Anda di halaman 1dari 20

MENGAPA HARUS BERFILSAFAT?

Review Buku Philosophical Instruction: An Introduction to


Contemporary Islamic Philosophy,
karya Muhammad Taq Mishbh Yazd
Yang diterbitkan oleh Institute of Global Cultural Studies (IGCS)
Binghamton University AS, 1999.

Oleh: Dr. Ahmad Barizi, MA

Memasuki dunia filsafat seakan kita menjelajahi ruang


yang tak bertepi. Semakin dijelajah maka semakin jauh ujung

ruang yang bakal diakhiri. Ketika ditanyakan mengenai arti


sesuatu (tarf al-syay`) maka biasanya yang muncul
adalah berbagai jawaban yang
menganekaragam. Yang satu tak bisa menafikan
yang lain atau bahkan sebaliknya justru saling melengkapi.
Mencoba mengurai satu-persatu jawaban yang ada maka
semakin beranekaragam konsep yang mengemuka. Kata kalam,
misalnya, ketika kandungan isinya disibak akan memunculkan
makna-makna sesuai konteks yang mengitarinya. Jawaban-
jawaban itu berbeda sesuai dengan kapabilitas dan
spesifikasi keilmuan yang dimiliki. Hal demikian merupakan
kerja filosof.
Tak jarang terjadi kesalahan pemahaman bila
pengungkapan pengertian sesuatu (tarf al-syay) masih
menyisakan kebingungan penggunaan dalam konteksnya.

Verbalisme bahasa mengenai sesuatu


menyarankan adanya penggunaan konteks dalam
2

menjelaskan pengertian sesuatu. Melalui verbalisme bahasa


seseorang penafsir harus bisa menjelaskannya dalam berbagai

konteks yang diinginkan oleh sesuatu itu. Jika sebuah


bahasa memiliki dua arti atau lebih dalam satu kumpulan
penggunaan, maka seseorang harus mampu menguraikannnya
bahwa kata itu memiliki arti demikian dalam ungkapan ini dan
arti demikian dalam ungkapan itu.

Untuk mengurangi kesalahan-kesalahan pemahaman di


dalam sebuah pengertian akan sesuatu maka

pengungkapan makna-maknanya
harus diurai dari berbagai segi, baik
bahasa (lexical), hakikat (reality),
maupun konseptual-nya. Menanyakan apa
manusia itu?, misalnya, menyarankan diuraikannya pengertian
manusia dari segi-segi yang ada secara mendalam mengenainya.
Di sini perlu diurai apakah manusia sebagai pribadi ataukah
sosial, apakah manusia sebagai hamba ataukah khalifah, apakah
manusia sebagai animal thinking yang bebas ataukah robot yang
berada di bawah kendali remote Tuhan, apakah manusia sebagai
esensi ataukah eksistensi, dan sebagainya. Manusia sebagai
identitas dan realitas makhluk di sini menyarankan pengertian
yang menyeluruh dan meliputi (al-tarf al-jmi al-syumul).
Tarf adalah pengertian yang meliputi dan sekaligus mampu

mengikat suatu kata yang didefinisikan. Ada dua hal


3

yang perlu diperhatikan dalam


mendefinisikan sesuatu. Pertama, seseorang harus
memastikan arti konseptual kata tersebut. Kedua, seseorang
harus bisa menggambarkan pengertian nyata (realitas)
dari rujukannya. Hal ini perlu karena kesalahan pemahaman
biasanya muncul akibat lemahnya pemahaman akan konsep dan
realitas bahasa sesuatu yang didefinisikan. Sebab suatu bahasa
kadang merujuk kepada arti khusus dan umum. Juga kadang
bahasa itu telah mengalami transformasi dan evolusi dalam
realitasnya.
Seseorang yang memiliki aksentuasi ke arah pemikiran
filsafat senantiasa mehibahkan dirinya untuk berlama-lama

berenang dalam pencarian makna-makna dari


sebuah konsep dan realitasnya. Akrab dengan
aneka pemahaman dan pemikiran yang berbeda. Perbedaan
pemahaman dan pemikiran merupakan kekayaan yang
meniscayakan apresiasi dan penghargaan akademis yang sama.
Tapi sayang, diakui atau tidak, sampai sekarang sedikit sekali
orang yang memiliki pemahaman dan pemikiran berbeda ini.
Meskipun orang seringkali menyitir ungkapan, ikhtilf ummat
rahmah, sebagaimana dinyatakan M. Amin Abdullah, tapi
ternyata ia tidak terbiasa dengan perbedaan.1 Orang lebih
terbiasa berpegang pendapat bahwa pemahaman kita atas suatu
pandangan hidup dan cara berpikir tertentu sebagai suatu yang
mutlak dan steril, sehingga sulit diharapkan dapat terserapi
1
Lihat M. Amin Abdullah, Kata Pengantar Penerjemah, dalam
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan (Jakarta:
Rajawali Pers, 1989), h. vii.
4

