Anda di halaman 1dari 11

TRADISIONALISME DAN MODERNISME STUDI ISLAM

Elsi Yuana Dan Lola Alberta


Program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu
email: elsiyuana7@gmail.com.

Abstrac
This article highlights the development of contemporary velues of Jambi's society.
Employing theframework of thinking based on toth traditionalism and modernism
concepts, the writer uncovers the long-rooted but alive traditions especially fot lhe
homogeneous natives and non-natives. In the contrary, modern values are also
developed especially for the educated urban people and the migrants who typically are
heeogeneous.
Kata Kunci: TradiSonalisme, Modernisme, Budaya, dan Ajaran Islam

Abstrak
Nilai masyarakat Mempekerjakan kerangka berpikir berdasarkan konsep
tradisionalisme dan modernisme, penulis mengungkap tradisi yang telah lama berakar
tetapi hidup terutama untuk dia penduduk asli dan bukan penduduk asli. Sebaliknya,
modern nilai-nilai juga dikembangkan terutama untuk kaum urban terpelajar orang
dan migran yang biasanya heeogeneous.
Kata Kunci TradiSonalisme, Modernisme, Budaya, dan Ajaran Islam

A. PENDAHULUAN

Pada umumnya bangsa-bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam


tinggal di negeri-negeri yang sedang berkembang. Negeri-negeri tersebut menghadapi
persoalan-persoalan yang umumnya sama yaitu persoalan yang disebabkan antara lain
oleh ledakan penduduk dan meningkatnya tuntutan-tuntutan dari keperluan penduduk,
serta perbedaan tahap perkembangan masyarakat.1

1
Deliar Noer, Gerakan Modern islam di Indonesia, ( Jakarta: LP3ES),hlm, 1900-1942.

1
Sementara itu, suatu hal yang sulit sekali dihindari dalam dinamika pemikiran
keagamaan adalah ketegangan-ketegangan bahkan konflik yang muncul mengiringi
perkembangan pemikiran itu. Di satu pihak, ketegangan dan konflik itu muncul oleh
suatu keharusan yang dilandaskan pada kepercayaan untuk mempertahankan segi
doktrinal suatu agama dalam situasi dunia yang selalu berubah. Di lain pihak
ketegangan dan konflik itu muncul oleh proses sosiologis. Kehadiran suatu agama
atau suatu pemikiran tertentu, sering kali memberikan dasar bagi proses pelembagaan
sosial politik. Bahkan ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dalam konteks ini
hampir semua proses kemasyarakatan bekerja dengan rujukan-rujukan pada pemikiran
agama yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Intensitas pendalaman
agama ini menciptakan lembaga yang mewadahi proses mobilitas vertikal bagi
mereka yang mengontrol pemikiran agama itu. Dari sinni lahir elite agama, yang
sekaligus elite sosial ekonomi dalam masyarakatnya. Ketegangan dan konflik akan
muncul dalam proses-proses sosioligis ini, ketika muncul gerakangerakan
pembaharuan pemikiran agama yang berusaha menggantikan pemikiran masa lampau.
Ketegangan atau konflik ini sering kali mencerminkan pertarungan antara kekuatan
lama (tradisionalis) yang ingin mempertahankan posisi elitisnya dengan kekuatan
baru (modernis) yang mengancam sistem sosial dan kepemimpinan lama. Dalam
sejarah yang lebih global di dunia Islam, para pembaharu pemikiran selalu
berhadapan dengan kelompok-kelompok yang telah dimapankan oleh salah satu atau
beberapa pemikiran Islam tertentu. Bekerjanya suatu pola pemikiran Islam lampau
dalam sebuah masyarakat, melembagakan sebuah masyarakat sosial, membentuk
tradisi dan sistem tingkah laku serta kelompok elite suatu agama tertentu, elite yang
dimapankan dan dilegitimasikan oleh nilai-nilai agama teretentu inilah yang sering
berhadapan dengan kelompok-kelompok baru dengan pemikiran Islam yang baru
pula. Untuk memahami ini maka perlu kita ingat dan pahami posisi Islam serta para
kalangan tradisionalis dan modernis dalam memahami dan mempraktekkan ajaran
Islam.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Tradisionalisme

