C. Konsep Ruh
Adapun sebutannya, ruh itu sesuatu yang amat penting dan fundamental
bagi kehidupan manusia dan sebagai sesuatu yang fundamental dan penting
seharusnya dapat diketahui oleh manusia sendiri, dan mengetahuinya tentu
disesuaikan dengan obyek yang diketahuinya, sehingga karena ruh itu tidak
bersifat fisik, tentu mengetahuinya dengan cara-cara yang tidak fisik juga,
sehingga cara-cara memahami ruh secara fisik pada dasarnya dapat
dipandang sebagai suatu kekeliruan metodologis atau pendekatan.
Oleh karena itu, secara etika dan agama, ruh itu harus dimengerti dan juga
berarti sesuatu yang dapat dimengerti oleh kemampuan yang ada dalam diri
manusia sendiri. Persoalannya adalah bagaimana cara yang dapat dilalui
manusia untuk mengerti dan mengetahuinya itu?
Dalam filsafat Islam, seperti yang dijelaskan Al Qur'an bahwa ruh itu datang
dan diberikan langsung oleh Tuhan kepada manusia, maka cara yang layak
ditempuh untuk mengetahui nya tentu dengan cara mengetahui bagaimana
Tuhan sendiri menjelaskan tentang ruh, dan salah satunya adalah kitab suci
itu sendiri, sebagai kumpul dan sabda-sabda Allah yang tersurat, yang dalam
pembahasan ini adalah Al Qur'an. Sungguh pun demikian, di beberapa
kalangan umat Islam ada rasa takut untuk membahas lebih jauh mengenai
ruh, karena anggapan bahwa ruh itu bukan urusan manusia tetapi urusan
Tuhan, sehingga membahas secara mendalam mengenai ruh dapat
berbahaya, karena dipandang sebagai mencampuri urusan Tuhan yang
sangat tidak layak dilakukan oleh seorang hamba-Nya. Bahkan bukan hanya
berhadapan dengan soal etika agama yang menganggapnya tidak layak,
tetapi jg pada soal kapasitas manusia sendiri, karena dianggapnya manusia
mempunyai kemampuan terbatas, yang tidak akan mampu untuk membahas
ruh, sehingga kalau pembahasan tentang ruh itu tetap dilakukan, akan bisa
Dan mereka berkata kepadamu tentang ruh, katakan lah: ruh adalah
Amr(urusan, pimpinan, arah) Tuhanku, dan tidak lah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.
Oleh karena Amr itu dipahami sebagai urusan Tuhan maka hanya Tuhan
sendiri yang tahu, manusia tidak tahu, apalagi ada larangan untuk
memikirkan Tuhan, seperti yang diisyaratkan oleh sebuah hadits: Tafakkaru fi
khalqillah wa la tafakkaru fi zatillah.
Dalam hadis ini sesungguhnya yang dilarang untuk dipikirkan adalah zat
Tuhan, dan memang zat Tuhan tidak dapat menjadi kajian ilmu, atau pikiran
dipakai untuk mengkaji zat Tuhan, ya sudah keliru secara metodologis,
mengapa tidak dipakai analisis terbalik, sehingga melalui pemikiran ciptaan
Tuhan, maka manusia akan dapat memahami Penciptanya, yaitu Tuhan,
sehingga hadits di atas justru memberikan pedoman dan arah metodologis,
dengan memahami Tuhan melalui karya ciptaan Nya sendiri.
Jika dikaji lebih jauh, letak persoalan nya lebih pada pemahaman tentang
kata Amr, yang dalam bahasa Arab, sesungguhnya mempunyai banyak arti,
bukan hanya urusan saja, tetapi juga berarti perintah, pimpinan dan arah.
Mengapa kemudian yang diambil pengertian dari kata Amr ini dengan urusan,
padahal akan lain halnya kalau arti kata yang diambil dari Amr itu adalah
pimpinan atau arahan, yaitu pimpinan dan arahan Tuhan yang ada dalam diri
manusia, seperti yang dilakukan oleh Sir Mohammad Iqbal yang memberikan
arti kata Amr sebagai direction. Dengan pendekatan yang dipilih Iqbal ini
maka pemecahannya tinggal dicari lebih jauh apa sesungguhnya pimpinan
Tuhan yang ada dalam diri manusia itu, yang bagi setiap manusia yang
menggunakan akal tentu akan dapat memahami nya. Itulah sebabnya