Di dalam ayat Al-Quran juga terdapat ayat-ayat yang menjadi dasar bagi
ajaran Tasawuf, diantaranya adalah:
Selain itu disampaikan pula dalam ayat berikut bahwa ayat ini mendorong
untuk senantiasa mencintai Allah dan Allah akan mengampuni dosa bagi
yang mencintai Allah. Tentu ini pun juga menjadi dasar akan tasawuf
bahwa kecintaan pada Allah adalah segala-galanya.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-
Nisa: 59)
Akhlak islam mengarahkan untuk taat kepada Allah SWT dan melarang
untuk mengikuti selain dari perintahnya. Untuk itu, akhlak islam
didasarkan kepada keaptuhan dan ketaatan hanya kepada Allah SWT. Baik
dan Buruknya adalah sesuai dari perkataan Allah bukan manusia atau
ajaran-ajaran yang bukan berasal dari islam.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al
Ahzab : 21)
Dalam islam sendiri telah dijelaskan bahwa Rasulullah adalah teladan bagi
umat islam. Untuk itu, akhlak yang baik akan tercermin dari bagaimana
Rasulullah berperilaku dan mencontohkan. Bisa dilihat dari tujuan perilaku
atau teknis perilaku yang dicontohkan Rasulullah.
Selain dari apa yang Allah perintahkan dan rasul contohkan ada pula
hukum-hukum Allah yang ada di alam dan hanya dapat ditangkap dan
dipahami oleh orang-orang yang berakal, Diantaranya adalah ayat berikut
yang melarang manusia untuk merusak hukum keseimbangan. Akhlak
yang buruk pasti akan merusak, akhlak yang baik akan mengarahkan pada
keseimbangan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi ruhaniah manusia sebagaimana di ketahui dasar manusia itu terdiri
dari dualisme yang saling melengkapi, yaitu manusia terdiri dari badan kasar
(jasmani) dan badan halus (rohani), kalau jasmani digerakkan oleh fikiran,
perasaan dan kemauan yang melahirkan kekuatan lahir. Sedangkan rohani
digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang melahirkan kekutan batin.
Dari sisi rohani manusia berbeda dengan hewan. Manusia mempunyai
akal sedangkan hewan tidak mempunyai. Manusia mempunyai hati (qalb)
sedangkan hewan tidak mempunyai. Konsekuensinya adalah perbuatan manusia
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah sedang perbuatan sedangkan hewan
tidak dimintai pertanggung jawaban.
Yang membedakan antara manusia dan hewan adalah sisi ruhaniahnya.
Itulah sebabnya ketinggian derajat manusia terletak pada sisi ruhaniahnya bukan
sisi jasmaniyahnya. Memahami dan mengembangkan potensi rohaniah dalam diri
manusia itu sendiri mencakup nafs, qalb, akal dan ruh. penjelasan mengenai
nafs,qab,akal dan ruh akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang an Nafs dalam potensi ruhaniah manusia?
2. Bagaimana penjelasan tentang al Qalb dalam potensi ruhaniah manusia?
3. Bagaimana penjelasan tentang al Aql dalam potensi ruhaniah manusia?
4. Bagaimana penjelasan tentang Ar Ruh dalam potensi ruhaniah manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. An Nafs
Kata Al-Nafs mempunyai dua arti. Pertama Al-Nafs berarti totalitas diri
manusia. Sehingga jika disebut “nafsaka (dirimu)” maka berarti dirimu secara
keseluruhan, bukan tangan,bukan kaki bukan fikiran tetapi secara keseluruhan
dirimu yang membedakan dengan orang lain. Al-Nafs dalam arti ini mendapat
berbagai julukan sesuai dengan kondisinya. Jika Al-Nafs dalam menghadapi
syahwat dengan tenang, maka dijuluki Al-Nafs Al-Muthmainnah, sebagaimana
dalam Al-Qur’an surat al-fajr ayat 27-28.
Artinya: “Hai jiwa yang tenang . Kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridloi-Nya”
Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidak tenang tetapi
cenderung mengikutinya tanpa kendali maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah.
Al-Nafs al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala
seseorang terbebas dari akhlak yang tercela. Jika al-Nafs dalam menghadapi
syahwat dengan setengah-setengah antara menolak dan menerima tapi lebih
cenderung mencela diri sendiri ketika melakukan syahwat maka diberi julukan al-
Nafs al-Lawwamah sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-qiyamah ayat 3:
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Nafs al-Lawwamah termasuk akhlak
yang baik karena ia senantiasa mencela diri sendiri meskipun sudah bersungguh-
sungguh untuk melaksanakan ketaatan.
