Anda di halaman 1dari 6

Dalam tubuh manusia terbentuk cairan sperma, maka kehidupan manusia

sesungguhnya dimulai dari cairan sperma yang ditumpahkan dan tersimpan


dalam rahim. Maka setelah melalui beberapa proses pembentukkan terjadilah
wujud manusia yang sempurna dan menurut Al Qur’an setelah bentuk manusia
itu sempurna, yaitu setelah mempunytai mata, telinga dan hati , maka barulah
Allah menganugerahkan ruh ke dalam tubuh manusia itu , dan melalui ruh itu
berfungsilah pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Al Qur’an surat 32
ayat 9 yang artinya:
“Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya,
dan jadilah bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, sedikit
sekali kamu bersyukur”
Dengan demikian konsep Filsafat Islam memandang bahwa penciptaan
manusia itu tidak terdiri dari 2 unsur saja yaitu jasmani dan rohani, tetapi
berbagai unsur yaitu unsur dari tanah yang membentuk fisik, kemudian unsur
air, yang membentuk daya hidup dan unsur ruh Ilahi yang membentuk fingsi
pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Dengan kata lain, ada 3 hal pokok
yang fundamental dalam proses penciptaan manusia, yaitu unsur tubuh, unsur
hidup dan unsur ruh.
Jika dalam pembahasan terdahulu dijelaskan bahwa, konsep tauhid
dalam filsafat islam tidak hanya terkait dengan konsep teologi saja, tetapi juga
antropologi, maka kehidupan dalam antropologi islam itu, terletak pada
pandangan ketauhudannya yang menegaskan adanya proses kesatuan (tauhid)
dari unsur jasad, unsur hidup (hayat) dan unsur ruh dalam kesatuan diri (nafs)
manusia, yang aktual dan dianmis dalam karya dan perbuatannya. Pada tingkat
tauhid, yaitu pada dataran nafs manusia menjadi kekuatan pengubah dan
penggerak dalam kehidupan.
Dalam kaitannya dengan konsep diri, keakuan, ego atau nafs ini, Al
Qur’an 41:46 menjelaskan:
Artinya: Barang siapa yang mngerjakan amal kebaikan maka untuk
dirinya sendiri, dan barang siapa yang melakukan kejahatan, maka atas
dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-
Nya.

Filsafat Pendidikan Islam 1


Pada ayat lain dikatakan Al Qur’an 8:53, yang artinya:

Demikianlah bahwasannya Allah sesungguhnya tidak akan mengubah


suatu nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kamu itu
mengubah apa yang ada pada dirinya dan sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui.

Selanjutnya Al Qur’an 29:6 yang artinya:

Dan barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka sesungguhnya itu


untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.

C. Konsep Ruh

Dalam pembahasan mengenai hakikat manusia, maka persoalan yang paling


pelik adalah persoalan tentang ruh. Dalam proses penciptaan manusia seperti
yang dibicarakan di atas, Al Qur'an secara jelas menerangkan bahwa tubuh
manusia terbentuk dari tanah, sedangkan daya hidup yang bersifat
menggerakkan, tumbuh dan berkembang dimulai dari air, sedangkan ruh yang
menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani berfungsi: yaitu setelah
ruh diberikan kepada manusia dan ruh ini diberikan ditiupkan langsung dari
Tuhan sendiri.

Barangkali karena Al Qur'an menjelaskan kata ruh yang diberikan Tuhan


kepada manusia dengan menggunakan pilihan kata nafakha, meniup, maka ruh
lantas dipahami dah dan diartikan sebagai nafas, atau nyawa, karena seseorang
akan mati kalau nafasnya berhenti dan tidak bernyawa lagi. Nafas dengan
demikian seperti udara, yang bisa ditiupkan, turun naik, keluar masuk, dihirup
oleh paru-paru yang menandakan adanya kehidupan.

Adapun sebutannya, ruh itu sesuatu yang amat penting dan fundamental
bagi kehidupan manusia dan sebagai sesuatu yang fundamental dan penting
seharusnya dapat diketahui oleh manusia sendiri, dan mengetahuinya tentu
disesuaikan dengan obyek yang diketahuinya, sehingga karena ruh itu tidak
bersifat fisik, tentu mengetahuinya dengan cara-cara yang tidak fisik juga,
sehingga cara-cara memahami ruh secara fisik pada dasarnya dapat
dipandang sebagai suatu kekeliruan metodologis atau pendekatan.

