Anda di halaman 1dari 18

Hafizul

Hubungan antara Filsafat Islam, Maqashid Al-Syariah, dan ‘Illat

Hafizul Khairi

Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi


e-mail : Hafizulkhairi1718@gmail.com

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam dan merupakan puncak dan penutup
Wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan juga merupakan bagian dari rukun
iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat
Jibril. Allah menurunkan Al-Qur’an tidak semata mata tanpa ada sebab, maka oleh
karena itu setiap ayat yang turun, tentu memiliki segi Asbabun Nuzul yang berbeda
beda, namun ada beberapa ayat yang memiliki keterkaitan, seperti ayat ayat yang
mengkisahkan tentang sejarah nabi ibrahim. Ayat ayat di dalam Al-Qur’an tidak semua
yang dapat dipahami secara langsung, maka karena hal tersebut, perlu adanya dalil
pelengkap atau pendukungnya, yakni Hadist, yang berarti perkataan, perbuatan, atau
ketetapan Nabi Muhammad SAW yang menjadi sumber hukum yang di pakai setelah
Al-Qur’an.
Manusia sebagai makhluk yang Allah anugerahi akal fikiran, tentu sepatutnya
harus menggunakan akal nya dalam melakukan berbagai hal, maka mestilah bagi
manusia untuk menggunakan akal fikirannya untuk mengetahui apa tujuan Allah
menurunkan ayat ayat dalam Al-Quran dan Hadist Nabi SAW. Dalam memahami alasan
Allah menurunkan Al-Quran ini tidak sembarang orang saja yang bisa melakukannya,
karena jika seseorang mencari tahu apa sebab turunnya suatu ayat tanpa menggunakan
ilmu, maka akan terjadi penafsiran atau pemikiran yang melenceng. Contohnya seperti
Surat Annisa’ ayat 3 yang menjelaskan tentang Poligami, jika seseorang menafsirkan
ayat tersebut tanpa didasari ilmu, maka ia berpotensi akan mengatakan bahwa ayat ini
mengatakan bahwa kita boleh beristri 9 orang, karena 2 + 3 + 4 itu adalah 9, namun hal
itu tidak benar, maka oleh karena itu jika seseorang ingin mengetahui apa maksud dari
turunnya Al-Quran atau Hadist, haruslah ia menggunakan berbagai ilmu seperti ilmu
Bahasa arab, ilmu Filsafat hukum Islam, Ilmu Maqashid al-Syari’ah, Ilmu ‘Illat, ilmu
Tafsir, dan lain lain.

15 Desember 2019 | 1
Hafizul

Berbicara mengenai seseorang yang mencari dan meneliti tujuan Allah


menurunkan suatu ayat di dalam Al-Qur’an atau Hadist, maka seseorang ini disebut
dengan mujtahid. Seorang mujtahid harus berilmu dalam mencari maksud dan tujuan
Allah menurunkan ayat dalam Al-Qur’an maupun Hadist, sedangkan proses yang ia
lakukan dalam mencari maksud dan tujuan, serta penetapan hukum dari suatu ayat di
dalam Al-Qur’an dan Hadist itu bisa menggunakan banyak ilmu, beberapa diantaranya
yaitu ilmu tentang ‘Illat, Ilmu Filsafat Hukum Islam, dan juga ilmu Maqashid al-
Syariah. Illat yaitu yaitu mengkaji tentang alasan logis turunnya suatu ayat, atau Hadist,
karena setiap perintah dan larangan yang Allah turunkan itu mempunyai alasan logis
dan tujuan masing masing. Sedangkan filsafat hukum Islam sebagaimana Busyro
sampaikan pada pembelajaran Filsafat Hukum Islam di Fakultas Syariah IAIN
Bukittinggi, bahwa filsafat islam itu adalah memikirkan apa yang Allah fikirkan,
lengkapnya yaitu pemikiran, penghayatan, dan penelaah dalam proses mengistinbatkan
hukum dari dalil hukum yang bertujuan untuk kemaslahatan. Lalu Maqashid al-Syariah1
yaitu rahasia-rahasia dan tujuan akhir hendak diwujudkan oleh syar’i dalam setiap
hukum yang ditetapkannya.
Dari penjelasan di atas penulis tertarik untuk membahas apakah hubungan antara
Filsafat Hukum Islam, Maqashid al-Syariah, dan ‘Illat, yang akan penulis jelaskan pada
pembahasan selanjutnya.
B. Pengertian Filsafat Hukum Islam
Filsafat dapat diartikan sebagai hal ihwal sesuatu sebagai ilmu pengetahuan
tentang haecceitas, esensi, dan sebab sebab segala hal sampai batas kemampuan
manusia.2
Sebelum kita membahas tentang Filsafat Islam, maka sebelum itu tentu kita
harus memahami terlebih dahulu ontologi dari filsafat islam dengan menunjuk kepada
pengertian istilah fisafat islam itu sendiri.
Contohnya Ahmad Fu’ad Al ahwani, beliau mendefenisikan filsafat Islam
sebagai pemikiran, penghayatan, dan penelaah mendalam tentang berbagai persoalan
alam semesta dan bermacam masalah manusia serta realitas Yang Maha Tinggi atas
dasar ajaran ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama islam. Sedangkan
menurut Al Kindi, yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Al-
1
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah (Ponorogo: Penerbit WADE, 2017), hlm 20.
2
Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (Ponorogo: Penerbit WADE, 2017), hlm 32.

