Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PANCASILA MENURUT MACHIAVELLI DAN RELEVANSINYA BAGI


ANAK MILENIAL

DISUSUN OLEH:
JIHAN NUR TAQIYYAH (B021201047)
A. FATIHA HERDINAN NANDA (B021201054)
DESI PUTRI MANDIRI (b021201040)
ICA (B021201033)

UNIVERSITAS HASANUDDIN
ANGKATAN TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat Nya,
baik itu berupa kesehatan secara fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang berjudul “Konflik Terkait Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Ibu
dosen pengajar Pendidikan Kewarganegaraan 02 (kelas HHAN B) yaitu Bapak Rahmatullah
Jafar, S.IP., M.Si yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Makassar, 22 November 2020

Hormat Kami,

Kelompok 3
“PANCASILA MENURUT MACHIAVELLI DAN
RELEVANSINYA BAGI ANAK MILENIAL”

Abstrack

Tantangan yang dihadapi oleh Pancasila sebagai ideologi dari masa ke masa
sangat berbeda, termasuk di era milenial saat ini tantangannyapun jauh lebih kompleks.
Era milenial yang ditandai dengan era digital dan medsos sebagai ruang iinteraksi dan
titik temu bagi masyarakat harus dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menyemai
nilai-nilai Pancasila. Machiavelli beranggapan bahwa untuk menjunjung tinggi sebuah
simbol negara, maka diperlukan cara-cara yang tidak boleh dikaitkan dengan asa nilai
atau moral. Menurutnya, penguasa berhak melakukan apapun, baik atau buruk, cara
halus atau kasar, untuk mempertahankan kekuasaannya dari segala ancaman yang akan
mereduksi legitimasinya yang itu dikhawatirkan oleh Machiavelli akan menimbulkan
disintegrasi nasional. Revolusi Pancasila tidak lain dan tidak bukan merupakan upaya
yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa sebagaimana yang
telah digagas oleh Bung Karno yaitu Trisakti.

Kata Kunci : Generasi, Milenial, Pancasila.


I. Latar Belakang
Generasi muda adalah generasi penerus bangsa Indonesia. Bangsa akan maju jika
para pemuda memiliki karakter nasionalisme. Nasionalisme merupakan bagian penting
bagi kehidupan bangsa dan negara. Secara detail, penyebab merosotnya sikap
nasionalisme pada diri anak karena berkembangnya zaman globalisasi, yaitu rasa
nasionalisme dikalangan generasi muda semakin memudar. Hal ini dapat dibuktikan
banyak generasi muda yang lebih memilih kebudayaan negara lain, dibandingkan dengan
kebudayaan Indonesia. Sebagai contoh generasi muda selalu menganggap produk luar
negeri lebih baik dari pada produk nasional, lebih senang memakai pakaian minim (tidak
sopan) daripada memakai pakaian batik yang mencerminkan budaya Indonesia. Sehingga
karakter nasionalisme perlu ditanamkan sejak dini dalam diri anak agar dapat menjadi
manusia yang dapat mencintai bangsa dan negaranya sendiri.
Negara Indonesia berlandaskan pada Pancasila. Sikap nasionalisme juga harus
dibarengi dengan usaha untuk memahami Pancasila yang mengandung nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia. Pancasila merupakan dasar dan pedoman hidup bangsa Indonesia
mengandung nilai-nilai nasionalismeyang harus ditanamkan pada diri anak sebagai
generasi penerus bangsa. Dengan memahami Pancasila tersebut maka dapat tumbuh
karakter nasionalisme. Nasionalisme tidak terlepas dari dorongan untuk mencintai
bangsa dan negara sendiri, untuk itu perlu adanya penanaman pendidikan karakter
kepada diri setiap individu khususnya para generasi muda. Pendidikan karakter
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan, maka diperlukan
kepedulian dan pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan karakter sendiri dapat
diajarkan melalui lingkungan sekolah, masyarakat maupun dilingkungan keluarga.

II. Pancasila Menurut Machiavelli


Pemikiran Machiavelli tidak bisa terlepas dari kondisi Italia semasa hidupnya.
Kondisi itulah yang menjadi dasar-dasar refleksi yang kemudian menentukan
pandangan-pandangan Machiavelli tentang suatu negara, kekuasaan dan penguasa. Italia
saat itu adalah negara yang terpecah-pecah akibat adanya gereja-gereja sebagai dominion
atau pusat pemerintahan masing-masing wilayah. Italia terbagi menjadi lima dominion
yaitu Naples, Venezia, Roma (Vatikan), Florence dan Milan. Perpecahan kekuasaan ini
dinilai Machiavelli sebagai faktor yang melemahkan Italia secara keseluruhan di hadapan
musuh-musuh di sekitarnya seperti Perancis dan Spanyol yang mana masing-masing dari
keduanya lebih dulu menjadi negara kesatuan. Kesatuan suatu negara adalah hal mutlak
yang harus diwujudkan menurut Machiavelli, karena kekuatan negara terletak pada
tangan penguasa yang menguasai negara secara keseluruhan. Di tangan penguasalah
nasib negara ditentukan. Hakikat nilai yang harus selalu dijunjung tinggi oleh penguasa
dalam kehidupan ini adalah negara (kekuasaan). Oleh karena itu, Machiavelli
beranggapan bahwa untuk menjunjung tinggi sebuah simbol negara, maka diperlukan
cara-cara yang tidak boleh dikaitkan dengan asa nilai atau moral. Menurutnya, penguasa
berhak melakukan apapun, baik atau buruk, cara halus atau kasar, untuk
mempertahankan kekuasaannya dari segala ancaman yang akan mereduksi legitimasinya
yang itu dikhawatirkan oleh Machiavelli akan menimbulkan disintegrasi nasional. Nilai-
nilai keagamaan, moralitas adalah hal yang harus dipisahkan dari unsur-unsur politik
kenegaraan. Agama hanyalah sebagai penopang, atau kendaraan yang mampu digunakan
seperlunya, selama itu mendukung pada kepentingan penguasa dalam berkuasa.
Analogi penguasa ideal yang menarik dari pemikir asal Florence ini adalah Singa
dan kancil. Singa adalah simbol kebuasan dan kekejaman untuk mempertahankan
kekuasaan. Sedangkan kancil adalah simbol keramahan dan kemurahan hati untuk
menarik simpati. Penguasa diharuskan untuk pintar menempatkan posisinya kapan kapan
dia harus menjadi singa dan kapan dia harus menjadi seekor kancil. Penguasa harus bisa
mencegah ancaman, baik internal maupun esternal yang akan merusak kesatuan dan
keutuhan negara sekalipun dengan cara-cara yang kejam seperti pembunuhan,
pembantaian dan lain-lain. Akan tetapi, di saat aman, penguasa juga tidak boleh lupa
untuk menarik simpati rakyatnya sebagai sumber legitimasi baginya dengan berbaik hati
dan memenuhi keinginan-keinginan rakyatnya. Dengan demikian, maka suatu negara itu
akan utuh dan solid.
Masalah keamanan nasional, Machiavelli juga berpendapat bahwa kekuatan
nasional tidak boleh digantungkan pada kekuatan pihak lain. Garda bangsa haruslah
terdiri dari warga negara itu sendiri, tidak dari warga negara lain yang hanya bekerja
sebagai tentara bayaran. Tentara bayaran hanya bekerja sesuai dengan kontrak kerja yang
disepakati, tidak ada loyalitas yang murni terhadap seorang penguasa. Maka, negara yang
menggantungkan kekuatannya dari tentara bayaran dianggap masih lemah dan akan
hancur karena dirinya sendiri sebab terlalu banyaknya alokasi dana yang digunakan dan
tidak adanya loyalitas.
Pemikiran Machiavelli diatas memberikan suatu pandangan baru tentang cara
hidup berpolitik yang sebelumnya hanyalah dikuasai oleh pandangan-pandangan yang
mengaitkan etika dengan politik, agama dengan politik. Hal ini dikarenakan pemikiran
Machiavelli berdasarkan pada analisa historis dan praktis, sesuai dengan kenyataan yang
ia alami dan amati. Karena kedekatannya dengan alam nyata (real world) tentang politik
dan manusia, pemikirannya banyak dianut oleh pemimpin-pemimpin besar di dunia
seperti Mussolini, Napoleon Bonaparte, Stalin, Lenin, Hitler. Resep yang praktis dan
tidak terlalu teoritis dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan adalah hal yang
mudah untuk diimplementasikan. Inilah yang menjadi keunggulan dari pemikiran
seorang Machiavelli.
Kendati demikian, pandangan miring pun tak terelakkan oleh Machiavelli.
Sebagai Galileo of politics, ia pun mendapat banyak kecaman dari kalangan masyarakat
pada umumnya yang saat itu masih banyak terpengaruhi oleh doktrin gereja. cara
pandang Machiavelli dianggap sangat amoral, tidak menghargai nilai-nilai agama, dan
hanya sebagai usaha untuk membenarkan (justifikasi) perilaku kekerasan dalam politik
(political violence).
Kekuasaan absolut dipandang sebagai bentuk justifikasi bagi setiap perbuatan
seorang penguasa. Justifikasi inipun mendapat kecaman dan tantangan dari pemikir-
pemikir lain. Apabila Machiavelli beranggapan bahwa manusia itu adalah manusia di
satu sisi, dan binatang di sisi yang lain, maka anggapan ini pula yang melemahkan
justifikasi politik ala Machiavelli. Bukankah kekuasaan yang tidak terbatas (ultimate)
akan membawa manusia pada kecerobohan dan keserakahan. Sebagaimana yang telah
dikatakan oleh Acton bahwa power tends to corrupt. Selain itu, menurut penulis,
pemikiran Machiavelli tidak memiliki contoh implementasi murni. Pemikiran
Machiavelli tentang kekuasaan yang tertuang dalam bukunya The Prince tidak pernah
dipraktekan semasa hidupnya karena buku tersebut adalah hasil refleksi kehidupan
Machiavelli mulai awal sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu, penulis tidak yakin
apakah definisi mempertahankan kekuasaan menurut Machiavelli telah dipahami betul
oleh penganut pemikirannya seperti pemimpin-pemimpin otoriter yang telah disebutkan
di atas.
Penulis berpendapat bahwa Machiavelli saat itu hanyalah ingin menyatukan
bangsa dan negara Italia menjadi satukesatuan, bukan melakukan pembantaian seperti
yang telah dilakukan Hitler terhadap kaum Yahudi, Saddam Husein terhadap suku Kardi
dan lain-lain. Bahkan di Indonesia, pemikiran Machiavelli dianut sampai pada ranah
kekuasaan di dalam institusi pemerintahan, sosial dan pendidikan seperti lurah, camat,
walikota, kepala sekolah, ketua DPRD Tingkat II dan seterusnya. Untuk meraup
keuntungan dan kepentingan pribadi. Fenomena ini menunjukan bahwa cara berkuasa ala
Machiavelli dianggap sebagai dalil utama yang mendorong mereka untuk berbuat
semena-mena dalam menjalankan kekuasaan tanpa tahu apa dasar dan kronologi
terbentuknya pemikiran Machiavelli. Lebih lanjut lagi, tidak ada yang memastikan
apakah semua yang terjadi itu adalah yang memang dimaksudkan oleh Machiavelli
sendiri.

III. Relevansi Bagi Anak Milenial


Era Milenial adalah zaman yang sarat dengan perubahan signifikan pada semua
aspek kehidupan, terkait dengan perkembangan teknologi dan alat-alat komunikasi
digital, terutama kaum muda saat ini, diikuti cara pandang serta sikap serba pragmatis.
Pada era ini generasi milenial diharapkan dapat berkontibusi positif terhadap kemajuan
kehidupan secara keseluruhan. Generasi milenial yang dimaksud adalah generasi Y,
yakni generasi yang lahir direntang tahun 1980an sampai 2000an, berusia antara 15-35
tahun. Mereka, hadir dan berperan menggantikan generasi sebelumnya yakni generasi X.
Keadaan kaum muda itu sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan.
Sebagai manusia yang mendekati masa dewasa, kaum muda sedang mengalami proses
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral, dan religius
dengan segala permasalahannya. Kaum muda yang sedang tumbuh dan berkembang itu
ada dalam situasi hidup yang berbeda-beda, karena berbagai sebab. Antara lain, karena
proses pertumbuhan dan perkembangan mereka tidak sama: ada orang muda yang sudah
mencapai kedewasaan, ada yang sedang menuju ke kedewasaan, dan ada yang masih
kekanak-kanakan karena tingkat pendidikan tidak berpadanan ada yang terpelajar karena
tempat tinggal dan lingkungan berlainan, ada pemuda kota besar dan kota kecil,
pinggiran kota besar dan kota kecil, lingkungan pelosok dekat dengan kota dan jauh dari
kota karena kemapanan dan keikutsertaan dalam arus perjalanan masyarakat umum tidak
seragam: ada pemuda yang ada dalam arus, in-group, dan ada yang di luar arus out-
group.
Generasi muda zaman now perlu memahami Pancasila dan sumber nilai yang
terkandung di dalamnya. Misalnya sila PERTAMA. Nilai-nilai yang disandang oleh
seluruh masyarakat Indonesia nilai-nilai etika dan nilai-nilai moral. Nilai-nilai ini tentu
bersumber dari agama yang dihayati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Jadi kaum muda yang sedang ada dalam proses tumbuh di segala bidang, ada
dalam situasi hidup yang berbeda satu sama lain. Dan tingkat perbedaan itu hanya kecil,
tetapi dapat besar, bahkan kerap menjadi berlawanan. Kaum muda, yang ada dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan serta dalam situasi yang berbeda yang tidak
selalu mudah, merupakan bagian dari keseluruhan bangsa. Oleh karena itu mereka tidak
dapat dipisahkan dari masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa. (A.M.
Mangunhardjana)
Sebagai generasi milenial saat ini sesuai dengan pandangan Machiavelli
mengenai Pancasila bagi kaum milenial, hendaknya berpartisipasi dalam
mengembangkan kemajuan untuk Indonesia sesuai dengan Pancasila. Menghadapi
globalisme di era milenial, sebagai kaum muda yang taat terhadap Pancasila mestinya
dihadapi dengan tegar, percaya diri, dan senantiasa menjaga jati diri sebagai bangsa
mandiri. Sikap rendah diri, putus asa, dan takluk terhadap pengaruh globalisme, tak
boleh terjadi pada bangsa Indonesia. Kaum muda harus bisa menjadi generasi yang
tangguh terhadap apapun yang demi kemajuan Indonesia.

IV. Kesimpulan
Jadi, Pancasila dan generasi Milenial merupakan dua hal yang menarik untuk
dibicarakan saat ini. Dari penjelasan diatas sesuai pandangan Machiavelli terhadap
Pancasila terlihat jelas bahwa kaum muda pada generasi milenial harus bisa
berpartisipasi dalam ideologi Pancasila, demi kemajuan bangsa Indonesia yang bersatu
dalam berbagai budaya yang ada di Indonesia.
Pancasila dalam kaitannya dengan pergaulan global tidak dapat dipisahkan
dengan generasi milenial. Mengingat dalam beberapa puluh tahun kedepan merekalah
yang akan menentukan arah dan nasib kemana bangsa dan negara ini harus melangkah.
Oleh sebab itu menjadi syarat mutlak agar Pancasila dapat bersemayam didalam jiwa
para generasi milenial diperlukan model komunikasi dan pendekatan yang lebih
konstruktif, dialogis serta kekinian sesuai perkembangan zaman saat ini. Salah satu hal
yang membedakan generasi milenial dengan generasi-generasi sebelumnya adalah soal
media komunikasi, hal tersebut seiring dengan perkembangan teknologi media
komunikasi yang sangat cepat.
Cara pandang Machiavelli merupakan, Garda bangsa haruslah terdiri dari warga
negara itu sendiri, tidak dari warga negara lain. Sebagai kaum muda milenial harus bisa
menciptakan dan mencintai produk dalam negeri dan mewujudkannya demi kemajuan
bangsa sendiri yaitu bangsa Indonesia, sudah jelas yang dikatakan Machiavelli diatas
bahwa kaum muda milenial itu sangat mampu mewujudkan atau menciptakan hal yang
baru demi kemajuan dan kemakmuran bangsa sendiri, bukan orang luar yang berkarya
seharusnya, tetapi anak muda milenial itu sendiri yang harus berkarya untuk bangsanya
sendiri.
Kita harus sadar bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh, sila- silanya
tidak dapat dipisahkan. Namun kedudukan dan fungsi Pancasila di era globalisasi harus
mengalami revitalisasi dan reaktualisasi, sehingga Pancasila tidak hanya sebagai ideologi yang
formalitas belaka tetapi Pancasila harus mampu menyelesaikan setiap permasalahan bangsa.
Dengan demikian, Pancasila akan tetap lestari dan menjadi pegangan serta perekat bangsa
Indonesia dalam menghadapi setiap problematika bangsa ini.

Sumber :
https://www.kompasiana.com/nailurrochman/550b90a0a33311b0142e3ac7/analisa-pemikiran-
niccolo-machiavelli

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Dewantara, A. W. (2017). Alangkah hebatnya negara gotong royong: Indonesia dalam kacamata
Soekarno. PT Kanisius.

Dewantara, A. W. (2015). Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di


Indonesia. CIVIS, 5(1/Januari).

Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia).


DEWANTARA, A. W. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM
PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI

NASIONALISME INDONESIA (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). Herzogenrath, B.


(2001). Looking Forward/Looking Back: Thomas Cole and the Belated Construction of Nature.
CRITICAL STUDIES, 15, 83-104.

Duchesne, S. (1999). To be somebody but somewhere: ordinary representations of


Citizenship in France. The Tocqueville Review/La revue Tocqueville, 20(1), 99-118.

Strukov, V. (2009). Possessive and Superlative: On the Simulation of Democracy and Nationhood
in Russia. Russian Cyberspace Journal, (1).
Erol, S. (1991). Güntekin's" Calikuşu" A Search for Personal and National Identity. Turkish Studies
Association Bulletin, 15(1), 65-82.

Anda mungkin juga menyukai