oleh pendapat lain yang barangkali juga ada manfaatnya. Cara


berpiki demikiann bisa diumpamakan, demikian Amin, dengan:
ibarat orang melihat hutan, tertutup oleh sebatang pohon.2
Oleh karena tertutup oleh sebatang pohon, dia tidak mampu lagi
melihat secara utuh dan jernih isi hutan yang serba
beranekaragam, baik alam fauna maupun floranya, belum lagi
menyebut pemandangan indah dan alam pegunungan yang
kadang ada di tengah hutan.
Salah satu penyebab seseorang enggan belajar filsafat
Islam adalah karena sebatang pohon kekaburan yang
membentang terlampau besar dan panjang di hadapan umat
Islam. Sebatang pohon yang dimaksud adalah sejarah gelap
perhelatan pemikiran yang terjadi antara al-Ghazl (1058-1111
M) dan Ibn Sn (980-1037 M), yang sangat berpengaruh dan
bahkan menentukan gerak laju sejarah pemikiran umat Islam. 3
Sejak itu eksistensi filsafat Islam dilihatnya secara sinis dan miris
oleh umat Islam. Sekalipun akhir-kahir ini, yakni sejak paruh
kedua abad ke-20 filsafat Islam mulai dilirik sebagai
perbincangan yang mengasyikkan dan sekaligus memberikan
solusi pemikiran bagi hidup manusia modern. Manusia modern
yang cenderung mengalami apa yang disebut Seyyed Hossein
Nasr sebagai split personality dan split integraty,4 memerlukan

Ibid.
2

Ibid.
3

4
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man
(London: Longman Group Ltd., 1975). Dikaui atau tidak, secara
perlahan kekayaan yang terkandung di dalam Islam dan
kebudayaannya semakin banyak menarik perhatian kaum pria dan
wanita Barat, ketika perkembangan westernisasi itu sendiri sedang
mengancam benteng pertahanan Islam. Situasi demikian menggugah
Nasr untuk menegaskan kembali kekayaan Islamprinsip-prinsip
maupun ajaran-ajarannyake dunia Barat, yang diurai menurut
cabang-cabang tradisi (al-dn) yang bersumber kepada al-Quran. Nasr
5

tawaran-tawaran metafisikal yang menyejukkkan bagi


perkembangan intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas
manusia. Sementara kekokohan manusia mensyaratkan adanya
kekokohan perspektif tiga dimensional ini untuk dikatakan
sebagai manusia bertakwa (al-muttaqn), apalagi pemimpin
orang-orang bertakwa (imman li al-muttaqn).5
Haidar Baqir menyatakan bahwa berbagai krisis yang
menimpa negara dan bangsa Indonesia yang tak kunjung usai ini
seperti krisis ekonomi, politik, kepemimpinan, disintegrasi,
moral, kepercayaan, budaya, lingkungan, dan sebagainya
adalah berkorelasi erat dengan krisis persepsi yang terjadi
di benak anak bangsa yang menjelma dalam kesadaran
kolektif (collective memory).6 Krisis persepsi dimaksud adalah
dangkalnya pemahaman seseorang terhadap substansi
persoalan yang melanda bangsa ini. Wacana tentang isu-isu
seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan gender, demikian
Haidar, tidak jarang malah counterproductive karena tidak
tergalinya muatan-muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar
isu-isu tersebut.7 Di sini bisa dikatakan bahwa berfilsafat dengan
metodologi-berpikirnya yang ketat mengajak segenap orang
untuk meneliti, mendiskusikan, dan menguji kesahihan dan
akuntabilitas setiap pemikiran dan gagasan. Melalui filsafat
setiap pemikiran dan gagasan dipertanggungjawabkan secara

ingin menyuguhkan terapi paling mujarab dengan filsafat Islam bagi


krisis-krisis eksistensial yang bermula dari pemberontakan manusia
modern kepada Tuhan.
5
Qs. al-Furqn [25]: 74.
6
Haidar Baqir, Kembali Berfilsafat, Kembali Menjadi Manusia:
Pengantar untuk Seri Filsafat Islam Mizan, dalam Oliver Leaman,
Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa
Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), h. xii.
7
Ibid.
6

intelektual dan ilmiah. Selanjutnya setiap pemikiran dan gagasan


yang menepikan filsafat hanya akan menjadi ungkapan-
ungkapan verbal artifisial yang membosankan.
Mencoba merekonstruksi pemikiran filosofis sebagai solusi
bagi krisis eksistensial dan moral manusia modern maka hal
pertama yang perlu diklarifikasi adalah pemaknaan filsafat itu
sendiri. Hal ini penting berkaitan dengan bagaimana seseorang
berkontribusidalam konteks pemikiran dan gagasan solutif
secara utuh, holistik, dan penuh makna kepada manusia modern
dalam mempersepsi realitas. Uraian filosofis adalah salah satu
jalan paling representatif bagi bagi segenap problematika yang
mengena manusia modern dari berbagai aspek kehidupan.