15 Desember 2019 | 2
Hafizul

Shabbah Ibn Imran ibn Isma’il ibn al-Asy’ats bin Gays Al- Kindi, seorang perintis
filsafat islam menurut George N. Atiyeh, dalam karangannya tentang “Definisi Benda
Benda dan Uraiannya”, al-Kindi mencatat bahwa ada enam buah definisi tentang
filsafat yang mewakili cendikiawan-cendikiawan zamannya, yaitu sebagai berikut : 3
1. Philosopy ( Filsafat ) terdiri atas dua perkataan, yaitu Philo yang berarti teman, dan
Shopia yang berarti Kearifan. Filsafat adalah cinta akan kearifan. Definisi ini
didasarkan atas etimologi Yunani dari perkataan tersebut
2. Filsafat adalah percobaan manusia untuk berbuat sebaik atau melebihi Ilahi sejauh
hal itu mungkin. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
3. Filsafat adalah peraktek kematian. Kematian berarti pemisahan jiwa dari raga.
Kematian melibatkan penekanan kepentingan-kepentingan material yang
berlawanan dengan kehidupan yang shaleh, atau apa yang merupakan ekuivalensi
praktisnya.
4. Filsafat adalah “ Ilmunya segala ilmu “ dan “ kearifan dari segala kearifan “.
5. Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya.
6. Hal ihwal filsafat yang sebenarnya dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
haecceitas, esensi,dan sebab sebab segala hal sampai batas kemampuan manusia.
Dari keenam definisi filsafat yang dikumpulkan oleh al-Kindi, tampaknya
definisi terakhirlah yang merupakan definisi yang dipilih oleh al-Kindi. Menurutnya
filosof ialah orang yang hidup dengan benar, yang mencari kebenaran dan menempati
kebenaran tersebut. Filsafat yang sempurna tidak hanya sekedar pengetahuan tentang
kebenaran, tetapi disamping itu filsafat adalah perwujudan kebenaran dalam perbuatan.
Kearifan yang sesungguhnya, memadukan pencarian kearifan itu dengan
pelaksanaannya.
Defenisi filsafat yang dibangun oleh al-Kindi ini masih menyisakan pernyataan
ketika dikaitkan dengan kata kata Islam sehingga membentuk istilah filsafat Islam.
Maka dari sini terlebih dahulu penulis perlu membahas tentang pengertian filsafat Islam
secara luas. Lebih lebih apabila didasarkan pada keberagaman definisi dan klaim
kebenaran antara filsafat islam, filsafat Arab, filsafat di dunia Islam, dan lain lain.
Menurut Abd al-Mukti Bayyoumiy, penggunaan istilah filsafat Islam berarti
menyingkirkan berbagai peristilahan lainnya yang dikemukakan oleh para ahli sejarah,

3
Ibid, hlm 15-16.

15 Desember 2019 | 3
Hafizul

seperti filsafat Arab, filsafat Islam-Arab, atau filsafat dalam Islam secara ontologi
ketiganya mengandung kerancuan. Ketiga peristilahan tersebut memiliki kelemahan
yang sangat mendasar. Istilah filsafat Arab, kata Bayyoumiy merupakan peristilahan
yang diminati oleh para orientalis seperti Nallinou dan Mouris serta para
propagandisnya seperti Ahmad Luthfi el-Sayyid, dan Jamil Shaliba yang menulis
bukunya dengan judul Tarikh al-Falsafah al-‘arabiyyah ( Sejarah Filsafat Arab ).
Nellinoun menulis :4
“ Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah, atau masa awal kelahiran islam, maka
sesungguhnya dan yang wajar dari kata kata “ Arab “ tidak diragukan lagi menunjuk
pada suatu bangsa yang bermukin di daerah semenanjung yang dikenal dengan nama “
Jazirah Arab “. Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad berikutnya, mulai
abad pertama Hijriyyah kata “ Arab “ berubah menjadi suatu istilah yang maknanya
adalah segala bangsa dan rakyat yang bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam,
yaitu pada umumnya mempergunakan bahasa Arab dalam menulis buku buku ilmiyah.
Dengan demikian istilah “ Arab “ mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir,
Berber ( penduduk Afrika Utara ), Andalusia dan lain lain. Yaitu orang dari berbagai
kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiyah dalam bahasa Arab, karena mereka
bernaung di bawah negara negara Islam. Jika kita tidak menyebut mereka dengan
“Arab”, sukar sekali bagi kita untuk dapat bicara tentang ilmu falak, karena sangat
sedikit putera Qadhan dan ‘Adnan yang memiliki kecenderungan berpikir “.
Sebaliknya Nellinou menolak penamaan filsafat Islam, sebab kata kata ‘Islam’
atau ‘Muslim’ menyingkirkan orang orang Nasrani, Yahudi, Shabiah, dan para pemeluk
agama lain. Padahal mereka telah memberikan andil yang sangat besar dalam berbagai
cabang ilmu dan kesusasteraan Arab, khususnya ilmu pasti, ilmu falak, kedokteran, dan
filsafat. Tetapi kata Boyyoumiy, kelemahan mendasar istilah filsafat Arab, terletak pada
penunjukkannya kepada jenis kebangsaan dan identitas bahasa semata, yakni Arab.
Istilah ini disamping mencerminkan sikap fanatisme kearaban juga menegaskan esensi
islam yang sesungguhnya, yaitu islam sebagai din ( Agama ) dan hadharah
( Peradaban ).
Bahkan menurut Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang islam dan
Iran, penamaan istilah tersebut terkesan sempit dan keliru. Bagaimana kita bisa

