Anda di halaman 1dari 7

Islam dalam Masyarakat Tradisional dan Modern

Oleh: Indah Mutiara dan Widya Putri

Di dalam buku Naila Farah, Pola Pemikiran Kelompok Tradisionalis dan Modernis dalam
Islam, Yaqzhan Vol 2 No.1, 2016.
Kelompok Tradisionalis dan Pola Pemikirannya
Islam di Indonesia dianggap mengandung konsep-konsep mistik dan telah benar-benar
menyesuaikan diiri dengan tradisi lokal yang sebelumnya telah mengakar pada kehidupan
masyarakat. Penyesuaian diri inilah yang dianggap oleh banyak ahli sebagai salah satu faktor
mengapa Islam mudah diterima dan berkembang di Indonesia.
Situasi perkembangan Islam yang kurang menggembirakan ini turut mempengaruhi
sosok Islam yang disebarkan saat itu. Karena Islam yang tersebar di Indonesia merupakan
Islam yang telah mengalami kemundurannya, maka tidak mustahil bahwa Islam yang tersebar
banyak pula menampilkan dimensi-dimensi kehidupan keagamaan as ketis. Karenanya sikap
adaptif dan akomodatif Islam terhadap nilai-nilai tradisi setempat, sesungguhnya merupakan
sesuatu yang tidak sepenuhnya murni, tetapi memang cenderung disebabkan oleh adanya
afinitas atau kesesuaian antara nilai yang ajarkan Islam dan nilai tradisi setempat.
Perhatian umat Islam terhadap keempat mazhab Fiqh cukup besar. Hal ini tampaknya
dikarenakan pemikiran-pemikiran mazhab Fiqh tersebut mempunyai relevansi langsung
dengan kehidupan keagamaan umat sehari-hari. Bahkan bidang Fiqhikah itu sering kali
menyentuh persoalan-persoalan ritual yang lebih praktis sifatnya. Di antara mazhab yang
empat itu, mazhab Syafiilah yang banyak mempengaruhi pola kehidupan keagamaan umat
Islam di Indonesia.
Ada beberapa ciri terpenting dari kelompok tradisionalis tersebut:
1. struktur referensi pengambilan hukum merujuk pada empat mata rantai yang telah
dibangun oleh keempat pendiri mazhab, terutama Imam Syafii, yaitu alquran, Sunah,
Ijmak’, dan Qiyas.
2. Benteng utama pendukung tradisionalisme Islam adalah kelompok kiai, yang
mendirikan pesantren sebagai basis penyebaran paham-paham keagamaan yang
dianutnya. Posisi kiai yang demikian tinggi dalam sistem pendidikan (di pesantren
atau surau) yang lebih mengutamakan hafalan daripada pemahaman mengakibatkan
para murid tidak berani mengungkapkan pikiran yang berlainan dengan guru.
3. Mayoritas mereka tinggal di daerah pedesaan dan pada mulanya mereka dan
kelompok eksklusif; dalam taraf-taraf tertentu mengabaikan persoalan-persoalan
duniawi, hidup dalam semangat asketisme sebagai akibat keterlibatan mereka dalam
kehidupan sufisme dan tareqat, serta cenderung mempertahankan apa yang telah
mereka miliki, di mana semuanya itu mereka pusatkan dalam pesantren.
4. Keterikatan mereka pada paham Ahli Sunah Wal jamaah yang dipahami secara
khusus. Keterikatan mereka pada paham ini menjadi semakin ketat dan seakan pada
gilirannya berfungsi sebagai ideologi tandingan terhadap perkembangan pemikiran
kalangan modernisme yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran Islam dan
menganjurkan umat untuk tidak terbelenggu dengan ajaran-ajaran mazhab yang
empat.
5. Kalangan tradisionalis menyandarkan pandangan keagamaannya pada Tiga tradisi
paham keagamaan.
6. Dalam bidang syariah mereka menjabarkan rukun Islam sebagai keharusan untuk:
mengucap dua kalimat syahadat, mengerjakan Shalat lima waktu membayar zakat,
mengerjakan puasa Ramadhan, melaksanakan kewajiban ibadah haji sekali dalam
hidupnya bagi mereka yang mampu.
7. Dalam kehidupan ritualisme Islam, kalangan tradisionalisme mengesahkan amalan-
amalan tambahan yang dinilai baik yang menurut mereka dianjurkan oleh para ulama
besar generasi sebelumnya, di mana amalan itu juga didasarkan atas sunah Nabi.
