat diperoleh subjek-subjek didik melalui latihan intelektual
yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematisasi sedemikian rupa.
Hal ini semakin penting terutama jika dikaitkan dengan persoalan pengembangan
spiritual manusia (Muhmidayeli, 2005: 180).
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan
tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan
kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka
penyelenggaraan pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan
mestilah mencari pola agar subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri bukan
pada dunia saja, tapi hendaklah pada hakikat-hakikat kebenaran. Penyesuaian diri
pada kebenaran merupakan tujuan belajar itu sendiri. Oleh karena itu, para
Perenialisme memandang, bahwa tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan
dan disiplin mental. Para Perenialis percaya, bahwa pemikiran subek-subjek didik
akan menjadi nyata melalui pelatihan-pelatihan intelektual. Cara mudah untuk
mengajar subjek-subjek didik adalah dengan cara menumbuhkan keinginan untuk
belajar. Realisasi diri sangat tergantung pada disiplin diri, sedangkan disiplin diri
itu sendiri dapat diraih melalui disiplin eksternal. Berdasarkan pemikiran ini, maka
Perenialis sampai suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah upaya keras untuk
memperoleh sesuatu ilmu pengetahuan melalui disiplin tinggi dalam latihan
pengembangan prinsip-prinsip rasional (Muhmidayeli, 2005: 180-181).
Keinginan untuk menjadi diri sendiri itu ada pada setiap manusia. Maka
setiap anak yang berada dalam ikatan pendidikan dengan pendidikannya, adalah
mereka yang pada dasarnya ingin menjadi “diri sendiri”. Anak ingin menjadi
individu yang bebas, dan untuk itu ia mempertahankan dirinya dengan
sekelilingnya. Semangat kehidupan itu ada, namun merasa tak mampu bahkan pada
saat dilahirkan sama sekali tidak berdaya (Sadulloh: 2010: 142-143).
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang
pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan
dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada
logika melalui hukum berpikir metode deduksi, yang merupakan metode filsafat
yang menghasilkan kebenaran hakiki (Syam, 1998: 297). Menurut perenialisme
penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi
seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan,

21
bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan
pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan
berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalahnya.
Makna hakiki dari belajar, menurut aliran ini, adalah belajar untuk berfikir.
Aliran ini meyakini bahwa dengan cara latihan berpikir, subjek didik akan memiliki
senjata ampuh dalam menghadapi berbagai rintangan yang akan menurunkan
martabat kemanusiaannya, seperti kebodohan, kebingungan, dan keragu-raguan.
Tugas seorang subjek didik menurut aliran ini adalah mempelajari berbagai karya
dalam berbagai literatur filsafat, sejarah, dan sains, sehingga dengan demikian ia
berkenalan dengan berbagai prestasi di masa lalu menuju pembentukan pemikiran
yang akan mengisi kehidupannya dalam membangun prestasi-prestasinya pula.
Para subjek didik dalam hal ini mesti meraih subjek-subjek dasar tertentu yang
akan mengajarkan kepadanya hal-hal yang permanen tentang dunia. Subjek-subjek
dasar seperti bahasa, sejarah, matematika, pengetahuan alam, filsafat dan seni
merupakan hal penting yang sangat berguna bagi mereka dalam mengembangkan
pemikirannya, sehingga dengan demikian mereka pun memiliki kemampuan
rasional yang kokoh dalam menghadapi tantangan realitas kehidupannya
(Muhmidayeli, 2005: 181-182).

H. Apa pandangan filosofi yang diyakini dalam pengembangan strategi


pembelajaran?
1. Pengertian Strategi Pembelajaran
Kata strategi berasal dari bahasa Latin “strategia” artinya seni penggunaan
rencana untuk mencapai tujuan. Strategi merupakan alat, rencana, atau metode
yang digunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Dalam pembelajaran, strategi
berkaitan dengan pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan materi
pada lingkungan pembelajaran. Strategi pembelajaran juga dapat diartikan
sebagai pola kegiatan pembelajaran yang dipilih dan digunakan guru secara
kontekstual, sesuai dengan karakteristik siswa, kondisi sekolah, lingkungan
sekitar dan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Strategi pembelajaran
terdiri dari metode, teknik, dan prosedur yang akan menjamin bahwa siswa akan
betul-betul mencapai tujuan pembelajaran. Kata metode dan teknik sering
digunakan secara bergantian. Oleh karena itu strategi pembelajaran harus
disesuaikan dengan tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditentukan agar

