Anda di halaman 1dari 2

Tidak akan menjadi naif apabila kita berkata bahwa pemuda berperan sebagai agent of change,

iron stock, dan agent of control apabila kita menilik perjuangan mereka
selama pra kemerdekaan dan sumpah pemuda, penggulingan rezim otoriter
1998, itu adalah sekian dari banyak contoh domestik. Belum lagi apabila kita
lirik contoh lain di mancanegara dimana gerakan Revolusioner untuk
mencapai demokratisasi dan penggulingan pemerintah feodal represif
dengan sebutan gerakan Arab spring yang menyeruak seantero Timur
Tengah. Terlepas dari represi kolonialisme maupun hegemoni otoritarian, cita
dan harapan yang ditujukan kepada pemuda sekarang sudah mulai berubah,
permasalahan warga negara NKRI bukan lagi masalah Vertikal. Tetapi
masalah Horizontal dimana konflik bernada SARA sangat populer Akhir-akhir
ini. Mulai dari konflik kesukuan yang pernah melatar belakangi perang
Sampit, rangkaian serangan teroris mengatasnamakan agama untuk
menyerang tempat peribadatan, hingga politik Identitas yang menjadi
kaliber utama untuk saling menjatuhkan lawan politik di Pemilukada. Tentu
kerusakan yang ditimbulkan akan besar, karena tiap pergerakan dan ucap
lidah sebuah kelompok terhadap kelompok lainnya berpotensi menimbulkan
friksi, disintegratas nasional akan menjadi konflik lebih serius yang berdarah,
menimbulkan rasa primadolisme yang berujung menjadi gerakan
separatisme atau ragam konflik fisik. Tentu skala konflik akan lebih besar
daripada negara lain yang memiliki 2-4 etnik, Indonesia tidak lain adalah
negara archipelagic yang multi-etnis, berasal dari ragam kerajaan yang
menyatu.

Kembali ke pemuda yang dijadikan entitas handal dan disebut di judul makalah ini, pasti
terdapat motif ulung kenapa entitas itu pastas dijadikan garda terdepan. Terlebih dahulu,
meminjam perkataan Tan Malaka “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh
pemuda”. Idealisme adalah framework pemikiran dari mayoritas pemuda yang menggugah mereka untuk
mengejar status ideal dari dirinya dan lingkungan atau cakupan lebih luas--negaranya. Idealisme di dalam
pikiran tersebut apabila tidak diberi haluan hanya akan menjadi salah kaprah, memproduksi pemuda
yang dimanfaatkan untuk menjadi figur agresif dari sebuah kelompok yang mendeklarasikan diri mereka
sendiri superior, mendorong mereka menjejalkan ideologi mereka ke orang lain secara anarkis dengan
embel-embel untuk mencapai "status quo ideal" dengan definisi mereka sendiri karena sudah
didoktrinasi dengan hoax, berita dengan bias dan hate speech yang dibalut politik reaksioner. Hal
semacam ini tentu tentu mudah dimanfaatkan dengan kelompok anti pemerintah sentimental dengan
menggerakkan pemuda sebagai minion atau boneka. Yang terjadi hanyalah gap yang semakin lebar
persatuan yang menjadi cita cita NKRI menjadi mimpi utopis semata. Dengan keadaan inilah perlu sekali
pemuda dibekali framework pemikiran agar idealisme mereka tidak hilang arah. Pancasila yang telah
menjadi arah hidup bangsa adalah satu satu nya pedoman sebagai langkah preventif tersebut. Butir suci
pancasila yang disorot pada makalah ini adalah butir ketiga dimana persatuan dan kebhinekaan adalah
esensi dari butir tersebut. Pertanyaan mendasar sekarang adalah bagaimana agar pancasila yang selama
ini dianggap abstrak dan menjadi nilai formalitas di kelas mampu beradaptasi di kepala pemuda yang
super dinamis dan menuntut kepraktisan.