2
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Tradisionalisme Dan Modernisme,
terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat tentang apa itu Islam dan apa pula
Tradisionalisme dan Modernisasi.
Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman, yang berarti “patuh,
tunduk, menyerah.2 Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh
kepada apa yang telah dibawa oleh Nabi saw.
Kata tradisionalis berasal dari bahwa Inggris, tradition, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi tradisi.3 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
kata "tradisi" diartikan dengan adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya
yang turun temurun dari nenek moyang. Dalam bahasa Arab kata tradisi biasanya
diidentikkan dengan kata sunnah yang secara harfiah berarti jalan, tabi'at,
perikehidupan. Sunnah dalam pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian sunnah
yang terdapat dalam hadits Nabi yang artinya: "Barang siapa yang mengadakan suatu
kebiasaan yang baik, maka bagi orang itu akan mendapat pahala, dan pahala bagi
orang yang melaksanakan kebiasaan tersebut." Umumnya para ulama mengartikan
kebiasaan yang baik adalah pemikiran dan kreativitas yang dapat membawa manfaat
dan kemaslahatan bagi umat. Tradisi yang dimaksud di sini adalah mengadakan
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra' Mi'raj, Tahun Baru Hijriyah dan
sebagainya.

Tradisionalisme merupakan ajaran filsafat dan teologi yang menolak adanya


kesanggupan manusia menemukan kebenaran sendiri. Mereka berpendapat bahwa
semua kebenaran harus diturunkan melalui perwahyuan Ilahi. Tradisional-isme
pernah menjadi reaksi terhadap pandangan rasionalisme dan materialisme abad ke-19
di Barat, yang memutlakkan otonomi akal-budi, dengan usahausaha untuk kembali
kepada kondisikondisi tradisionalis keagamaan, kesusilaan, sosial, dan politik. Dalam
arti yang lebih umum, tradisionalisme berarti penghargaan yang berlebihan pada
tradisi, dan segala sesuatu yang terjadi masa lampau (dalam ilmu, seni, kepercayaan
dan adat).4
2
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), Hlm
654.
3
Syamsuar Syam, TRADISIONALISME ISLAM SUATU KARAKTER DAN POLA
PENGEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA, Al Hikmah: Jurnal Dakwah dan Ilmu Komunikasi
2018,hlm, 32.

4
Syamsuar Syam, TRADISIONALISME ISLAM SUATU KARAKTER DAN POLA
PENGEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA, Al Hikmah: Jurnal Dakwah dan Ilmu Komunikasi
2018,hlm, 21.

3
Dengan demikian tradisionalisme merupakan suatu paham yang berpegang teguh
kepada al-Qur'an dan al-Sunnah dan mempertahankan hasil-hasil ijtihad para ulama
terdahulu tanpa adanya analisis dan interpretasi yang mendalam. Istilah ini berasal
dari bahasa Barat, yang menjadi label dalam bentuk pemikiran dan pergerakan dalam
realita sejarah Islam dari dulu sampai sekarang.

Karakteristik Tradisionalisme
Secara umum tradisionalisme Islam dalam realita sejarah memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:

1. Eksklusif (tertutup). Yang dimaksud di sini adalah tidak mau menerima


pemikiran, pendapat dan saran yang berasal dari luar, terutama dalam
bidang keagamaan. Hal ini timbul sebagai akibat dari sikap fanatisme
golongan.
2. Tidak dapat membedakan ajaran dan non-ajaran. Tradisionalisme
menganggap bahwa semua hal yang ada hubungannya dengan agama
sebagai ajaran yang harus dipertahankan. Contoh: Menutup aurat (ajaran)
dan pakaian (tidak ajaran). Mereka menganggap keduanya ajaran,
sehingga tidak dapat diubah.
3. Berorientasi ke belakang. Tradisionalisme menilai bahwa berbagai
keputusan hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau
merupakan contoh ideal yang harus diikuti. Hal itu akibat terlalu
mengagungkan para ulama masa lampau dengan segala atributnya yang
tak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul
belakangan.
4. Tekstualis-literalis. Tradisionalisme cendrung memahami ayat-ayat al-
Qur'an secara tekstual tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang
menyebabkan ayat-ayat tersebut diturunkan. Akibatnya jangkauan
pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja, tanpa
mampu mengkaitkan dengan perubahan situasi dan kondisi.
5. Kurang menghargai waktu. Tradisionalisme cendrung melakukan sesuatu
tanpa memperhitungkan waktu. Misalnya, sistem pendidikan di Pesantren
yang tidak memiliki pengembangan dan batasan kurukilum.