Filsafat Pendidikan Islam 2


Mengapa manusia harus mengetahui tentang ruh nya?Ya, karena dalam
kehidupan ini manusia mempunyai hak dan dibebani tanggung jawab,
dimana secara etika manusia menghadapi keharusan memilih dan
menghadapi pertanggungjawaban atas pilihannya, dan dalam agama bahkan
manusia memikul dosa atas perbuatan jeleknya, sehingga ada
pertanggungjawaban terhadap dirinya. Jika seseorang tidak bisa mengetahui
sesuatu yang fundamental dan amat penting dalam hidup nya, apakah
keharusan etika dan tuntutan pertanggungjawaban itu mungkin dan layak
dituntut dari manusia, karena dalam situasi ia tidak mengetahui sesuatu yang
fundamental dan penting bagi dirinya, berarti ia gagal memahami dirinya, lalu
apakah arti pertanggungjawaban, kalau ia adalah makhluk yang gagal
mengetahui dirinya?

Oleh karena itu, secara etika dan agama, ruh itu harus dimengerti dan juga
berarti sesuatu yang dapat dimengerti oleh kemampuan yang ada dalam diri
manusia sendiri. Persoalannya adalah bagaimana cara yang dapat dilalui
manusia untuk mengerti dan mengetahuinya itu?

Dalam filsafat Islam, seperti yang dijelaskan Al Qur'an bahwa ruh itu datang
dan diberikan langsung oleh Tuhan kepada manusia, maka cara yang layak
ditempuh untuk mengetahui nya tentu dengan cara mengetahui bagaimana
Tuhan sendiri menjelaskan tentang ruh, dan salah satunya adalah kitab suci
itu sendiri, sebagai kumpul dan sabda-sabda Allah yang tersurat, yang dalam
pembahasan ini adalah Al Qur'an. Sungguh pun demikian, di beberapa
kalangan umat Islam ada rasa takut untuk membahas lebih jauh mengenai
ruh, karena anggapan bahwa ruh itu bukan urusan manusia tetapi urusan
Tuhan, sehingga membahas secara mendalam mengenai ruh dapat
berbahaya, karena dipandang sebagai mencampuri urusan Tuhan yang
sangat tidak layak dilakukan oleh seorang hamba-Nya. Bahkan bukan hanya
berhadapan dengan soal etika agama yang menganggapnya tidak layak,
tetapi jg pada soal kapasitas manusia sendiri, karena dianggapnya manusia
mempunyai kemampuan terbatas, yang tidak akan mampu untuk membahas
ruh, sehingga kalau pembahasan tentang ruh itu tetap dilakukan, akan bisa

Filsafat Pendidikan Islam 3


berakibat fatal, karena manusia melanggar batas-batas kemampuan nya
sendiri.

Anggapan demikian, barangkali disebabkan atau dipengaruhi oleh Al Qur'an


17:85, yang artinya:

Dan mereka berkata kepadamu tentang ruh, katakan lah: ruh adalah
Amr(urusan, pimpinan, arah) Tuhanku, dan tidak lah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.

Oleh karena Amr itu dipahami sebagai urusan Tuhan maka hanya Tuhan
sendiri yang tahu, manusia tidak tahu, apalagi ada larangan untuk
memikirkan Tuhan, seperti yang diisyaratkan oleh sebuah hadits: Tafakkaru fi
khalqillah wa la tafakkaru fi zatillah.

Dalam hadis ini sesungguhnya yang dilarang untuk dipikirkan adalah zat
Tuhan, dan memang zat Tuhan tidak dapat menjadi kajian ilmu, atau pikiran
dipakai untuk mengkaji zat Tuhan, ya sudah keliru secara metodologis,
mengapa tidak dipakai analisis terbalik, sehingga melalui pemikiran ciptaan
Tuhan, maka manusia akan dapat memahami Penciptanya, yaitu Tuhan,
sehingga hadits di atas justru memberikan pedoman dan arah metodologis,
dengan memahami Tuhan melalui karya ciptaan Nya sendiri.

