Anda di halaman 1dari 16

Latar belakang masalah

Dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, wacana Islamisasi ilmu memang

menjadi wacana yang ramai dibincangkan. Terlebih keadaan umat Islam yang semakin hari

tidaklah membaik, tetapi justru banyak kemerosotan-kemerosotan yang tak dapat dielakkan.

Masalah yang tentu tidak biasa sehingga menggerakan para intelektual muslim untuk

menemukan konsep baru yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan seefektif

mungkin.

Usaha untuk mengislamisasi ilmu itu diprakarsarai pertama kali oleh para ulama

modernis abad 20 seperti Muhammad Abduh, namun belum tercantum di dalamnya penjelasan

yang jelas, dan praktikal. Baru kemudian pada abad ini, konsep itu di syarh lebih dalam dan

mendetail oleh intelektual abad ini yaitu Sayyid Muhammad Naquib al-Attas. Dengan berbagai

kecerdasan dan otoritasnya dalam beberapa bidang studi ilmu seperti filsafat, sejarah, seni,

bahasa, dan tentunya agama, beliau secara konsisten berhasil menjelaskan dan mempertahankan

argumen-argumen penting mengenai Islamisasi ilmu.

Menurut Alattas, problem paling signifikan yang dihadapi oleh kaum muslimin saat ini

adalah masalah ilmu pengetahuan, karena Ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai dan telah

dimasuki unsur-unsur dan pandangan-pandangan yang mencerminkan Peradaban Barat. Oleh

karenanya diperlukan pengislamisasian ilmu masa kini dengan mengislamisasi simbol-simbol

linguistik mengenai realitas dan kebenaran.

Sangat tidak berlebihan jika Alattas disahkan sebagai penerus kerusi Al-Ghozali.

Pasalnya pertama; usaha Al-ghozali dalam mengislamisasi bahasa yang menyusupi filsafat yang

ia tuangkan dalam tahafut falasifah serupa dengan konsep Alattas tentang Islamisasi Ilmu yang

ia tuangkan dalam The Mistisism of Hamzah Fansuri dengan mengkonseptualisasi makna

peristilahan-peristilahan dasar. Kedua, konsep Al-Ghozali dalam menghadapi Ulama ulama su’

pada saat itu adalah ulama yang didefinisikan sebagai ulama yang miskonsepsi tentang Ilmu,
sehingga nilai yang dikandungnya terkesan melenceng, dan berbuah pada mandeknya kemajuan

kaum muslim. Hingga ia menyelesaikan magnum opusnya yaitu Ihya’ dalam meluruskan

kembali nilai-nilai yang seharusnya terdapat dalam Ulama. Adapun usaha Alattas dalam

mendefinisikan kembali makna ilmu, ia tuangkan pada beberapa karyanya.

Dalam mendefinisikan konsep Islamisasi menurut beliau “Islamization is the liberation of

man first from magical, mythological, animistic, nation-culture tradition.” Langkah pertama

yang beliau lakukan adalah mendefinisikan apa itu islamisasi. Setelah mendefinisikan islamisasi,

beliau memberikan argumen bahwa sebelum semua itu, usaha yang harus dilakukan ialah meng-

islamisasi bahasa. Sebagaimana yang pada tulisan ini ingin penulis kupas. Oleh karena itu,

pembahasan ini diharapkan menghilangkan miskonsepsi mengenai islamisasi ilmu. Langkah

pertama yang mesti ditempuh adalah islamisasi bahasa, sehingga pada pembahasan kali ini perlu

kiranya penulis membahas dan memberikan alasan dalam pemilihan al-Attas terhadap urutan

islamisasi itu.

Manusia merupakan makhluk Allah yang mempunyai di atas punggungnya tugas dan
amanah1. Tugas untuk beribadah kepada Allah2 dan amanah untuk menjadi khalifah di bumi. 3
Sehingga Allah memberikanya akal untuk menjadi sarana dalam pengembanan amanah manusia
di bumi. Teori ini diantaranya dikemukakan oleh Ibnu Kholdun. Ia mendasarkan manusia
dengan akalnya kepada tugas manusia sebagai Khalifah di bumi, dan faktor terpenting dalam
melanggengkan perkembangan populasi manusia termasuk pencarian terhadap makanan.
Sehingga dengan akal itu, menurutnya manusia dapat menjadi pemakmur bumi. Sebagai

1
Inna ‘arodhnasamaawati wal ardh
2
Wa maa kholaqtul jinna
3
Wa idz qola robbuka lil malaaikati
pengikat akal seperti yang akan dibahas pada pembahasan selanjutnya, bahasa merupakan unsur
terpenting dalam menjembatani antara makna dan bahasa agar dapat dipahami dan dicerna.

Adapun alasan mengapa Allah menciptakan akal manusia, menurut beberapa ilmuwan
Islam adalah sebagai berikut. Para Ulama Ushuliyyin mendasarkan beban taklif kepada manusia
dengan diberikan akal oleh Allah. Sehingga dengan adanya akal, manusia bisa memahami dan
mempertimbangkan segala mafsadat maupun maslahatnya. Namun dalam stratifikasi antara
keduanya, para Ulama Ushuliyyin terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang
membebankan Wahyu dahulu di dalam keputusan antara baik dan buruk, mazhab yang dipegang
oleh sebagian pengikut Imam Abul Hasan Al-Asya’ari. Kelompok kedua adalah kelompok yang
mendahulukan akal daripada wahyu, di antara kelompok paling besarnya ialah Mu’tazilah dan
Maturidiyyah. Meskipun mazhab Maturidiyyah tidak sepenuhnya membebankan akal dan
menafikan wahyu. 4