4
6. Tidak memahami sejarah masuknya agama. Sebelum Islam masuk ke
Nusantara, sudah ditemui agama dan tradisi yang berkembang, ikut
mewarnai tradisi dan paham keagamaan yang ada.
7. Mengutamakan perasaan dari akal pikiran. Mereka cenderung melakukan
berbagai kegiatan yang diarahkan untuk konsumsi perasaan, walau mereka
harus mengeluarkan biaya yang tidak edikit, seperti kegiatan-kegiatan
yang bersifat ritual keagamaan.
8. Bersifat jabariyah dan teosentris. Sikap pasrah, tunduk dan patuh pada
Tuhan diiringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan
mengizinkan akan terjadi.
9. Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Mereka
sering melakukan pekerjaan dengan cara-cara seperti dahulu kala, tanpa
disertai upaya untuk memperbaiki ke arah yang lebih efektif, efisien, cepat
dan tepat5. Jumud dan statis. Mereka cendrung tidak mau mengikuti
perubahan dan mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik
sejak dahulu, tanpa mempertanyakan secara kritis.

Melihat ciri-ciri dan karakter di atas terkesan bahwa tradisionalis cenderung


mempertahankan kebiasaan lama yang telah membudaya di tengah-tengah
masyarakat. Dalam tinjauan teologi, tradisionalisme akan dapat membawa
kehidupan statis terhadap umat manusia, Manusia dianggap lemah dan harus
menerima apa adanya (fatalistik).

2. Pengertian Modernisasi

Modernisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gerakan yang


bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikan dengan aliran-aliran
modern dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan (Dikbud, 1998: 662).6
Istilah "modern" berasal dari bahasa Latin "modo" yang berarti kini just now.
Meskipun telah muncul pada akhir abad ke-5, digunakan untuk membedakan keadaan

5
Syamsuar Syam, TRADISIONALISME ISLAM SUATU KARAKTER DAN POLA
PENGEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA, Al Hikmah: Jurnal Dakwah dan Ilmu Komunikasi
2018,hlm, 32.

6
Koko Abdul Kadir, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014),Hlm,243-244.

5
orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat, istilah modern
lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan, yaitu dari
tahun 1450 sampai sekarang. Dari istilah-istilah "modern" sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, lahir istilah lain, seperti "modernisme", "modernitas" dan
"modernisasi" Meskipun istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda-beda karena
berasal dari akar kata yang sama, pengertian yang dikandungnya tidak dapat lepas
dari akar kata yang dimaksud, yaitu "modern" Istilah "modernisme" misalnya, oleh
Ahmed dengan merujuk pada Oxford English Dictionary, didefinisikan sebagai
"pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan
tradisi, dalam masalah agama, agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernisme
diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains,
perencanaan, sekularisme, dan kemajuan.7
Kata "modern" menurut Harun Nasution, dalam khazanah pemikiran Barat,
mangandung makna pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-
paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan olah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Perubahan dilakukan untuk menyesuaikan keadaan masyarakat dengan
perkembangan zaman dalam rangka mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
Perubahan ini mensyaratkan agar memberikan solusi nyata dengan mendatangkan
paradigma baru dalam suatu masyarakat untuk mewujudkan kebangkitan bagi umat.
Di kalangan masyarakat pemikir Muslim modern lebih dikenal dengan istilah tajdid.8

Karakteristik Modernisme

Modernitas sendiri dicirikan oleh beberapa hal,9 yaitu:


 Subjektifitas
Dengan konsep subjektifitas memaksudkan bahwa manusia harus
menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas. Dengan
paham inilah maka abad modern ditandai oleh menye-ruaknya paham-
paham antroposentrisme. Nilai-nilai yang sifatnya antro-posentris ini tidak
lain adalah antitesis dari nilai-nilai lama yang sifatnya teosentris. Dalam

7
Koko Abdul Kadir, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014),Hlm,260.
8
Koko Abdul Kadir, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014),Hlm, 244.
9
Prodoyo, Skulerisasi dalam Polemik(Jakarta:PT. Pustaka Utama Grafika,1993),40.