Kedua al-Nafs (sering dibaca nafsu dalam bahasa indonesia) menurut
pandangan para sufi adalah tempat munculnya akhlak tercela. Mereka cenderung
mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif. Itulah sebabnya nafsu wajib
diperangi (mujahadah al-nafs).
Sedangkan menurut al-Ghazali nafsu diartikan “perpaduan kekuatan marah
(gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan gadlab pada awalnya tentu
untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan
agama dan sebagainya. Dengan adanya gadlab itulah jihad diperintahkan dan
kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk
dinodahi agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat
menumpas kedzaliman dan kemungkaran. Namun ketika gadlab tidak terkendali
maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. [1]
Konsep al nafs dalam psikologi sufistik al Ghazali, dibedakan dalam dua
arti. Dalam pengertian pertama, al nafs dipandang sebagai daya hawa nafsu yang
memiliki daya kekuatan yang
bersifat gadlabiyah dan syahwaniyah. Gadlabiyah adalah hilangnya kesadaran
akal, karena dorongan kejahatan setan. Oleh karena itu, kata al Ghazali, orang
yang sedang emosi/marah berarti orang yang dipermainkan oleh setan, seperti
halnya bola yang dipermainkan oleh anak. Sedang syahwaniyah adalah daya yang
berpotensi untuk menginduksi diri dalam segala aspek yang menyenangkan.
Sementara dalam pengertian keua, al nafs dimaksudkan sebagai jiwa ruhani yang
bersifat terpuji dan halus yang merupakan hakikat manusia.
Dari pandangan al Ghazali diatas , dapat dinyatakan bahwa nafs sebagai
suatu substansi badani berpotensi ke arah tingkah laku lahiriah yang bersifat
menyenangkan. Kecenderungan negatif ini agaknya sejalan dengan pemahaman
“nafsu” dalam persepsi psikologi, yang cenderung jahat dan berpotensi
mengabaikan pertimbangan akal dan hati nurani. Sementara nafs sebagai
substansi ruhani lebih cenderung mendorong ke arah tingkah laku lahiriah yang
baik dan beradab.
Potensi nafs yang cenderung positif ini , bila dikembangkan terus hingga
sampai batas maksimal, maka tidak mustahil potensi ini dapat berfungsi sebagai
media pengembangan tingkah laku lahiriah yang mengarah pada sifat-sifat
keutamaan dan kesempurnaan moral. [2]
Tesis ini dibangun atas dasar suatu pandangan yang menyatakan, bahwa
tingkah laku lahiriah seseorang berbasis jiwa yang amat matang, cenderung
memiliki kemauan yang berciri baik dan luhur seperti: (a) kemauan yang selalu
cenderung melaksanakan kebaikan, (b) kemauan yang cendeung pada sikap ikhlas
tanpa mengharapan pjian, (c) Kemauan yang cenderung kepada keharmonisan, (d)
kemauan yang mengarah pada tingkat kesempurnaan, (e) kemauan yang memiliki
keutamaan dalam bertindak dan menjauhi prbuatan yang mengarah kemaksiatan.
Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran psikologi al-Ghazali, bahwa
tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al muthmainnah,
memiliki kecenderungan ke arah kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, karena
di dalamnya terdapat nilai-nilai motivasi yang bermuatan potensi ketuhanan
(alquwwah al ilahiyyah). Sebaliknya tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al
ammarah, mempunyai kecenderungan yang bersifat kebinatangan (bahimiyyah)
dan kejahatan (syaithaniyah). [3]
B. Al-qalb
Menurut abu hamid al-ghazali, qalb mempunyai dua pengertian. Pengertian
pertama adalah hati jasmani (Al-qalbal-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-
sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di
dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini
erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut
maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun
mempunyai qalb seperti ini. Sebangkan qalb dalam arti kedua adalah
sebagai luthf rabbani ruhiy (bersifat spiritual). Al-qalb merupakan alat untuk
mengetahui hakikat sesuatu.[4]
Sebagian dari persoalan yang patut di perhatikan di sini adalah bahwa
kalimat qalb di sebut dalam Alquran al-karim. Hanya saja penyebutan ini tidak
secara mutlak menunjukan bahwa kata qalb di artikan dalam konteks anatomi
kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam badan), melainkan di maksud sebagai
“instrumen persepsi ma’rifah yang sangat kompleks”. [5]
Dengan hati, seseorang dapat melihat sesuatu sesuai dengan kenyataan
(hakikatnya). Ada beberapa orang yang dibukakan hatinya oleh Allah dengan
beraneka ragam pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Diantaranya adalah:
a. Pengetahuan tentang kecerdasan dunia,kedasyatan tipuan dunia beserta
kesementaraannya. Seseorang dapat menyaksikan dunia sebagaimana kondisi dan
sifat yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan, banyak manusia melihat dunia
hanya dari sisi lahiriah saja, mereka tidak mampu mengetahui kondisi dan sifat
dunia. Sebagaimana dalam firman Allah (QS. al-Rum:7)
.............
