Anda di halaman 1dari 23

FILSAFAT PENDIDIKAN ALIRAN

PERENIALISME
A.    Hakikat Aliran Perenialisme
Perenialisme berasal dan kata perenial yang diartikan
sebagai continuing througbout the whole year atau lasting
for a very long time (abadi atau kekal dan dapat berarti pula
tiada akhir. Esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah
berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat
abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya
manusia, seperti realita sepohon bunga yang terus menerus
mekar dari musim ke musim, datang dan pergi, berubah
warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang
terus ada dan sama. Jika gejala dari musim ke musim itu
dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah
merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus
menerus sama.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-
kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan
perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan
pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia
(rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi
telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-
kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap
untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi
perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu
kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Filsafasat pendidikan Perenialisme adalah
mengemukakan bahwa situasi dunia saat ini penuh dengan
kekacauan dan ketidak pastian,dan ketidak teraturan
terutama dalam tatanan kehidupan moral,intelektual,dan
sosio kultural,untuk memperbaiki keadaan ini dengan
kembali kepada nilai nilai atau prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kuat pada zaman dulu abad
pertengahan (Perealisme membicarakan tentang nilai
kebenaran,nilai ini sudah ada pada setiap budaya yang ada
pada masyarakat).
Ciri Utama memandang Perenialisme bahwa keadaan
sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpang
siuran, berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang
membutuhkan usaha untuk mengaman lapangan
moral,inteltual dan lingkungan sosial kultural yang lain,ibarat
kapal yang akan berlayar zaman memerlukan pangkalan dan
arah tujuan yang jelas .
Perenialisme mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-
ciri itu adalah (Sadullah Uyoh,2004: 23) :
1.      Perenialisme berakar pada tradisi filosofis klasik yang
dikembangkan oleh plato, Aristoteles dan Santo Thomas
Aquines.
2.      Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip
kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi dalam arti tak
terikat oleh ruang dan waktu.
3.      Nilai bersifat tak berubah dan universal.
4.      Bersifat regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan
saat ini melalui nilai zaman pertengahan (renaissance).
Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak
menentu yaang berada dalam kebingungan dan kekacauan
seperti diungkapkan diatas, maka dengan ini memerlukan
usaha serius untuk menyelamatkan manusia,dari kondisi
yang mencekam dengan mencari dan menemukan orientasi
dan tujuan yang jelas,dan ini adalah tugas utama filsafat
pendidikan.perenialisme dalam hal ini mengambil jalan
regresif dengan mengembalikan arahnya seperti yang
menjadi prinsip dasar perilaku yang dianut pada masa kuno
dan dan abad pertengahan.
Motif Perenialisme dengan mengambil jalan regresif
bukanlah hanya nostaligia atau rindu akan nilai nilai lama
untuk diingat atau dipuja,melainkan berpendapat bahwa
nilaai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi
pembaangunan kebudayaan abad ke dua puluh.prinsip
prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu itu terkandung
dalam sejarah.
Perenialisme memiliki dasar pemikiran yang melekat
pada aliran klasik yang ditokohi oleh
plato,aristoteles,augustinus,dan aquinas,perenialisme
dalaam konteks pendidikan ditokohi oleh Robert maynard
Hutchins,Mortimer J.Aadler,dan Sir Richard livingstone.
Prinsip mendasar perenialis kemudian dikembangkan
pula oleh Sayyed Husein Nasr seorang filsuf islam
kontemporer yanh mengatakan bahwa manusia memiliki
fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang
fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan
kebaikan.perenialisme dalam konteks Sayyed Husein Nasr
terlihat hendak mengembalikan kesadaran manusia akan
hakikatnya yang fitri akan membuatnya berwatak kesucian
dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya,perenialisme berkembang
dalam dua sayap yang berbeda yaitu golongan teologis yang
ingin menegkkan supremasi ajaran agama dan dari
kelompok yang skuler yang berpegang teguh dengan ajaran
filsafat Plato Dan Aristoteles.

B.     Sejarah Perkembangan Aliran Perenialisme


Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard
Hutchins dan Mortimer Adler. Hutchins dalam Uyo Sadulloh
(2008:155) mengembangkan suatu kurikulum berdasarkan
penelitian terhadap Great Books (Buku Besar Bersejarah) dan
pembahasan buku-buku klasik. Perenialis menggunakan
prinsip-prinsip yang dikemukakan Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquino. Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles
mewakili peradaban Yunani Kuno serta ajaran Thomas
Aquino dari abad pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal
dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama
dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian
didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai
pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-
kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan
perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan
pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia
(rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi
telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-
kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap
untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi
perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu
kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat,
kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme
yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi
gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi
Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang
berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan
H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa
Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis,
yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan
pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah
mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan
agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa
yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-
Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham
gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal
dengan nama perenialisme. Pandangan-pandangan Thomas
Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja
Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis
lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain
dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan
perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha
untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan
tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai
perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan
disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik
dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan
yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan
yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa
hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat
spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal
yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i
kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang
bersendikan religi.

C.    Beberapa Filsuf Aliran Perenialisme


Pandangan para tokoh mengenai perenialisme yaitu :
1.      Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan
yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme.
Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme
adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak
ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam
kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato
berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak
berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada
pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari
realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber
dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan
nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya
bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak
mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia
menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan
rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.

2.      Aritoteles
Aritoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun
dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya,
yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism
(realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan
gurunya, Plato, yang menekankan berfikir rasional spekulatif.
Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas.
Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih
dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Arithoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi,
namun ia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan.
Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad
pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya
terhadap inkuiry menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai
Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan
kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran
atau perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap
kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles dalam Uyo Sadulloh (2008:153)
manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus.
Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial.
Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada
proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal,
manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional
memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih
tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3.      Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu
pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara
ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat
Aritoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar
pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus
yang dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquina,
tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya
filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya
dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas
Aquina secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu
mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Menurut Bertens dalam Uyo Sadulloh (2008:154)
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala
sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptekan oleh Tuhan,
dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa
Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak
mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari
sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof
neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori
“emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam
pemikiran tentang realitannya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan
dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas
pada satu saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina
mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai
persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi
pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber
dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan
dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia
mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan
ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme.
Kadang-kadang orang tidak membedakan antara
perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama
dengan neotonisme dalam pendidikan.

D.    Hakikat Pendidikan Menurut Aliran Perenialisme


Pendidikan menurut Aliran Perenialisme dipandang
sebagai Education As Cultural Regression : Pendidikan
sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang
dianggap sebagai kebudayaan ideal. Tugas pendidikan adalah
memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang
pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa
lampau yang dipandang sebagai kebudayaan ideal tersebut.
Perenialisme percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga
bersifat universal dan abadi.
Robert M. Hutchins dalam Jalaluddin Abdullah
(2007:116) mengemukakan “Pendidikan mengimplikasikan
pengajaran. Pengajaran mengimplikasikan pengetahuan.
Pengetahuan dalah kebenaran. Kebenaran di mana pun dan kapan
pun adalah sama. Karena itu kapan pun dan di mana pun
pendidikan adalah sama”. Selain itu pendidikan  dipandang
sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.

1.      Tujuan Umum Pendidikan


Menurut Jalaluddin Abdullah, tugas utama pendidikan
adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan.
Matang dalam artian hidup akalnya. Jadi akal inilah yang
perlu mndapat tuntunan, sekolah rendah memberikan
pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan tradisional seperti membaca, menulis, dan
berhitung, peserta didik memperoleh dasar penting bagi
pengetahuan yang lain.
Menurut Thomas Aquinas dalam Jalaluddin Abdullah
(2007:117) tujuan pendidikan ialah sebagai usaha
mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi
aktualitas, aktif, dan nyata. Menurut Robert Hatchkins dalam
Jalaluddin Abdullah (2007:118) tujuan pendidikan adalah
mengembangkan akal budi sepaya peserta didik dapat hidup
penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.
Berdasarkan pendapat tujuan pendidikan yang
dikemukakan para ahli diatas maka dapat disimpulkan tujuan
pendidikan adalah untuk mewujudkan peserta didik untuk
hidup bahagia demi kebahagiaannya sendiri. Dengan
mengembangkan akalnya maka akan dapat mempertinggi
kemampuan berpikirnya. Pendidikan membantu anak
menyingkapi dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki,
oleh karena itu kebenaran-kebenaran itu universal dan
konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya
menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-
kebenaran hakiki dapat dicapai dengan sebaik-baiknya
melalui :
a.       Latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran.
b.      Latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan
manusia spiritual.