8. Lebih mementingkan kehidupan akhirat yang direfleksikan dalam kehidupan sufistik
dan tarekat.
9. Tradisi keilmuannya dibakukan dalam kitab kuning yang berperan sebagai
penyambung tradisi keilmuan lama yang telah berusia ratusan tahun yang
mengandung ajaran tauhid, Fiqh, dan akhlak.
Kelompok Modernisme dan Pola Pemikirannya
Kondisi masyarakat Islam Indonesia memperlihatkan mata rantai yang dalam
hubungannya dengan situasi perkembangan global Islam yang tidak menyenangkan di mana
umat Islam tenggelam dalam kejumudan (kemandekan berpikir), terperosok dalam kehidupan
mistisisme berlebihan dan dijajah oleh kekuasaan kolonialisme Barat.
Munculnya berbagai kelompok modernis Islam seperti: Al-Irsyad, Jamiatul Khair,
Muhammadiyyah, dan Serikat Dagang Islam, dan berbagai lembaga pendidikan modern
lainnya menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pembaharuan atau modernisasi pemikiran
Islam yang dipelopori oleh para pembaharu.
Pada kelompok modernisme terdapat ciri kuat yang membedakannya dari
kelompok tradisionalis.
1. Adanya kepercayaan dan pendirian bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Oleh
karena itu, praktek taklid harus dihilangkan, ajaran-ajaran Islam harus diterjemahkan
secara rasional, sehingga mampu membangun dan bersaing dengan peradaban
modern.
2. Sejalan dengan semangat kembali kepada alquran dan Sunah, kalangan modernis pun
melakukan upaya purifikasi keagamaan Islam dari elemen-elemen tradisi paganisme
yang dapat menimbulkan bid’ah dan khurafat.
3. Secara umum kelompok ini mengadakan pembaharuan berkisar pada aspek
pendidikan, sosial, dan politik. Hal ini dapat dipahami mengingat lembaga pendidikan
dan sosial yang ada ketika itu masih bersifat tradisional dan terpusatkan di daerah
pedesaan. .
4. Pikiran-pikiran pembaharuan lebih banyak ditujukan kepada peningkatan iman,
penolakan terhadap tarekat, mengecam terbukanya rambut seorang Perempuan di
tengah-tengah bukan muhrimnya, memberantas bid’ah dan khurafat.
5. Hanya alquran dan Sunah saja sebagai sumber dari pemikiran mereka.
6. Mereka mensosialisasikan gagasannya tidak hanya secara lisan, tetapi juga melalui
media cetak, sesuatu yang kurang mendapat perhatian kalangan pendukung
Tradisionalisme. Misalnya seperti yang dilakukan Syekh Taher melalui majalah
bulanan Al-Imam dan Al-Munir. Kedua majalah tersebut disebarkan ke berbagai
daerah di Indonesia
7. Menggunakan pendekatan rasional stik dalam melawan praktek bid’ah dan khurafat,
misalnya dalam perkawinan, kematian, dan masalah keagamaan lainnya. Khotbah
Jumat tidak lagi disampaikan dengan bahasa Arab, tetapi dengan bahasa yang
dimengerti oleh umat, sehingga pesan yang hendak disampaikan dapat ditangkap
Masyarakat.
8. lebih cenderung menganut paham Qadariyah. Kecenderungan kaum modernis kepada
paham Qadariyah ini mengharuskan mereka bersikap rasional dalam menghadapi
berbagai tantangan zaman.
9. bersedia mencontoh cara berorganisasi dari sistem pendidikan serta pemikiran Barat
termasuk yang berasal dari misionaris Kristen, selama hal ini tidak bertentangan
dengan ajaran pokok Islam.
Secara umum antara kelompok tradisionalisme dan modernisme menyadari bahwa
perbedaan antara mereka terletak dalam soal furuk’, sedangkan dalam soal pokok mereka
sepaham. Oleh sebab itu pada tahun 1935 mereka mulai berseru pada perlunya persatuan dan
toleransi. Banyak di antara mereka yang mengadakan perjalanan propaganda bersama untuk
kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang dilakukan.
Di antara kedua kelompok tersebut juga telah terdapat pengakuan bersama bahwa
Islam meliputi baik agama maupun soal-soal masyarakat termasuk politik. Hal ini jelas
kelihatan setelah Majelis Islam A’la Indonesia terbentuk tahun 1938, suatu federasi yang
didukung baik oleh kalangan modernis maupun kalangan tradisionalis.