4
Ibid, hlm 17.

15 Desember 2019 | 4
Hafizul

menempatkan pemikiran Nashir Khasru, atau Afdhal Kasyani dan para ahli pikir
Muslim Persia lainnya yang tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa
persia.5
Istilah lain yang mendapat kritikan adalah istilah filsafat Arab-Islam. Istilah ini
dimunculkan oleh sebagian penulis seperti Abdul al-Syamaliy yang menulis bukunya
dengan judul Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah ( Sejarah Filsafat Arab-
Islam ). Istilah yang diciptakan untuk mensistesiskan ( al-jam’u ) antara filsafat yang
ditulis dengan bahasa Arab dan kultur islam ini jelas dipandang rancu secara ontologis.
Sebab, dengan istilah tersebut tidak mendalam karena menegasikan peran filosof bukan
Arab yang menulis bukan dengan bahasa Arab.6
Kritikan serupa ditujukan bagi peristilahan filsafat dalam Islam atau filsafat di
dunia Islam. Istilah ini dipilih oleh Asynah, bahwa jika yang dimaksud dengan istilah
itu adalah pemikiran filsafat yang tersebar di sebagian permukaan bumi setelah agama
Islam dan bahasa Arab meluas kemana-mana. Yakni pemikiran filsafat yang selalu
dirumuskan dalam bahasa Arab, atau yang kadang kadang oleh penulisnya sendiri
dirumuskan dalam bahasa persia, maka pemisahan sebagian dari pemikiran itu dari
bagian yang lain merupakan kejanggalan dan tampak dibuat-buat. Apalagi kalau
pemisahan itu didasarkan kepada bahasa yang dipergunakan untuk merumuskan
pemikirannya itu, atau didasarkan pada keyakinan agama para penulisnya. Bagaimana
mungkin seseorang akan menolak pemikiran seorang filosof hanya karena ia beragama
Yahudi, atau menulis dengan bahasa Persia?.
Dengan demikian, kata Asynah, yang lebih tepat untuk peristilahan itu adalah
filsafat di dunia islam. Tetapi lagi lagi kata Bayyoumiy, pendapat Asynah diatas
mendapat kritikan dari orang orang Iran, India, dan Turki yang lebih suka
menamakannya dengan filsafat islam ketimbang filsafat di dunia Islam,dan menurut
Bayyoumiy, istilah yang disebut terakhir ini terkesan terlalu panjang dan bertele-tele.
Jadi pemakaian istilah filsafat Islam memiliki keistimewaan dibandingkan istilah
istilah lain. Sebab, penamaan filsafat Islam mencakup seluruh pemikiran yang ditulis
dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya, baik yang ditulis oleh orang Arab, atau ‘ajam (
non Arab ), dan bahkan mencakup pemikiran tentang Islam yang ditulis oleh orang
orang non Islam. Dan juga bahwa penamaan filsafat Islam bukan hanya meliputi unsur
5
Ibid, hlm 18.
6
Ibid.

15 Desember 2019 | 5
Hafizul

etnis atau sistem kenegaraan tertentu, melainkan meliputi kandungan-kandungan filsafat


itu sendiri, yakni Islam dan cara berpikir ala Yunani, metodologi dan sebagian
pandangannya. Sedangkan persoalan menyangkut ‘keakraban’ yang merupakan suatu
identitas peradaban, maka yang perlu diperhatikan bahwa substansi peradaban itu
sendiri tidak lain adalah al-Islam. Jika tidak ada Islam, maka produk filsafat pun tidak
akan ada. Dengan demikian, kata Bayyoumiy, nama yang paling tepat untuk menyebut
filsafat itu adalah filsafat islam.
Dari beberapa istilah yang diperdebatkan oleh para ahli diatas, penulis lebih
cendrung menggunakan istilah filsafat Islam, seperti pendapat Bayyoumiy. Hal ini
karena istilah itu lebih universal, serta mencakup keseluruhan orang Islam dimanapun
berada. Lebih lanjut, istilah filsafat Islam menunjukkan ciri khas tersendiri yang
membedakannya dengan filsafat lain.
Setelah kita mengetahui apa itu filsafat islam, selanjutnya kita pahami apa itu
filsafat hukum Islam. Kata kata filsafat hukum Islam tidak ditemukan dalam kamus
ulama klasik, demikian yang tergambar dari beberapa buku filsafat hukum Islam, baik
yang berbahasa Arab, maupun yang ditulis oleh pengarang Indonesia. Berfilsafat selalu
di identikkan dengan mencari hikmah, karena kata hikmah itulah yang lebih sepadan
untuk menunjukkan filsafat. Setidaknya hal ini dapat ditemukan ketika membaca tulisan
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fathurrahman Djamil, Ismail Muhammad Syah, Subhi
Mahmassani, dan lain-lain. Walaupun demikian, ulama masih tetap mencoba untuk
membedakan antara hikmah dengan filsafat. Filsafat adalah bangunan sebuah ilmu
untuk mencapai kebenaran sesuatu, sedangkan hikmah adalah mengkaji rahasia rahasia
yang terkandung dalam setiap ketentuan hukum Islam.
Apabila dilihat pernyataan diatas, maka filsafat hukum Islam sebagaimana
disampaikan oleh Mustafa Abdul Raziq, adalah ilmu ushul fiqh. Hal ini karena ilmu
ushul fiqh memiliki unsur unsur berfikir filsafat dan mempunyai epistimology yang
jelas, ontology yang jelas, dan aksiologi yang terarah. Ilmu ushul fiqh membawa
seseorang untuk berfikir ilmiyah, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Disisi lain, filsafat hukum Islam dapat pula diartikan sebagai pengetahuan
tentang hakikat sesuatu, rahasia, dan tujuan esensi dari hukum Islam, sehingga seorang
mujtahid mesti mewujudkan tujuan esensi itu, yaitu kemaslahatan. Amir Syarifuddin