b. Pengetahuan tentang rekadaya dan jenis gangguan setan.
c. Pengetahuan tentang tingkatan ahl al-taqwa, derajat ahl al-ilm, kemuliaan akhlak,
kebaikan pergaulan dengan sesama makhluk, kesabaran karena tersakiti orang
lain, kedermawanan harta, perhatian pada rang lain dengan mengalahkan diri
sendiri, rasa takut pada neraka, perlawanan terhadap setan, perlawanan
terhadap hawa nafsu, senantiasa mengikuti rasul dan para sahabat dan
berpegang teguh pada al-sunnah (tradisi nabi). Dalam kenyataan, banyak orang
mukmin yang tidak suka mengikuti sunnah. Yang sunnah dinilai bid’ah dan yang
sesungguhnya bid’ah malah dinilai sunnah. Yang sunnah dicela yang bid’ah malah
dipuja-puja. Hal ini disebabkan seseorang telah tertutup sebagian hatinya untuk
melihat sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
d. Pengetahuan tentang kebesaran nikmat-nikmat Allah, keluasan pemberianNya,
kebesaran kebesaranNy, ampunanNya, dan keluasan rahmatNya.
e. Penyaksian terhadap af’al rububiyyah (perbuatan-perbuatan Allah) seperti
menyaksikan bukti kekuasaan Allah dalam segala hal dan keindahan ciptaanNya.
f. Pengetahuan tentang betapa keagungan Allah dan betapa kehinaan kekuasaan
makhluk dihadapan keagungan Allah. Karena pengetahuannya, seseorang benar-
benar mengagungkan Allah bukan mengagung-agungkan makhluk. Ia sangat
membutuhkan Allah bukan makhluk.
g. Kesadaran akan taufiq (pertolongan) Allah untuk beribadah, manisnya ma’rifat
dan mahabbah serta kesadaran akan penjagaan Allah dari kesesatan dan
kekufuran.
h. Menyaksikan keesaan Allah, sehingga ia tidak melihat selain Allah, ia melihat
keqidaman, kesempurnaan dan kekekalan Allah serta kebaruan dan kesirnaan
makhluk.
Sedangkan menurut Abu Abdillah ibn Ali al-Hakim al-Tirmidzi, Al-
qalb mempunyai empat lapisan sebagai berikut:
a. Al-Shadr
Al-Shadr merupakan lapisan Al-qalbyang paling luar. Ia merupakan tempat cahaya
islam sekaligus sebagai tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari
pendengaran maupun pemberitaan. Ilmu ini bisa bertahan di dalam al-
shadr setelah dihafalkan dan membutuhkankesungguhan. Ilmu yang telah masuk
ke dalam al-shadr juga bisa terlupakan. Ciri jenis ilmu ini adalah bisa
diungkapkan, dibaca, diriwayatkan dan dijelaskan melalui lisan.
Sifat al-shadr adalah lapang dan sempit. Sesua dengan kadar kebodohan dan
kemarahan, al-shadr menjadi sempit jika al shadr terpenuhi dengan kebenaran
maka sempit dengan kebatilan. Terkait dengan cahaya islam, Allah berfirman
dalam QS. al-An’am:125
b. Al-Qalb
Al-qalb merupakan lapisan kedua yang terletak di dalam al-shadr. Al-qalbini
sebagai tempat cahaya iman. Allah berfirman: ......(QS.al-Hujurat:14)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Potensi ruhaniyah manusia merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya
spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan. Potensi an-Nafs yang cenderung
positif, bila dikembangkan terus hingga sampai batas maksimal, maka dapat
berfungsi sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang mengarah pada
sifat-sifat keutamaan dan kesempurnaan moral. Al-qalb merupakan alat untuk
mengetahui hakikat sesuatu. Orang yang menggunakan akalnya ( Aql) akan
mencegah dirinya agar tidak terjerumus ke dalam kenikmatan sesaat yang
membawa penderitaan lebih lama. Potensi ruh yang diberdayakan dapat dijadikan
sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang terpuji.
Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat ketuhanan)
dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam kehidupannya di
dunia. Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Dengan ini,
maka manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk yang
memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.
B. Saran
Demikian apa yang dapat disajikan oleh para pemakalah, semoga dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. penulis menyadari bahwa
dalam makalah ini masih terdapat kesalahan dn kekurangan, untuk itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini
dan selanjutnya. Terimakasih.