Jika dikaji lebih jauh, letak persoalan nya lebih pada pemahaman tentang
kata Amr, yang dalam bahasa Arab, sesungguhnya mempunyai banyak arti,
bukan hanya urusan saja, tetapi juga berarti perintah, pimpinan dan arah.
Mengapa kemudian yang diambil pengertian dari kata Amr ini dengan urusan,
padahal akan lain halnya kalau arti kata yang diambil dari Amr itu adalah
pimpinan atau arahan, yaitu pimpinan dan arahan Tuhan yang ada dalam diri
manusia, seperti yang dilakukan oleh Sir Mohammad Iqbal yang memberikan
arti kata Amr sebagai direction. Dengan pendekatan yang dipilih Iqbal ini
maka pemecahannya tinggal dicari lebih jauh apa sesungguhnya pimpinan
Tuhan yang ada dalam diri manusia itu, yang bagi setiap manusia yang
menggunakan akal tentu akan dapat memahami nya. Itulah sebabnya
mengapa Al Qur'an selalu menganjurkan manusia untuk memikirkan dan

Filsafat Pendidikan Islam 4


memperhatikan apa yang ada dalam dirinya, seperti yang dikatakan Al Qur'an
51:21;

ِ ‫َوفِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ أَفَ ََل تُب‬


َ‫ْص ُرون‬

Artinya: "Dan didalam dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan."

Dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa didalam diri manusia, ada sesuatu


kekuatan yang sifatnya spiritual yang yang dapat melihat realitas kebenaran
dan selalu tidak pernah berdusta terhadap apa yang dilihatnya itu. Al Qur'an
53:11 mengatakan:

‫ب ْالفُ َؤاد ُ َما َرأَى‬


َ َ‫َما َكذ‬

Artinya: "Tidak pernah dusta hatinya atas apa yang dilihatnya."

Pada ayat yang lain, Al Qur'an 22:46 mengatakan:

‫ض فَت َ ُكونَ لَ ُه ْم قُلُوب يَ ْع ِقلُونَ ِب َها أ َ ْو آذَان يَ ْس َمعُونَ ِب َها ۖ فَإِنَّ َها َل ت َ ْع َمى‬
ِ ‫ِيروا فِي ْاْل َ ْر‬
ُ ‫أَفَلَ ْم يَس‬
‫ُور‬
ِ ‫صد‬ ُّ ‫ار َو َل ِك ْن تَ ْع َمى ْالقُلُوبُ ا َّلتِي فِي ال‬ َ ‫ْاْل َ ْب‬
ُ ‫ص‬

Artinya: "maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam
dada"

Selanjutnya pada ayat lain lagi, Al Qur'an 13:28, mengatakan:

ُ‫ّللاِ ت َْط َمئِ ُّن ْالقُلُوب‬


َّ ‫أَ َل ِب ِذ ْك ِر‬

Artinya: "Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi


tenteram."

Dalam kaitan ini, maka sesungguhnya ada kekuatan spiritual yang ada dalam
diri manusia, yang dapat mengenali Tuhan, dan jika ia mengingat akan apa
yang dikenalinya , maka hatinya akan tenang. Kekuatan spiritual itu tidak
pernah berdusta, tajam pendengaran dan penglihatan nya sehingga realitas
gaib dapat dipahami nya, dan karena itulah kekuatan ini sesungguhnya yang
menjadi pemimpin Tuhan dalam diri manusia. Oleh karena itu, ruh adalah

Filsafat Pendidikan Islam 5


daya spiritual yang ada dalam hati untuk memahami realitas gaib, yang
secara organik melengkapi daya pikir untuk memahami ciptaan-Nya, sehingga
dalam kesatuan nya dengan daya pikir, merupakan jalan menuju pemahaman
kepada Tuhannya.

D. Kedudukan dan Peranan Manusia

Dalam konsep filsafat Islam, kehadiran manusia dimuka bumi ini terjadi
bukan atas rencana dan kehendak dari manusia sendiri, disamping itu,
realitas menunjukkan bahwa bumi telah ada terlebih dahulu daripada adanya
manusia dan kemudian dipilih oleh Tuhan untuk menjadi tempat tinggal
manusia, bahkan menjadi pusat kehidupan nya, dari bumi ia makan, menjadi,
tumbuh, berkembang dan akhirnya mati lantas dikuburkan dalam perut
bumi. Dilihat dari sudut pandangan ontologis ini maka kedudukan dan
peranan manusia dimuka bumi, bukan manusia sendiri yang menentukan,
tetapi sebaliknya ia menerima kodrat hidup yang tidak dapat ditolaknya, dan
mesti dijalaninya, suka atau tidak suka.

Filsafat Pendidikan Islam 6

Anda mungkin juga menyukai