15 Desember 2019 | 6
Hafizul

mengatakan bahwa proses terbentuknya hukum Islam juga merupakan sebuah langkah
berfikir filosifis dalam hukum islam.7
Kata filsafat juga identik dengan hikmah, yang oleh sementara ahli disebut
dengan paham yang mendalam tentang agama. Hikmah hanya dapat dipahami oleh
orang yang mau menggunakan akal fikiran seperti hikmah disyariatkannya perkawinan
adalah dalam rangka mewujudkan ketentraman hidup dan menjalankan rasa kasih
sayang.
Munculnya kajian filsafat hukum Islam karena dengan kajian filsafat, hukum
Islam dapat lebih difahami sebagai suatu hukum yang rasional dan berkeadilan. Kajian
filsafat dapat membuktikan bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah Swt. dan yang
dijelaskan oleh Rasul-Nya berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Perbedaan
itu diantaranya terletak pada tujuan hukum yang tidak hanya ingin mewujudkan
kemaslahatan dunia, tetapi lebih jauh ingin menggapai kemaslahatan di akhirat, dan ini
juga salah satu yang membedakan filsafat hukum Islam dengan filsafat keilmuan
lainnya.
Disamping itu, memahami sesuatu secara filosofis artinya mengerti tentang
segala yang ada dan yang mungkin ada. Orang mengatakan bahwa filsafat adalah
mother of science. Dilihat dari segi kelahirannya, berfikir filosofis adalah meragukan
tentang sesuatu atau pensaran terhadap sesuatu yang diamati. Keraguan dan rasa
penasaran tentang sesuatu itu ditumpahkannya dengan mempertanyakan segala sesuatu,
termasuk mempertanyakan tentang hukum Islam. Pernyataan demi pertanyaaan tentang
hukum Islam dan keraguan dalam penerapannya dan juga keraguan tentang
kesesuaiannya dalam semua zaman dan tempat yang dilaluinya dijawab dengan berfikir
filosofis. Itulah sebabnya muncul kajian tentang filsafat islam.
Hukum Islam mesti dikaji secara filosofis karena para pemikir hukum Islam
ingin meyakinkan kepada umat Islam khususnya dan kepada orang orang diluar islam
bahwa norma norma hukum dalam Islam menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi
alam sebagaimana firman Allah Swt. “Aku tidak akan mengutusmu kecuali untuk
menjadi rahmat bagi alam semesta”. Oleh karena itu hukum islam tidak hanya
berakibat baik bagi umat islam, tetapi juga bagi orang orang non Islam.

7
Ibid, hlm 33.

15 Desember 2019 | 7
Hafizul

Dilihat dari tujuan pengkajian filsafat, untuk meemukan kebenaran, maka


filsafat hukum islam tidak hanya terfokus kepada penemuan tersebut, tetapi bagaiaman
dengan penemuan itu ada dorongan atau motivasi berbuat dan mengamalkan hukum
Islam dengan penuh keyakinan dan keikhlasan, tanpa ada rasa terpaksa. Itulah sebabnya
filsafat hukum Islam sering juga disebut dengan hikmah hukum Islam. Dengan semata
mata kajian fisafat tidak akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, tetapi
dengan kajian hikmah akan mendorong seseorang melakukan sesuatu.8
C. Pengertian Maqashid al-Syari’ah
Secara bahasa, kata kata “maqashid” merupakan bentuk jamak dari kata
“maqshad”, yaitu merupakan mashdar mimi dari kata qasada-yaqshudu-qashdan-
maqshadan. Menurut Ibn al-Manzhur, kata ini secara bahasa dapat berarti istiqamah al-
thariq ( keteguhan pada satu jalan ) dan al-i’timad ( sesuatu yang menjadi tumpuan ).9
Dengan demikian maqashid adalah sesuatu yang dilakukan dengan penuh
pertimabangan dan ditujukan untuk mencapai sesuatu yang dapat mengantarkan
seseorang kepada jalan yang lurus ( kebenaran ), dan kebenaran yang didapatkan
haruslah ia yakini serta diamalkan secara teguh. Selanjutnya dengan melakukan sesuatu
itu diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dalam kondisi apapun.
Adapun kata syari’ah secara bahasa berarti maurid al-ma’alladzi tasyra’u fihi
al-dwab ( tempat air mengalir, dimana hewan hewan minum dari sana ). Seperti dalam
hadist Nabi, fa asyra’a naqatuhu, artinya adkhala fi syari;ah al-ma’ ( lalu ia memberi
minum untanya, artinya ia memasukkan unta itu kedalam tempat air mengalir ). Kata ini
juga berarti masyara’ah allati yasyra’uha al-nas fayasyribuhu minha wa yastaquna
( tempat lewatnya orang orang yang minum, yaitu manusia yang mengambil minum dari
sana atau tempat mereka mengambil air ). Selain itu pada tempat lain, kata syari;ah juga
bisa dipakaikan untuk pengertian al-din dan al-millah ( agama ), al-thariq ( jalan ), al-
minhaj ( metode ), dan al-sunnah ( kebiasaan ).10
Pemakaian kata al-syari’ah dengan pengertian diatas diantaranya berdasarkan
firman Allah dalam QS al-jatsiyah ayat 18 yang berbunyi :
          
  

8
Ibid, hlm 34.
9
Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, Op Cit, hlm 15.
10
Ibid, hlm 17.

15 Desember 2019 | 8
Hafizul

Artinya : “ Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui “.
Juga berdasarkan surat al Maidah ayat 48 :
.....     

Artinya : “ ...Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang
terang.. “.
Pemakaian kata al-syari’ah dengan arti tempat tumbuh dan sumber mata air
bermakna bahwa sesungguhnya air merupakan sumber kehidupan manusia, binatang,
dan tumbuh tumbuhan. Demikian pula halnya dengan agama Islam merupakan sumber
kehidupan setiap muslim, kemaslahatannya, kemajuannya, dan keselamatannya, baik di
dunia maupun di akhirat. Tanpa syari’ah manusia tidak akan mendapat kebaikan,
sebagaimana ia tidak mendapatkan air untuk diminum. Oleh karena itu syariat Islam
merupakan sumber setiap kebaikan, pengharapan, kebahagiaan, baik dalam kehidupan
di dunia maupun kehidupan di akhirat nanti.
Dengan demikian, maqashid al-syari’ah secara bahasa artinya adalah upaya
manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan yang benar berdasarkan
sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan Hadist Nabi Saw. Pengertian ini belum dapat
menjelaskan hakikat dari maqashid al-syari’ah yang sebenarnya. Oleh karena itu
pengertian secara istilahi perlu dikemukakan di bawah ini.
Ulama yang mematangkan konsep maqashid al-syari’ah, al-Syathibi, menurut
Busyro, tidak mendefenisikan maqashid al-syari’ah secara gamblang. Demikian yang
tergambar dari kitabnya, al-muwafaqat, tetapi ia lebih menitik beratkan kepada isi dari
maqashid al-syari’ah itu sendiri. Demikian pula ulama ulama klasik lainnya. Seara
umum pembahasan ulama-ulama tersebut sudah langsung mengacu kepada isi dari
maqashid syari’ah itu, tanpa terlebih dahulu mendefinisikannya. Pendefinisian
maqashid syari’ah baru dilakukan oleh sebagian ulama ulama kontemporer. Namun
setidaknya kajian utama dari maqashid al-syari’ah atau materi materi yang menjadi inti
dari semuanya sudah tergambar dalam beberapa ungkapan dan pembahasan para ulama
tersebut. Pada dasarnya mereka mengatakan bahwa sesungguhnya isi maqashid al-
syari’ah itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.