Urgensi Merekonstruksi Filsafat


Tradisi intelektual yang menggema sejak
diintrodusirkannya api pembaruan pemikiran Islam (tajdd al-fikr
al-Islm) oleh Jamaluddin al-Afghani (w. 1897) dan Muhammad
Abduh (w. 1905) adalah petanda di-(de/re)konstruksikannya
tradisi filsafat Islam modern. Sayangnya, tradisi intelektual dan
filsafat yang diangankan Afghani dan Abduh hanya dipahami
secara parsial dan pada permukaannya saja sehingga terasa
dangkal dan fisial. Kecenderungan banyak orang adalah hanya
mengakomudasi api pembaruannya dengan menafikan proses-
proses pemikiran filosofis yang mengantarkannya kepada
keutuhan dan holistisitas masalah yang diketengahkan. Padahal,
sejatinya api pembarauan yang diusung oleh keduanya adalah
terletak pada proses metodologis dan filosofis dari aras
pemikiran dan gagasan yang ditawarkannya: apakah ia bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional? Untuk
7

mengacu ke arah pertanggungjawaban yang ilmiah dan rasional


inilah maka mutlak memahami secara benar makna-makna
dan bagaimana seharusnya pemikiran filosofis diletakkan
terhadapnya.
Adalah Muhammad Taq Mishbh Yazd, seorang filosof
Islam Iran kontemporer, dalam karyanya Philosophical
Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy
mencoba mengurai kembali masalah-masalah filsafat yang kaya
akan makna.8 Teknis penulisan karya ini dikemas dengan bahasa-
bahasa yang sederhana dan populer yang mudah dipahami.
Membaca buku ini pembaca dibawa kepada jalan-jalan filsafat
yang rileks dan menyenangkan dengan berbagai ilustrasi yang
apik.9 Mula-mula buku ini merupakan serangakaian kuliah beliau
di depan para mahasiswa filsafat Islam di Hauzah Qum, Iran,
yang dirancang secara apik dan sistematis sehingga bentuk
pelajaran-pelajaran filsafat itu saling bertalian.
Mengajari mahasiswa akan filsafat adalah sesuatu yang
niscaya. Apalagi kehidupan global-modern yang masuk ke kamar-
kamar mahasiswa dewasa ini melalui arus informasi dan
komunikasi yang tak berbatas cenderung berdampak negatif.
8
Lihat Muhammad Taq Mishbh Yazd, Philosophical Instructions:
An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, terj. Muhammad
Legenhausen dan Azim Sarvdalir (Binghamton New York, USA: Isntitute
of Global Cultural Studies (IGCS) Binghamton University, 1999).
9
Ibid., h. 75. Pelbagai ilustasi filosofis yang disuguhkan Taq
Mishbh untuk menyebut di antaranya bisa dibaca pada bagian
kesepuluh dari buku ini yang mengurai Keniscayaan Filsafat (The
Necessity of Philosophy). Diilustrasikan bahwa kisah anak cucu Adam
hidup di dunia laksana menumpang kapal besar bernama bumi,
berputar-putar di jagat kosmos, melancongi lautan waktu yang tak
berbatas (limitless), dan masing-masing harus mempersiapkan diri
dengan jawaban atas pertanyaan besar, Ke mana gerangan kita
menuju? Jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa diperoleh dari dan
sekaligus mengharuskan seseorang untuk mengusungnya ke arah
pemikiran filosofis yang utuh dan holistik.
8