Tentu nya transfer nilai dapat dengan efektif masuk melewati proses pendidikan yang kontekstual.
Pancasila harusnya masuk ke seluruh sendi kurikulum dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Nilai
Pancasila sangatlah omnipresence, ia dapat dituangkan kedalaman mata pelajaran sejarah yang
menggambarkan semangat persatuan pada ritual sumpah pemuda yang sakral serta bagaimana
perjanjian Giyanti dapat memecah Mataram dengan politik divide et impera VOC, mata pelajaran bahasa
indonesia yang menggambarkan serapan diksi yang berasal dari etnis beragam disertai narasi diversitas
budaya yang sebenarnya memiliki kesamaan pola, Geografi yang menggambarkan harmoni ragam
kekayaan kepulauan Indonesia yang begitu ironis apabila dipecah dan dipisah. Belum lagi Pendidikan
agama yang dikemas dengan perintah tuhan yang maha kasih agar selalu bertoleransi kepada sesama
insan, menjauhi konflik yang dilatarbelakangi emosi negatif dan nafsu dengan spirit nasionalisme.
Kegiatan di luar kelas juga harus dikondisikan agar tercipta ekosistem miniatur berwarga negara di
kalangan mahasiswa yang harmonis. Nilai tersebut juga harus disuntikkan secara apik melewati media
sosial digital dengan visualisasi yang mudah dipahami kalangan pemuda. Pada akhirnya mereka akan
memiliki semangat haus ilmu, membuatnya memiliki kapabilitas untuk berpikir kritis, tidak dididik untuk
menerima nilai abstrak saja, melainkan dipandu untuk melihat esensi pancasila dan persatuan sendiri,
bagaimana persatuan itu berakibat ke ekosistem kehidupan kita, bagaimana persatuan yang keropos
akhirnya menghasilkan negara yang dulunya makmur dilanda peperangan berdarah yang tidak pernah
usai hanya karena perbedaan identitas.

Parameter keberhasilan transfer nilai Pancasila yang membawa nilai persatuan akan terlihat pada
pemuda yang mengecam siapapun yang membawa bendera perang walaupun mereka kaum mayoritas.
Pemuda akan terlihat berusaha mengangkat masalah represi yang menyerang kaum minoritas yang
selama ini tidak diuntungkan di kehidupan bersosial. Secara praktis, mereka tidak akan hanya
menyuarakan urgensi persatuan lewat kampanye, orasi panas, atau membakar ban sebagai bentuk reaksi
segala sesuatu. Tetapi, kondisi ideal pemuda sebagai pemersatu akan selalu menjadi advokat persatuan
saat salah satu bagian kelompok NKRI tertindas, mengangkat masalahnya dengan diskursus yang
bermoral sesuai Norma seperti dengan melakukan executive review, hal ini pernah dilakukan oleh
beberapa mahasiswa yang mengajukan studi banding UU maupun perda yang merugikan kelompok
masyarakat minoritas. Mahasiswa tidak akan hanya dijadikan boneka pada proxy war yang sangat Kental
akan politik praktis, melainkan akan menjadi figur yang melawan politik akal bulus yang bermuatan
pemecah persatuan. Mahasiswa yang toleran akan sangat penting kaitannya dengan Visi Indonesia emas
2045 disaat bonus demografi penduduk mencerminkan jumlah pemuda produktif yang meningkat,
akhirnya pemuda itu tidak hanya akan menjadi pemuda yang hanya gemar mencari peran di perdebatan
jejaring sosial ataupun hanya produktif mencari kapital, tetapi pemuda pancasilais yang aktif
menyuarakan ketimpangan sosial karena masalah disintegratas persatuan. Akan menjadi sebuah
landscape yang indah apabila pemuda pancasilais itu mulai merevitalisasi kursi parlemen kita yang
sedang stagnan, merubahnya menjadi parlemen produktif yang gemar membuat kebijakan yang
seimbang untuk mengakomodasi keperluan masyarakat yang multiragam.

Anda mungkin juga menyukai