Di dalam buku Syamsuar Syam yaitu Tradisionalisme Islam Suatu Karakter Dan Pola
Pengembangan Islam Di Indonesia. Tradisionalisme merupakan ajaran filsafat dan teologi
yang menolak adanya kesanggupan manusia menemukan kebenaran sendiri. Dalam arti yang
lebih umum, tradisionalisme berarti penghargaan yang berlebihan pada atradisi, dan segala
sesuatu yang terjadi masa lampau (dalam ilmu, seni, kepercayaan dan adat). (HasanShadily,
1984: 3608).
Secara umum tradisionalisme Islam dalam Realita sejarah memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Eksklusif (tertutup). Yang dimaksud di sini adalah tidak mau menerima pemikiran,
pendapat
dan saran yang berasal dari luar, terutama dalam bidang keagamaan. Hal ini timbul sebagai
akibat dari sikap fanatisme golongan.
2. Tidak dapat membedakan ajaran dan non-ajaran. Tradisionalisme menganggap bahwa
semua hal yang ada hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan.
Contoh: Menutup aurat (ajaran) dan pakaian (tidak ajaran). Mereka menganggap keduanya
ajaran, sehingga tidak dapat diubah.
3. Berorientasi ke belakang. Tradisionalisme menilai bahwa berbagai keputusan hukum yang
diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang harus diikuti. Hal itu
akibat terlalu mengagungkan para ulama masa lampau dengan segala atributnya yang tak
mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul belakangan.
4. Tekstualis-literalis.Tradisionalisme cenderung memahami ayat-ayat Al-Quran secara teks
tual tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang menyebabkan ayat-ayat tersebut
diturunkan. Akibatnya jangkauan pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus
tertentu saja, tanpa mampu mengaitkan dengan perubahan situasi dan kondisi.
5. Kurang menghargai waktu. Tradisionalisme cenderung melakukan sesuatu tanpa
memperhitungkan waktu. Misalnya, sistem pendidikan di Pesantren yang tidak memiliki
pengembangan dan batasan kurikulum.
6. Tidak memahami sejarah masuknya agama. Sebelum Islam masuk ke Nusantara, sudah
ditemui agama dan tradisi yang berkembang, ikut mewarnai tradisi dan paham keagamaan
yang ada.
7. Mengutamakan perasaan dari akal pikiran. Mereka cenderung melakukan berbagai
kegiatan yang diarahkan untuk konsumsi perasaan, walau mereka harus mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit, seperti kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual keagamaan.
8. Bersifat Jabariah dan teosentris. Sikap pasrah, tunduk dan patuh pada Tuhan diiringi
dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan terjadi.
9. Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Mereka sering melakukan
pekerjaan dengan cara-cara seperti dahulu kala, tanpa disertai upaya untuk memperbaiki ke
arah yang lebih efektif, efisien, cepat dan tepat.
10. Jumud dan statis. Mereka cenderung tidak mau mengikuti perubahan dan
mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik sejak dahulu, tanpa
mempertanyakan secara kritis.
Paham tradisional terlihat dalam sejarah merupakan fenomena umum yang terjadi
secara merata di seluruh dunia Islam. Di Saudi Arabiah tradisionalisme cenderung
"mengawetkan" tradisi pendahulunya secara tidak kritis. Berbagai praktik tradisi seperti
berziarah, berdoa dan minta-minta kepada kuburan yang dianggap keramat. Praktek
perdukunan dengan menggunakan jampi-jampi dan jimat-jimat yang membawa kepada
perbuatan syirik pernah mewarnai masyarakat Arab di abad ke-18 M. Akibatnya, praktek
kaum tradisionalis tersebut mendapat reaksi keras dari Gerakan Wahabiyah. Di Indonesia
kelompok tradisional menentang kaum modernis dan nasionalis, terutama dalam bidang
kemasyarakatan dan politik. Untuk lebih memperkokoh sosialisasi paham tradisionalnya itu
mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan pengetahuan
agama, tanpa bekerja sama dengan pihak asing seperti Inggris. Akibatnya pendidikan
kelompok tradisionalis cenderung terbelakang baik dari segi mutu, sarana, dan lain
sebagainya.