Mengutip ayat al-Quran yang menyatakan, Mereka punya hati,


tapi tak bisa memahami; mereka punya mata, tapi tak bisa
melihat; mereka punya telinga, tapi tak bisa mendengar. Benar-
benar mereka mirip binatang piaraan, tidak, malah mereka lebih
tersesat lagi. Mereka itulah orang-orang lalai (Qs. al-Arf [7]: 9),
Taq Mishbh menyimpulkan keadaan manusia modern. 10
Manusia modern adalah manusia yang bingung dari dan ke mana
mereka harus melabuhkan kehidupannya. Bingung jalan apa
yang mesti mereka tempuh.
Apa yang dilukiskan Taq Mishbh kiranya telah menjadi
perhatian banyak orang. Para pemerhati sosial dan agamawan
seringkali menyiarkan problematika manusia modern yang
sedang mengalami krisis spiritual, iman, dan cinta. Krisis
demikian terjadi bukan karena horizon spiritual, iman, dan cinta
itu tidak ada, tetapi karena manusia modernseperti dikatakan
dalam perspektif filsafat perennialhidup di pinggir lingkaran
eksistensi. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari
sudut pandangan-pinggiran eksistensinya itu, tidak pada pusat
spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan lupa siapa dirinya.
Orang demikian dilukiskan Taq Mishbh laksana kafilah manusia
yang berjalan tanpa awal dan akhir (no beginning and no no end
to caravan), sehingga dengan mudah dihempas gelombang
ombak modernisasi yang absurd, nihil, dan hippis.11
Manusia yang senantiasa mendiami pinggiran
eksistensinya adalah pribadi yang sepenuhnya dan secara
absolut terasing. Teralienasi dari dirinya. Ia lebih suka menjadi
manusia teknokratik dan industrialistik yang cenderung bergerak

10
Ibid.
11
Ibid., h. 76.
9

dari warga yang tak terkordinir pada kesadaran individu. Manusia


modern ini dengan mudah dapat diredusir menjadi unit-unit
matematik, dengan mudah diukur melalui angka-angka,
kepribadiannya dapat diungkapkan dalam kartu identitas
(punched card). Manusia modern ini juga tidak lagi mengalami
dirinya sendiri dan pencipta aktivitas-aktivitasnya sendiritetapi
semua tindakan dan dampaknya menjadi majikannya, yang ia
taati, atau bahkan ia sembah.
Pengertian di atas menggambarkan bahwa manusia
modern tidak lagi merasakan dirinya sendiri sebagai seorang
pencipta dan sebuah pusat, tetapi sebagai seorang abdi dari
suatu golem yang ia ciptakan sendiri. Tidak jarang bila kemudian
ia muncul sebagai budak-penyembah identitas di luar dirinya,
seperti kekayaan, jabatan, dan benda-benda industrial yang ia
ciptakan sendiri. Lebih daripada itu, ia hidup sebagai pribadi-
pribadi yang diperbudak oleh ambisi-ambisi. Uang, misalnya,
merupakan tanda keterasingan. Sebab siapa yang mempunyai
uang bisa memperoleh apa saja, entah ia membutuhkan atau
tidak. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai akan mati
kelaparan. Ini keterasingan memuat dua segi. Yaitu keterasingan
dari alam di satu sisi dan keterasingan manusia dari manusia di
sisi lain. Keterasingan yang pertama bisa dijelaskan bahwa
segala barang/benda bisa dibeli dengan uang dan hanya demi
uang, barang itu kehilangan nilainya sendiri; nilainya hanya nilai
uang saja. Juga manusia yang seharusnya saling membantu,
mendukung, membutuhkan, dan menghargai, berubah menjadi
pribadi yang hanya saling mempergunakan. Orang lain
dipandang sebagai saingan, alat untuk memenuhi kebutuhan.
Pembantu rumah tangga dan buruh pabrik, misalnya, kerapkali
10

dipandang sebagai benda mekanik yang bisa disuruh dan


diperintah sekehendak majikan dan bos tanpa adanya rasa
menghargai dari sisi kemanusiaannya.
Untuk menjawab persoalan krisis eksistensi di atas,
demikian Taq Mishbh, tidaklah cukup dengan menawarkan ilmu
alam dan matematika yang kering dari dimensi-dimensi spiritual-
keagamaan. Jawabannya harus dicarikan pada metode-metode
rasional (must be invertigated by rational methods) yang pada
gilirannya menunjuk pada metafisika atau Filsafat Pertama
(metaphysics or First Philosophy).12 Metafisika diyakini mampu
mengungkap persoalan mendasar manusia sepanjang karier di
dunia. Gagasan-gagasan filosofis yang rasional dari metafisika
akan menyembuhkan luka krisis eksistensi manusia dari berbagai
aspeknya karena sifatnya yang mencakup dan mendongkrak
kekokohan intelektual, moral, dan spiritual manusia.
Hal yang bisa mengantarkkanya kepada kekokohan tiga
dimensional ini bagi manusia adalah akal. Akal, demikian Taq
Mishbh, mampu melepaskan manusia dari penjara inderawi
dan sekaligus membedakannya dengan binatang. Jadi, bila
manusia mengurung diri pada persepsi inderawi dan tidak
memakai kemampuan akalnya, lantas gerakannya semata-mata
menuruti naluri-naluri kebinatangannya, maka dalam
kenyataannya ia tidak lebih dari binatang. Atau, menurut al-
Quran, ia menjadi lebih etrsesat daripada binatang-binatang
lainnya.13
Di sini seolah-olah Taq Mishbh ingin menegaskan bahwa
akal merupakan satu-satunya soku-guru rasionalisme filsafat-