22
diperoleh langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien (Nasution,
2017).
2. Jenis-jenis Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran terdapat beberapa jenis (Nasution, 2017), yaitu sebagai berikut:
a. Strategi pembelajaran ekspositori
Ekspositori berasal dari konsep eksposisi, yang berarti memberikan penjelasan.
Dalam konteks pembelajaran eksposisi merupakan strategi yang dilakukan pendidik
untuk menyatakan atau menjelaskan fakta-fakta, gagasan-gagasan, dan informasi-
informasi penting lain kepada para siswa. Tujuan dari strategi pembelajaran ekspositori
adalah memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa. Dalam strategi
pembelajaran ekspositori pendidik merupakan sumber data yang penting dan sekaligus
komponen penting dalam proses pembelajaran.
b. Strategi pembelajaran inkuiri
Strategi pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang
menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Strategi
pembelajaran inkuiri menekankan pada pengembangan tiga sasaran pembelajaran,
yaitu kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang, sehingga pelaksanaan
pembelajaran menjadi lebih bermakna.
c. Strategi pembelajaran berbasis masalah
Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran yang difokuskan kepada proses penyelesaian masalah secara ilmiah.
Masalah dapat diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari
peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Strategi pembelajaran berbasis masalah
dalam rangkaian aktivitas pembelajaran siswa tidak hanya sekadar mendengarkan,
mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, tetapi juga siswa aktif berpikir,
berkomunikasi. Peserta diidk difokuskan untuk menyelesaikan masalah serta ,
pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara
ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif
dan induktif.
d. Strategi Pembelajaran Kooperatif
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi pembelajaran
yang dalam implementasinya mengarahkan para siswa untuk bekerja sama

23
dalam kelompok-kelompok kecil dan kelompok kelompok yang berhasil mencapai
tujuan pembelajaran akan diberikan penghargaan. Tujuan pembelajaran dari
pengembangan pembelajaran kooperatif, yaitu prestasi akademis, penerimaan
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial.
e. Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang
menekankan pada pembentukan sikap yang positif pada diri siswa.
f. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) atau Strategi Pembelajaran
Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses
keterlibatan siswa untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.
g. Strategi Pembelajaran Aktif
Strategi pembelajaran aktif merupakan kegiatan kolaboratif yang terdapat
beberapa jenis, yaitu Card Sort, The Power Of Two, Team Quiz, Jigsaw, Every One is
a Teacher Here, snowballing, Information Search, Peer Lessons, Index Card Match,
dan The Learning Cell.
h. Strategi pembelajaran Quantum
Strategi pembelajaran quantum merupakan sebuah program percepatan
pembelajaran yang ditawarkan learning forum, yaitu sebuah perusahaan pendidikan
internasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan
keterampilan pribadi.
I. Kasus: Apakah Aspek Filosofis Pembelajaran Daring?
1. Video Pembelajaran Daring dengan Metode Ekspositori
Pada video contoh pembelajaran daring itu tentang materi Pecahan kelas 4 SD dengan
metode Ekspositori. Dimana guru sebagai sumber informasi yang memberi penjelasan
terkait materi Pecahan dengan pemberian contoh atau soal-soal. Guru menjelaskan
fakta-fakta, gagasan-gagasan, dan informasi-informasi penting lain kepada para siswa.
Tujuan dari strategi pembelajaran ekspositori adalah memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada siswa. Pengetahuan tersebut disampaikan secara sistematis dan
terstruktur agar siswa dapat memahami konsep secara logis. Pada video contoh ini, guru
menyediakan contoh konkret studi kasus, atau demonstrasi untuk membantu siswa
memahami konsep secara praktis seperti menggunakan pizza dan coklat.

24
Guru menggunakan metode ceramah interaktif, dimana siswa berlatih
mendengarkan dan menyimak, mengkaji apa yang diceramahkan, pemahaman konsep,
prinsip, fakta dan proses mencatat bahan pelajaran, tetapi siswa tetap diajak untuk aktif
dalam proses pembelajaran. Dimana siswa diberikan kesempatan untuk bertanya dan
mengajukan pendapat.
Berdasarkan uraian tersebut, filsafat yang mendasari pembelajaran daring
adalah filsafat perenialisme. Guru tersebut sebagai pusat informasi dan terlihat lebih
dominan dalam proses pembelajaran dan hanya mentransfer pengetahuan, terlihat
adanya diskusi sederhana seperti tanya jawab dan mengajukan pendapat. Dan siswa
diarahkan dalam pembelajaran agar dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
2. Video Pembelajaran Daring Interaktif Menggunakan Aplikasi Zoom
Pandemi Covid-19 mengharuskan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan
secara daring atau lebih dikenal dengan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran
matematika secara daring menjadi tantangan baik bagi sekolah, guru maupun siswa
karena dalam pelaksanaannya banyak ditemui hambatan dan keterbatasan. Oleh karena
itu, baik guru maupun sekolah harus berpikir secara kreatif untuk dapat menghadirkan
pembelajaran yang interaktif, menyenangkan, dan efektif bagi siswa.

Video tersebut menampilkan seorang guru yang menyampaikan materi Rumus


Jumlah dan Selisih Dua Sudut Trigonometri untuk siswa SMA secara daring. Dalam
video tersebut, guru memanfaatkan berbagai teknologi dalam pembelajaran, di
antaranya adalah aplikasi zoom sebagai aplikasi pembelajaran daring, aplikasi Mathtype
sebagai media pengganti papan tulis yang dapat menampilkan simbol-simbol
matematika, dan aplikasi FX Draw 6 untuk menggambarkan objek-objek matematika.
Materi trigonometri adalah materi yang abstrak sehingga dibutuhkan beberapa media
pembelajaran yang sesuai untuk menjelaskannya kepada siswa.
Selain penggunaan aplikasi atau media pembelajaran yang sesuai, strategi dan
pendekatan pembelajaran juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Sukses
atau tidaknya pembelajaran daring juga ditentukan dengan strategi dan pendekatan
pembelajaran yang sesuai. Dalam video tersebut, guru menggunakan diskusi kelas
dengan tujuan agar pembelajaran daring yang interaktif dapat terlaksana. Guru tidak
mendominasi pembelajaran dengan hanya menjelaskan materi dari awal hingga akhir
pembelajaran, sebaliknya siswa diberikan kesempatan yang luas untuk bertanya,
menjawab, dan berpendapat.