6
ranah sosial, salah satu implikasi yang nyata kuatnya unsur subyektifitas
dalam kehidupan modern adalah munculnya individu-alisme. Individualisme
akhirnya juga sekaligus menjadi ciri khsusus dari kehidupan modern.
Sebuah masyarakat apabila sudah menginjak atau memasuki rimba raya
modernitas maka pola kehidupannya cenderung individualistik. Ini tentu
berbeda dengan pola kehidupan tradisional-teosentris yang di dalamnya,
unsur-unsur sosialis, masih sangat kental. Jadi dalam konteks ini,
modernitas bisa berarti lahirnya otonomi dan independensi manusia dari
sesamanya dalam kehidupan. Subektifisme atau individualisme ini menjadi
ciri khas modern, secara simbolik ditandai dengan digaungkannya
semboyan cogito ergo sumoleh Descartes. Descartes sendiri dinobatkan
sebagai bapak filsafat modern. Dalam hal ini eksistensi manusia
ditentukan unsur aku. Ada tidaknya manusia sangat ditentukan dan
dipengaruhi oleh eksisnya aku sebagai sebagai subyek berpikir. Cogito
(aku berpikir) sendiri ini tidak ditemukan dengan deduksi dari prinsip-
prinsip umum atau dengan intuisi. Tetapi Cogito ditemukan lewat pikiran kita
sendiri, sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri, tidak melalui kitab
suci, dongeng, pendapatorang, prasangka dan seterusnya. 10 Hal ini
menandakan bahwa moder-nitas sangat mengagung-agungkan konsep
subyektifisme dan individu-alisme. Subyek telah menjadi sedemikian
sentralnya dalam kehidupan, sehingga menjadi basis kesadaran seseorang
tentang keberadaanya.

 Kritik
Selanjutnya aspek kritik. Kritik ini juga masih da-lam pengertian
subyektifitas tersebut, sejauh dihadapkan pada otoritas.11 Asumsi dasar
modernisme rasionalitas. Dimensi rasionalitas dalam ke-rangka kritis ini
secara konkrit terreflkesi dalam kemajuan ilmu penge-tahuan. Modernitas
berasumsi bahwa knowledge is power. Dengan semangat kritis ini
modernitas mempunyai ambisi untuk mendekonstruksi paham-paham
tradisional yang dianggapnya menyesatkan, penuh dengan takhayul, mitos,
kejumudan dan keterbelakangan.

10
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004),39.
11
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2004), Hlm, 4.

7
Tujuan Modernisme
Oleh karena itu, misi utama modernisme adalah mendobrak tradisi lama
yang penuh mitologi dan takhayyul tersebut untuk digantikan dengan tradisi baru
yang berbasis rasionalitas dan ilmu pengetahuan ilmiah, menggantikan mitos
dengan logos. Dalam rangka demitologisasi inilah, akal secara penuh difungsikan
sebagai panglima untuk mendobrak paham lama yang berada di bawah rezim
agama (gereja) dan mencoba bereksperimen menemukan tradisi-tradisi baru
lewat metode ilmiah. Dari sini, munculnya penemuan kebenaran lewat sains,
adalah kemenangan akal atas wahyu, maka selanjutnya akal yang diterapkan dalam
masalah manusia ini adalah landasan modernitas.

Perspektif Islam Terhadap Modernisme


Agama Islam, bagi kita, merupakan keyakinan, Karena itu, sikap-sikap yang
diterbitkan atau disangka diterbitkan oleh agama Islam, akan mempunyai pengaruh
besar sekali bagi proses perubahan sosial. Bagi perubahan sosial, peranan Islam
akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung
pada pengikutnya.12 Penting bagi kita untuk memahami betapa lebarnya ke-
senjangan antara pendidikan dan Pendidikan sekuler di Mesir berikut konsekuensi-
konsekuensinya yang sangat jauh jangkauannya. Hal ini tidak hanya menempatkan
suatu sekolah dalam posisi berlawanan dengan sekolah lainnya dan suatu
universitas-universitas lainnya: tetapi juga, lebih dari pada faktor mana pun,
mendorong timbulnya perpecahan dikalangan umat muslim, yang terutama tampak
di kota-kota besar, yang menempatkan kelompok ortodoks dalam posisi
berlawanan dengan kelompok “yang dibaratkan” dalam hampir semua kegiatan
social mau-pun intlektual, dalam cara berpakaian, sikap hidup, kebiasaan-
kebiasaan dalam masyarakat, hiburan, sastra, dan bahkan dalam percakapan
mereka.13
Kenyataan tentang adanya kesenjangan dan perlunya diakhiri
kesenjangan inilah yang mendorong timbulnya modernisme dalam Islam. Pada saat
yang sama, ia menampilkan pengertian-pengertian dilema kejahatan di mana
12
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan(Bandung: Penerbit Mizan,1998),
125-126.
13
Ibid., Madjid, Islam, 235.