15 Desember 2019 | 9
Hafizul

Menurut Thahir ibn Asyuri ( w.1973 M ), sebagaimana dikutip oleh Manshur al-
khalifi, maqashid al-syari’ah adalah al-ma’ani wa al-hikam ( makna makna dan hikmah
hikmah ) yang diinginkan oleh syar’i ( Allah dan Rasul-Nya ) dalam setiap penetapan
hukum secara umum. Sedangkan ‘Alal al-Fasiy ( w.1973 M ) sebagaimana dikutip oleh
Busyro, mendefinisikan sebagai sebuah al-ghayah ( tujuan akhir ) dan ( al asrar )
rahasia-rahasia yang diinginkan oleh syar’i pada setiap hukum yang ditetapkan-Nya.
Adapun Manshur al-Khalifiy mendefinisikan maqashid al-syari’ah sebagai al-ma’ani
( makna makna ) dan al-hikam ( hikmah-hikmah ) yang dikehendaki oleh syar’i dalam
setiap penetapan hukum untuk merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Definisi yang agak sempurna dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, yaitu
sebagai berikut :
“ Maqashid al-syari’ah adalah makna-makna dan tujuan yang dapat difahami/dicatat
pada setiap hukum dan untuk mengagungkan hukum itu sendiri, atau bisa juga
didefinisikan dengan tujuan akhir dari syari’at islam dan rahasia rahasia yang
ditetapkan oleh syar’i pada setiap hukum yang ditetapkan-Nya.11
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa maqashid al-syari’ah itu
adalah rahasia rahasia dan tujuan akhir yang hendak diwujudkan oleh syar’i dalam
setiap hukum yang di tetapkan-Nya, dan dengan mengetahui yang demikian, menurut
busyro, akan sangat berguna bagi mujtahid dan juga bagi orang orang yang tidak
mencapai derajat mujtahid. Bagi mujtahid, pengetahuan terhadap teks teks ayat al-
Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun bagi orang lain diharapkan mampu memahami
rahasia rahasia penetapan hukum dalam itu sendiri. Disamping itu pengetahuan terhadap
maqashid al-syari’ah akan memberikan kemampuan kepada mujtahid untuk
menerapkan ( tathbiq ) ketentuan ketentuan yang sudah ada dalam al-Quran dan sunnah
serta untuk menerapkan pendapat pendapat untuk dalam kitab kitab fiqh dalam
hubungannya dengan kondisi yang sangat dihadapi.
Menyimak keterangan diatas, terdapat hubungan antara makna bahasa dengan
istilah. Apabila dihubungkan dengan pengertian secara bahasa, maqashid al-syari’ah
merupakan istiqamah al-thariq dan al-i’timad ( berpegang teguh dengan cara apapun ),
teapi tetap berpegang pada prinsip al-‘adl wa al-tawassuth ‘adam al-ifrath wa al-tafrith
( mengambil sikap pertengahan dan tidak berlebih lebihan ). Dengan demikian

11
Ibid, hlm 19-20.

15 Desember 2019 | 10
Hafizul

maqashid al-syari’ah itu merupakan tujuan dan kiblat dari hukum syara’, dimana semua
mujtahid harus menghadapkan perhatiannya kesana. Salah satu prinsip yang
dikedepankan dalam maqashid al-syari’ah adalah mengambil jalan tengah dan tidak
berlebih lebihan dalam mengapliksikannya, karena maslahah yang akan diwujudkan itu
harus mengacu kepada wahyu, tidak semata mata hasil pemikiran semata.
Keberadaan maqashid al-syari’ah, sebagai sebuah teori hukum, juga berawal
dari kesepakatan mayoritas ulama dan mujtahid ( ijma’ ). Dari sisi ijma’ dapat dilihat
bahwa ulama ulama salaf dan khalaf, dari dulu sampa sekarang, menyepakati bahwa
syariat Islam itu mengandung kemudahan dan meniadakan taklif yang tidak disanggupi
oleh umat.
Untuk membuktikan hal itu banyak sekali contoh contoh berupa
ketentuan ketentuan Allah SWT dan Rasul SAW yang menunjukkan bahwa
kemaslahatan merupakan tujuan utama syari’at Islam. Misalnya kebolehan mengqashar
dan menjamak shalat bagi seseorang yang berada di perjalanan, gugurnya qadha shalat
bagi wanita haid dan nifas, dispensasi untuk tidak berpuasa bagi orang yang lanjut usia,
orang sakit dan orang yang sedang melakukan perjalanan, pembebasan taklif bagi orang
gila, orang pingsan, dan anak kecil. Hal ini menunjukkan bahwa aturan aturan hukum
Islam memberikan pertimbangan hukum sesuai dengan kemampuan seseorang.12
Contoh contoh dalam bidang muamalah juga dapat ditunjukkan dengan
kebolehan jual beli salam ( pesanan ), aqad musaqah dan muzara’ah, ijarah, dan lain
lain. Semua ini mengartikan bahwa syari’at Islam mengutamakan kemudahan dan
menjauhkan seseorang dari kesulitan-kesulitan yang tidak sanggup ia pikul, baik dalam
melakukan aktifitas dunianya maupun dalam aktifitas akhiratnya. Dengan ketentuan
ketentuan seperti itu maka tidak dapat dipungkiri bahwa syari’at Islam bertujuan
mewujudkan kemaslahatan dan perlindungan bagi manusia mulai dari kehidupan
dunianya sampai kehidupan akhiratnya.
Maqashid al-syariah, yang merupakan penelusuran terhadap tujuan tujuan Allah
SWT dalam menetapkan hukum, mesti mendapatkan perhatian yang besar. Dari sisi
logika berfikir, ketika tujuan tujuan tersebut diketahui oleh mujtahid, atas dasar itulah
dilakukan pemahaman hukum Islam dan untuk selanjutnya digunakan dalam
pengembangan hukum Islamdan dalam rangka menawab permasalahan permasalahan

