Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
1
Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah;
AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A berarti
“awang-awang, kosong atau hampa”, GA berarti “genah atau tempat” dan MA
berarti “matahari, terang atau bersinar”, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran
untuk menguak rahasia misteri Tuhan, sedangkan istilah UGAMA mengandung
makna, U atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata GA atau Gni
berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta berarti “angin atau udara” sehingga
dalam hal ini agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan dengan
sarana air, api, kidung kemenyan atau mantra.
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang
yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenai
agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya.
Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana
mestinya. Nah, dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang
mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama. Sehingga kita
beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian, dan bukti).
2
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Alquran disebutkan sebanyak 92
kali. Menurut arti bahasa (etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan.
Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4,
Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam
sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad-
diinu nashiihah (agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi teologi,
din diartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan
mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun
akhirat."
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan (akidah); (2)
hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas
sedemikian rupa sehingga satu sama lain lain saling berkaitan, dan tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din,
kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.
Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi
dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti
berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani
beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak
dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan
argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya
berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong
seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-
keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak, la
3
diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu
mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling
prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu
mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan
seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih
khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani,
Yahudi atau yang lainnya.
4
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal,
keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat
menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah
Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (lihat surat
Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami
muliakan anak-anak, Kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut,
serta Kami anugerahi mereka rezeki. Dan sungguh Kami utamakan mereka di
atas kebanyakan makhluk Kami lainnya." (QS Al-Isra, 17 : 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah) yang perlu
difaktualkan (bilfi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia
lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya
sendirinya. Karenanya, dia berhak bangga atas yang lainnya.
5
juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun
lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan
(fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah
tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang
berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak
harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyebut suara
dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam
sekitarnya.
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
6
dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka
makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama,
seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya,
alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama
7
4. Agama adalah produk orang-orang lemah.
Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit
dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat—misalnya Nabi Daud
dan Nabi Sulaiman—keduanya adalah raja yang kuat.
8
Kita hidup di lingkungan beragama. Pernahkah kita menyadari akan
pentingnya bagi kemanusiaan ? Tidakkah selama ini kita tahu bahwa atas nama
agama manusia sering melakukan tindakan yang tidak semestinya. Selalu merasa
dirinyalah yang benar dan tahu tentang agama. Tidak sedikit orang yang
memaksakan fahamnya terhadap orang lain, dan main hakim sendiri. Dari sinilah
kemudian timbul pertanyaan: Masikah agama digunakan untuk nilai moral ?
Tampaknya tidak, penilaian moral telah bergeser dari rumusan agama ke rumusan
humanisme universal. Sekatrang orang tidak memerlukan rumusan-rumusan agama
untuk menilai apakah seseorang bermoral atau tidak, apakah suatu tindakan dinilai
bermoral atau amoral. Orang cukup menyandarkan pegangan pada apakah
seseorang itu merugikan orang lain atau tidak. Suatu tindakan dikatakan tidak
bermoral hanya jika tindakan itu merugikan orang lain.
Maka, dengan demikian tak dapat disangkal lagi bahwa saat ini manusia
telah mulai merubah pandangan medreka dari agama kepada hal-hal yang bersifat
materi. Jangankan mengindahkan norma-normanya melaksanakan kewajibannya
saja mereka ogah. Bahkan demi materi seseorang rela mengorbankan
9
kehormatannya. Seperti kasus natalian Dylan, sarjana dari Sacramento State
University. Gadis ini melelang keperawanannya di situs lelang eBay dan uangnya
akan digunakan untuk membayar biaya sekolah yang belum lunas. “Memang
melelang keperawatan tidak akan menyelesaikan seluruh masalah saya, tetapi
paling tidak akan membuat keuangan saya stabil,” kata gadis 22 tahun kepada
Insider, 12 September lalu. (kompas,16 septermber 2008).
Ini sebabnya kenapa agama begitu penting bagi manusia. Agar kehidupan
manusia serba teratur. Seandainya tak ada satupun agama didunia ini yang
mengatur segala seluk-beluk kehidupan manusia, mungkin kita akan pernah tahu
siapa Bapak-Ibu kita. Karena tidak ada halangan bagi manusia mau berbaur dengan
siapa saja untuk melampiaskan nafsu seksualnya. Sungguh berbahagialah kita
semua karena memiliki agama dan Tuhan tempat kita memohon dan meratap.
Pendekatan pertama adalah bahwa manusia itu makhluk hidup yang unik, yang
memiliki kelebihan akal, sehingga manusia itu ketika mampu mempergunakan
akalnya secara maksimal dia bahkan bias lebih baik dari malaikat (dalam
pemahaman agama malaikat adalah makhluk yang selalu taat dan patuh, tidak
pernah membantah)
Namun ada satu sudut pandang lain yaitu bila manusia tidak mampu
mempergunakan akalnya manusia lebih hina dari binatang. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia harus maksimal UNTUK MENGGUNAKAN AKAL DAN
PIKIRAN kita yaitu mencari sebuah prinsip dasar kehidupan.
Singkat kata, satu pondasi dasar untuk memaksimalkan penggunaan akal kita
(walaupun banyak keterbatasan tentunya (karena satu sisi manusia makhluk lemah
yang suka berkeluh kesah, mudah putus asa dll)
10
Sejak awal sejarah umat manusia, manusia telah memperhatikan alam
semesta, dan dirinya sendiri dan bertanya-tanya akan banyak hal. Ini berlainan
dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Ini menghasilkan ilmu
pengetahuan, agama dan kebudayaan.
Ilmu Pengetahuan bermula dari filsafat Yunani kuno. Pada abad ke-6
sebelum Kristus, Thales dari Milletos mengamati alam semesta ini dan
mengatakan: “Semua adalah air”. Seorang filsuf lainnya Anaximandros
berpendapat bahwa: “Semua adalah yang tak terbatas (to apeiron)”. Filsuf lainnya
lagi, Anaximenes mengatakan: “Semua adalah udara”. Kemudian timbul filsuf-
filsuf lain dan yang paling berpengaruh pada ilmu pengetahuan alam manusia ialah
Aristoteles yang hidup diabad ke-4 sebelum Kristus. Pengetahuan ilmu
pengetahuan alam praktis dikembangkan oleh Archimedes. Silahkan baca buku
Filsafat Yunani untuk detail lebih lanjut
Yang mau saya tekankan disini ialah pengaruh iman pada ilmu pengetahuan
Setelah Thales mengamati alam semesta ini ia mulai kembangkan pikiran dan
kesimpulan-kesimpulannya. Mengapa ia lakukan itu? Karena ia percaya bahwa
alam semesta ini dapat dimengerti oleh otaknya. Tanpa kepercayaan ini ia
tidak akan buat kesimpulan-kesimpulan dan teori-teori atau filsafat-filsafat. Bahwa
alam semesta dapat dimengerti akal manusia tidak dapat dibuktikan tetapi harus
diterima dengan iman.
Ini iman pertama yang paling mendasar dari ilmu pengetahuan alam. Thales sangat
terkesan akan air. Ia tentu sering melihat hujan. Pulau Miletos dikelilingi laut. Air
kalau dipanaskan jadi uap air. Uap air kalau mendingin jadi air kembali. Thales
menambah iman kedua ialah bahwa semua adalah air. Anaximandros setuju dengan
Thales bahwa alam ini dapat dimengerti oleh otak manusia. Tetapi ia tidak setuju
dengan iman Thales yang kedua bahwa semua adalah air. Ia masukkan dalam
filsafatnya iman keduanya sendiri ialah bahwa semua adalah ketidak terbatasan.
Iman kedua Anaximenes adalah udara. Filsuf-filsuf berikutnya memasukkan
11
imannya sendiri dalam filsafatnya. Makin lama makin banyak dan makin
kompleks.
Kepercayaan atau iman ini: “ialah bahwa alam semesta dapat dimengerti
oleh manusia” diteruskan dari generasi kegenerasi. Kemudian Galileo dan Newton
mengambil alih iman ini begitu saja dan menambah iman baru: “Apa yang berlaku
kemarin, juga berlaku hari ini dan besok”. Mereka kembangkan rumus-rumus yang
mereka percaya berlaku selamanya. Ini iman kedua. Para ilmuwan selanjutnya
mengambil alih iman ini dan dalam perkembangan ilmu pengetahuan sampai
sekarang sesungguhnya ilmu pengetahuan manusia dipengaruhi oleh iman
tambahan mereka sampai sekarang. Makin lama makin besar pengaruh iman pada
ilmu pengetahuan.
Pengaruh iman pada teori-teori manusia ditunjukkan a.l. oleh Alfred North
Whitehead dan Albert Einstein. Iman ini dalam ilmu pengetahuan disebut juga
presupostions, preassumptions (asumsi mula) atau axioms. Kalau ada satu saja
asumsi mula yang salah, maka salahlah seluruh teori atau filsafat yang dibangun
diatasnya. Apakah ada cara untuk menguji teori-teori ilmiah dengan cara yang lebih
dapat diandalkan? Menurut saya ada, ialah dengan prinsip verifikasi dan/atau
falsifikasi.
12
Neurath (1882-1945). Ludwig von Witgenstein dan Karl Popper mempunyai
pengaruh yang besar, tetapi tidak pernah jadi anggota kelompok ini. Mula-mula
filsafat yang dikeluarkan
kelompok ini bernama filsafat dari lingkungan Wina (der Wiener Kreis). Tetapi
kini lebih dikenal sebagai positivisme logis (logical positivism). Banyak sekali
makalah makalah dan buku-buku yang ditulis kelompok ini. Yang paling
menyolok ialah bahwa mereka sangat tekankan prinsip verifikasi. Mereka katakan:
“Suatu ucapan yang tidak dapat diverifikasi ialah ucapan yang tidak bermakna”.
Karl Popper menunjukan bahwa sebuah teori tidak pernah dapat diverifikasi
(dibuktikan benar) tetapi teori yang bermakna seharusnya dapat difalsifikasi
(dibuktikan salah).
B. METAFISIKA.
13
Albert Einstein menunjukkan bahwa berapa positifnyapun seorang ilmuwan
mengaku, kalau ia buat teori, maka didalam teorinya ada unsur-unsur metafisis.
Einstein mengakui bahwa dalam teori-teorinya sendiri ada unsur metafisis. Seorang
ilmuwan lain yang juga sangat terkenal Wernher von Heisenberg menunjukkan
betapa miskinnya ilmu pengetahuan manusia bila hanya yang dapat
diverifikasi/falsifikasi saja yang dianggap bermakna.
Saya mengakui apa yang ditunjukkan kedua ilmuwan besar itu adalah
benar. Tetapi saya juga tunjukkan bahwa sebuah teori yang masuk akal menurut
seorang, belum tentu masuk akal untuk orang lain. Hal itu sangat tergantung pada
asumsi-asumsi mula (preassumptions, presuposition) yang diambilnya sebelum ia
menyelidiki sesuatu. Saya telah tunjukkan bahwa Thales dari Milletospun telah
mempunyai mempunyai asumsi mula bahwa alam semesta ini dapat dimengerti
sebelum ia mulai filsafatnya.
Kalau seorang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, maka tidak masuk
keakalnya bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan. Baginya lebih masuk
keakalnya kalau alam semesta ini selamanya ada, atau berevolusi perlahan-lahan
dari sebuah gumpalan masa yang sangat padat. Ini adalah hakekat dari “The Big
Bang Theory”. Inilah hakekat dari teori evolusi.
Kalau seorang percaya bahwa Tuhan itu ada, maka masuk keakalnya bahwa
Tuhanlah yang menciptakan alam semesta. Kalau seorang percaya Tuhan yang
mempunyai kesanggupan tak terbatas, masuk keakalnya bahwa Tuhan dapat
menciptakan alam semesta dalam waktu sekejap. Tetapi kalau asumsi mulanya
ialah bahwa Tuhan hanya lebih besar sedikit dari manusia, maka hal itu tidak
masuk keakalnya. Yang lebih masuk keakalnya ialah kalau Tuhan menciptakan
alam semesta sedikit, sedikit dalam waktu sangat lama. Kalau ia percaya ada Tuhan
seperti disaksikan Alkitab, maka masuk keakalnya bila Tuhan ciptakan alam
semesta dalam waktu enam hari seperti disaksikan Alkitab. Inilah hakekat dari teori
kreasi.
14
Seorang yang percaya pada Tuhan Alkitab, tetapi percaya juga teori evolusi
akan berusaha untuk mengkompromikan keduanya. Inilah yang dilakukan a.l. oleh
seoarang rohaniwan Katolik Pater Tijlhard de Chardin S.J. Kompromi ini diambil
alih oleh beberapa rohaniwan Katolik lain termasuk Paus Yohannes
Paulus II, dan (sayangnya) juga oleh beberapa teolog protestan.
Baik teori evolusi, maupun teori kreasi tidak dapat diverifikasi atau
difalsifikasi. Keduanya hanya soal lebih masuk akal yang mana menurut Anda.
Sebelum Anda mengambil keputusan tanya dahulu apa asumsi-asumsi mula Anda?
Kesimpulan pasal I:
Sejak semula manusia sudah penuh pertanyaan mengenai alam semesta dan
dirinya sendiri. Siapakah sesungguhnya saya ini? Mengapa saya ada disini? Setelah
mati kemana saya? Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, tetapi banyak
pertanyaan manusia tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Manusia
butuh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Manusia butuh agama yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia ini. Manusia tidak puas dengan ilmu
pengetahuan saja.
15
Pernyataan-pernyataan agama pada umumnya tidak dapat diverifikasi
dan/atau falsifikasi. Umpama mengenai keberadaan Tuhan. Inipun sesungghunya
tidak dapat dibuktikan, tidak dapat diverifikasi /falsifikasi. Argumen kosmologis
teleologis dsb dari Thomas Aquinas telah dibantah oleh filsuf-filsuf lain.
Bertrand Russel membahas soal ini dengan cara yang sederhana sekali.
Siapa yang ciptakan alam semesta?. Tuhan! Siapa yang ciptakan Tuhan? Tuhan
selamanya ada. Kalau ada yang selamanya ada, mengapa harus Tuhan? Mengapa
bukan alam semesta saja? Keduanya sama logis atau sama onlogisnya. Keduanya
sama-sama tidak dapat diverifikasi/falsifikasi. Karena Tuhan tidak kelihatan tetapi
materi nyata, maka lebih masuk akal untuk mengatakan materi selamanya ada.
16
F. Revitalisasi Pendidikan Agama Dalam Mengembangkan Moral Anak
(Perspektif Psikologi Perkembangan tentang Moral)
Berbicara tentang moral atau etika berarti berbicara tentang sesuatu yang
bertkaitan dengan baik buruknya perilaku manusia. Ketika moral dikaitkan dengan
subjeknya yaitu manusia, maka akan semakin terasa derajat urgensi atau
kepentingannya, apalagi ketika moralitas manusia cenderung mengarah ke perilaku
amoral. Perlu usaha proaktif dan inovatif untuk mengembangkan dan membentuk
perilaku yang bermoral. Moral manusia tidak berkembang dengan sendirinya.
Moral berkembang seiring dengan berkembangnya kemampuan biologis,
psikologis dan sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
baik intern maupun ekstern. Pendidikan adalah salah satu faktor ekstern yang dapat
mempengaruhi perkembangan moral. Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah
solusi dalam membangun moralitas manusia melalui pendidikan agama.
17
moral anak sebagai-mana Ballantine memiliki keyakinan bahwa sekolah dapat
dijadikan sebagai tempat untuk melatih anak-anak dalam memahami nilai-nilai
sosial yang penting agar tatanan sosial dapat ditegakkan.
Dari segi etimologi, moral berasal dari kata mores (latin) yang berarti dapat
kebiasaan atau cara hidup, sedangkan nilai dari kata value yang berarti harga. Nilai
inilah yang dikatakan Newcomb (1985) sebagai suatu keyakinan yang mendorong
seseorang untuk bertindak atas dasar pilihannya. Sedangkan Kupperman (1983)
menyatakan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi seseorang dalam
menentukan pilihannya di antara berbagai alternatif untuk bertindak. Oleh karena
itu, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah psikologis
merupakan hasil dari serangkaian proses psikis yang mengarahkan seseorang pada
suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai dengan keyakinannya.
Moral Thought adalah bagaimana remaja berpikir tentang standar benar dan
salah. Piaget mengatakan bahwa anak berpikir dengan dua cara yang berkaitan
dengan moral, tergantung pada kematangan perkembangannya.
18
moral, jika tindakan tersebut tidak pernah dipikirkan oleh pelakunya? Banyak ahli
filsafat moral ataupun mereka yang menganalisis bahasa moral, kompetensi tentang
pertimbangan moral merupakan suatu keharusan (atau mungkin dipandang cukup)
bagi lahirnya tindakan moral. Sebelum suatu tindakan dapat dipandang sebagai
suatu tindakan moral, alasan atau motivasi si pelaku melakukan tindakan tersebut
harus terlebih dahulu diuji. Sokrates bertanya, “Bilamana menyelam di sungai
dapat dinilai sebagai suatu per-buatan yang berani atau perbuatan konyol?” Apabila
seseorang melompat ke sungai untuk menyelamatkan seseorang yang hendak
tenggelam, akan tetapi motifnya adalah untuk mendapatkan hadiah, apakah
tindakan tersebut dapat dipandang sebagai tindakan moral atau tidak?
19
akan kemungkinan mendapatkan pujian dan celaan; (4) dalam tahapan tertinggi ini
perbuatan diatur oleh suatu pengaturan ideal yang memungkinkan seseorang
bertindak selaran dengan apa yang dipandangnya benar, lepas dari persoalan,
apakah ia akan mendapatkan pujian atau celaan dari lingkungan sosial yang
terdekat”.
Ada dua istilah yang hampir sama dan sering digunakan dalam dunia
pendidikan, yaitu: Paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti pendidikan
sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan. Paedagogiek atau ilmu
pengetahuan ialah yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan
mendidik. Istilah ini berasal dari kata Paedagogia (Yunani) berarti pergaulan
dengan anak-anak. Sedangkan yang sering digunakan istilah paedagogog, yaitu
seorang pelayan (bujang) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar
dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata
paedos (anak) dan agoge (saya mem-bimbing, memimpin). (Purwanto, 1985: 1)
20
serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan
mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.
21
Dalam setiap mata pelajaran seharusnya ada pesan nilai dan moral tersebut untuk
kemudian dihayati dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu untuk mencapai tingkat takwa atau manusia yang
berkepribadian muslim menghendaki adanya pendidikan. Pendidikan itu harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga sampai ketingkat yang dikehendaki Allah
SWT. sendiri, yang sebenar-benarnya takwa, seperti firmannya dalam Surah Ali
Imran: 102; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam”
Tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan misi Islam itu sendiri, yaitu
mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah.
Tujuan itu sama dan sebangun dengan target yang terkandung dalam tugas
kenabian yang diemban oleh Rasul Allah SAW, yang terungkap dalam pernyataan
beliau: “Sesung-guhnya aku diutus adalah untuk membimbing manusia mencapai
akhlak yang mulia” (hadis). Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam
dinilai sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan, yang
menurut pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu
menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan akhirat (Jalaluddin &
Usman Said, 1994: 38).
22
merupakan hak Allah. Namun demikian tujuan pendidikan islam adalah identik
dengan tujuan hidup manusia, seperti tercantum dalam Al-Qur'an: “Dan aku
(Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembahKu”(QS.
Adz-Dzariyat: 56). “Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah Allah
dan dengan ikhlas beragama kepadanya”. (QS. Bayyinah ayat : 5) Dengan
demikian jelaslah bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk menjadi hamba Allah
yaitu mempercayai dan menyerahkan diri hanya kepadaNya. Kepribadian seperti
inilah yang disebut kepribadian muslim (taqwa) dan ke sinilah arah dan tujuan
terakhir dari pendidikan Islam
Hal tersebut berarti juga bahwa pendidikan tidak hanya menyangkut aspek
kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Oleh karenanya, beban
tanggungjawab yang diberikan kepada guru agama lebih berat, sehingga dalam
rangka terwujudnya tujuan pendidikan yang dikehandaki maka perlu adanya
kerjasama antara guru agama dengan guru lain. Zakiyah Daradjat (1991: 112)
dalam bukunya ilmu jiwa agama, menyatakan bahwa pendidikan agama
sesungguhnya jauh lebih berat daripada pengajaran pengetahuan umum apapun.
Beratnya tidak terletak pada ilmiahnya, akan tetapi pada isi dan tujuan pendidikan
itu sendiri. Pendidikan agama ditujukan kepada pembentukan sikap, pembinaan
akhlak, atau dengan ringkas dikatakan pembinaan kepribadian disamping
pembinaan pengetahuan agama anak. Dengan demikian pendidikan yang ditujukan
kepada anak adalah secara keseluruhan atau seutuhnya, mulai dari pemberian
pengetahuan, pembinaan sikap, dan pribadinya, sampai kepada pembinaan tingkah
laku (akhlak) sesuai dengan ajaran agama.
Dalam kaitan ini Allah SWT, dalam surah al-Baqarah: 44 dengan tegas
menyatakan; “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,
23
sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca
Al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu berfikir ?”
Jadi melalui pendidikan agama kita dapat mengembangkan moral anak dan
akhirnya dimana segala sikap, tindakan, perbuatan, dan perkataannya akan
dikendalikan oleh pribadi yang terbina didalamnya nilai agama, yang akan menjadi
pengendali perbuatannya. Dengan pengembangan moral melalui pendidikan maka
akan tercipta suatu manifestasi riil dan tercermin dalam perilaku. Sayyid Sabiq
(1981: 52) dalam bukunya Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, mengatakan bahwa
orang yang berpegang teguh pada agama, senantiasa menjaga hatinya untuk tidak
menuruti hawa nafsu, senantiasa cenderung terhadap sesuatu yang diridahi Tuhan;
bersih dari noda dan dapat membawa dirinya kepada lebih takwa. Lebih jauh
Zakiyah Daradjat (1977: 15) dalam bukunya Membina Nilai-Nilai Moral di
Indonesia berpendapat bahwa apabila keyakinan beragama itu betul-betul telah
menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinan itulah yang
akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan agama sangat perlu dan penting diberikan kepada
anak dalam rangka mengembangkan moral
24
25