25
Sebelum pembelajaran berlangsung, guru telah melakukan orientasi materi
dengan memberikan video terkait materi yang akan dipelajari pada hari tersebut dan
siswa diminta untuk menyaksikannya. Pada awal pembelajaran, guru memberikan
stimulus dengan mengulang atau mereview materi-materi dasar trigonometri. Hal
tersebut dilakukan untuk memperkuat pengetahuan awal siswa sehingga siap untuk
mempelajari rumus jumlah dan selisih dua sudut trigonometri. Dalam kegiatan
pembelajaran, guru berperan sebagai pembimbing yang memberikan stimulus-stimulus
berupa pertanyaan-pertanyaan dan contoh-contoh soal. Dengan bekal video pada awal
pembelajaran, siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Untuk
melatih kemampuan berpikir kritis siswa, guru menyajikan beberapa contoh soal. Siswa
juga secara aktif menyelesaikan soal-soal yang diberikan selama pembelajaran dengan
menyampaikan ide penyelesaian yang bermacam-macam dan menjelaskannya kepada
siswa lain. Pembelajaran dengan diskusi pada video tersebut berjalan dengan baik dan
interaktif.
Berdasarkan uraian tersebut, filsafat yang mendasari pembelajaran daring pada
materi rumus trigonometri untuk jumlah dan selisih dua sudut adalah filsafat
progresivisme. Berdasarkan filsafat progresivisme, kebijakan pembelajaran daring saat
pandemi covid-19 mendorong adanya usaha pembaharuan dalam dunia pendidikan,
salah satunya penggunaan teknologi dan peran guru sebagai fasilitator atau pembimbing
dalam pembelajaran dengan menuntun langkah memahami suatu materi. Pembelajaran
interaktif yang ditampilkan dalam video menunjukkan bahwa pembelajaran
dilaksanakan dengan memberikan kesempatan siswa untuk berperan aktif dalam
pembelajaran dengan bertanya, menjawab, dan berpendapat selama pembelajaran
berlangsung.
3. Video Praktik Pembelajaran Daring Model Discovery Learning
Pada video tersebut, guru menjelaskan materi sistem persamaan linear 3 variabel
dengan menggunakan discovery learning secara daring. Kegiatan pembelajaran yang
ditampilkan dimulai dengan mempersiapkan siswa dengan berdoa, dan mengecek
kehadiran siswa. Setelah itu, guru menyampaikan materi mengenai contoh masalah dan
penyelesaiannya menggunakan sistem persamaan linear tiga variabel melalui PPT.
Setelah materi disampaikan, identifikasi masalah dilakukan oleh guru dengan
melayangkan pertanyaan mengenai kaitannya dengan materi sebelumnya yaitu
persamaan linear dua variabel. Guru menginstruksikan siswa untuk mengerjakan LKPD
yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep dari sistem persamaan linear tiga

26
variabel secara berkelompok dan hasil pekerjaan kemudian dipresentasikan melalui
Google Meet. Perwakilan 1 kelompok dipilih untuk mempresentasikan hasil pekerjaan
LKPD kelompoknya, dan dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk mencari jawaban
yang benar serta menarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan oleh guru dan
siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa pada
kesimpulan yang benar. Pembelajaran diakhiri dengan pemberian tugas dan penutupan
dengan salam. Dari video tersebut dapat dilihat pembelajaran yang dilakukan oleh guru
berbasis student center dan menggunakan metode discovery learning yakni penemuan
konsep dilakukan oleh siswa dengan mengerjakan LKPD yang telah diberikan oleh
guru.
Berdasarkan uraian diatas, filsafat yang mendasari pembelajaran daring materi
sistem persamaan linear tiga variabel dengan model discovery learning adalah filsafat
pragmatisme. Berdasarkan filsafat pragmatisme, metode yang digunakan dalam
pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil
bekerja). Metode mengajar harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif siswa. Pada aliran
filsafat pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah
(problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and
discovery method).

27
DAFTAR PUSTAKA

Anbiya, B. F., Nurdin, S. E., & Rizal, S. A. (2020). Filsafat Progresivisme dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai General Education di Indonesia. Civic-
Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKN Dan Sosial Budaya, 4(1), 301-3.

Brameld, T. (1956). Toward a Reconstructed Philosophy of education. New York: Dryden


Press

Fadlillah, M. (2017). Aliran progresivisme dalam pendidikan di Indonesia. Jurnal Dimensi


Pendidikan dan Pembelajaran, 5(1), 17-24.

Mubin, A. (2018). Pengaruh Filsafat Rekonstruksionisme Terhadap Rumusan Konsep


Pendidikan Serta Tinjauan Islam Terhadapnya. Rausyan Fikr : Jurnal Pemikiran Dan
Pencerahan, 14(1). https://doi.org/10.31000/rf.v14i1.681

Nasution, S. (1993). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditia Bakti. hal. 24 4 Ibid,
hal. 25

Nasution, W. N. (2017). Strategi Pembelajaran. In G-Couns: Jurnal Bimbingan dan


Konseling (Vol. 3, Issue 1). PERDANA PUBLISHING.

Priyanto, D. (2017). Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan.


Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 1(2), 177-191.

Sarah, S. (2018). Pandangan Filsafat Pragmatis John Dewey dan Implikasinya dalam
Pendidikan Fisika. In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika FITK UNSIQ (Vol. 1,
No. 1, pp. 67-77).

28

Anda mungkin juga menyukai