12
Ibid, hlm 28-29.

15 Desember 2019 | 11
Hafizul

hukum Islam yang baru. Hal ini mengingat terbatasnya dalil dalil hukum yang terdapat
dalam al-Quran dan Sunnah Nabi SAW, Sedangkan permasalahan yang dihadapi umat
tidak pernah habis habisnya. Tanpa mengetahui maqashid al-syari’ah hukum Islam
akan mengalami stagnasi dan dikhawatirkan penetapan hukum tidak akan mencapai
sasaran yang diinginkan oleh Allah SWT,dan lebih lanjut tidak akan mempunyai nilai
yang digariskan dalam prinsip prinsip hukum Islam itu sendiri.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, bahwa maslahat yang dituju oleh sebuah
penetapan hukum lebih bermuara kepada kepentingan manusia, karena dengan maslahat
akan dapat menghasilkan manfaat dalam pelaksanaannya dan menghindarkan pelakunya
dari hal hal yang membahayakan dirinya. Sedangkan maqashid al-syariah lebih jauh
dari itu, yaitu menjaga kepentingan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-
Ghazali ( w. 505 ) dalam al-Mustasyfa :
“ Maslahat pada dasarnya merupakan sebuah kesimpulan untuk mewujudkan manfaat
atau menolak hal hal yang bersifat mudharat, tetapi bukan itu yang kami maksud,
karena mencari manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan setiap makhluk dan
kebaikan untuk makhluk dalam mencapai tujuan mereka, tetapi yang kami maksud
dengan maslahat itu sebenarnya adalah memelihara tujuan syara’ “
Dengan demikian pembicaraan tentang maqashid al-syari’ah tidak hanya
berkenaan dengan kemaslahatan yang hendak dicapai oleh manusia, tetapi lebih jauh
dari itu bagaimana sebuah penetapan hukum dapat memelihara kepentingan Allah SWT.
Menurut ‘Abdullah Darraz ( w. 1932 M ), sebagaiamana dikutip oleh Busyro,
kebanyakan pembahasan yang dilakukan oleh ulama klasik dalam kitab ushul fiqh
kurang memperhatikan maqashdi al-syari’ah, namun al-Syatibi ( w. 790 H ) telah
menjadikan hal ini sebagai tema sentral dalam karyanya, al-muwafaqat. Hal ini
dilakukan oleh Syathibi untuk membuktikan bahwa hukum syara’ itu ditetapkan untuk
memeliahara kemaslahatan yang merupakan kepentingan manusia secara keseluruhan.
Untuk itu al-Syatibi, sebagai bapak maqashid al-syariah, telah membangun kaedah-
kaedah ilmiah yang didukung oleh dalil-dalil yang diinduksi dari dalil dalil syar’i dan
memformulasikannya sedemikian rupa sehingga akhirnya menjadi sebuah teori
maqashid al-syari’ah.13

13
Ibid, hlm 30.

15 Desember 2019 | 12
Hafizul

D. Pengertian ‘Illat
Secara etimologi lafal ‘‘Illat berasal dari bahasa Arab yang berarti nama bagi
sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘‘Illat, karena dengan adanya penyakit
tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Oleh sebab itu apabila
dikatakan ‫ اعتل فالن‬maka hal itu berarti keadaanya berubah dari sehat menjadi sakit.14

Secara terminologi para ulama klasik telah memberikan rumusan hakikat atau
esensi ‘Illat ini. Berdasarkan pelacakan terhadap definisi yang mereka keluarkan,
ditemukan sejumlah pengertian atau hakikat ‘Illat yang penyebutannya bermacam-
macam. Al-Ghazālī misalnya, menyebutkan dengan manāṭ al-ḥukm (sangkutan hukum).
Dalam salah satu pernyataannya ia menyebutkan bahwa ‘Illat itu merupakan manāṭ
(pautan) hukum di mana Shāri' menghubungkan hukum dengannya. Muṣṭafā Shalabi
mendefenisikan ‘Illat dengan al-bā’its (motif) dan sesuatu yang menuntut adanya
pensyari'atan hukum adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat
menjadi sakit. Oleh sebab itu apabila dikatakan ‫ اعت ل فالن‬maka hal itu berarti keadaanya

berubah dari sehat menjadi sakit.


Secara terminologi para ulama klasik telah memberikan rumusan hakikat atau
esensi ‘Illat ini. Berdasarkan pelacakan terhadap definisi yang mereka keluarkan,
ditemukan sejumlah pengertian atau hakikat ‘Illat yang penyebutannya bermacam-
macam. Al-Ghazālī misalnya, menyebutkan dengan manāṭ al-ḥukm (sangkutan hukum).
Dalam salah satu pernyataannya ia menyebutkan bahwa ‘Illat itu merupakan manāṭ
(pautan) hukum di mana Shāri' menghubungkan hukum dengannya. Muṣṭafā Shalabi
mendefenisikan ‘Illat dengan al-bā’its (motif) dan sesuatu yang menuntut adanya
pensyari'atan hukum.15
Pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas merupakan kerangka
dasar yang amat penting dalam melahirkan teori ‘Illat. Hanya saja pengertian yang telah
dirumuskan ini belum menggambarkan sosok ‘Illat secara tegas dan jelas. Sifatnya baru
memberikan kerangka dasar pemikiran. Akan tetapi dasar pemikiran ini mempunyai
nilai yang amat penting dalam pengembangan teori ‘Illat pada masa berikutnya.
Muhammad Abū Zahrah, sebagai tokoh ushul kontemporer telah memberikan batasan
14
Busyro, “Eksistensi ‘Illat Dalam Mengukuhkan Teks Hadis Hadis Rukyatul Hilal,” Al-Ahkam
28 (2018), hlm 170-171.
15
Ibid.

15 Desember 2019 | 13
Hafizul

yang jelas dan tegas mengenai ‘Illat ini. Menurutnya yang dimaksud dengan ‘Illat ialah
suatu sifat atau keadaan yang jelas dan dapat diukur serta terdapat keserasiannya dengan
pensyari’atan hukum syara’.
Dari pengertian di atas maka syarat ‘Illat sebagaimana dirangkum oleh ‘Abd al-
Wahhāb Khalāf dan ulama lainnya adalah: 1) ‘Illat itu hendaknya berupa sifat yang
jelas (waṣfan ẓāhiran), yaitu sifat yang bisa ditangkap oleh indera manusia. 2) ‘Illat itu
hendaklah berupa sifat yang dapat diukur (waṣfan munḍabiṭan). Maksudnya, sesuatu
sifat yang akan dijadikan sebagai ‘‘Illat tersebut, meskipun ẓanni (dugaan) tetapi
keberadaanya dapat diukur dan dipastikan. 3) ‘Illat itu hendaklah sifat yang serasi atau
sejalan dengan pensyari'atan hukum (waṣfan munāsiban). Artinya, jika tidak demikian
tidak dapat diterima. ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada asal (pokok), tetapi juga pada
furu’ (muta’addiyah). Kemudian Muhammad Abū Zahrah dan ‘Abd al-Karīm Zaidān,
di samping syarat di atas, menambahkan satu syarat lagi, yaitu bahwa ‘Illat itu tidak
bersifat mulghah. Maksudnya adalah bahwa sifat ‘Illat itu tidak boleh bertentangan
dengan naṣ dan ketentuan-ketentuan yang sudah pasti. Untuk memperjelas pengertian
ini Abū Zahrah mengemukakan contoh tentang pengharaman
khamar dengan ‘Illat memabukkan (iskar). ‘Illat memabukkan adalah suatu sifat yang
jelas, dapat diukur dan dapat dibuktikan secara konkret dan memang pantas atau serasi
sebagai alasan pensyari'atan hukum.16
E. Hubungan Antara Filsafat Hukum Islam, Maqashid al-Syari’ah, dan ‘Illat
Berbicara mengenai hubungan antara 3 ilmu ini, sebelum itu alangkah lebih
baiknya penulis paparkan pengertian singkat tentang 3 ilmu ini yaitu sebagai berikut :
1. Filsafat hukum Islam sebagaimana disampaikan oleh Mustafa Abdul Raziq, adalah
ilmu ushul fiqh. filsafat hukum Islam dapat pula diartikan sebagai pengetahuan
tentang hakikat sesuatu, rahasia, dan tujuan esensi dari hukum Islam, sehingga
seorang mujtahid mesti mewujudkan tujuan esensi itu, yaitu kemaslahatan.
2. Maqashid al-Syari’ah sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, yaitu
sebagai berikut :
“ Maqashid al-syari’ah adalah makna-makna dan tujuan yang dapat
difahami/dicatat pada setiap hukum dan untuk mengagungkan hukum itu sendiri,

16
Ibid, hlm 172.

15 Desember 2019 | 14
Hafizul

atau bisa juga didefinisikan dengan tujuan akhir dari syari’at islam dan rahasia
rahasia yang ditetapkan oleh syar’i pada setiap hukum yang ditetapkan-Nya.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa maqashid al-syari’ah
itu adalah rahasia rahasia dan tujuan akhir yang hendak diwujudkan oleh syar’i
dalam setiap hukum yang di tetapkan-Nya, dan dengan mengetahui yang demikian,
menurut Busyro, akan sangat berguna bagi mujtahid dan juga bagi orang orang
yang tidak mencapai derajat mujtahid.
3. ‘Illat ialah suatu sifat atau keadaan yang jelas dan dapat diukur serta terdapat
keserasiannya dengan pensyari’atan hukum syara’.
Dari pengertian di atas maka syarat ‘Illat sebagaimana dirangkum oleh ‘Abd
al-Wahhāb Khalāf dan ulama lainnya adalah: 1) ‘Illat itu hendaknya berupa sifat
yang jelas (waṣfan ẓāhiran), yaitu sifat yang bisa ditangkap oleh indera manusia. 2)
‘Illat itu hendaklah berupa sifat yang dapat diukur (waṣfan munḍabiṭan).
Maksudnya, sesuatu sifat yang akan dijadikan sebagai ‘‘Illat tersebut, meskipun
ẓanni (dugaan) tetapi keberadaanya dapat diukur dan dipastikan. 3) ‘Illat itu
hendaklah sifat yang serasi atau sejalan dengan pensyari'atan hukum (waṣfan
munāsiban). Artinya, jika tidak demikian tidak dapat diterima. ‘Illat itu tidak hanya
terdapat pada asal (pokok), tetapi juga pada furu’ (muta’addiyah).
Setelah kita membaca pengertian dari 3 ilmu ini, tampak nya sudah sedikit
tergambarlah bagi kita tentang kaitan antara 3 ilmu ini, yaitu dapat penulis rangkum
sebagai berikut :
1. Bahwa ketiga ilmu ini merupakan ilmu-ilmu yang seorang mujtahid perlukan dalam
meneliti ayat di dalam al-Quran atau Hadist.
2. Bahwa ketiga ilmu ini sama-sama bertujuan untuk mencapai pemahaman dan
pengetahuan seseorang ( mujtahid ) dalam meneliti suatu ayat di dalam Al-Quran
atau Hadist Rasulullah SAW.
3. Bahwa dengan adanya tiga ilmu ini, membuat seseorang tidak bisa memahami
maksud ayat atau Hadist dengan semaunya saja, karna pada zaman sekarang marak
terjadi pemahaman yang salah di kalangan masyarakat, hingga muncul pemahaman
sesat yang menimbulkan perpecahan diantara masyarakat muslim.
4. Bahwa ketiga ilmu ini sama sama memiliki keterkaitan satu sama lain yang secara
eksplisit untuk mengetahui dan menggali hukum yang patut mujtahid tetapkan

15 Desember 2019 | 15
Hafizul

dalam suatu masalah yang diperdebatkan oleh ulama terdahulu, dan pada akhirnya
akan muncul pendapat yang lebih rajih, dengan tetap menghormati para pendapat
yang telah dikemukakan oleh berbagai pendapat ulama yang lain.
5. Bahwa dengan mempelajari 3 ilmu ini, berguna untuk kemaslahatan umat, seperti
menjawab problem-problem yang beredar di masyarakat, yang ada kalanya suatu
permasalahan tersebut belum ada dalil tegas yang menjelaskan tentang penetapan
hukumnya.
6. Bahwa dengan mempelajari ketiga ilmu ini, menimbulkan semangat dan motivasi
seseorang ( mujtahid ) dari hasil pemahamannya atas suatu ayat atau hadist,
contohnya ayat tentang perintah zakat, maka akan menimbulkan semangat,
kemauan, dan tanpa ada paksaan bagi seseorang untuk menunaikan zakat.
7. Jika kita ibaratkan jika seseorang lapar, dan ia ingin kenyang, maka ia bisa
memakan sesuatu yang bisa membuat ia kenyang, yaitu diantaranya dengan
memakan nasi, dengan memakan buah buahan, atau memakan roti, memakan
jagung, memakan ubi, minum susu, dan lainnya. Dapat kita lihat tujuan dari
memakan makanan diatas sama-sama bertujuan untuk dapat membuat seorang yang
lapar itu menjadi kenyang, namun seseorang juga bisa memakan semuanya agar
tercukupi asupan energi di tubuhnya, bukan hanya kenyang saja, itulah yang
sempurna. Sama hal nya dengan penggalian atau mencari hukum, kebenaran,
maksud, dan tujuan, suatu ayat atau Hadist itu di adakan, jika kita gunakan berbagai
ilmu yang diantaranya tiga ilmu ini, maka tercapailah hasil atau kesimpulan yang
sempurna, bukan hanya dengan satu ilmu saja yang mungkin membuat kesimpulan
yang kita dapatkan kurang sempurna.
F. Kesimpulan
Dari pemaparan penulis di atas, bahwa dapat penulis simpulkan bahwa
hubungan antara Filsafat Hukum Islam, Maqashid al-Syariah, dan ‘Illat yaitu sebagai
berikut :
1. Bahwa ketiga ilmu ini merupakan ilmu-ilmu yang seorang mujtahid perlukan dalam
meneliti ayat di dalam al-Quran atau Hadist.
2. Bahwa ketiga ilmu ini sama-sama bertujuan untuk mencapai pemahaman dan
pengetahuan seseorang ( mujtahid ) dalam meneliti suatu ayat di dalam Al-Quran
atau Hadist Rasulullah SAW.

15 Desember 2019 | 16
Hafizul

3. Bahwa dengan adanya tiga ilmu ini, membuat seseorang tidak bisa memahami
maksud ayat atau Hadist dengan semaunya saja, karna pada zaman sekarang marak
terjadi pemahaman yang salah di kalangan masyarakat, hingga muncul pemahaman
sesat yang menimbulkan perpecahan diantara masyarakat muslim.
4. Bahwa ketiga ilmu ini sama sama memiliki keterkaitan satu sama lain yang secara
eksplisit untuk mengetahui dan menggali hukum yang patut mujtahid tetapkan
dalam suatu masalah yang diperdebatkan oleh ulama terdahulu, dan pada akhirnya
akan muncul pendapat yang lebih rajih, dengan tetap menghormati para pendapat
yang telah dikemukakan oleh berbagai pendapat ulama yang lain.
5. Bahwa dengan mempelajari 3 ilmu ini, berguna untuk kemaslahatan umat, seperti
menjawab problem-problem yang beredar di masyarakat, yang ada kalanya suatu
permasalahan tersebut belum ada dalil tegas yang menjelaskan tentang penetapan
hukumnya.
6. Bahwa dengan mempelajari ketiga ilmu ini, menimbulkan semangat dan motivasi
seseorang ( mujtahid ) dari hasil pemahamannya atas suatu ayat atau hadist,
contohnya ayat tentang perintah zakat, maka akan menimbulkan semangat,
kemauan, dan tanpa ada paksaan bagi seseorang untuk menunaikan zakat.
7. Jika kita ibaratkan jika seseorang lapar, dan ia ingin kenyang, maka ia bisa
memakan sesuatu yang bisa membuat ia kenyang, yaitu diantaranya dengan
memakan nasi, dengan memakan buah buahan, atau memakan roti, memakan
jagung, memakan ubi, minum susu, dan lainnya. Dapat kita lihat tujuan dari
memakan makanan diatas sama-sama bertujuan untuk dapat membuat seorang yang
lapar itu menjadi kenyang, namun seseorang juga bisa memakan semuanya agar
tercukupi asupan energi di tubuhnya, bukan hanya kenyang saja, itulah yang
sempurna. Sama hal nya dengan penggalian atau mencari hukum, kebenaran,
maksud, dan tujuan, suatu ayat atau Hadist itu di adakan, jika kita gunakan berbagai
ilmu yang diantaranya tiga ilmu ini, maka tercapailah hasil atau kesimpulan yang
sempurna, bukan hanya dengan satu ilmu saja yang mungkin membuat kesimpulan
yang kita dapatkan kurang sempurna.

15 Desember 2019 | 17
Hafizul

DAFTAR PUSTAKA

Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam, 2017, Ponorogo: Penerbit WADE.

Busyro, “Eksistensi ‘Illat Dalam Mengukuhkan Teks Hadis Hadis Rukyatul

Hilal,” 2018, Al-Ahkam, vol 28.

Busyro, Maqashid Al-Syari’ah, 2017, Ponorogo: Penerbit WADE.

15 Desember 2019 | 18

Anda mungkin juga menyukai