Ibnu Kholdun memberi alasan bahwa dikarenakan penduduk bumi sebelum kehadiran
manusia dibekali oleh Allah berupa senjata untuk mempertahankan hidupnya dengan insting
kebinatangan,5 sehingga manusia diberikan kelebihan untuk menjadi khalifah yaitu akal. Ibnu
Katsir senada dengan Ibnu Kholdun tentang maknanya akan Khalifah. Karena menurutnya
Khalifah yang dimaksud Allah dalam al-Quran Surah Al-Baqarah 2:32 adalah sang pemisah di
antara makhluk, dari kezaliman.6 Hampir mirip dengan apa yang dipegang oleh Nashr Hamid
Abu Zaid mendasarkan pengertian manusia yang diberikan akal oleh Allah, sebagai wujud
mukallaf. Di mana Allah mengutusnya sebagai pemelihara bumi dan memberinya bekal dengan
segala fasilitas yang membantu dan mempermudah mendirikan urusan demikian. 7

Al Jahizh mendefinisikan bahasa dengan bayan, yaitu yang menjelaskan makna.8


Konklusi ini Ia ambil setelah memberikan fakta di dalam al-Quran yang banyak mengaitkan sifat
para anbiya dan sifat al-Quran, maupun sarana lain dalam menyampaikan makna yaitu
menggunakan bahasa. Ia juga mendasarkan kepada istilah awal diciptakanya manusia, yaitu
sebagai ciri khas dan esensi dari manusia yang masih mempunyai nyawa yaitu sifat berakal.

4
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh Abu Zahroh, (Kairo, Daar al-Fikr al-Arabi). bab Al-Hakim hal. 69.
5
Ibnu Kholdun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, terj- Masturi Irham dkk ,(Jakarta, Pustaka Kautsar, 2011). hal. 70.
6
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzhim, (Kairo, Daarul Hadits, 2011). jilid 1 hal. 90.
7
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif Mengatasi Problematika bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan
atas Diskursus Keagamaan,( Jakarta, ICIP, 2004), penerj –Muhammad Mansur hal 70.
8
Abu Utsman Umar bin Bahr Al-Jahizhh, Al-Bayan wa At-Tabyin. Juz 1 hal 7 Tahqiq dan Syarh ‘Abdus Salam
Muhammad Harun.
Sehingga menurutnya selayaknya bagi yang tidak berakal tidak bisa dikatakan sebagai
manusia yang hidup.9 Dalam istilah ini secara jelas ‘akal’ menjadi penyebab utama keterkaitan
antara makna dan sarananya yaitu bahasa. Sehingga bahasa menurutnya adalah pengikat dari
akal, atau tanda dari makna.

Richard Rorty menyatakan mengenai hubungan kata dan konsep bahwa semua kata
mewakili konsep, karena kata-kata adalah lambang pikiran ‘mental representation of reality’
atau ‘gambaran pikiran’ mental images dan akal manusia seumpama cermin yang menayangkan
realitas: mind as the mirror of nature. Hughes & Lavery menyatakan bahwa berpikir pasti
menggunakan bahasa thingking always involves language. Sedangkan menurut Dewitt &
Sterelny, di dalam Language and Reality bahasa adalah ungkapan dari akal pikiran ‘language
expresses thought’.10

Definisi yang diletakkan oleh Al Jahizh diatas tampaknya memiliki kesesuaian dengan
istilah Hayawanun nathiq11 atau rational animal. Di dalam bahasa Arab, kemampuan manusia
berpikir disebut nuthq. Dimana di dalam pembahasan tentang manusia, al-Attas bersesuaian
dengan para pemikir klasik maupun kontemporer, bahwa makna dari manusia Ia kembalikan
pada makna had12 yaitu Hayawanun nathiq. Pada definisi ini, menurutnya, bila ditinjau dari segi
bahasa setidaknya memberikan dua pengertian yang antara pengertian satu dengan yang lain
saling berkait.

Pertama dinisbatkan kepada ‘rational’ dan kedua dinisbatkan kepada ‘speech’.13 Nathiq
setidaknya mempunyai makna ‘kemampuan berkata-kata’, disebabkan pikiran itu menyalurkan
pemahamanya melewati ‘kata-kata’ (an-nuthq) yang dengan pengertian lain bahasa. Maka ‘kata-
kata’ yang dimaksud adalah merujuk pada penyusunan dan tata tertibnya serta penggunaanya
dalam pemikiran.14