2.      Hakikat Guru


Tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru,
di mana tugas pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada
anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya
sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang
telah mendidik dan mengajarkan.
Menurut Zuhairini Arikunto dalam Jalaluddin
Abdullah (2007:118) peran guru adalah mengajar dan
memberikan bantuan kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Guru mempunyai peranan dominan dalam
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang
ilmu, seorang guru yang ahli (a master teacher)
bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan
siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat,
dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai
orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang
pengetahuan dan keahliannya tifdak diragukan.

3.      Hakikat Murid

Murid dalam aliran perenialisme merupakan


makhluk yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama,
kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia
biologis. Hakikat pendidikan upaya proses transformasi
pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup
totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan
tindakan kritis terhadap seluruh fenomena yang terjadi
di sekitarnya.
Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara
seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia
yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu
pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia
dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual,
imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual
maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek
ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan.

4.      Proses Belajar Mengajar

Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut


Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka,
teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah
kepada tuntunan tersebut. Teori dasar dalam belajar
menurut Perenialisme terutama:

a.       Mental dicipline sebagai teori dasar


Menurut Perenialisme sependapat latihan dan
pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban
tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses
belajar. Karena program pada umumnya dipusatkan
kepada pembinaan kemampuan berpikir.
b.      Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi
tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus
disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna
kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu
manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya
dari makhluk yang lain. Fungsi belajar harus diabdikan
bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai
makhluk rasional yang bersifat merdeka.
c.       Leraning to Reason (belajar untuk berpikir)
Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan,
yakni belajar supaya mampu berpikir. Perenialisme
tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan
dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan
membaca, menulis, dan berhitung merupakan
landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu,
maka learning to reason menjadi tujuan pokok
pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
d.      Belajar sebagai persiapan hidup
Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata –
mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual
dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk
berpikir berarti pula guna memenuhi fungsi practical
philosophy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni.
e.       Learning through teaching
Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru
bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami
proses belajar sementara mengajar. Guru
mengembangkan potensi – potensiself discovery, dan
ia melakukan otoritas moral atas murid – muridny,
karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi
dan superior dibandingkan dengan murid – muridnya.
Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih
5.      Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan
pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk
menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus
berhadapan dengan bidang seni dan sains yang merupakan
karya terbaik yang diciptakan oleh manusia.
Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert
Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rector the
University of Chicago, Hutchin dalam Uyo Sadulloh
(2008:155) menegembangkan suatu kurikulum mahasiswa
S1 berdasarkan penelitan terhadap Buku besar bersejarah
(Great Book) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini
dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perenialis
Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan :
a.       Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran
manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran
apapun akan selalu benar dimanapun juga. Kebenaran
bersifat universal dan tak terikat waktu.
b.      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan
memfokuskan pada gagasan – gagasan, pendidikan juga
harus memfokuskan pada gagasan- gagasan . pengolahan
rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan
c.       Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk
berfikir secara mendalam mengenai gagasan – gagasan
signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang
benar dan kritis seperti metoda pokok mereka, dan mereka
harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.

Pandangan – pandangan kurikulum menurut aliran


perenialisme yang mempengaruhi praktik pendidikan.

a.       Pendidikan Dasar dan Menengah


  Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama
pada sikapnya tentang “education as preparation”. Dewey
dan tokoh – tokoh Progresivisme yang lain menolak
pandangan bahwa sekolah (pendidikan) adalah persiapan
untuk kehidupan. Tetapi Perenialisme berpendapat bahwa
pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di dalam
masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi,
bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju aktualitas,
menuju kematangan.
  Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan
sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan mencegah.
Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah
antara program, “general education” dan pendidikan
kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun.
b.      Pendidikan Tinggi dan Adult Education
  Kurikulum Universitas
Program “general education” dipersiapkan untuk
pendidikan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi
sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program
general education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21
tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan
melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi
pada prinsipnya diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan
intelektual yang disebut “The intellectual love of good”.
  Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa
Tujuan pendidikan orang dewasa ialah meningkatkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama
sebelum itu, menetralisir pengaruh – pengaruh jelek yang
ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis
ialah mengembangkan sikap bijaksana, guna merenorganisasi
pendidikan anak – anaknya, dan membina kebudayaannya.
Malahan Hutchins mengatakan, pendidikan orang dewasa
adalah jalan menyelamatkan kehidupan bangsa – bangsa.

Anda mungkin juga menyukai