8
gerakan pembaharuan itu dipaksa masuk. Di satu pihak, dalam upaya menuju
formulasi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang modern, para pembaharu
itu hanya menjangkau sebagian besar kalangan terpelajar, tidak menyentuh rakyat
kebanyakan. Karena itu pengaruh mereka jauh lebih besar dikalangan umat
Muslim terpelajar di luar kelompok ahli-ahli agama (ulama). 14 Intinya adalah, Islam
mengutuk taqlid secara membabi buta (mengikuti pendapat yang tidak kritis) dalam
masalah keyakinan dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama secara mekanik.
Islam membangunkan akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk
menentang prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa
manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri dia harus membimbing
dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam
semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu.
Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala
sesuatu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kenyataan yang ada, dari segi
waktunya, lebih dulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau
ketinggian akal fikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki
kemampuan intelektual dan kemampuankemampuan alami yang sama. 15
Jadi ia
melepaskan diri dari semua rantai yang mengikatnya, membebaskannya dari
taqlid buta yang telah memperbudaknya, dan mengembalikan kewenangan
kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan
kebijakannya sendiri, namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah
sendiridan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan agama; tetapi dalam batas-batas
ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan
terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggung jawabnya.
16

KESIMPULAN

14
Gibb, Aliran-Aliran, (Jakarta: pt raja grafindo presada, 1998),hlm ,73.

15
Muhammad, Abduh, Risalah Tauhid, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris:
t.t.p, 1925), 107.
16
Muhammad, Abduh, Risalah Tauhid, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris:
t.t.p, 1925), 108.

9
Kata tradisionalis berasal dari bahwa Inggris, tradition, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi tradisi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
"tradisi" diartikan dengan adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang
turun temurun dari nenek moyang. Dalam bahasa Arab kata tradisi biasanya
diidentikkan dengan kata sunnah yang secara harfiah berarti jalan, tabi'at,
perikehidupan. tradisionalis cenderung mempertahankan kebiasaan lama yang telah
membudaya di tengah-tengah masyarakat. Adapun kesimpulan dari Modernisme
ialah,
Modernisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gerakan yang
bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikan dengan aliran-aliran
modern dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Modernisme diartikan sebagai
fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan,
sekularisme, dan kemajuan. misi utama modernisme adalah mendobrak tradisi
lama yang penuh mitologi dan takhayyul tersebut untuk digantikan dengan tradisi
baru yang berbasis rasionalitas dan ilmu pengetahuan ilmiah, menggantikan mitos
dengan logos.

REFERENSI

1. Munawir, Ahmad Warson,( 1997), Kamus Arab-Indonesia. Surabaya :


Pustaka Progresif.

2. Abdul Kadir Koko,( 2014) Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka


Setia.

3. Prodoyo, (1993), Skulerisasi dalam Polemik, Jakarta: PT. Pustaka Utama


Grafika.
4. F. Budi Hardiman,( 2004), Filsafat Modern, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
5. Nurcholis Madjid(1998), Islam Kemodernan dan keIndonesiaan,
Bandung: Penerbit Mizan.
6. Gibb, (1998), Aliran-Aliran, Jakarta: pt raja grafindo presada.
7. Muhammad, (1925), Abduh, Risalah Tauhid, Terj. B. Michel dan
Mustafa Abdul Raziq, Paris: t.t.p.

10
8. Syam Syamsuar, (2018), TRADISIONALISME ISLAM SUATU
KARAKTER DAN POLA PENGEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA, Al
Hikmah: Jurnal Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

9. Deliar Noer, Gerakan Modern islam di Indonesia, ( Jakarta: LP3ES).

11

Anda mungkin juga menyukai