9
Abu Utsman Umar bin Bahr Al-Jahizhh. Ibid, Juz 1 hal. 7.
10
Syamsuddin Arif, Seri Kuliah Logika Ilmu Manthiq. hal. 7.
11
Makna ini bisa bisa kita temukan pada karya Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Abdullah atau lebih
sering dikenal dengan nama Imam Haramain al-Juwaini dalam Al Waroqot. Disana Al Juwaini mengklasifikasikan
menjadi Ilmu dhoruri, yaitu ilmu yang tidak memerlukan penalaran dan argumentasi. Lawan dari ilmu muktasab
yaitu ilmu yang memerlukan penalaran dan argumentasi. Pembahasan mendatang.
12
Yaitu makna yang membatasi ketumpang tindihan dari makna lain.
13
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education. Ibid, hal. 13-14.
14
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC 2001) hal. 50.
Selanjutnya diringkas menjadi Risalah.
Al-Attas menghubungkan keduanya dalam definisi istilahnya yaitu kemampuan dan
kapasitas tertentu di dalam manusia, untuk mengartikulasi kata kata dalam pola yang
bermakna. Pola yang bermakna ini merupakan unsur luaran, atau merupakan ekspresi dari unsur
dalaman yang kita artikan sebagai akal. Merujuk kepada akal, maka akal berarti ‘alat yang telah
ada sejak awal penciptaanya yang mengikat dan menahan objek dari ilmu pengetahuan melalui
qalb’15.. Maka organ spiritual aql ini juga dapat disebut juga dengan qolb.
Substansi inti dari akal inilah yang dikategorikan sebagai nafsu nathiqoh yang berfungsi
untuk mengenali antara baik dan buruk. Sehingga berbicara dan berpikir mempunyai kaitan erat
antara satu dengan yang lain. Manusia mempunyai bawaan semula yang menjadikan manusia
menerima, menyusun dan merumuskan ilmu yang dapat mendatangkan kebenaran. Sebab itulah
manusia diartikan sebagai hayawan nathiq yaitu hewan yang berakal.
Kembali kepada pembahasan awal. Al-Jahizh berargumen bahwa hubungan antara akal
dan bahasa inilah yang menjadi alasan kuat akal dan makna mempunyai hubungan keterkaitan.
Dimana ia telah mendefinisikan dan mengklasifikasikan unsur-unsur yang terkandung dalam
‘petanda’ ‘akal atau makna’ dan ‘penanda’ ‘bahasa’. Di kemudian hari ilmu ini berkembang
menjadi Ilmu Semiotik. Seperti yang diungkapkan oleh Nashr Hamid Abu Zaid.

Al-Jahizh memang tidak menetapkan dalam perbedaan yang terdapat dalam semiotika
modern antara alat dan makna, namun ikatan semata antara sistem bahasa dan antara
pengetahuan logika dari satu sisi, dan antara bakat kemampuan di sisi yang lain
merupakan embrio yang memudahkan orang yang datang setelah al-Jahizh untuk melihat
hubungan ini lebih dalam. 16

Teori yang menguatkan hubungan antara akal sebagai konsep dan bahasa sebagai
material adalah teori semiotika, yang di Barat modern diprakarsai oleh Ferdinand De Saussure.
Teorinya yang paling terkenal adalah teorinya mengenai petanda le signifiant dan penanda le
signifie. De Saussure menganggap bahwa hubungan keduanya bersifat arbitrer. Karena ketika
diumpamakan maka tidak ada hubungan yang spesifik antara “r” dengan makna yang ditunjuk
pada tanda itu. Kalimat “rumah” juga tidak akan menunjuk kepada makna, jika tidak ada

15
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education, Ibid,. hal 14.
16
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif Mengatasi Problematika bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan
atas Diskursus Keagamaan. Ibid, hal. 72
hubungan kesepaduan yang dilandaskan pada kesepakatan antara petanda dan penanda.17
Kemudian teori ini dilanjutkan oleh teori yang dikemukakan oleh Charles Sander Peirce.

Ia memberikan 3 ciri ciri yang harus ada pada setiap tanda, jika salah satu di antara
ketiga hal tersebut tidak dijumpai maka ia belum dapat dikatakan sebagai tanda. Tiga ciri
tersebut ialah Denotatum, Ground, dan Interpretant. Ground menurutnya dijadikan sebagai
landasan dari pemahaman mengenai tanda.18 Contohnya ‘mar’ dalam bahasa Portugis, belum
tentu dapat dipahami dalam bahasa Indonesia atau bahasa selainya. Tetapi ketika
mengkonversikan ‘mar’ menjadi ‘laut’, maka kita akan memahami makna ‘mar’ tersebut. Hal
ini disebabkan ground yang digunakan adalah Bahasa Indonesia sehingga dapat dipahami oleh
pengguna bahasa Indonesia. Maka disimpulkan Ground pada umumnya dicirikan sebagai bahasa
dan konteks sosial.

Adapun Denotatum adalah objek tanda tersebut yaitu laut sebagaimana laut yang asli.
Sedangkan Interpretant adalah sang penafsir,19 seperti diumpamakan bahwa setiap manusia yang
berkunjung ke laut, akan mengalami perbedaan suasana versi pensifatan nya masing-masing.
Maka tidak mengapa penafsiran antara ‘laut Parangtritis’ berbeda antara pengunjung satu dengan
pengunjung yang lain. Disinilah letak bahasa menurut Sander Peirce, yaitu dalam kategori
denotatum yang hubungan antara keduanya dimaksudkan simbol.

Sehingga menurut al-Attas konsep di dalam al-Quran menjadi titik perhatian umat Islam,
dan sebagai sumber bermuaranya seluruh pandangan alam. Sekiranya ilmu, serta ilmu-ilmu yang
membenih menjadi ilmu itu tidak disandarkan dengan kenyataan serta kesimpulan yang
diisbatkan oleh kebenaran al-Quran, maka yang dianggap sebagai kebenaran tidak mesti benar
kebenaranya, dan yang dianggap sebagai hakikat mungkin tidak benar hakiki. Ketetapan itu
didasarkan pada nilai sakral sekaligus sifat saintifik yang ada pada bahasa Arab, sebagai sarana
penyampaian makna kepada segenap semesta.20

Dalam Islam perhatian tentang ta’rif begitu ketat. Hal itu disebabkan ta’rif dapat
membatasi ketertumpang tindihan. Untuk memahami hal ini uraian al-Attas penulis anggap logis
dan mudah untuk dipahami. Dalam memahami ketumpang tindihan bahasa yang memberikan
17
Kees Berteens, Filsafat Barat Abad XX Prancis, (Jakarta: PT Gramedia 1985), hal. 129.
18
Art Van Zoest, Semiotika tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Denganya, (Jakarta:
Yayasan Sumber Agung). hal.16
19
Ibid, hal.27
20
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Ibid, hal.15.
konsekuensi serius yakni perubahan makna dalam pengertian al-Attas, terlebih dahulu ia
menjelaskan tentang makna dari 'makna'. Makna didefinisikan oleh al-Attas sebagai keadaan
mengetahui tempat yang benar setiap segala sesuatu, didalam suatu sistem yang berlaku, dimana
ketika hubungan atau relasi segala sesuatu itu dapat dipahami dengan jelas. 21 Relasi ini dijelaskan
di dalam pengertian ilmu mantiq yaitu relasi antara dua konsep, yang dimaknai juga dengan
tashawur dan tashdiq22.

Makna juga merupakan mental image, atau universal idea. Mental idea itu terdiri dari
Pertama, ketika ekspresi atau kata menjadi idea, maka ia disebut mafhum atau understood.
Kedua, Sebagai sesuatu yang bisa di akal, atau dipikirkan, ia juga dapat menjadi sesuatu yang
dipahami dari pertanyaan “Apakah itu?” yang keberadaannya berada di rasio atau pikiran, yang
disebut juga sebagai ‘esensi’. Ketiga, berdasarkan kepada sesuatu yang berada pada luar pikiran
dan yang secara objektif, ia disebut ‘hakikat’. Keempat ia juga terdiri dari ‘huwiyyah’, yaitu
yang menjadi batasan dari zatnya yang batasan itu menjadi pembeda agar setiap zat tidak saling
kabur dan saling tumpang tindih.

Kemudian al-Attas menjelaskan bahwa relasi dapat menjelaskan susunan tertentu. Maka
jika tiap apapun yang ada dalam satu sistem itu berada pada tempat yang sama, maka tidak ada
pengenalan terhadap relasi, yang dalam arti yang sama tidak ada makna, bahkan tidak ada
susunan. Maka supaya pengenalan itu menjadi mungkin untuk difahami mesti ada definisi yang
spesifik dan harus ada relasi yang esensial yang keduanya bisa menjadi pembeda antara idea satu
dan idea lain. Lebih jauh yang harus diperhatikan adalah ketika perbedaan dan relasi tidak ada
pengikatnya, atau dalam keadaan yang berubah terus menerus, maka mengenali sesuatu menjadi
mustahil, dan makna menjadi binasa.23

Dalam Islam para ilmuwan juga telah memperdebatkan masalah bahasa. Diantaranya
adalah Fakhruddin ar-Rozi yang mengatakan bahwa lafadz pada dasarnya ada yang
menunjukkan makna pada dzatnya sendiri, ada pula makna yang diletakkan oleh Allah atau
sebaliknya diletakkan oleh manusia. Ada Pula lafaz yang diletakkan oleh Allah kemudian
disempurnakan oleh manusia, atau sebaliknya diletakkan oleh manusia kemudian disempurnakan
oleh Allah. Pendapat pertama, adalah pendapat Ubad bin Sulaiman. Adapun kedua adalah
21
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education, Ibid, hal. 1.
22
Muhammad Nuruddin, Ilmu Mantik Panduan Mudah dan Lengkap Untuk Memahami Kaidah Berpikir (Depok:
Keira Publishing 2020). hal. 47-50.
23
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education. hal. 15.
pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan Ibnu Furak. Pendapat ketiga adalah pendapat Abu Hisyam,
dan pendapat terakhir adalah pendapat Abu Ishaq al-Isyfarani.24

Pendapat diatas diterima dan disepakati kecuali mazhab pertama, yaitu pendapat Ubad
bin Sulaiman. Dengan dalih bahwa apabila lafadz menunjukkan makna pada zatnya maka setiap
orang akan memahami semua bahasa secara langsung, padahal hal tersebut adalah kemustahilan,
dan tidak akan ada perbedaan dalam penunjukan makna.25

Mengenai masalah perbedaan yang berkisar antara tauqif, istilahan, dan wahyu, al-Attas
mungkin sependapat dengan Imam al-Haramain yang tertuang di dalam kitabnya al-Burhan.
“Para ulama berselisih pendapat mengenai tempat asal dari mana bahasa diambil. Beberapa
memilih berpegang kepada bahwa bahasa adalah tauqif dari Allah, sebagian memilih dan
berpegang pada ditetapkan secara konvensi dan kolusi ‘ishtilahan’. Ustadz Abu Ishaq berpegang
pada pendapat kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya kemampuan yang difahami
sebagai maksud kolusi mestilah diawali dari tauqif.”

Imam al-Haramain menyetujui semua pendapat itu dengan alasan bahwa Allah
menetapkan di dalam dada manusia ilmu badihiyyah (ilmu yang telah jelas) dengan makna
khusus. Kemudian para ahli fikir menjelaskan bentuk bentuk dan maknanya. Sehingga dalil atas
berlakunya konvensi adalah bahwa Allah tidak merubah esensi makna yang telah dimaknai oleh
para ahli fikir yang ditandai dengan pemahaman dan maksud sebagian atas sebagian yang lain
dapat difahami. Pun demikian manusia kemudian mengembangkan sesuai dengan susunan
masing-masing, yang kemudian dihubungkan sesuai kehendak dan keadaan mereka, sehingga
keadaan ini tidak bisa dipungkiri. Demikianlah kenapa anak kecil sering mengeluarkan kata kata
yang didengarnya sesuai apa yang diajarkan secara berulang-ulang kepadanya sehingga bisa
memahaminya.26

Mungkin al-Attas, sependapat dengan pendapat Imam Al-Haromain diatas yang dalam
uraianya mengenai problematika segala sesuatu kerap kali dikembalikan pada makna awalnya
yaitu yang terkandung dalam bahasa. Terkhusus dalam tema diskursus keislaman adalah bahasa
Arab. Tapi disisi lain al-Attas tidak kemudian secara preskriptif menyepakati bahwa bahasa yang

24
Jalaluddin As-Suyuthi, Al Muzhir fi ‘Ulumil Lughoh wa anwa’uha lil ‘alamati Jalaluddin, (Kairo, Shohibul
Maktabah al-Azhariyah). hal. 10.
25
Ibid, hal. 10.
26
Ibid, hal. 14.
dapat digunakan secara tepat hanya sebatas yang bersumber dari bahasa Arab. Akan tetapi Ia
juga menyepakati dan menggunakan bahasa non-arab, dengan catatan bahwa makna itu berjalan
sesuai dengan kebenaran yang paripurna yaitu al Quran.27

Sedangkan berikut secuil permisalan perdebatan mengenai bahasa di Barat. Menurut John
Locke, bahasa merupakan sumber kekuatan dan juga sumber kebingungan. Locke juga
beranggapan bahwa jika kita fokus pada bahasa, adalah mungkin, bila kita hendak
menyelesaikan persengketaan antara dua pihak, karena menurutnya sumber masalahnya berada
pada maksud atau asumsi yang salah difahami. kata kata membantu kita memahami cakupan
ilmu pengetahuan alam.

Menurut Locke tujuan bahasa adalah jalan terpendek menyampaikan makna. Bahasa juga
dapat berfungsi sebagai alat untuk pengkelasan dan pengikatan makna, sehingga manusia tidak
akan dapat memahami makna tanpa bahasa yang ditanggapinya. Dalam pemahaman akan
bahasa, insan membutuhkan keteraturan (al wadh)28 supaya antara dua orang yang menggunakan
bahasa dapat saling memahami bersebab keteraturan yang telah lumrah berlaku, sehingga mesti
bersifat sintektikal. Kalaupun tidak sintektikal harus ada ground yang serupa supaya tercapai
pemahaman antara kedua orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa.

Tanda dalam bahasa menurutnya dirujuk pada gagasan umum hasil buah pikir manusia.
Bahasa juga merupakan abstraksi yang kemudian tanda dari abstraksi itu muncul dari manusia
itu sendiri, dan sebagai konsekuensinya disana akan terdapat keberagaman tanda dalam satu
substansi. Dari sini nampak persimpangan yang dilanjutkan oleh bahasa, Menurutnya bahasa
mempunyai dua masalah; pertama bisa disalahgunakan oleh manusia, meskipun bukan sesuatu
yang mudah, dalam artian sengaja maupun tidak sengaja manusia dapat me-rasionalisasi sesuai
kehendak sang pembicara. Locke beranggapan bahwa hal ini merupakan masalah yang serius,
sebab miskonsepsi adalah bibit dari segala peperangan. Pertama masalah definisi yang sering
dianggap bermasalah, dan kedua berkenaan ketidaksempurnaan, yang terdapat pada sifat natural,
kedua hal inilah yang menjadikan sumber persengketaan.29

27
Contoh yang bisa dilihat adalah, ketika Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinsikan ‘pendididkan’,
meskipun kata ‘didik’ bukanlah berakar bahasa Arab, akan tetapi selama konsepsi mengenai pendidikan sesuai
dengan konsep primer, maka ia menyertakanya.
28
Wadh’ yang bermakna jelas ini disampaikan oleh Khairurrijal dalam menjelaskan makna yang dimaksud. Untuk
memahami lebih lanjut mengenai pembahasan wadh’ silakan rujuk Malik bin Salim bin Mathor al-Mahduri al-
Mumthi’Fi Syarhi al Jurumiyyah (Maktabah Daar al Hadits Dammaj) hal. 12
29
Kuliah Filsafat Khairurrijal bertanggal
Filsuf kedua yang mempunyai andil besar dalam perdebatan panjang tentang sifat bahasa
ialah Leibniz. Leibniz terpengaruh Locke disatu sisi, akan tetapi disisi lain ia berbeda dengan
locke, karena ia menyambung apa yang telah Plato canangkan. Menurut Leibniz, asal muasal
bahasa bukan semata konveksi tetapi ada pula yang bersifat natural. Pemikiran Leibniz ini di
latar belakangi oleh penghubungan bahasa natural dengan logika, yang mana hal itu dilakukan
karena corak atau sifat logik tersebut rusak di zaman renaissance, sehingga tidak terlalu
berdamai dengan filsafat. Humanisme, ujungnya kembali kepada agama saja.

Menurutnya munculnya bahasa berasaskan onomatopai, sesuai dengan bunyi bunyian di


alam –meskipun pendapat ini dikatakan jarang oleh De Saussure. Ia menyatakan bahwa bahasa
bersifat Adamic, yang mana sifat inilah yang menjadi akar bagi semua bahasa, sehingga
mungkin bila ditambahkan oleh sistem perlambangan yang kemudian berkembang. Ditambah
lagi, sifat Adamic tersebut disambut dengan sifat berbahasa yang sifatnya natural juga.

Menurutnya, permulaan bahasa sejalan dengan Tuhan tetap menciptakan pola sistem
bahasa, sehingga meminjam istilah Einstein bahwa Tuhan tidak menciptakan alam semesta
seperti bermain dadu. Hal ini tercermin dalam sistem perlambangan (natural) yang dibuat untuk
menjaga dari kesalahan manusia. Menurut Leibniz, bahasa tidak disebut konvensional karena
akal yang menyusun yang secara bersamaan bukan merupakan konteks kebudayaan, akan tetapi
lebih ke arah logika, bagaikan satu tambah satu. Hal ini berimplikasi pada penerimaan semua
orang terhadap dalam konteks yang lebih universal, yang dilambangkan kepada bahasa
Matematika. Sehingga kata-kata menjadi cermin bagi manusia dan akalah yang menjadi hal yang
bertanggungjawab atas kemunculan dan bukan kebudayaan.

Filsuf yang juga mengikuti Locke tetapi justru lebih mempertajam perbedaan dengan
Leibniz adalah Condillac. Condillac merupakan seorang filsuf empirisme meskipun bukan
materialis dan menghindari metafisik, dan mengaburkan pandangan batas antara jiwa dan badan.
Ia juga mengekstrimkan pandangan sensualisme yaitu paham yang mengutamakan panca indra
dzahir sehingga melampaui dan menyusutkan segala sesuatu pada penilaian indra zahir.

Condillac juga merupakan seorang naturalis, yang dipahami sebagai segala sesuatu
dijelaskan dengan penjelasan alami saja, dualis dan occasionalis bukan karena sesuatu sebab
akibat. Ia memandang bahasa sebagai tindakan. benar atau tidaknya dinilai dari kegunaanya
(pragmatis). Dengan demikian menurutnya sebuah kesalahan adalah jika bahasa tidak dipahami
sebagai alat komunikasi, sehingga disaat yang bersamaan menafikan segala struktur, karena
menurutnya bahasa itu sebagaimana digunakan dan dipahami bukan sebagaimana dijelaskan.

Condillac mengkritik locke yang menurutnya kekurangan Locke adalah; kekurangan


penjelasan insan, bahwa insan mampu mengulangi, membandingkan dan menyamakan idea dan
membuat semua jenis idea rumit menjadi sesuatu yang baru. Ia menyarankan diperlukanya asal
muasal tindakan pemahaman, yaitu tentang bagian bahasa bisa muncul. Kedua; penjelasan Locke
tadi tidak memiliki prinsip asas yang menyatukan, baginya penyatunya adalah kesatuan tanda,
atau pengikatnya.

Ia mengusulkan bahasa berkembang dari teriakan dan bersifat instingtif, kemudian dari
instingtif itu tergambarkan pada gerak tubuh. seperti bayi yang menggunakan bahasa sebatas
pada teriakan, kemudian dari teriakan itu terjadilah babbling. Ia juga membagi tanda menjadi
tiga jenis tanda. Sengaja (aksidental sign) dan tidak disengaja (natural science), yang mana jenis
kedua adalah lebih pasti daripada jenis sebelumnya. Natural ini dimaksudkan layaknya teriakan
seorang bayi yang menandakan kondisi kejiwaan anak. Yang mana kedua tanda tersebut
digunakan oleh insan dan juga binatang.

Bahasa natural ini menurutnya bisa keluar dan menjadi sebuah bahasa dengan syarat
adanya perasaan yang menandai. Sehingga tak bisa sengaja teringat apa yang telah mereka
teriakan, kondisi demikianlah yang ia maksud sebagai natural. Ianya berkenaaan dengan tanda
yang dilembagakan setelah proses khayalan. Jenis ketiga menurut rumusan Condillac adalah
institute sign, jenis inilah yang bisa diingat, denganya manusia mengendalikan atau
memfokuskan. hal inilah yang digunakan untuk merenungkan keadaan dirinya sendiri.

Yang diistilahkan sebagai merenung menurutnya adalah: menggabungkan,


mengklasifikasian, membandingkan, dan menyusun suatu kata, kemampuan merenung ini
adalah wilayah institute sign. Institut sign ini selain berfungsi sebagai alat untuk merenung, ia
juga dapat dijadikan alat abstraksi yang sangat esensial. Karena abstraksi itu adalah pergerakan
menuju makna atau tajrid, yaitu pemurnian ke level yang lebih tinggi secara rohani.

Ketika tanda tanda yang dilembagakan sebagai sebuah bahasa bersusun menjadi sistem
yang baik maka ianya telah menjadi sains. ia menyarankan bahwa jika seseorang hendak
mempelajari sains secara mudah, maka belajarlah bahasa. Dia juga beranggapan bahwa bahasa
itu tidak persis terklasifikasikan kearah logika. karena logika pun dipelajari dengan bahasa, dan
disatu sisi menggunakan angka. proses bahasa kenapa bisa dikatakan sebagai menjadi natural;
bersebab keadaan proses empirik yang menjadi awal mula bahasa, seperti teriakan dan gerak
tubuh semula, sehingga hampir selalu disertai perasaan takut dan sakit, mahupun tertawa. bahasa
tindakan (teriakan, hentakan) yang menciptakan bahasa maka vokal muncul secara spontan.