12
Ibid.
13
Ibid., h. 78.
11

metafisika yang dianjurkan.14 Hal ini bisa dimengerti bahwa Islam


sebagai agama tawhd, mengajarkan tidak adanya bentuk
ketergantungan kecuali pada Tuhan yang memberikan ruas gerak
yang bebas bagi akal. Praktik-praktik absolutisme, superiorisme,
dan kultusisme terhadap tokoh, ideologi, dan bahkan ajaran
tertentu tidaklah sesuai dengan prinsip tauhid. Sebaliknya,

14
Ungkapan-ungkapan seperti tidakkah kau amati, tidakkah
kau gunakan akal-mu, dan tidakkah kau renungkan? (QS. al-Baqarah
[2]: 44, 73, 242, 269; QS. li `Imrn [3]: 7, 190; QS. al-Midah [5]: 58,
103; QS. al-Anfl [8]: 22; QS. Ysuf [12]: 111; QS. al-Ra`d [13]: 4, 19,
24; QS. Ibrhm [14]: 52 ; QS. al-Hijr [15]: 74; QS. Thaha [20]: 128; QS.
al-Hjj [22]: 44; QS. al-Rm [30]: 24 ; QS. Shd [38]: 29, 43 ; QS. al-
Zumar [39]: 9, 18; QS. al-Jtsiyah [45]: 5; QS. al-Qamar [54]: 14; dan
banyak yang lain dengan bahasa yang berbeda) merupakan kalimat-
kalimat yang kerapkali diulang-ulang di dalam al-Quran untuk
menyeru menggunakan akal dan berpikir.
Karena hanya dengan memfungsikan akal manusia bisa
mengaktualisasikan tugas yang diembankan Tuhan kepadanyayang
secara kategorikal merupakan kohesi dari dua fungsi pokok manusia
baik sebagai hamba dan dan sekaligus khalifah-Nya. Karena akal pula
manusia bisa menyerap ilmu pengetahuan sebagai "alat bedah"
terhadap realitas obyektif dan mampu memberikan informasi yang
bersifat operasional bagi kelangsungan hidup manusia. Ini bisa
dimengerti oleh karena bahwa standar kualitas stratifikasi manusia
dibuat berdasarkan kepemilikan akan ilmu pengetahuan (QS. al-Zumar
[39]: 9). Islam mendudukkan ilmu pengetahuan sebagai panglima
komando bagi kemakmuran dunia. Pertama, ilmu pengetahuan adalah
alat untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam
kehidupan manusia seklipun kebenaran itu bersifat relatif, tetapi
kebenaran-kebenaran itu adalah sesuatu yang mesti dilalui oleh
sejarah manusia untuk menuju ke Kebenaran Mutlak. Keyakinan akan
kebenaran mutlak itu pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia
ketika ia telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri
(QS. al-Fushshilt [41]: 53). Kedua, ilmu pengetahuan adalah prasyarat
amal shaleh. Manusia dengan iman dan keluasan ilmu pengetahuan
manusia bisa mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (QS. al-
Mujdalah [58]: 11). Salah satu sya`ir yang sering kita dengar
berkaitan dengan hal ini adalah:
# ( Barangsiapa yang beramal
tanpa ilmu, maka amalnya ditolak atau tidak diterima). Ketiga, ilmu
pengetahuan merupakan pengertian yang dimiliki oleh manusia secara
benar tentang diri dan dunia sekitarnya. Hubungan antara manusia
dengan dunia sekitarnya adalah relasi dialektikal dan pengarahan.
Manusia harus bisa menguasai alam dan sosial-nya untuk diarahkan
12

kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan secara menyeluruh


adalah makna ajaran tauhid.
Metafisika yang ditawarkan Taq Mishbh bagi solusi
probelamatika modernitas yang menggelegak dewasa ini adalah
relevan dengan apa yang dikembangkan para sufi yang haus
dalam pencarian Cinta. Tentu bukan sekedar cinta dalam arti
sempit dan dangkal sebagaimana tercermin dalam kultur pop
kita yang massif dan artifisial, melainkan adalah Cinta (dengan
C besar) dalam arti luas dan dalam. Cinta yang dimaksud
adalah cinta yang memiliki kekuatan untuk merawat dan
memekarkan hidup di atas wacana kontemporer yang tengah
mengemuka, seperti demokrasi, toleransi, pluralisme,
multikulturalisme, kesetaraan, keadilan sosial, dan semacamnya.
Sebuah Cinta yang menjelma sebagai kekuatan yang tulus dan
jujur, juga damai (pantang/anti kekerasan) untuk menapaki
kehidupan yang kaya akan warna dan corak. Sebuah Cinta yang
bisa mengatasi dan melampaui apa saja: ras, bahasa, agama,
ideologi, dan seterusnya. Seseorang menganut falsafah Cinta
(Pecinta, dengan P besar) bisa leluasa menari di semesta
kesadaran dan semesta nilai yang maha luas tanpa merasa
kuatir dan takut. Pecinta adalah seseorang yang mampu
mengatasi dikotomi dan pola berpikir biner, seperti relijius dan
sekuler, Barat dan Timur, mukmin dan kafir, dan seterusnya.
Seorang Pecinta bisa mengapresiasi dan menghayati yang lain
secara baik, kreatif-produktif, supportif, kompetitif, dan toleran.
Cinta demikian disebut cinta produktif. Manusia produktif
dan kreatif adalah manusia alternatif bagi keterasingan manusia
ke arah yang lebih baik, yaitu dunia kemajuan yang bebas dari
keharusan akriptif. Semua ini hanya bisa dicapai dengan kemampuan
intelektual atau memfungsikan akal semaksimal mungkin.
13

itu sendiri. Manusia produktif dan kreatif ini akan selalu


mengejawantahkan dirinya sebagai kekuatan independen dan
otonom, serta memosisikan dirinya sebagai aktor dalam relasi
respon-respon mental, emosional, dan sensori terhadap orang
lain, terhadap dirinya, dan terhadap benda-benda.
Untuk menyebut cinta produktif ini, cinta ibu merupakan
contoh ideal yang paling tepat dan mudah dipahami. Karena
cinta seorang ibu pada dasarnya adalah perlindungan dan
tanggungjawab. Sejak dalam kandungan, seorang ibu bekerja
keras untuk anaknya. Setelah kelahiran, cinta terkandung dalam
upaya untuk membuat anak itu tumbuh dan berkembang. Cinta
seorang ibu tidak bergantung pada syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar anak itu dicintai. Ia tidak bersyarat, tetapi
didasarkan hanya pada permohonan anak dan respon-respon ibu.
Tidak salah bila dikatakan bahwa cinta ibu telah menjadi simbol
bagi bentuk cinta yang paling tinggi dalam seni dan agama.
Sehingga dikatakan dalam agama, surga itu berada di bawah
telapak kaki ibu. Artinya, betapa cinta ibu itu adalah suci dan
sejati bagi seorang anak yang dikandung, dilahirkan, dan
dibesarkannya.
Untuk mengakses cinta yang produktif dan sekaligus bisa
keluar dari keterasingan, manusia harus dikembalikan kepada
kesejatian dirinya yang merdeka dan otonom. Kemerdekaan dan
otonomi merupakan modal dasar bagi manusia modern untuk
lepas dari penjara keterasingan. Dia bisa menyelam ke dalam
lautan teks secara bebas dan seluas-luasnya. Dia bisa kritis
terhadap gerak hidup, nilai-nilai, dan konstruksi kesadaran. Inilah
yang dimaksud dengan kesadaran bertauhid dalam ajaran Islam,
yaitu sebuah kesadaran yang memancarkan kebebasan dan
14

otonomi manusia dari ketergantungan atas realitas obyektif yang


seringkali menghalanginya dalam mengembangkan diri untuk
mencapai kualitas hidup di luar parameter material.
Juga metafisika sengaja dikedepankan oleh Taq Mishbh
bagi pembelajaran filsafat Islam kiranya ingin ditegaskan bahwa
kebenaran-kebenaran ilmiah yang bertolak dari akal bukanlah
satu-satunya soko-gur keilmiahan, tetapi intuisiyang disebut
sebagai intelek (intellect) oleh Aristoteles, Rumi, Bergson, dan
Muhammad Iqbaljuga memiliki sifat holistik dan sitetik, serta
mendukung dan sekaligus mengontrol sistem penalaran
rasional dalam upaya mencari kebenaran. Kebenaran intuitif
yang bertumpu kepada iman yang mengekspresikan mental dan
spiritual manusia bisa diakui terbukti sebagai pemicu aktivitas-
aktivitas bermakna.
Di sinilah mengapa Taqi Mishbh kayaknya dalam karyanya
ini mencoba mengurai kelebihan-kelebihan pemikiran filsafat
yang bersumberkan kepada agama (Islam) daripada yang
lainnya. Maka cukup beralasan jika kemudian ia banyak
mengutip ayat-ayat al-Quran yang menyuguhkan gambaran
problematika manusia dan kemanusiaan sepanjang sejarah. Yang
jelas karya demikian merupakan kekayaan dan sekaligus barang
berharga bagi konstelasi pemikiran filosofis yang mengemuka
dewasa ini.

Pemikiran Filsafat dalam Studi Agama


Ujian paling mendasar dalam studi agama dewasa ini
adalah ujian epistemologis. Wahyu Tuhan sebagai doktrin ideal
agama menyembunyikan banyak persoalan ketika dihadapkan
denga realitas sosial dan kultural manusia. Tak pelak bila
15

kemudian ada ungkapan, Agama itu adalah alegori, dongeng,


dan legenda semata. Memang agama merupakan kumpulan
nilai-nilai yang jika tidak dihampiri dengan pemikiran-pemikiran
rasional akan menjadi kering. Maka menghampiri kebenaran
nilai-nilai agama melalui sistem rasional yang logik merupakan
keharusan untuk mengusungnya ke aras yang berdaya
kontekstual, aktual, dan operasional, sekalipun kerja ilmiah dan
rasional juga menyisakan kelemahan-kelemahan, kontradiksi,
reduksi, dan relativitas.
Apresiasi atas agama harus dilakukan penyeberangan
(itibr) ke sebalik ungkapan-ungkapan linguistiknya, kemudian
dilakukan penafsiran. Bagi para filosof Muslim seperti Ibn Sn
(370/980-429/1037), misalnya, ajaran-ajaran para nabi itu adalah
alegori dan simbol-simbol, yang dimaksud sebenarnya harus
dicari dengan menyeberang di balik itu semua melalui
penafsiran metaforis. Artinya, ajaran formal para nabi itu
hanyalah ibarat bungkus. Adapun kebenaran yang sesungguhnya
ada di balik kebenaran pembungkusan itu.
Krangka epistemologi sebagai sistem filsafat bagi
penafsiran agama adalah sesuatu yang urgen. Laksana jaring
atau jala bagi nelayan dalam menangkap ikan, maka keberadaan
epistemologi merupakan kunci memasuki aurat ilmu
pengetahuan. Maka cukup beralasan bila Taq Mishbh
menyarankan pembenahan pemikiran filosofis yang lama yang
cenderung menghambat penyingkapan makna-makna agama
yang luhur dan suciseperti diperlukannya dialog berbagai aliran
agama dan sikap optimisme beragama dalam Islamyang
tersembunyi di balik material agama.15
15
Lihat Muhammad Taq Mishbh Yazd, h. 87-91.
16

Makna pemikiran filosofis bagi studi agama dalam


pandangan Taq Mishbh berdampak positif bagi penampakan
kebenaran-kebenaran Islam. Tidak seperti yang dicemaskan
kalangan ahli literal agama (literal interpretations of Scripture
and Tradition) bahwa filsafat akan melemahkan keimanan
kepada Tuhan. Atau seperti yang disangka ahli makrifat (uraf`,
ahli-ahli irfn), yang menekankan pentingnya perjalanan ruhani,
mencemaskan kecenderungan filosofis berakibat pada kelalaian
manusia pada metode makrif dan jalan hati (the way of the
heart).16
Apa yang disarankan Taq Mishbh untuk membenahi
pemikiran-pemikiran filosofis yang lama adalah pemikiran
integrasi filosofis bagi p enalaran rasional agama. Di sini seolah-
olah ia mencoba mengawinkan serakan-serakan filosfis yang
membelah dua, antara pancaindera (aspek lahir) dan hati (aspek
batin), yang mengalami pertentangan (tension) melalui akal.
Mengawinkan keduanya menjadi rangkaian metode filosofis yang
utuh dan integral dalam komando akal. Sekalipun
sesuungguhnyademikian Taq Mishbhyang menjadi disikusi
yang tak ujung usai di kalangan filosof adalah pancaindera dan
akal (the senses and the intellect).17
Masing-masing dari dua jalan (metode) untuk menghampiri
kebenaran agama iniindera dan akalini menyisakan
kelemahan-kelemahan. Mulyadhi Kartanegara, doktor di bidang
filsafat dari Universitas Chicago, AS, menyatakan sedikitnya ada
delapan kelemahan dalam observasi inderawi. Pertama,
kekeliruan karena jarak objek yang terlalu jauh dari jarak

16
Ibid., h. 88.
17
Ibid., h. 93.
17

moderat. Kedua, kekeliruan karena posisi objek yang terlalu jauh


dari jarak moderat. Ketiga, kekeliruan karena pencahayaan
(iluminasi) yang terlalu terang dari pencahayaan moderat.
Keempat, kekeliruan karena ukuran objek yang terlalu kecil atau
terlalu besar dari ukuran moderat. Kelima, kekeliruan karena
keburaman (opacity) yang terlalu pekat. Keenam, kekeliruan
karena transparansi yang terlalu kuat dari moderat. Ketujuh,
kekeliruan karena lamanya memandang yang berada di luar
batas moderat. Kedelapan, kekeliruan karena kondisi mata yang
tidak memungkinkan akibat kerusakan yang melampaui batas
moderat.18 Sebaliknya, jalan logikayang salah satu penarikan
kesimpulannya menggunakan metode silogisme (qiys)tidak
seluruhnya secara pasti membawa (menjamin) pada kebenaran
kesimpulan-kesimpulan yang diambil.19
Namun, apa pun alasannya pendekatan filosofis berguna
untuk menguji dan sekaligus memikirkan kembali persoalan
keimanan dalam beragama melalui eksprimen-eksprimen
pemikiran. Sebagai yang dikutip Rob Fisher, Ingolf Dalferth
menyatakan ketika kita mengkaji agama tidak mungkin
menghindari penggunaan filsafat. Suatu pendekatan filosofis
terhadap agama, demikian Dalferth, merefleksikan pertanyaan-
pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan
prateologis dan dalam wacana keyakinan.20 Di sini tugas filsafat
adalah melihat persoalan-persoalan yang melingkupi
pengalaman manusia, faktor-faktor yang menyebabkan

18
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 77.
19
Ibid., h. 79.
20
Rob Fisher, Pendekatan Filosofis, dalam Peter Connolly (ed.),
Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS,
2002), h. 154.
18

pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, dan


membahas bahasa yang digunakan umat beriman dalam
membicarakan keyakinan mereka.
Sebagaimana diurai Taq Mishbh bahwa sejatinya
pendekatan filosofis dalam studi agama menunjuk pada suatu
proses rasional. Yang dalam pandangan Dalferth proses
rasional ini mencakup dua hal. Pertama, refleksi pengalaman dan
keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan tidak bisa
dilepaskan dari peran fundamental akal. Bagian dari proses
refleksi tersebut melibatkan peninjauan secara terbuka terhadap
bahasa, doktrin, simbol-simbol, model-model, dan mite-mite
yang terdapat dan digunakan dalam tradisi. Kedua, suatu
keimanan dalam suatu tradisi keagamanmisalnya iman kepada
malaikat atau hal-hal gaib dalam Islamharus dapat
menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen logis
dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan.21
Yang jelas pendekatan filosofis digunakan sebagai suatu
usaha pencarian obyektivitas, menginginkan suatu keyakinan
dan keimanan yang bersifat universal, tidak dibatasi oleh
manifestasi suatu tafsir, defenisi, konsep dan paradigma
tertentu. Universal maksudnya akar-akar filosofis tentang
eksistensi kegaiban Tuhan bagaimana tetap mengakar kuat
pada kepribadian manusia secara menyeluruh dan menjadi idiom
yang dapat dikembangkan sepanjang sejarah manusia dan
dalam men-(de/re)konstruksi hubungan antara keimanan kepada
Tuhan dengan budaya dan peradaban manusia.
Hal yang perlu diapresiasi dalam pendekatan filsafat
adalah pendekatan hermeneutik. Yaitu suatu metode
21
Ibid., h. 155.
19

pemahaman yang berfungsi menginterpretasi obyek yang


mempunyai makna (meaning-full forms) dengan maksud untuk
menghasilkan kemungkinan pemahaman yang objektif. 22
Hermeneutika, sebgai ilmu dan seni menafsirkan teks, juga
merupakan metode kritik terhadap epistemologi dan kesadaran
kognitif seseorang. Ia berfungsi untuk menjelaskan kata-kata
atau teks yang dirasakan asing oleh masyarakat (alien speech)
baik karena datangnya dari Tuhan dengan bahasa yang
melangit maupun dari generasi terdahulu yang hidup dalam
tradisi dan mungkin bahasa yang asing. 23 Melalui pendekatan
ini pemahaman keagamaan bagaimana menjadi holistik dan
konprehensif dalam konteks intelektual, moral, dan spiritual.
Semoga !
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan terjemahannya.


Abdullah, M. Amin, Kata Pengantar Penerjemah, dalam Oliver
Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan
(Jakarta: Rajawali Pers, 1989).
Baqir, Haidar, Kembali Berfilsafat, Kembali Menjadi Manusia:
Pengantar untuk Seri Filsafat Islam Mizan, dalam Oliver
Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan
Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung:
Mizan, 2001).
Corbin, Henry, History of Islamic Philosophy (London and New
York: Islamic Publication Limited, 1993).

22
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique, (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), h. 28.
23
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 126.
20

Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis,


terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996).
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique, (London: Routledge &
Kegan Paul, 1980).
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003).
Nasr, Seyyed Hossein, Islam and the Plight of Modern Man
(London: Longman Group Ltd., 1975).
-----, and Oliver Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy I & II
(London and New York: Routledge, 1996).
Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam
Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 2002).
Taq Mishbh Yazd, Muhammad, Philosophical Instructions: An
Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, terj.
Muhammad Legenhausen dan Azim Sarvdalir (Binghamton
New York, USA: Isntitute of Global Cultural Studies (IGCS)
Binghamton University, 1999).

Anda mungkin juga menyukai