Kaum tradisionalis di masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan. Kebanyakan
mereka mengambil sikap menentang berbagai hal yang berbau modern atau yang berasal dari
Barat. Agaknya, pembangunan adanya pondok-pondok pesantren merupakan sikap antisipasi
terhadap serangan westernisasi. Ciri dan karakter pondok pesantren adalah menggunakan
kitab-kitab klasik secara teks tual, seperti dalam bidang Fiqh diajarkan kitab karangan Imam
Syafii, dalam bidang teologi diajarkan kitab karangan Imam Sanusi dan Imam Abu Hasan Al-
Asy’ ari, dalam bidang tasawuf diajarkan kitab-kitab karangan Imam Al-Ghazali. Sedangkan
kajian filsafat, ilmu pengetahuan modern dan teknologi tidak diajarkan pada Pesantren.
Namun hal yang dibanggakan adalah kemajuan dalam ilmu agama dan sikap spiritual yang
mendalam. Sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan etos kerja cenderung rendah dan
kurang diminati.
Sikap tradisionalis yang berbasis pada masyarakat pedesaan tersebut sebagian besar
dilindungi melalui organisasi keagamaan, khususnya Nadhatu Ulama, belakangan ini julukan
NU sebagai organisasi kalangan Islam tradisionalis sudah kurang cocok lagi. Begitu juga
Persatuan Tarbiah Islamiyah (Perti), aliran Ahlis Sunah Wal Jamaah dalam itikad dan
mazhab Syafii dalam syariat dan ibadat. Termasuk organisasi Al-Washliyah Al-Jami'ah,
disebut: al-Washliyah, berasaskan Islam dan bermazhab Syafii serta berhaluan Ahlis Sunah
Wal Jamaah .Melihat rentang sejarah tentang tradisionalisme dalam dunia Islam, ternyata
bentuk tersebut selalu diminati masyarakat yang cenderung terbelakang dari sistem
pendidikan dan pemahaman. Pola ini haruslah di "Re-interpretasi" untuk menuju kehidupan
yang lebih progresif.
Paham dan Gerakan Tradisionalisme Islam di Indonesia. Gerakan tersebut adalah
jamaah Tablig, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pengamalan ibadah yang kuat, seperti Shalat, zikir, dan ibadah lainnya. Pada umumnya
Jamaah Tablig sangat intens dalam mengajak umat untuk mengamalkan ajaran agama.
2. Pola berpakaian cenderung meniru sistem yang dilakukan oleh Nabi dan sahabat serta
masyarakat Arab lainnya.
3. Dari segi sosiologis, cenderung hidup dengan sistem kelompok. Mereka selalu mendatangi
rumah-rumah untuk bersilaturahmi.
4. Dari segi pemahaman agama, bersifat harfiah atau liberal. Apa yang dianggap sunah
diamalkan dengan konsekuen. Buku yang mengandung hadis-hadis fadail amal (keutamaan
amal) sangat dianjurkan, seperti: keutamaan Shalat sunat, Shalat berjamaah, berzikir,
membaca Al-Quran, bershalawat, dan keutamaan membaca tasbih, tahlil dan
tahmid. (Abuddin Nata, 2001:150).
Jamaah Tablig, di samping mengandung segi-segi positif, juga mengandung sisi negatif.
Segi positif, berupa ketaatan, kepatuhan dan kesungguhan menjalankan ibadah Shalat lima
waktu serta upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Sedangkan segi negatif, sikap mereka
yang memahami Islam hanya pada aspek ibadah ritual saja. Hal tersebut kurang tepat, karena
ajaran Islam bukan hanya ibadah bersifat ritual saja, tetapi juga sosial. Ibadah sosial
mengambil bentuk berusaha mengembangkan berbagai segi kebudayaan, peradaban, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang dibutuhkan masyarakat.
Perti singkatan dari "Persatuan Tarbiah Islamiyah”. Lahirnya Perti berawal dari
perjuangan Syekh Abbas Ladang Lawas yang menentang doktrin agama yang dikembangkan
oleh Kaum Muda, tetapi beliau adalah satu-satunya pemimpin Kaum Tua yang sudah
menerapkan sistem pendidikan klasikal di suraunya semenjak tahun 1918. Waktu itu
umumnya ulama Kaum Tua masih mempertahankan sistem pendidikan surau dan halakah.
Langkah Syekh Abbas ini diikuti pula oleh Syekh Sulaiman Arrasul di surau Candung
dengan mengubahnya menjadi "Madrasah Tarbiah Islamiyah". Selanjutnya berdiri pula
Tarbiah Islamiyah di Tabek Gadang Payakumbuh dan Jaho Padang Panjang.