Bila kita komparasikan dengan dinamika bahasa di Barat, akan nampak sisi terang yang
menggambarkan kebingungan tak terhentikan, bersebab peristilahan dasar yang sesuai dengan
pandangan mereka tentang alam. Menurut Losonsky, diskursus tentang hakikat bahasa di Barat
sendiri telah terjadi pada Plato dan Aristoteles, akan tapi zaman modern ini sebatas berfokus
pada natural language, karena itu yang menjadi masalah.30

Sebenarnya yang ingin penulis tekankan ialah bahwa dari perbedaan problematika yang
mewarnai gelanggang jagat perdebatan kedua kelompok besar ini, yaitu Barat dan Islam adalah
sumber dari keduanya. Jika perdebatan Barat terkesan meninggalkan intervensi Tuhan, atau jika
ada pasti tidak dijelaskan, karena hanya seputar natural language. Sedangkan perdebatan
Ilmuwan muslim sangat melibatkan Tuhan dan wahyu sebagai sandaran utama tumbuhnya ilmu-
ilmu yang menjadi cabangnya. Sehingga sandaran itulah yang merupakan unsur penting karena
berimbas pada pendefinisian selanjutnya.
Pada fragmen tertentu ada semacam keputusasaan yang dialami oleh Barat khususnya
Pasca modernisme ketika membahas dan memperdebatkan soal bahasa. Di era pasca modernis
yang bersikap berlawanan dengan modernis sangat menggugat sains yang seringkali
didengungkan oleh modernis. Bila ditelisik lebih lanjut, bahasa yang mereka perdebatkan hanya
seputar bahasa alamiah (natural language). Hal itu disebabkan karena dalam pandangan Barat,
kedudukan metafisika dan epistemologi tidak diberikan proporsi yang tepat.
Selain mengenai Tuhan, masalah konsep kunci layaknya manusia, alam, ilmu dan
pengalaman belum dirumuskan secara jelas. Padahal konsep dan istilah ini mempunyai relasi
yang begitu berarti, terlebih bila disandingkan dengan perdebatan mengenai bahasa. Hal ini
mengakibatkan pada tataran filosofis perumusan mengenai masalah itu macet pada
pemberhentian yang relatif dan cenderung membingungkan, layaknya bangunan yang tidak
menggunakan penyanggah yang dapat roboh seketika. Hal ini merupakan akibat dari proses
pensekuleran yang mereka lakukan. Sehingga menurut Mortimer J. Adler, untuk mengatasi

30
Khairurrijal, Kuliah Filsafat Barat II, tanggal 28 Maret 2022.
problema tersebut, Ia mengusulkan untuk kembali membuka kitab zaman kuno dan pertengahan
dengan dibarengi dengan sikap yang lebih baik.31
Pada perdebatan para ilmuwan muslim, tampak mereka lebih mengintegrasikan pada
pendapat yang menyatakan bahwa bahasa itu bersifat kolusi istilah yang disaat yang sama
muasalnya dari Allah seperti badihiyah.32 Karena Allah telah memberikan kemampuan manusia
untuk berkata-kata, sehingga karena bahasa mempunyai unsur konveksi itulah, bahasa dapat
dikategorikan sebagai bagian dari kebudayaan. Tetapi bukan berarti al-Quran yang berbahasa
Arab merupakan bagian dari kebudayaan.

Meskipun bahasa itu bersifat budaya, tetapi tidak dengan bahasa al-Quran. Van Peursen
mengibaratkan hakikat kebudayaan dengan hakikat manusia itu sendiri. Karena setiap kali
manusia keluar menemui dunia, disanalah gejala-gejala kebudayaan timbul. Ringkasnya
menurutnya “Kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia.”33 Menurutnya
kebudayaan yang merupakan bagian dari tradisi bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah.34

Ismail Alam menjelaskan makna budaya dalam bukunya Tasawuf dan Tragedi Kritik
Kebudayaan Perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia mengutip pendapat Budiono
Kusumohamidjojo yang mencoba menjelaskan makna dari budaya, dan kaitan antara manusia-
alam-kebudayaan. Menurut Budiono substansi kebudayaan adalah “totalitas jiwa, pikiran, dan
perasaan manusia yang mewujud sebagai kompleks perilaku dan karya material dan
immaterialnya.”35

Adapun kebudayaan menurut al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin,


memaksudkan kebudayaan sebagai “hasil ciptaan insan dalam usaha menyesuaikan dirinya
menghadapi keadaan alam sekeliling.”36 Sehingga dalam makna relasinya, kebudayaan terbentuk
dari segitiga manusia-alam-agama.37 Ia membagi kebudayaan pada dua pengertian umum, yaitu
yang bersifat fisik, dan yang bukan berupa fisik. Yang kemudian kebudayaan yang berbentuk
non-fisik inilah yang lebih kekal mengakar pada sanubari manusia.
31
Lebih lengkapnya silahkan rujuk Khairurrijal, Filsafat Bahasa Kontemporer dan Kritik Al-Attas, (Jurnal
ISLAMIA Vol XI, No 2, Agustus 2017). hal. 47.
32
Hal ini disebabkan karena bahkan di dalam al-Quran pun
33
Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1988). hal. 9.
34
Ibid, hal. 11.
35
Ismail Al-Alam, Tasawuf dan Tragedi Kritik Kebudayaan Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
(Yogyakarta: Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara). hal. 6.
36
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Risalah. hal. 64.
37
Agama yang dimaksud ditakat ini bukan hanya bermaksud tentang agama Islam.
Untuk memahami lebih jauh hal tersebut, al-Attas memberikan perumpamaan yaitu
cermin dan cahaya matahari. Matahari sebagai sumber cahaya diumpamakan dengan Allah
sebagai sumber ilmu. Begitu pula cermin sebagai pantulan sinar dari matahari diumpamakan
sebagai hati manusia yang memantulkan ilmu dari Allah.
Keduanya adalah berbeda, semakin bersih cermin dari noda-noda yang dapat
menutupinya, maka semakin mirip pula ia dengan cahaya yang sesungguhnya. 38 Pun semakin
bersih hati manusia daripada kotoran dan noda maka semakin mirip pula ia dengan ilmu aslinya.
Maka al-Attas kemudian menyimpulkan bahwa tiada seorangpun yang lebih bersih hatinya
daripada para Anbiya’ dan Mursalin, bahkan tidak bernoda. Sehingga kategori tersebut benar-
benar menjadi refleksi dari ilmu Allah dan secara langsung mendapat legitimasi dari Allah untuk
memikul amanah tersebut dan secara ijma diakui keotoritasan sejak dahulu hingga waktu yang
akan mendatang.
Berbeda dengan manusia biasa. Manusia pada dasarnya juga memiliki tingkatan-
tingkatan kebersihan hati, yang menyebabkan manusia mempunyai otoritas dalam memahami
dan menyampaikan kebenaran.39 Akan tetapi terlepas dari itu tetap tak bisa dipungkiri, sebagai
manusia, dan sifat alami kemanusianya, manusia memiliki noda-noda yang menghalangi tercapai
dan sekaligus terpantulnya ilmu dengan sempurna.
Al-Attas seperti juga para Ulama lain, yang beranggapan bahwa noda tersebut, bersebab
oleh kezaliman, dan kezaliman tersebut bersumber daripada sifat manusia yaitu nisyan sesuai
dengan akar kata dari insan.40 Sehingga dalam konteks pembagian agama yang di tanzil kan
Revealed Religion dan agama hasil dari budaya Cultural religion,41 sebesar dan sebenar apapun
agama budaya Cultural Religion, itu tetap tak akan bisa disepadankan dengan agama murni.
Justru terdapat kaedah yang lebih ketat tentang pemahaman akan proses pencapaian
kebenaran. Yaitu apabila budaya yang dicapai dari pencapaian akhir manusia tanpa
dibimbingkan oleh wahyu Illahi melewati utusan-utusan-Nya, maka pencapaian akhir itu tidak
akan pernah mencapai hakikat kebenaran.42

38
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Risalah. hal. 5-6.
39
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali, Risalah Laduniyyah, (Kairo, Daar al Muqhthim li an-
Nashr wa at-Tauzi’, 2013). hal. 48 .
40
Pernyataan Ibnu Abbas Summiya al-Insan, liannahu nisyan.
41
Pembagian agama oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas di Islam dan Sekularisme. hal. 36.
42
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Risalah. hal.76 “Andai kata tiada akal itu dibantu dengan petunjuk wahyu,
maka terkandas lah dia dalam pencarian yang buntu mengenai hakikat agama.”
Dalam konteks bahasa sebagai budaya, bahwa dari pengertian diatas, bahasa dapat
dikategorikan sebagai budaya, yang berarti daya cipta yang dihasilkan diri manusia. 43 Akan
tetapi, ada sebagian yang dianggap sebagai budaya namun hakikatnya bukan berasal dari budaya
seperti halnya sebagian alam yang tidak bersifat alamiah karena bukan berasal dari alam. Para
Ulama mengistilahkan kategori tersebut dalam kategori mukjizat, seperti halnya laut merah yang
dapat dibelah oleh Nabi Musa, itu tidak dapat dikategorikan sebagai peristiwa alam. 44
Bahasa Al-Quran pun bila dirujuk dalam pengertianya adalah merupakan bukan dari
kebudayaan.45 Maka meskipun Al-Quran itu juga merupakan bahasa Arab yang merupakan unsur
kebudayaan, maka jika dirujuk dari asal muasalnya, al-Quran tidak dapat dikategorikan sebagai
hasil budaya. Hal ini dikarenakan al-Quran adalah sesuatu yang ditanzilkan oleh Allah SWT.
Dalam bahasa Islam pun, seandainya bahasa itu dalam pengertian ketat bukanlah dari
wahyu, tetapi alat yang dijadikan kebenaran dalam makna adalah al-Quran (wahyu) beserta
turunan turunannya. Hal inilah yang menyebabkan di satu sisi al-Quran dengan segala ketetapan,
namun di satu sisi yang lain ia sesuai dengan perkembangan zaman, yang menurut al-Attas ialah
Dynamic Stabilism.

Bahasa sebagai kebudayaan ini sebenarnya mempunyai implikasi panjang terhadap


perubahan makna yang begitu rentan terjangkiti oleh bahasa. seperti kasus di zaman Al-Ghozali.
Kasus yang menjangkiti para ‘ulama pada waktu itu adalah terjadinya mutasi konsep dari ilmu,
fiqh, tadzkir dan makna serupa yang satu rumpun dengan konsep itu. Di Dalam magnum
opusnya, Al-Ghozali memainkan peran penting dalam ikhtiarnya mengembalikan makna-makna
signifikan kepada makna awalnya.

Menurutnya sesungguhnya permulaan munculnya kerancuan ilmu yang hina disebabkan


karena distorsi makna dan penggantian konsep dari nama-nama ilmu yang dikategorikan sebagai
ilmu yang mulia. Yaitu dengan menggantinya dengan tujuan yang rusak yang berbeda dengan
apa yang dimaksud oleh para Salaf Shalih dan generasi awal. Sehingga solusi yang Ia ajukan
pun, kembali lagi mengaitkan dan mengikatkan makna tersebut kepada sumber pandangan alam
utamanya.46

43
Khairurijal, kuliah filsafat tentang kebudayaan, tanggal 8 Mei 2022.
44
Teori Kausalitas al-Ghozali.
45
Lafadzh dan Ma’na dari Allah, Qothon Manna’ Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an,(Dar Suudiyyah li an-Nasyr). hal.
23.
46
Pembahasan lebih lengkap silakan merujuk kepada, Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali , Ihya’ ‘Ulumiddin.
(Jeddah: Daarul Minhaj 2011) Jilid 1 hal. 120.

Anda mungkin juga menyukai