Anda di halaman 1dari 2

Sekilas Makna Kebahagiaan dan Shaqowah.

“Mengejar Kebahagiaan”. Dalam makna ini, ternampak setidaknya mengandung dua makna.
Pertama seakan-akan kebahagiaan adalah sesuatu yang terus menerus senantiasa berubah. Kedua,
seakan akan ia adalah sesuatu yang berada pada luar diri manusia, sehingga untuk mencapainya
manusia dihimbau untuk mengejarnya supaya mendapatkanya. Lebih jauh pemaknaan dalam kamus
Oxford tentang makna kebahagiaan , yang hanya merujuk kepada sesuatu yang berada diluar
kawalan manusia, kebahagiaan setidaknya hanya dibatasi dengan makna ‘kesempatan’ dan ‘nasib’
yang baik. Dengan artian bahwa di dalam definisi ini, karena kesempatan dan nasib adalah berada
pada di luar lingkup kawalan manusia, maka kebahagiaan akan juga hilang tatkala ‘kesempatan’ dan
‘nasib’ yang baik tidak didapatkan.

Menurut Alattas kebahagiaan tiada berunsur kesempatan dan nasib, karena kebahagiaan
adalah sifat yakin (lawan dari ragu ragu) yang tiba pada tiga unsur yaitu unsur ruhani, jasmani, dan
aksesoris. Didalam Islam, yakin itu bersifat tetap. Ketetapan itu diumpamakan bagaikan pengembara
yang menaiki bahtera, jika tujuanya adalah pantai kesejahteraan yang jelas, tetap dan yakin, maka
dengan itu akan menumbuhkan kebahagiaan dan ketenangan pada hati. Ketetapan itu dapat
difahami dari intisari yang disarikan dari Al-Quran dengan menggunakan bahasa Arab yang tetap dan
telah terislamkan. Sehingga kemampuan akal untuk menangkap pesan dan makna dari Sang
Penyampai Pesan adalah mungkin, atau sesuatu yang tiada mustahil. Didalam al-Qur’an itulah, yang
didukung oleh bahasa Arab yang bersifat tetap, digambarkan kehidupan secara keseluruhan, yang
secara langsung menyatakan pada insan martabat dan posisinya dalam ciptaan Allah SWT.

Maka kebahagiaan yang berkaitan dengan kebebasan didalam Islam, adalah diistilahkan
dengan Ikhtiyar. Insan dimuliakan karena ilmu yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dengan Ilmu itu,
manusia dapat berada pada posisi lebih tinggi daripada malaikat, karena dengan ilmu itu manusia
berikhtiyar yaitu memilih yang lebih baik dengan membuat pertimbangan yang adil menggunakan
akal yang sehat (nafsu nathiqoh) dan dibantu dengan Wahyu dalam menyerahkan dirinya kepada
Allah, yang merupakan sebab bagi dirinya beragama. Maka hidup yang berlandaskan kepada agama,
adalah kehidupan yang sebenarnya, dan ia merupakan tingkatan paling tinggi, karena terhasil dari
ikhtiar.

Maka seperti yang telah tersebut diatas, bahwa unsur ruhani tersebut yang ia mengikuti
titah batinya, mempengaruhi unsur kedua yaitu unsur jasmani, yaitu yang didalam tataran
praktisnya termanifestasikan dalam perilaku amalan. Sehingga keyakinan yang mengikuti titah batin
yang mengikuti akal dan wahyu itulah disebut kebebasan yang sesungguhnya. Bukanlah kebebasan
itu ialah apabila diri dibiarkan liar tanpa pengawasan peraturan yang dapat membendung segala
naluri dan tabiat hewani dalam diri. Karena, barangsiapa yang terjerumus ke jurang kehinaan yang
demikian maka ia bukanlah insan yang sesesungguhnya, akan tetapi insan hanya segi rupa
bentuknya saja, karena ia lebih rendah dari segala hewan yang terendah. Sehingga dalam keadaan
ini, manusia tiada mencapai keyakinan.

Jika diumpamakan keyakinan itu ialah seperti pohon yang akarnya menancap secara dalam
ke dalam tanah dan batangnya menjulang kokoh keangkasa. Tiadapun dapat angin menggoyangnya,
melainkan akan terpental atau terpinggirkan. Sifat ikhtiar yang dilandaskan pada fitrah manusia yang
sesuai dengan kebenaran yang ditanzilkan, yang sesuai dengan maksud ianya diciptakan,
mengqiyaskan betapa kebahagiaan yang tiada terlandasi dengan landas yang serupa adalah rapuh
dan mudah berubah. Bagaimanapun manusia yang tiada beriman dapat merasakan kebahagiaan di
dunia, paling tidak ia menyimpan di dalam hatinya akan betapa tidak tahunya (ragu ragu) posisi yang
akan ia dapat tatkala dirinya telah meninggalkan dunia. Atau yang kedua, tatkala ia pun telah
berahasil meyakinkan dirinya dengan keyakinan yang dipaksakan dari keraguan, tatkala ditampakkan
kepadanya kebenaran yang ternyata bertolak belakang dan menyalahi keyakinan awalnya, niscaya
tiada yang ia dapatkan melainkan rasa penyesalan yang mendalam. Setidaknya dua keadaan inilah
yang memawkilkan makna shaqawah.

Anda mungkin juga menyukai