Tujuan organisasi Perti dirumuskan dalam konferensinya di Bukittinggi tahun 1938
sebagai berikut:
1. Berusaha memajukan pendidikan agama Islam dan yang bersangkut paut dengan itu
2. Menyiarkan dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan
3. Berdaya upaya memajukan perusahaan
4. Memperkukuh amal ibadat serta memperbanyak syiarnya. (Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, 1999 : 97)
Pergerakan Tarbiah Islamiyah (Perti) didirikan atas inisiatif beberapa ulama yang
mempertahankan mazhab Syafi'idi Minangkabau, di antaranya Syekh Sulaiman Arrasul,
Syekh Abbas Ladang Lawas dan Abdul Wahid Tabek Gadang, berdiri pada tahun 1928 M.
K. H. Bisri Mustofa seorang Ulama asal Rembang mengartikan Ahul Sunah wa
Jamaah sebagai Paham yang berpegang teguh kepada tradisi, sebagai berikut:
a. Dalam bidang Hukum-hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). Dalam Praktiknya para Kiai merupakan Penganut kuat
mazhab Syafii.
b. Dalam soal Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Hasan Al-Asy’ ari dan Imam Mansur
Al-Maturidiy.
c. Dalam bidang Tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaid.
Gerakan tradisionalisme lainnya di Indonesia dianut oleh Al-Washliyah. Al-Washliyah
atau Al-Jami ‘ah Washliyah didirikan di Medan pada tahun 1930 atas inisiatif pelajar Maktab
Islamiyah Tapanuli yang tergabung dalam kelompok "Debating Klub". Organisasi ini secara
tegas menyatakan keterikatannya dengan paham Ahlis Sunah Wal Jamaah dan Fiqh Mazhab
Syafii. Islam, 1999 : 303)
Dalam bidang organisasi, Al-Washliyah banyak mengambil contoh kepada
Muhammadiyah seperti membentuk majelis dan organisasi otonom. Ada tiga majelis yang
melaksanakan program organisasi, yaitu Majelis Penyiaran dan Dakwah Islam, Majelis
Pendidikan dan Pengajaran, serta Majelis Penyantunan. Organisasi otonom adalah Muslimat
Al-Washliyah, Angkatan Puteri, Gerakan Pemuda Al-Washliyah, Ikatan Pelajar Al-
Washliyah, Ikatan Guru Al-Washliyah dan Ikatan Sarjana Al-Washliyah.
Dalam bidang pendidikan, Al-Washliyah juga menerapkan sistem pendidikan seperti
yang dicontohkan oleh Muhammadiyah, yaitu mendirikan sekolah-sekolah. Di bidang
dakwah, organisasi ini bekerja sama dengan organisasi Islam yang lain. Al-Washliyah juga
mendirikan Panti Asuhan yang dikelola oleh Majelis Penyantunan. Di bidang politik, Al-
Washliyah yang menyatakan diri sebagai organisasi yang independen, tapi tokoh-tokohnya
banyak yang aktif di Partai Islam Masumi pada zaman Orde Lama. (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1999 : 304).
Bila dibandingkan Al-Washliyah dengan NU, Muhammadiyah dan Perti terlihat ada sisi-
sisi persamaan dan perbedaannya, antara lain:
1. Dalam bidang Aqidah, Al-Washliyah sama dengan NU dan Perti, yaitu sama-sama
menganut paham Ahlis Sunah Wal Jamaah
2. Dalam bidang Fiqh, Al-Washliyah sama dengan Perti, memegang teguh mazhab Syafi.
3. Dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial-politik, Al-Washliyah sama dengan
Muhammadiyah: mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan dan independen dalam politik.
Berbeda dengan NU dan Perti yang menyatakan diri sebagai partai politik tersendiri.
Oleh karena itu tepatlah kiranya apa yang ditulis oleh Zamachsyari Dhofier yang
menyebutkan Al-Washliyah sebagai koreksi atas sistem klasifikasi dikotomi Islam Indonesia
ke dalam kategori tradisional dan modern. Di samping itu, penekanan terhadap Aqidah Ahli
Al-Sunah wa Al-Jamaah dan Fiqh mazhab Syafii merupakan bukti bahwa Al-Washliyah
termasuk kelompok tradisionalisme Islam di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai