Anda di halaman 1dari 7

C.

Kajian Jiwa dalam Perspektif Islam


Definisi Jiwa

Kata jiwa berasal dari bahasa arab (‫ )النفس‬atau nafs’ yang secara harfiah bisa diterjemahkan
sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa, dalam bahasa Inggris
disebut soul atau spirit. Secara istilah kata jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama
dan filusuf muslim. Para filosof muslim -terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina- umumnya
sepakat mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik dan memiliki kehidupan yang energik.” Secara lebih rinci yang dimaksudkan
‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi
sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan
pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik material. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah
bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang
bermacam-macam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di
dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.

Mendefinisakan jiwa bukanlah perkara yang mudah bahkan lebih sukar daripada membuktikan
adanya. Maka, wajar ketika ditemukan ada perbedaan dalam memahami arti dari jiwa, karena
perbedaan tersebut sebenarnya hanya karena metode dan cara pandang yang berbeda antara para
filosof dan kalangan Sufi. Metode analisis filosof lebih mengedepankan pada akal dan logika,
sedangkan sufi lebih mengedepankan pada intuisi, sehingga menimbulkan kesimpulan berbeda.
Terpenting di sini adalah bahwa definisi jiwa mengacu pada substansi utama yang ada pada diri
manusia, yang memiliki peran sentral mengatur gerak dari tubuh dan memiliki daya dan cara
kerjanya sendiri. Tentu akan jauh lebih luas dari sekedar definisi jika melihat bagaimana Al-
Qur’an dan Hadist menjelaskan tentang keberadaan jiwa.

 Pembagian Jiwa

Dalam konsep Islam, Nafs ( jiwa ) di bagi menjadi lima bagian, yaitu

1. Nafs Sawiyyah Mullahamah ( diri manusia yang lurus dan selalu mendapat ilham
Tuhannya )
2. Nafs Ammarah Bissu’i ( diri manusia yang selalu cenderung untuk melakukan perbuatan
buruk )
3. Nafs Lawwamah ( diri manusia yang selalu menyesali dan ragu ).
4. Nafs Zakiyyah ( diri manusia yang suci dan tidak terkontaminasi dengan sesuatu ).
5. Nafs Muthmainnah Radhiyah ( diri manusia yang dipenuhi dengan ketenangan hidup).

Islam memiliki pandangan sendiri mengani perilaku manusia yang berbeda dengan
konsep psikoanalis. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan struktur kejiwaan yang ada
dalam diri manusia menurut Islam dan Psikoanalisis. Dalam Islam struktur jiwa ( Nafs )
ada lima yaitu, Nafs Sawiyyah Mullahamah, Nafs Ammarah Bissu’i, Nafs Lawwamah,
Nafs Zakiyyah, dan Nafs Muthmainnah Radhiyah
1. Nafs Sawiyyah Mullahamah

Penjelasan mengenai Nafs Sawiyyah Mullahamah ini didasari dari ayat alqur’an pada surah Asy-
Syams ayat 7-8 :

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”

Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar tafsir diketahui bahwa ilham yang dimaksud pada
ayat di atas adalah fitrah yang di terima manusia melalui Allah SWT. oleh karena itu, manusia
memang diciptakan dengan fitrah dan dari fitrah itu kemudian manusia bisa memilih untuk
menyalurkan fitrah itu pada jalan ketakwaan atau jalan kefasikan. Pilihan inilah yang kemudian
akan di hisab Allah di hari perhitungan nanti, jika memilih jalan taqwa Allah telah menyediakan
surga sebagai balasan,dan jika memilih jalan kefasikan Allah juga telah menyediakan neraka
sebagai balasan.

2. Nafs Ammarah Bissu’i

Nafs Ammarah Bissu’i memiliki pengertian diri manusia yang selalu cenderung melakukan
perbuatan buruk. Kondisi seperti ini terjadi pada manusia bukan karena sifat manusia pada
dasarnya adalah buruk, tetapi karena manusia tidak mampu menghadapi godaan setan, sehingga
manusia tersebut cenderung untuk melakukan perbuatan yang buruk. Dalam hal ini, ketika Nafs
Ammarah Bissu’i ada dalam diri manusia, maka manusia tersebut telah memilih jalan kefasikan.
Ia telah menyalahgunakan fitrah yang diberikan Allah kepadanya,di mana secara fitrah manusia
itu akan selalu melakukan kebaikan atau perbuatan-perbuatan yang baik.

3. Nafs Lawwamah

Nafs Lawwamah berarti diri manusia yang selalu menyesali dan ragu. Dalam hal ini manusia
memiliki kemampuan untuk bisa merenungkan kejadian yang telah dialaminya pada masa
lampau. Jika penyesalan ini ada pada orang beriman, maka hal ini akan dijadikan sebagai
intropeksi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dalam beribadah kepada Allah SWT.
penyesalan yang dialaminya membangkitkan fitrah untuk bisa menempatkan diri dan
mengaktualisasikan diri sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT.

4. Nafs Zakiyyah

Nafs Zakiyah (diri manusia yang suci dan tidak terkontaminasi dengan sesuatu) ini akan dialami
individu bila ia mampu mengendalikan segala keburukan dari dorongan psikis yang telah ada
dalam diri manusia. Dorongan psikis ini adalah fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia,
seperti dorongan untuk mempertahankan diri, dorongan seksual dan dorongan untuk beragama.
Apabila manusia telah mampu mengendalikan dorongan-dorongan tersebut dengan baik, dan
hanya menyalurkan dorongan tersebut sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, maka manusia
telah berada dalam tingkatan Nafs Zakiyah.

5. Nafs Muthmainnah Radhiyah


Ketika manusia telah ridha dengan keadaan dirinya, ridha dengan keadaan yang mengantarkan ia
merasa bahagia dan tenang, maka pada saat itu ia telah berada dalam Nafs Muthmainnah
Radhiyah (diri manusia yang dipenuhi dengan ketenangan hidup). Keridhaan adalah suatu
kebahagiaan yang menyelimuti manusia, sehingga ketika manusia itu telah ridha maka ia tidak
akan mengalami kegelisahan. Hal itulah yang menyebabkan Allah menjadikan keridaan ini
sebagai tujuan akhir dari suatu usaha yang dilakukan manusia, dan balasan bagi mereka yang
ridha adalah kembali kepada Allah SWT dalam keadaan bahagia dan akan digolongkan ke dalam
golongan orang yang islam.

Istilah Jiwa dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan apresiasi yang sangat besar bagi kajian jiwa (nafs) manusia. Hal ini bisa
dilihat ada sekitar 279 kali Al-Qur’an menyebutkan kata jiwa (nafs). Dalam Al-Qur’an kata jiwa
mengandung makna yang beragam (lafzh al-Musytaraq). Terkadang lafaz nafs bermakna
manusia (insan), “Takutlah kalian kepada hari di mana seorang manusia (nafs) tidak bisa
membela manusia (nafs) yang lainnya sedikitpun. “Sesungguhnya orang yang membunuh
seorang manusia (nafs) bukan karena membunuh (nafs) manusia yang lainnya, atau melakukan
kerusakan di muka bumi, seolah-olah dia membunuh seluruh manusia.

Kata nafs juga menunjukkan makna Zat Tuhan, “Aku pilih engkau untuk Zat (nafs)-Ku. Juga
bermakna hakikat jiwa manusia yang terdiri dari tubuh dan ruh,”Dan kalau Kami menghendaki,
niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk.” Dan “Allah tidak membebani (jiwa)
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Selain itu ditujukan maknanya kepada
diri manusia yang memiliki kecenderungan, “Maka, hawa nafsu Qabil menjadikannya
menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang
di antara orang yang merugi.” Lafaz nafs yang bermakna bahan (mahiyah) manusia. Kehendak
(thawiyah) dan sanubari (dhamir), Dan beberapa makna lain yang secara umum dijelaskan dalam
al-Qur’an yang tidak mungkin dijelaskan satu persatu.

Istilah Jiwa dalam Hadist Rasulullah SAW.

Selain dalam Al-Qur’an, beberapa Hadist Rasulullah SAW. juga membahasa persoalan jiwa.
Sama halnya dengan Al-Qur’an kata nafs (jiwa) juga digunakan dalam makna yang beragam.
Dalam hadist Rasulullah SAW, penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam berbagai
bentuk diantaranya;

1. Nafs dalam arti perasaan dan perilaku

Lafaz nafs dalam hadist sering mengandung makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), maupun
ihsaas (sensasion) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di
dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi
terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku. Seperti beberapa hadist
berikut; Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata, “Suatu hari, Rasulullah SAW., keluar dari kediaman
saya dengan perasaan gembira (thibb an-nafs). Akan tetapi ketika kembali beliau terlihat sedih
sehingga saya terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab,
“Sesungguhnya saya tadi masuk ke dalam Ka’bah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau saya tadi
tidak melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan memberatkan umat saya
yang dating kemudian.” (HR. Muslim).

Dalam hadist lain, Rasulullah SAW mengisyaratkan bahwa ketenangan dan ketenteraman hati
seorang mukmin sangat terkait dengan keridhaan Allah SWT. dan pencapaian pahala dari-Nya.
Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Suatu pagi, Rasulullah SAW Terlihat
gembira (thibb an-nafs). Bisa-bisa kegembiraan tersebut terpancar jelas dari wajah beliau
sehingga para sahabat berkomentar, “Wahai Rasulullah SAW, engkau terlihat gembira sekali
hari ini. Wajah engkau tampak berseri-seri. Rasulullah SAW. Kemudian bersabda,

“Benar, tadi malaikat datang kepadaku dari Tuhanku azza Wajalla dan seraya berkata, “siapa
saja di antara umatmu yang bershalawat satu kali kepada mu maka Allah swt. Akan menuliskan
baginya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh kesalahannya, mengangkat derajatnya sepuluh
tingkat, serta menjauhkannya dari kebalikannya (kehinaan) sebanyak itu pula.”” (HR. Ahmad).

Lebih lanjut, Rasulullah saw. juga menerangkan bahwa fitrah (karakter dasar) manusia adalah
baik (cenderung kepada kebaikan) dan sesungguhnya Allah menjadikannya sebagai tolak ukur
(hakim) terhadap apa-apa yang akan dilakukan atau diusahakannya. Artinya, jika nurani merasa
tenang dan mantap terhadap sesuatu maka sesuatu itu halal dan baik. Sebaliknya, jika nurani
menentang maka hal itu menandakan sesuatu itu dosa dan penyimpangan dari kebenaran.
Walaupun demikian, walaupun demikian, hal tersebut mempunyai persyaratan bahwa nurani
yang dimaksud adalah yang senantiasa berserah diri kepada Allah.

Jiwa Menurut Filosof Muslim

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa para filosof muslim memasukkan persoalan
jiwa adalah persoalan yang sangat penting. Hampir semua filosof muslim tidak mungkin
mengabaikan persoalan jiwa. Karena jiwa merupakan bagian dari pembahasan metafisika. Dalam
hal ini Ibnu Bajjah mengatakan bahwa “ilmu tentang jiwa harus lebih utama dipelajari dan ia
merupakan ilmu yang paling mulia. Ia mendahului ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu luhur lainnya,
dan setiap ilmu terpaksa untuk mempelajari psikologi. Sebab, kita tidak mungkin mengetahui
berbagai prinsip ilmu jika belum mengetahui jiwa dan hakikatnya.” Pendapat ini sama halnya
dengan al-Ghazali yang juga menganggap mengetahui persoalan jiwa lebih utama. Beberapa
pandangan filosof muslim mengenai jiwa justru memperkaya konsep jiwa dalam Islam.

1. a. Hakikat Jiwa

Di antara filosof muslim lainnya, barangkali Ibnu Sina yang secara komplit menjelasakan
tentang esensi dan hakikat jiwa. Meskipun diketahui bahwa Ibnu Sina memiliki pemahaman
yang tidak jauh berbeda dengan Aristoteles dan filosof Muslim sebelumnya terutama al-Kindi
dan al-Farabi mengenai jiwa. Namun, Ibnu Sina lebih detail membahas persoalan ini. Ibnu Sina
mengatakan bahwa jiwa merupakan hakikat manusia sebenarnya. Ia adalah substansi yang
berdiri sendiri yang berbeda dengan jasad (fisik). Pendapat ini berdasarkan argumentasinya yang
memandang bahwa atom atau esensi (jauhar) dan aksiden (‘aradh) itu berlawanan bahkan
bertentangan walaupun pertentangannya tidak jelas. Itu karena semua yang bukan atom adalah
aksiden. Bila kita dapat membuktikan bahwa jiwa bukan salah satu aksiden, maka pasti ia adalah
substansi (jism).

Jiwa tidak bisa dianggap aksiden pertama, karena betul-betul bebas dari tubuh. Sedang tubuh itu
sangat membutuhkan pada jiwa sementara jiwa sedikitpun tidak membutuhkannya. Belum ada
ketentuan dan kejelasan bagi tubuh sebelum ia berhubungan dengan jiwa tertentu, sementara
jiwa akan tetap sama, baik ketika berhubungan dengan tubuh atau tidak. Tidak mungkin ada
tubuh tanpa jiwa, sebab jiwa merupakan sumber hidup dan sumber geraknya, tapi sebaliknya
jiwa bisa tetap hidup tanpa tubuh. Bukti yang paling jelas untuk ini, adalah bila jiwa berpisah
dari tubuh, maka tubuh akan menjadi benda mati, sementara jiwa ketika berpisah dengan tubuh
dan naik ke ‘alam atas’ ia akan hidup bahagia. Dengan demikian jiwa merupakan substansi yang
berdiri sendiri, bukan salah satu aksiden (‘aradh) tubuh

1. b. Fakultas Jiwa

Para filosof muslim umumnya memiliki kesamaan dalam membagi fakultas (daya) jiwa. Namun
gambaran daya jiwa yang lebih kongkrit bisa kita temukan dalam penjelasan al-Farabi dan Ibnu
Sina. Dua tokoh ini agaknya sama dalam menjelaskan pembagian fakultas jiwa. Awalnya al-
Farabi menjelaskan bahwa sesungguhnya fakultas jiwa terbagi menjadi daya penggerak dan daya
pemahaman. Daya penggerak mencakup daya nutrisi, daya tumbuh dan daya hasrat. Sedangkan
daya pemahaman mencakup tiga daya, yaitu daya perasa baik yang bersifat nayata maupun tidak
nyata, daya fantasi, serta daya akal atau rasional. Daya-daya tersebut terpecah menjadi daya yang
bersifat praktis dan daya yang bersifat teoritis atau ilmiah

erdasarkan dalam beberapa penjelasannya tentang daya jiwa, maka dapat disimpulkan bahwa
fakultas jiwa terbagi pada tiga yaitu, jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa rasional.

1. 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-nabatiyah)

Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-nabatiyah) mencakup daya-daya yang ada pada manusia,
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ibnu Sina telah mendefinisikan jiwa tumbuh-tumbuhan sebagai
kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek
melahirkan, tumbuh dan makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu:

a. Daya nutrisi (al-quwwah al-ghadziyah), yaitu daya yang berfungsi mengubah makanan
menjadi bentuk tubuh, dimana daya tersebut ada di dalamnya.

b. Daya penumbuh (al-quwwah al-munammiyah), yaitu daya yang melaksanakan fungsi


pertumbuhan, yaitu yang mengantarkan tubuh kepada kesempurnaan dan perkembangannya.

c. Daya generatif atau reproduktif (al-quwwah al-muwallidah), yaitu daya yang menjalankan
fungsi generatif atau melahirkan, agar generasi manusia tetap bertahan.

1. Jiwa hewan (an-nafs al-hayawaniyah)


Jiwa hewani mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan, sedangkan pada tumbuh-
tumbuhan tidak ada sama sekali. Ibn Sina mendefinisikan jiwa hewani sebagai sebuah
kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta merangkap
berbagai parsilitas dan bergerak karena keinginan. Jiwa hewani memiliki dua daya, yaitu daya
penggerak dan daya persepsi

a. Daya penggerak (al-quwwah al-Muharrikah), yaitu terdiri dari dua bagian, pertama,
pengerak (gerak fisik) sebagai pemicu dan penggerak pelaku. Kedua, Daya tarik (hasrat) yaitu
daya yang terbentuk di dalam khayalan suatu bentuk yang diinginkan atau yang tidak diinginkan,
maka hal tersebut akan mendorongnya untuk menggerakkan. Pada Daya tarik (hasrat) ini terbagi
menjadi dua sub bagian yaitu Daya Syahwat dan Daya Emosi.

b. Daya persepsi terbagi menjadi dua bagian, pertama daya yang mempersepsi dari luar, yaitu
pancaindera eksternal seperti mata (penglihat), telinga (pendengar), hidung (pencium), lidah
(pengecap) dan kulit (peraba). Kedua, daya yang mempersepsi dari dalam yaitu indera batin
semisal indera kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, daya imajinasi (waham) dan memori.

1. Jiwa rasional (an-nafs an-nathiqah)

Jiwa rasional mencakup daya-daya yang khusus pada manusia. Jiwa rasional melaksanakan
fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa rasional sebagai
kesempurnaan pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada suatu sisi ia
melakukan berbagai prilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun
pada sisi yang lain ia mempersepsi semua persoalan universal. Pada jiwa rasional mempunyai
dua daya, yaitu daya akal praktis dan daya akal teoritis

a. Daya akal praktis cenderung untuk mendorong manusia untuk memutuskan perbuatan yang
pantas dilakukan atau ditinggalkan, di mana kita bisa menyebutnya perilaku moral.

b. Daya akal teoritis, yaitu: akal potensial (akal hayulani), akal bakat (habitual), akal aktual dan
akal perolehan.

Fakultas-fakultas jiwa ini bukanlah entitas berpisah yang masing-masing bertindak secara
berbeda terpisah dari jiwa itu sendiri, tetapi mereka bekerja sama dan saling membutuhkan.
Masing-masing memiliki fungsi dan sistem kerja sendiri melalui organ, waktu dan kondisi yang
berbeda. Dalam hal ini, fakultas-fakultas jiwa pada kenyataannya merupakan jiwa itu sendiri
(jiwa yang satu) yang mewujudkan dirinya berdasarkan berbagai kondisi yang dihadapinya.

Kesimpulan

Sesungguhnya Islam memiliki sebuah konsep yang utuh mengenai jiwa. Setiap para ulama
memiliki sebuah pandangan yang mengakar kuat pada tradisi Islam. Meskipun kita melihat
kecenderungan para filosof muslim mengutip banyak pemahaman jiwa dari para filosof Yunani
seperti Aristoteles, Plato, Galien, Platonis dan lainnya. Namun sejatinya konsep yang
dikembangkan berdasarkan cara pandang seorang muslim sehingga apa yang dikemukakan tidak
keluar dari worlview Islam. Pemahaman yang beragam dalam memahami eksistensi jiwa ini juga
dalam rangka memahami kebenaran Mutlak yaitu Sang Pencipta. Maka ketika seseorang
memahami dirinya –yaitu jiwa beserta seluruh yang ada pada diri manusia- maka ia akan
mengenal TuhanNya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu
(barang siapa mengenal dirinya (jiwa), maka ia akan mengenal Tuhannya.

Baik para sufi dan filosof muslim –yang memiliki perbedaan dalam mengkaji persoalan jiwa-
sebenarnya memiliki titik temu yaitu bahwa jiwa merupakan unsur yang tidak tampak yang
menggerakkan jasad manusia, ia berasal dari Allah yang semestinya harus selalu dijaga agar
senantiasa berada dalam kondisi yang bersih. Ketika jiwa yang ada pada diri manusia tidak
dibimbing dengan cahaya kebaikan -maka seperti yang digambarkan Ibn Sina- ia ‘menjerit’ dan
mengharap kembali kepada Tuhannya. Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai