pengungkapan makna-maknanya
harus diurai dari berbagai segi, baik
bahasa (lexical), hakikat (reality),
maupun konseptual-nya. Menanyakan apa
manusia itu?, misalnya, menyarankan diuraikannya pengertian
manusia dari segi-segi yang ada secara mendalam mengenainya.
Di sini perlu diurai apakah manusia sebagai pribadi ataukah
sosial, apakah manusia sebagai hamba ataukah khalifah, apakah
manusia sebagai animal thinking yang bebas ataukah robot yang
berada di bawah kendali remote Tuhan, apakah manusia sebagai
esensi ataukah eksistensi, dan sebagainya. Manusia sebagai
identitas dan realitas makhluk di sini menyarankan pengertian
yang menyeluruh dan meliputi (al-tarf al-jmi al-syumul).
Tarf adalah pengertian yang meliputi dan sekaligus mampu
Ibid.
2
Ibid.
3
4
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man
(London: Longman Group Ltd., 1975). Dikaui atau tidak, secara
perlahan kekayaan yang terkandung di dalam Islam dan
kebudayaannya semakin banyak menarik perhatian kaum pria dan
wanita Barat, ketika perkembangan westernisasi itu sendiri sedang
mengancam benteng pertahanan Islam. Situasi demikian menggugah
Nasr untuk menegaskan kembali kekayaan Islamprinsip-prinsip
maupun ajaran-ajarannyake dunia Barat, yang diurai menurut
cabang-cabang tradisi (al-dn) yang bersumber kepada al-Quran. Nasr
5
10
Ibid.
11
Ibid., h. 76.
9
12
Ibid.
13
Ibid., h. 78.
11
14
Ungkapan-ungkapan seperti tidakkah kau amati, tidakkah
kau gunakan akal-mu, dan tidakkah kau renungkan? (QS. al-Baqarah
[2]: 44, 73, 242, 269; QS. li `Imrn [3]: 7, 190; QS. al-Midah [5]: 58,
103; QS. al-Anfl [8]: 22; QS. Ysuf [12]: 111; QS. al-Ra`d [13]: 4, 19,
24; QS. Ibrhm [14]: 52 ; QS. al-Hijr [15]: 74; QS. Thaha [20]: 128; QS.
al-Hjj [22]: 44; QS. al-Rm [30]: 24 ; QS. Shd [38]: 29, 43 ; QS. al-
Zumar [39]: 9, 18; QS. al-Jtsiyah [45]: 5; QS. al-Qamar [54]: 14; dan
banyak yang lain dengan bahasa yang berbeda) merupakan kalimat-
kalimat yang kerapkali diulang-ulang di dalam al-Quran untuk
menyeru menggunakan akal dan berpikir.
Karena hanya dengan memfungsikan akal manusia bisa
mengaktualisasikan tugas yang diembankan Tuhan kepadanyayang
secara kategorikal merupakan kohesi dari dua fungsi pokok manusia
baik sebagai hamba dan dan sekaligus khalifah-Nya. Karena akal pula
manusia bisa menyerap ilmu pengetahuan sebagai "alat bedah"
terhadap realitas obyektif dan mampu memberikan informasi yang
bersifat operasional bagi kelangsungan hidup manusia. Ini bisa
dimengerti oleh karena bahwa standar kualitas stratifikasi manusia
dibuat berdasarkan kepemilikan akan ilmu pengetahuan (QS. al-Zumar
[39]: 9). Islam mendudukkan ilmu pengetahuan sebagai panglima
komando bagi kemakmuran dunia. Pertama, ilmu pengetahuan adalah
alat untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam
kehidupan manusia seklipun kebenaran itu bersifat relatif, tetapi
kebenaran-kebenaran itu adalah sesuatu yang mesti dilalui oleh
sejarah manusia untuk menuju ke Kebenaran Mutlak. Keyakinan akan
kebenaran mutlak itu pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia
ketika ia telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri
(QS. al-Fushshilt [41]: 53). Kedua, ilmu pengetahuan adalah prasyarat
amal shaleh. Manusia dengan iman dan keluasan ilmu pengetahuan
manusia bisa mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (QS. al-
Mujdalah [58]: 11). Salah satu sya`ir yang sering kita dengar
berkaitan dengan hal ini adalah:
# ( Barangsiapa yang beramal
tanpa ilmu, maka amalnya ditolak atau tidak diterima). Ketiga, ilmu
pengetahuan merupakan pengertian yang dimiliki oleh manusia secara
benar tentang diri dan dunia sekitarnya. Hubungan antara manusia
dengan dunia sekitarnya adalah relasi dialektikal dan pengarahan.
Manusia harus bisa menguasai alam dan sosial-nya untuk diarahkan
12
16
Ibid., h. 88.
17
Ibid., h. 93.
17
18
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 77.
19
Ibid., h. 79.
20
Rob Fisher, Pendekatan Filosofis, dalam Peter Connolly (ed.),
Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS,
2002), h. 154.
18
22
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique, (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), h. 28.
23
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 126.
20