Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Tasawuf

Istilah tasawuf berasal dari kata sufi yang artinya suci. Tasawuf memang


berasal dari golongan para sufi yang senantiasa menghubungkan ajaran
agama dengan perasaan cinta mendalam dan kesucian hati. Untuk itu,
tasawuf diartikan sebagai penyucian hati dan menjaganya agar tidak
mendapatkan cedera, kotor, dan selanjutnya dapat menjadikan hati jernih
serta harmonis dengan hubungan antara manusia dan Tuhan.
Ilmu Tasawuf sendiri menjelaskan mengenai cara cara mengembangkan
ruhani manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dalam derajat
tertentu, terdapat istilah Makrifat yang berarti telah bersatu dengan Tuhan.
Itulah yang menjadi pencapaian tertinggi atau tujuan tertinggi dari
tasawuf.

Tasawuf mengedepankan kedisiplinan dalam beribadah, konsentrasi


terhadap tujuan hidup menuju kepada Allah, serta membebaskan diri dan
keterikatan manusia dengan kehidupan duniawi. Tasawuf mengajarkan
untuk tidak mencintai dunia yang fana serta mengharapkan hanya
keridhoan Allah semata. Dunia yang fana hanya akan membuat manusia
lupa akan cinta pada yang sebenarnya yaitu hakikat cinta hanya kepada
Allah SWT. Untuk itu, hal-hal yang duniawi tentu akan dijauhi dan
dikurangi oleh orang-orang sufi.

Dasar Ajaran Tasawuf


Dasar dari ajaran tasawuf adalah mensucikan diri dari dosa, mencari ridho
Allah, dan hidup dalam keadaan zuhud. Mereka menghiasi hati dengan
cinta dan menghias diri dengan akhlak yang mulia. Ajaran tasawuf ini
disandarkan dari beberapa pandangan, diantaranya adalah.

1. Pandangan Bahwa Perilaku Nabi Muhammad adalah Nilai


Sufisme

Perilaku Nabi Muhammad bagi ulam sufisme adalah cerminan dari


perilaku tasawuf. Diantaranya adalah berdiam diri di gua hira, hidup zuhud
atau sederhana, tidak memiliki kecintaan terhadap harta duniawi,
senantiasa melakukan pendekatan diri terhadap Allah baik lewat zikir, doa,
dan shalat.

Pandangan mengenai tasawuf juga timbul karena pandangan akan sifat


Nabi Muhammad seperti bertaubat, sabar, tawakal, dan ridha atas apa yang
diberikan Allah. Perilaku tersebut dianggap sesuai dengan ajaran tasawuf
dan sesuai dengan tujuan untuk meraih keridhoan Allah SWT.

2. Ayat dalam Al-Quran

Di dalam ayat Al-Quran juga terdapat ayat-ayat yang menjadi dasar bagi
ajaran Tasawuf, diantaranya adalah:

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh


merugi orang yang mengotori jiwanya” (QS  Asy-Syams: 9)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang beruntung adalah orang
yang mensucikan jiwa sebagaimana dari tasawuf. Untuk itu, ayat ini
menjadi pendorong bagi muslim untuk senantiasa memelihara hati dan
menjaganya agar tidak terkotori oleh hal-hal duniawi atau hal-hal yang
merusak ketentraman jiwa.            

Selain itu disampaikan pula dalam ayat berikut bahwa ayat ini mendorong
untuk senantiasa mencintai Allah dan Allah akan mengampuni dosa bagi
yang mencintai Allah. Tentu ini pun juga menjadi dasar akan tasawuf
bahwa kecintaan pada Allah adalah segala-galanya.

“Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,


niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Pengertian dan Dasar Akhlak Islam


Akhlak dalam islam adalah landasan mengenai perhitungan baik atau
buruknya sesuatu. Landasan akhlak dalam islam didasarkan pada aspek
Ketuhanan dimana benar atau salahnya serta baik atau buruknya akhlak
bergantung kepada apa yang disampaikan oleh Allah SWT. Pertimbangan
akhlak islam diantaranya berdasar kepada:

1. Kepatuhan dan Ketaatan Kepada Allah SWT

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-
Nisa: 59)
Akhlak islam mengarahkan untuk taat kepada Allah SWT dan melarang
untuk mengikuti selain dari perintahnya. Untuk itu, akhlak islam
didasarkan kepada keaptuhan dan ketaatan hanya kepada Allah SWT. Baik
dan Buruknya adalah sesuai dari perkataan Allah bukan manusia atau
ajaran-ajaran yang bukan berasal dari islam.

2. Contoh dari Rasulullah SAW

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al
Ahzab : 21)
Dalam islam sendiri telah dijelaskan bahwa Rasulullah adalah teladan bagi
umat islam. Untuk itu, akhlak yang baik akan tercermin dari bagaimana
Rasulullah berperilaku dan mencontohkan. Bisa dilihat dari tujuan perilaku
atau teknis perilaku yang dicontohkan Rasulullah.

3. Hukum Keseimbangan atau Sunnatullah di Alam

Selain dari apa yang Allah perintahkan dan rasul contohkan ada pula
hukum-hukum Allah yang ada di alam dan hanya dapat ditangkap dan
dipahami oleh orang-orang yang berakal, Diantaranya adalah ayat berikut
yang melarang manusia untuk merusak hukum keseimbangan. Akhlak
yang buruk pasti akan merusak, akhlak yang baik akan mengarahkan pada
keseimbangan.

“Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu


mengurangi neraca itu.” (QS Ar Rahman 7-9)

Hubungan Akhlak dan Tasawuf


Dalam ajaran akhlak islam dan tasawuf tentu tidak ada yang bertentangan
secara substansi. Akhlak islam menginginkan umat islam mendapatkan
kemuliaan akhlak berdasarkan agama sedangkan tasawuf pun menuju
kepada hal tersebut. Titik tekan akhlak islam berlandaskan 3 hal yang telah
disebutkan di atas, sedangkan tasawuf pada kecintaan dan kebersihan jiwa.
Penerapannya mungkin tasawuf memiliki hal yang berbeda, namun secara
tujuan tidaklah bertentangan. Ajaran Tasawuf dan akhlak sama-sama tidak
menginginkan keburukan dan kerusakan yang terjadi.
Hal ini dapat dirangkum dalam hal berikut mengenai Hubungan Akhlak
dan Tasawuf :

 Sama-sama berorientasi kepada kecintaan dan ketaatan kepada Allah


SWT
 Sama-sama berorientasi kepada kemuliaan akhlak dan kebersihan
jiwa
 Sama-sama mengarahkan kepada terciptanya kebaikan di dunia dan
akhirat

Untuk memuliakan akhlak sejatinya kita juga bisa kembali melaksanakan


sunnah rasul. Tasawuf tentu tidak dilarang secara praktik jika tidak ada hal
yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah, rukun iman, rukun islam,
dan fungsi agama. Hal ini dapat diperkuat misalnya dengan cara
melaksanakan Sunnah Sebelum Tidur , Adab Ziarah Kubur , Cara Makan
Rasulullah , melaksanakan  Cara Mandi Dalam Islam , Zikir Sebelum
Tidur , melaksanakan Macam Macam Shalat
Sunnah, melaksanakan Proses Pemakaman Jenazah Menurut Islam, dsb.

Memahami Potensi Ruhaniyah Manusia

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
       Potensi ruhaniah manusia sebagaimana di ketahui dasar manusia itu terdiri
dari dualisme yang saling melengkapi, yaitu manusia terdiri dari badan kasar
(jasmani)  dan badan halus (rohani), kalau jasmani digerakkan oleh fikiran,
perasaan dan kemauan yang melahirkan kekuatan lahir. Sedangkan rohani
digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang melahirkan kekutan batin.
          Dari sisi rohani manusia berbeda dengan hewan. Manusia mempunyai
akal sedangkan hewan tidak mempunyai. Manusia mempunyai hati (qalb)
sedangkan hewan tidak mempunyai. Konsekuensinya adalah perbuatan manusia
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah sedang perbuatan sedangkan hewan
tidak dimintai pertanggung jawaban. 
            Yang membedakan antara manusia dan hewan adalah sisi ruhaniahnya.
Itulah sebabnya ketinggian derajat manusia terletak pada sisi ruhaniahnya bukan
sisi jasmaniyahnya. Memahami dan mengembangkan potensi rohaniah dalam diri
manusia itu sendiri mencakup nafs, qalb, akal dan ruh. penjelasan mengenai
nafs,qab,akal dan ruh akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana penjelasan tentang an Nafs dalam potensi ruhaniah manusia?
2.    Bagaimana penjelasan tentang al Qalb  dalam potensi ruhaniah manusia?
3.    Bagaimana penjelasan tentang al Aql dalam potensi ruhaniah manusia?
4.    Bagaimana penjelasan tentang Ar Ruh dalam potensi ruhaniah manusia?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  An  Nafs
          Kata Al-Nafs mempunyai dua arti. Pertama Al-Nafs berarti totalitas diri
manusia. Sehingga jika disebut “nafsaka (dirimu)”  maka berarti dirimu secara
keseluruhan, bukan tangan,bukan kaki bukan fikiran tetapi secara keseluruhan
dirimu yang membedakan dengan orang lain. Al-Nafs dalam  arti  ini mendapat
berbagai julukan sesuai dengan kondisinya. Jika Al-Nafs dalam menghadapi
syahwat dengan tenang, maka dijuluki Al-Nafs Al-Muthmainnah, sebagaimana
dalam Al-Qur’an surat al-fajr ayat 27-28.
Artinya: “Hai    jiwa yang    tenang . Kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridloi-Nya”
          Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidak tenang tetapi
cenderung mengikutinya tanpa kendali maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah.
          Al-Nafs al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala
seseorang terbebas dari akhlak yang tercela. Jika al-Nafs dalam menghadapi
syahwat dengan setengah-setengah antara menolak dan menerima tapi lebih
cenderung mencela diri sendiri ketika melakukan syahwat maka diberi julukan al-
Nafs al-Lawwamah sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-qiyamah ayat 3:
          Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Nafs al-Lawwamah termasuk akhlak
yang baik karena ia senantiasa mencela diri sendiri meskipun sudah bersungguh-
sungguh untuk  melaksanakan ketaatan.  
          Kedua al-Nafs (sering dibaca nafsu dalam bahasa indonesia) menurut
pandangan para sufi adalah tempat munculnya akhlak tercela. Mereka cenderung
mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif. Itulah sebabnya nafsu wajib
diperangi (mujahadah al-nafs).
          Sedangkan menurut al-Ghazali nafsu diartikan “perpaduan kekuatan marah
(gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan gadlab pada awalnya tentu
untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan
agama dan sebagainya. Dengan adanya gadlab itulah jihad diperintahkan dan
kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk
dinodahi agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat
menumpas kedzaliman dan kemungkaran. Namun ketika gadlab tidak terkendali
maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. [1]
          Konsep al nafs dalam psikologi sufistik al Ghazali, dibedakan dalam dua
arti. Dalam pengertian pertama, al nafs dipandang sebagai daya hawa nafsu yang
memiliki daya kekuatan yang
bersifat gadlabiyah dan syahwaniyah. Gadlabiyah adalah hilangnya kesadaran
akal, karena dorongan kejahatan setan. Oleh karena itu, kata al Ghazali, orang
yang sedang emosi/marah berarti orang yang dipermainkan oleh setan, seperti
halnya bola yang dipermainkan oleh anak. Sedang syahwaniyah adalah daya yang
berpotensi untuk menginduksi diri dalam segala aspek yang menyenangkan.
Sementara dalam pengertian keua, al nafs dimaksudkan sebagai jiwa ruhani yang
bersifat terpuji dan halus yang merupakan hakikat manusia.
          Dari pandangan al Ghazali diatas , dapat dinyatakan bahwa nafs sebagai
suatu substansi badani berpotensi ke arah tingkah laku lahiriah yang bersifat
menyenangkan. Kecenderungan negatif ini agaknya sejalan dengan pemahaman
“nafsu” dalam persepsi psikologi, yang cenderung jahat dan berpotensi
mengabaikan pertimbangan akal dan hati nurani. Sementara nafs sebagai
substansi ruhani lebih cenderung mendorong ke arah tingkah laku lahiriah yang
baik dan beradab.
          Potensi nafs yang cenderung positif ini , bila dikembangkan terus hingga
sampai batas maksimal, maka tidak mustahil potensi ini dapat berfungsi sebagai
media pengembangan tingkah laku lahiriah yang mengarah pada sifat-sifat
keutamaan dan kesempurnaan moral. [2]
          Tesis ini dibangun atas dasar suatu pandangan yang menyatakan, bahwa
tingkah laku lahiriah seseorang berbasis jiwa yang amat matang, cenderung
memiliki kemauan yang berciri baik dan luhur seperti: (a) kemauan yang selalu
cenderung melaksanakan kebaikan, (b) kemauan yang cendeung pada sikap ikhlas
tanpa mengharapan pjian, (c) Kemauan yang cenderung kepada keharmonisan, (d)
kemauan yang mengarah pada tingkat kesempurnaan, (e) kemauan yang memiliki
keutamaan dalam bertindak dan menjauhi prbuatan yang mengarah kemaksiatan. 
           Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran psikologi al-Ghazali, bahwa
tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al muthmainnah,
memiliki  kecenderungan ke arah kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, karena
di dalamnya terdapat nilai-nilai motivasi yang bermuatan potensi ketuhanan
(alquwwah al ilahiyyah). Sebaliknya tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al
ammarah, mempunyai kecenderungan yang bersifat kebinatangan (bahimiyyah)
dan kejahatan (syaithaniyah). [3]
B.  Al-qalb
Menurut abu hamid al-ghazali, qalb mempunyai dua pengertian. Pengertian
pertama adalah hati jasmani (Al-qalbal-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-
sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di
dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini
erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut
maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun
mempunyai qalb seperti ini. Sebangkan qalb dalam arti kedua adalah
sebagai luthf rabbani ruhiy (bersifat spiritual). Al-qalb  merupakan alat untuk
mengetahui hakikat sesuatu.[4]
Sebagian dari persoalan yang patut di perhatikan di sini adalah bahwa
kalimat qalb di sebut dalam Alquran al-karim. Hanya saja penyebutan ini tidak
secara mutlak menunjukan bahwa kata qalb di artikan dalam konteks anatomi
kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam badan), melainkan di maksud sebagai
“instrumen persepsi ma’rifah yang sangat kompleks”. [5]
Dengan hati, seseorang dapat melihat sesuatu sesuai dengan kenyataan
(hakikatnya). Ada beberapa orang yang dibukakan hatinya oleh Allah dengan
beraneka ragam pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Diantaranya adalah:
a.    Pengetahuan tentang kecerdasan dunia,kedasyatan tipuan dunia beserta
kesementaraannya. Seseorang dapat menyaksikan dunia sebagaimana kondisi dan
sifat yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan, banyak manusia melihat dunia
hanya dari sisi lahiriah saja, mereka tidak mampu mengetahui kondisi dan sifat
dunia. Sebagaimana dalam firman Allah (QS. al-Rum:7)
.............
b.    Pengetahuan tentang rekadaya dan jenis gangguan setan.
c.    Pengetahuan tentang tingkatan ahl al-taqwa, derajat ahl al-ilm, kemuliaan akhlak,
kebaikan pergaulan dengan sesama makhluk, kesabaran karena tersakiti orang
lain, kedermawanan harta, perhatian pada rang lain dengan mengalahkan diri
sendiri, rasa takut pada neraka, perlawanan terhadap setan, perlawanan
terhadap hawa nafsu, senantiasa mengikuti rasul dan para sahabat dan
berpegang teguh pada al-sunnah (tradisi nabi). Dalam kenyataan, banyak orang
mukmin yang tidak suka mengikuti sunnah. Yang sunnah dinilai bid’ah dan yang
sesungguhnya bid’ah malah dinilai sunnah. Yang sunnah dicela yang bid’ah malah
dipuja-puja. Hal ini disebabkan seseorang telah tertutup sebagian hatinya untuk
melihat sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
d.    Pengetahuan tentang kebesaran nikmat-nikmat Allah, keluasan pemberianNya,
kebesaran kebesaranNy, ampunanNya, dan keluasan rahmatNya.
e.    Penyaksian terhadap af’al rububiyyah  (perbuatan-perbuatan Allah) seperti
menyaksikan bukti kekuasaan Allah dalam segala hal dan keindahan ciptaanNya.
f.    Pengetahuan tentang betapa keagungan Allah dan betapa kehinaan kekuasaan
makhluk dihadapan keagungan Allah. Karena pengetahuannya, seseorang benar-
benar mengagungkan Allah bukan mengagung-agungkan makhluk. Ia sangat
membutuhkan Allah bukan makhluk.
g.    Kesadaran akan taufiq (pertolongan) Allah untuk beribadah, manisnya ma’rifat
dan mahabbah serta kesadaran akan penjagaan Allah dari kesesatan dan
kekufuran.
h.    Menyaksikan keesaan Allah, sehingga ia tidak melihat selain Allah, ia melihat
keqidaman, kesempurnaan dan kekekalan Allah serta kebaruan dan kesirnaan
makhluk.
Sedangkan menurut Abu Abdillah ibn Ali al-Hakim al-Tirmidzi, Al-
qalb  mempunyai empat lapisan sebagai berikut:
a.      Al-Shadr
Al-Shadr merupakan lapisan Al-qalbyang paling luar. Ia merupakan tempat cahaya
islam sekaligus sebagai tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari
pendengaran maupun pemberitaan. Ilmu ini bisa bertahan di dalam al-
shadr setelah dihafalkan dan membutuhkankesungguhan. Ilmu yang telah masuk
ke dalam al-shadr juga bisa terlupakan. Ciri jenis ilmu ini adalah bisa
diungkapkan, dibaca, diriwayatkan dan dijelaskan melalui lisan.
Sifat al-shadr adalah lapang dan sempit. Sesua dengan kadar kebodohan dan
kemarahan, al-shadr menjadi sempit jika al shadr terpenuhi dengan kebenaran
maka sempit dengan kebatilan. Terkait dengan cahaya islam, Allah berfirman
dalam QS. al-An’am:125
b.     Al-Qalb
Al-qalb merupakan lapisan kedua yang terletak di dalam al-shadr. Al-qalbini
sebagai tempat cahaya iman. Allah berfirman: ......(QS.al-Hujurat:14)

Keadaan Al-qalbbisa khusu’, taqwa, muhabbah, ridlo, yakin, khauf, raja’, sabar,


qanaah, tenang, bergetar dan sebagainya. Diantara sifatnya adalah a’ma (buta)
c.      Al-Fuad
Al-Fuad merupakan lapisan al-qalbketiga yang terletak di dalam al-qalb. Ia
tempat cahaya ma’rifat. .....(QS. al-Najm: 11)
d.      Al-Lub
Al-Lub merupakan lapisan paling dalam dari al-Qalb. Al-Lub sendiri berarti
intisari dari sesuatu. Ia merupakan tempat cahay tauhid. Cahay ini termasuk
cahaya yang paling sempurna. Tauhid merupakan rahasiahidayah Allah pada
hambanya dalam QS. Ibrahim: 52
C.    Al - Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql  adalah potensi yang siap
menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aqladalah pengetahuan tentang
kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang
muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak
dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada
di dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman
empirik dalam berbagai kondisi. Keempat, aql adalah potensi untuk mengetahui
akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.
Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang di dalam
melakukanperbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan didasarkan
pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat.
Aql  yang pertama dan kedua merupakan bawaan sedangkan aql yang ketiga
dan keempat merupakan usaha.
Orang yang menggunakan akalnya akan mencegah dirinya agar tidak
terjerumus ke dalam kenikmatan sesaat yang membawa penderitaan lebih lama.
Orang yang berakal akan memilih kenikmatan yang lama dibandingkan kenikmatan
sementara. Kenikmatan dunia adalah kenikmatan sementara. Bagi orang yang
berakal, dunia tidak boleh menghalangi kebahagiaan akhirat yang lebih lama
durasinya.
Di dalam Al-Qur’an, kata Aql  dalam bentuk kata benda tidak ditemukan di
dalam al-Qur’an adalah kata kerjanya yakni ya’qilun, ta’qilun  dan
seterusnya. Aqala (fi’il Madli,  kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat.
Dengan demikian al-A’qil(isim fail)  berarti orang  yang menahan atau mengikat
nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan
orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar
tak terkendali. Itulah sebabnya orang berakal kadang disebut dengan uli al-
nuha (yang mempunyai daya cegah)  kadang disebut dengan dzi hijr (yang
mempunyai daya cegah), dan kadang disebut dengan uli al-ahlam(yang mempunyai
kesabaran). Hanya orang yang sabar saja yang mau mengendalikan nafsunya.
D.  Al-Ruh
Para ulama berbeda dalam mengartikan kata ruh. Menurut al
Qusyairi, ruh   adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan)
yang merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan
nafs dari sisi potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai usat akhlak tercela
sementara ruh sebagai puasat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat
mahabbah pada Allah.[6]
Para ulama berbeda–beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan
kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang
halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak
terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan
negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak
terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah. Dengan Ruh itulah
Allah menciptakan manusia menjadi hidup dan kehidupan manusia tumbuh
berkembang karena adanya cahaya ilahi yang memudahkan kita sebut dengan
Hubb atau Cinta. Dengan cinta itulah seluruh alam semesta termasuk manusia di
ciptakan sehingga seluruh kepribadian manusia pada awalnya di gerakkan oleh
energi cahaya tersebut mengisi seluruh pori-pori dan syaraf qalbu dengan cinta
yang meng-Ilah. [7]
Ruh yang merrupakan subtansi psikologis ini, menurut al-Ghazali merupakan
lathifah (sesuatu yang abstrak,tidak kasat mata) yang memiliki potensi untuk
brfikir, mengingat, dan mengetahui. Sementara ruh sebagai subtansi
ruhani,dalam pandangan al-Ghazali merupakan al qudrah al ilahiyyah (daya
ketuhanan) yang tercipta dari alam urusan Tuhan (‘alam al ‘amr), dan bukan dari
alam penciptaan (‘alam al khalq). Sehingga sifatnya bukan jasmaniah dan tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dari pengertian di atas, ruh memungkinkan memiliki dua sifat khusus:
a.    Ruh sebagai sesuatu yang ghaib, tetap hidup sekalipun jasad manusia telah mati.
b.    Ruh dapat menjadi kotor akibat amal perbuatan yang tercela, dan menjadi bersih
akibat perbuatan yang terpuji. Untuk sifat yang kedua inni, tergantung
bagaimana mengatur dan mengendalikan empat potensi psikis yang ada di dalam
dirinya yaitu: potensi yang bersifat ketuhanan (robbaniyah), potensi psikis yang
bersifat syaithaniyyah, potensi psikis yang bersifat kekerasan (sabu’iyyah), dan
potensi psikis yang bersifat kebinatangan (bahimiyyah).
                    Potensi psikologi al Ghazali tentang potensi ruh tersebut, dapat
dikatakan memiliki keterkaitan dengan pengembangan tingkah laku psikologis
yang dimunculkan. Ini artinya, jika potensi rabbaniyyah  yang lebih diberdayakan,
maka tingkah laku lahiriah yang muncul cenderung berkembang ke arah cinta
kebaikan, kemaslahatan, keadilan,kedamaian dan ebenaran. Namun jika
potensi syithaniyyah  yang dibiarkan tanpa adanya pengendalian, maka perilaku
yang tampak di permukaan adalah lebih banyak diwarnai oleh corak tingkah laku
kebinatangan, kekerasan yang tidak mengenal nilai/ moral.
                   Dengan demikian, potensi ruh yang diberdayakan dpat dijadikan
sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang terpuji, karena potensi
ruh yang dikembangkan akan membawa implikasi positif bagi pembentukan
kepribadian yang lebih bermoral, yang dalam istilah al Gazali
disebut “mutakhalliq bi akhlaq Allah”  (kepribadian yyang selalu cenerung untuk
bertingkah laku positif sebagaimana tingkah laku Allah).[8]
                   Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruh adalah daya jiwa
yang terdapat dalam qolb  yang berfungsi untuk mengarahkan manusia agar dapat
merasakan secara pasti keberadaan Tuhan seolah-olah ia melihat Nya. Kesadaran
akan keberadaan Tuhan tersebut mendorong hati untuk mencintai Tuhan.[9]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
         Potensi ruhaniyah manusia merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya
spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan. Potensi an-Nafs yang cenderung
positif, bila dikembangkan terus hingga sampai batas maksimal, maka dapat
berfungsi sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang mengarah pada
sifat-sifat keutamaan dan kesempurnaan moral. Al-qalb  merupakan alat untuk
mengetahui hakikat sesuatu. Orang yang menggunakan akalnya ( Aql) akan
mencegah dirinya agar tidak terjerumus ke dalam kenikmatan sesaat yang
membawa penderitaan lebih lama. Potensi ruh yang diberdayakan dapat dijadikan
sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang terpuji.
         Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat ketuhanan)
dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam kehidupannya di
dunia. Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Dengan ini,
maka manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk yang
memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.
B.  Saran
     Demikian apa yang dapat disajikan oleh para pemakalah, semoga dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. penulis menyadari bahwa
dalam makalah ini masih terdapat kesalahan dn kekurangan, untuk itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini
dan selanjutnya. Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai