Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL

TANTANGAN PENDIDIKAN PANCASILA DI ERA SEKARANG

Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

PANCASILA

Dosen pengampu :

Siswoyo, S.Pd.,M.M

Disusun Oleh :

1. Dian dwitasari (2112030)


2. Nabilatus Salma (2113005)

Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini


Fakultas Tarbiyah
Institute Agama Islam Nahdlatul Ulama 2021
TANTANGAN PENDIDIKAN PANCASILA DI ERA
SEKARANG

Di era global dengan ciri dunia tanpa batas, dunia datar (dunia maya) secara
langsung maupun tidak langsung banyak ideologi asing yang gencar menerpa masyarakat
Indonesia. Hal ini terkadang tidak disadari oleh masyarakat kita, bahkan mereka banyak
yang menganggap bahwa nilai-nilai dan ideologi asing justru menjadi pandangan hidupnya
seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme. Materialisme dalam hal ini diartikan
sebagai sikap hidup yang mengagungkan materi atau benda-benda. Ukuran keberhasilan
atau kesuksesan seseorang dipandang dari sudut materi yang dimiliki (uang, harta
benda/kekayaan) sehingga sering mengabaikan etos kerja dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan demikian lama kelamaan orang menjadi kurang menghargai orang lain dari sisi
spiritualitasnya (seseorang dihargai karena kekayaan materi, bukan kekayaan batin yang
dimiliki). Hedonisme adalah suatu paham dan sikap hidup yang mengejar kenikmatan dan
kesenangan duniawi dengan orientasi pada pemuasan kebutuhan hidup secara fisik, seperti
senang menikmati makanan mahal/berkelas, gaya hidup metropolit dengan dunia gemerlap
di mana seks bebas, merokok, narkoba, minum alkohol menjadi bagian yang sering tak
dapat dipisahkan. Gejala yang lain, kecenderungan masyarakat Indonesia yang tampak
merajalela saat ini adalah konsumerisme, yaitu suatu sikap dan gaya hidup yang lebih
berposisi sebagai pengguna (konsumen) dari pada produsen. Kecenderungan konsumtif
yang berlebihan ditandai dengan membeli atau memiliki barang-barang yang sebenarnya
tidak dibutuhkan, melainkan sekedar karena diinginkan (Rukiyati dkk. 2012).

Pada era post modern melalui sarana komunikasi online dan virtual online telah
menawarkan perubahan budaya secara progresif dan menjadi sebuah kepribadian.
Kepribadian modern dalam post modern adalah masyarakatnya semakin hidup dengan sifat
dominan individualistis. Sifat ini membentuk suatu karakter baru karena masyarakat hidup
dengan media online yang dapat dirasakan sehari-hari. Era ini memberikan dampak positif
yaitu dapat terwujudnya penegakkan hak asasi manusia dalam kebebasan berekspresi,
memilih, persamaan/kesetaraan dan demokrasi. Sebaliknya teknologi yang cenderung
bebas nilai memiliki dampak negatif bagi warga negara. Warga negara menjadi
ketergantungan dengan teknologi dan menyebabkan kesenjangan dan pengaburan makna
dimana silaturahmi bisa dilakukan tanpa tatap muka secara langsung, sehingga warga
negara menjadi kurang berkontribusi untuk membangun praktik nilai dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Magfiroh, R. 2016).

Seperti menurut Abdullah (2019) permasalahan bangsa saat ini adalah


terputusnya ikatan dan lemahnya kepedulian sosial yang berbentuk: Pertama, selfisme
yang memperlihatkan sikap mendewakan diri sendiri yang berlebihan dengan
mengabaikan rasa dan nilai.Kepercayaan diri yang berlebihan selain menghilangkan kaitan
manusia dengan lingkungannya juga mengurangi sensitivitas kemanusiaan sebagai bagian
dari suatu kolektivitas. Kedua, keserakahan ekslusif, suatu kelompok masyarakat yang
memiliki etos kerja berpuas diri menikmati kejayaannya dan tidak ingin diusik, hal ini
menimbulkan keserakahan dan tidak peduli dengan orang lain. Ketiga, ketidakpedulian
yang meluas sebagai wujud dari apatisme terhadap harapan akan kehidupan yang lebih
baik. Setiap orang cenderung tidak terlibat atau bahkan menarik diri dari kolektivitas
Kedua, keserakahan ekslusif, suatu kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja
berpuas diri menikmati kejayaannya dan tidak ingin diusik, hal ini menimbulkan
keserakahan dan tidak peduli dengan orang lain. Ketiga, ketidak pedulian yang meluas
sebagai wujud dari apatisme terhadap harapan akan kehidupan yang lebih baik. Setiap
orang cenderung tidak terlibat atau bahkan menarik diri dari kolektivitas sehingga tidak
terjalin komunikasi yang intens yang memungkinkan adanya pertukaran baik antar
kelompok maupun antar kelas.

Di era globalisasi ini peran pancasila tentulah sangat penting untuk tetap menjaga
eksistensi kepribadian bangsa indonesia, karena dengan adanya globalisasi batasan batasan
diantara negara seakan tak terlihat, sehingga berbagai kebudayaan asing dapat masuk
dengan mudah ke masyarakat. Hal ini dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi
bangsa indonesia, jika kita dapat memfilter dengan baik berbagai hal yang timbul dari
dampak globalisasi tentunya globalisasi itu akan menjadi hal yang positif karena dapat
menambah wawasan dan mempererat hubungan antar bangsa dan negara di dunia. Tapi
jika kita tidak dapat memfilter dengan baik sehingga hal-hal negatif dari dampak
globalisasi dapat merusak moral bangsa dan eksistensi kebudayaan indonesia.
Pada Generasi Millenial yang terkenal akan digitalisasi dan mudahnya mengakses
informasi-informasi di internet maupun sosial media, banyak hal yang bisa kita pelajari
dan manfaatkan sekaligus. Bangsa Indonesia menganut sistem ideologi yang kita kenal
dengan sebutan "Pancasila". Pada tanggal 1 Juni 1945 merupakan hari bersejarah bagi
Indonesia, karena pada hari tersebutlah lahirnya istilah Pancasila untuk pertama kali.
Pancasila mengandung 5 sila penting yang mencerminkan idealism atau cita cita bangsa
Indonesia. Pancasila sendiri lahir dari pemikiran hebat pahlawan Indonesia.

Besarnya perjuangan serta pengorbanan para pahlawan dalam memerdekan


bangsa Indonesia, kita sebagai pemuda atau kaum milenial tidak bisa hanya duduk
menikmati kemerdekaan begitu saja. Kita harus aktif dalam mengisi kemerdekaan dengan
cara mewujudkan Indonesia yang adil dan damai, yaitu dengan cara mengamalkan nilai-
nilai Pancasila dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Jika dilihat dan ditinjau lebih jauh, generasi milenial saat ini berada pada usia
produktif yang memiliki peran penting untuk kehidupan kelanjutan berbangsa dan
bernegara di masa kini dan masa depan. Berkembang pesatnya era globalisasi dan
digitalisasi menjadikan generasi milenial saat ini unggul dalam kreativitas dan kemudahan
dalam menghubungkan dunia luar. Namun keunggulan ini membuat kaum milenial
menginginkan segalanya dengan instant dan interaksi antar budaya yang terbuka
mempangaruhi pikiran dan budayanya. Perilaku kaum milenial yang dinamis dan fleksibel.
Maka pada titik tersebut Pancasila relevan dan berperan penting untuk generasi milenial
khususnya.

Eksistensi Pancasila pendapat para milenial dapat menjadi jembatan emas untuk
kaum milenial membangun batas apa yang diterima pengaruh dari dunia luar yang
merugikan dan bersifat negative. Luar biasanya ideology Pancasila yang menempatkan
"Ketuhanan Yang Maha Esa" pada sila pertama, berguna sebagai peringatan bagi semua
kita khususnya milenial bahwa ada Tuhan sebagai pusat dari segala kehidupan. Kemajuan
dan kecanggihan teknologi tidak bisa mengalahkan dan menggantikan kehebatan Tuhan,
dan memiliki iman yang kuat menjadi sebuah harusan bagi milenial saat ini. Milenial harus
sadar bahwa semua yang ada di dunia milik Tuhan, sehingga kesombongan pada diri
manusia dapat diminimalisir.
Pancasila harus menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dalam relevansinya dengan sila ke-2. Dimana kaum milenial Indonesia harus
bijaksana, harus adil dalam pikiran dan perilaku etis kepada sesame, dan tidak
menggampangkan segala sesuatu dan terus berbuat kebaikan yang mementingkan
kepentingan umum demi kebaikan bersama.
Generasi milenial harus sadar bahwa sangat diperlukannya persatuan dan
kesatuan untuk menjaga keutuhan Bangsa Indonesia yang ada pada sila ke-3. Sikap
toleransi sangat dibutuhkan dan memegang tegug pendirian yang tidak bisa diacak dan
dipecah oleh bangsa lain. Sesama warga Indonesia, generasi milenial harus saling bekerja
sama dalam mengangkat derajat bangsa Indonesia dan menunjukkan bahwa bangsa kita
adalah bangsa yang hebat.
Generasi muda saat ini juga harus bersikap demokratis dengan mementingkan
aspek musyawarah dan mufakat dalam mengambil suatu keputusan yang terkandung pada
sila ke-4. Keputusan tidak boleh diambil secara sepihak, tetapi harus hasil keputusan
bersama. Sila ke-5 "Keadlian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Para milenial harus
mengusahakan keadilan buat masyarakat, perlu mengkritik sosial, ideology, politik dalam
negara yang menciptakan ketidak adilan bagi rakyat Indonesia. Pada hakikatnya para
generasi milenial harus terus memelihara serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.

Pancasila telah tumbuh sebagai ideologi bangsa sejak awal kemerdekaan


Indonesia juga sebagai dasar pemersatu bangsa. Di dalamnya terkandung nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi yang membangun kesejahteraan sosial. Hal
fundamental tersebut telah membangun Indonesia hingga masa dewasa ini. Sekarang ini
kita mulai memasuki era milenial di mana generasi Y (usia 18-36 tahun) sebagai usia
produktif menjadi tonggak penentu masa depan nasib Bangsa Indonesia dan bagaimana
seisi Pancasila akan diamalkan sebagai dasar bangsa.

Seisi dunia telah dipenuhi dengan perkembangan pesat mulai dari komunikasi
hingga industri. Globalisasi menjadi keuntungan sekaligus tantangan bagi kami, generasi
milenial. Di era dunia yang serba praktis ini, kita dihadapkan pada tantangan bagaimana
menyinkronkan budaya pancasila dan kuatnya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia,
sebagaimana kita ketahui beberapa ideologi dan budaya luar bisa dikatakan tidak sejalan
dengan ideologi dan budaya di Indonesia sendiri. Membuka diri terhadap perubahan
bukanlah hal yang salah, malah hal tersebut dibutuhkan bagi perkembangan dalam negeri
sendiri, tapi pastilah tidak semua budaya tersebut bisa dipraktekan dalam kehidupan di
Indonesia.

Di era ini di mana perkembangan iptek dan budaya luar sangatlah mudah
disebarkan melalui media-media online untuk konsumsi para generasi milenial, termasuk
pengaruh radikalisme dan intoleran. Dengan demikian mudah saja hal tersebut dan
meracuni jiwa pancasila kita. Di sinilah kita diuji bagaimana tetap menegakkan pancasila
sebagai ideologi bangsa dan tetap menjadi ideologi yang up-to-date akan perkembangan
zaman, bagaimana mengamalkan pancasila di era modern ini.

Agar generasi milenial tetap memiliki pondasi pancasila, maka dibutuhkan


pemahaman mengenai ideologi pancasila, hal tersebut bisa diperoleh melalui pendidikan
formal, informal, maupun di kehidupan sehari-hari. Mengembangkan sikap-sikap yang
mencerminkan nilai pancasila, seperti menjadi lebih kritis dalam menerima informasi dan
menyebarkannya, lebih lagi saat ini UU ITE semakin dipertegas untuk menumpas berita-
berita palsu yang tersebar di media online.
Membiasakan diri dengan perbedaan atau membangun sikap toleransi adalah yang
terpenting, mengingat Indonesia merupakan negara multietnis yang jika tidak hati-hati
mudah saja kita terhanyut arus radikal dan intoleran yang tidak sesuai dengan pancasila.
Memilah apa yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa dan apa yang tidak seharusnya
diaplikasikan dalam kehidupan sebagai Bangsa Indonesia yang berideologi pancasila.
Untuk tetap menjalin persatuan, dibutuhkan komunikasi. Hal tersebut bisa dimulai dari
tetap menjaga komunikasi secara live bersama keluarga. Lalu, dengan menjaga kelestarian
budaya, kita juga ikut berperan dalam mengokohkan pondasi ideologi pancasila dalam era
milenial ini.

Dengan demikian salah satu upaya memperkuat karakter generasi milenial adalah
melalui Pendidikan Pancasila. Zuchdi (2012) mengajukan upaya yang bisa dilakukan
untuk pembinaan karakter peserta didik diantaranya adalah dengan memaksimalkan fungsi
mata pelajaran (mata kuliah) yang sarat dengan materi pendidikan karakter (akhlak/nilai)
seperti pendidikan Agama dan Penidikan Kewarganegaraan, sedangkan menurut UU
pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 menyebutkan bahwa mata kuliah pembentukan
kepribadian adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan
Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Pendidikan Pancasila adalah pendidikan yang dimaksudkan agar warga negara
lebih mendalami ideologi Pancasila dan dapat membentuk kepribadian yang pancasilais.
Pendidikan Pancasila memiliki visi yaitu terwujudnya kepribadian akademika yang
bersumber pada nilai-nilai Pancasila, sedangkan misi Pendidikan Pancasila adalah:
a) Mengembangkan potensi akademik peserta didik (misi psikopedagogis)
b) Menyiapkan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat,
bangsa dan negara (misi psikososial)
c) Membangun budaya ber-Pancasila sebagai salah satu determinan kehidupan (misi
sosiokultural)
d) Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Pancasila sebagai sistem pengetahuan
terintegrasi atau disiplin ilmu sintetik (synthetic discipline), sebagai misi akademik.
(Sumber: Tim Dikti).

Generasi milenial ini adalah generasi yang cenderung mudah terpengaruh dengan
budaya baru yang dibawa oleh media sosila. Pengaruh hedonism, pragmatisem dan
materialisme. Hal tersebut dikarenakan generasi ini dekat dan dengan mudah beradaptasi
serta menguasai teknologi. Bahkan bentuk dari teknologi ini tidak bisa dipisahkan dengan
generasi milenial. McAlister (2002) mengungkapkan bahwa siswa milenial merasa
nyaman dan percaya diri ketika datang untuk bekerja dengan komputer dan menghargai
keterlibatan multi-indera yang berasal dari bekerja di berbagai media.

Maka disamping kemajuan teknologi dan kuatnya arus globalisasi, sebagai


generasi milenial yang akan menentukan masa depan bangsa, kita harus bisa
menyeimbangkan ideologi pancasila dengan perubahan zaman di mana semua itu dimulai
dari diri kita sendiri lalu menyebarkan kepada orang-orang disekitar kita.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan sebagai sebuah sistem


terdiri dari tujuan, metode, materi (kurikulum), pendidik, anak didik, alat pendidikan, dan
lingkungan. Semua unsur ini saling berkaitan satu sama lain.
Pendidikan saat ini menghadapi berbagai tantangan, antar lain bisa dilihat dari
karakter anak. Karakter anak zaman now semakin nyeleneh dan semaunya sendiri. Anak-
anak cenderung egois, tidak suka bekerja sama. Hal ini disebabkan seringnya mereka lebih
suka bermain game lewat ponsel android daripada permainan tradisional yang
mengajarkan perilaku untuk bekerjasama. Fenomena ini tidak bisa dipungkiri, baik itu di
kota maupun di pelosok desa sekalipun. Karakter anak pada sebagian generasi millenial
memprihatinkan. Mereka kadang tidak menghargai orangtua maupun gurunya. Bahkan
dari mereka juga terkadang terjebak pada dunia kriminal dan narkoba. Generasi millenial
dalam minat belajar juga sebagian besar mengalami kemunduran.

Di era millennial, kecenderungan dunia pendidikan antara lain: berkembangnya


model belajar jarak jauh (Distance Learning), mudahnya menyelenggarakan pendidikan
terbuka, sharing resource bersama antar lembaga pendidikan, perpustakaan dan instrument
pendidikan lainnya (guru, dosen, laboratorium) berubah fungsi menjadi sumber informasi
daripada sekedar rak buku. Lembaga pendidikan akan menghadapi sebuah perubahan yang
signifikan akibat proses digital ini. Ini menjadi sebuah peluang dan cara untuk
meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Pada era millenial, manusia mulai meninggalkan cara-cara konvensional dalam


menjalani kehidupan, digantikan dengan trend dan gaya hidup yang lebih fresh and youth,
atau yang biasa dikenal dengan istilah “kekinian”. Seorang aktivisi HMI, Muhammad
Ridal, dalam bukunya yang berjudul “HMI Millenial” mengungkapkan bahwa 33%
masyarakat Indonesia saat ini merupakan generasi millenial. Menurut Ridal, era millenial
umumnya didominasi oleh orang-orang kelahiran tahun 1980 sampai tahun 2000an, dan
berusia 15-34 tahun. Usia ini, tentu saja, merupakan usia dimana individu masih berstatus
sebagai pelajar di sekolah.

Tantang pendidik di Era Millenial.


1. Karakteristik generasi millenialGenerasi millennial memiliki beberapa karakteristik,
yaitu:
1. Millennial tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah.
Mereka lebih percaya kepada konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.
Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk membeli produk
setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di internet.
Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap
suatu merek.
2. Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV. Televisi bukanlah prioritas generasi
millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan. Generasi millennial
lebih suka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau
perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti.
3. Millennial wajib punya media sosial. Komunikasi di antara generasi millennial
sangatlah lancar. Komunikasi itu tidak selalu terjadi dengan tatap muka. Banyak
dari mereka melakukan semua komunikasinya melalui text messaging atau juga
chatting di dunia maya, dengan membuat akun yang berisikan profil dirinya, seperti
Twitter, Facebook, hingga Line. Akun media sosial juga dapat dijadikan
4. tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi. Hampir semua generasi millennial
dipastikan memiliki akun media sosial sebagai tempat berkomunikasi dan
berekspresi.
5. Millennial kurang suka membaca secara konvensional. Bagi generasi ini, tulisan
dinilai memusingkan dan membosankan. Generasi millennial bisa dibilang lebih
menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Hobi membaca
buku masih tetap ada. Mereka lebih memilih membaca buku online (e-book) untuk
tidak perlu repot membawa buku. Sekarang ini, sudah banyak penerbit yang
menyediakan format e-book untuk dijual, agar pembaca dapat membaca dalam
ponsel pintarnya.
6. Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka. Kini semua serba
digital dan online. Generasi ini melihat dunia tidak secara langsung, yaitu dengan
berselancar di dunia maya. Generasi millennial adalah generasi yang sangat
modern, lebih daripada orang tua mereka. Mereka sering mengajarkan teknologi
pada kalangan orangtua.
7. Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif. Mereka juga tidak loyal
terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan, namun lebih loyal terhadap merek.
Millennial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas. Banyak
perusahaan yang mengalami kenaikan pendapatan karena memperkerjakan
millennial.
8. Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless. Dengan kecanggihan
teknologi yang semakin maju ini, generasi millennial pun mulai melakukan
transaksi pembelian yang sudah tidak menggunakan uang tunai lagi alias cashless.
Generasi ini lebih suka membawa kartu, karena semua pembelian bisa dibayar
menggunakan kartu, sehingga lebih praktis, hanya perlu gesek atau tapping.

2. Tantangan Guru
Citra dan konsep tentang guru dalam masyarakat kontemporer sangat jauh
berbeda dengan konsep masa lampau. Guru masa dahulu berarti orang yang berilmu, yang
arif dan bijaksana.28 Kini guru dilihat sebagai fungsionaris pendidikan yang bertugas
mengajar atas dasar kualifikasi keilmuan dan akademis tertentu. Dengan tugas tersebut,
guru memperoleh imbalan materi dari negara atau pihak pengelola pendidikan. Dengan
demikian, faktor terpenting dalam profesi guru adalah kualifikasi keilmuan dan akademis.
Sementara kearifan dan kebijaksanaan yang merupakan sikap dan tingkah laku moral tidak
lagi signifikan. Dalam konsep klasik, faktor moral berada di atas kualifikasi keguruan.
Tantangan guru di era milenial sangat berat dibanding guru–guru di era terdahulu.
Selain menguasai aspek materi keilmuan yang di ajarkan. Guru dituntut memahami
teknologi dan selalu menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif. Guru harus menjadi role
model bagi siswa di generasi millennial, agar siswa memahami batasan–batasan teknologi,
sehingga terhindar dari pemamfaatan yang salah dalam menggunakan teknologi.
Tantangan bagi guru tidak berhenti disini, generasi millennial bukan generasi
yang bisa dipaksa–paksa, contoh dengan melarang siswa membawa handphone. Guru di
era sekarang harus lebih terbuka dengan pemikiran–pemikiran baru. Guru dituntut
mendidik siswa sesuai dengan zamanya. Selama tidak bertentangan dengan norma–norma
yang ada tentu hadirnya teknologi tidak perlu dipermasalahkan.
Pendekatan persuasif baiknya lebih prioritas dilakukan ketimbang melakukan
kebijakan–kebijakan yang terkesan otoriter maupun memaksakan kehendak. Guru bisa
memberikan pengertian kepada siswa melalui kebijakan–kebijakan konkret dengan
memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, seperti e-learning, atau menggunakan sosial
media dll. Siswa justru mendapatkan edukasi bahwa teknologi ketika dimanfaatkan dengan
baik justru memiliki dampak yang positif.
Secara umum, guru hendaknya memahami perubahan sosial yang ada di era
sekarang. Dia tidak berhenti belajar mengenai hal–hal baru. Tantangan global di era
sekarang juga beda dengan tantangan global di era dahulu. Apapun langkah dan metode
yang dilakukan di sekolah pastinya bertujuan membentuk karakter dan menyiapkan SDM
yang berkualitas di Indonesia. Masa depan Indonesia ada didalam ruang kelas yang kita
ajar.
Tantangan lain pendidikan di era millennial sekarang ini adalah informasi datang
lebih cepat, massif dan meluas, sehingga tidak bisa diatasi dengan sekedar pergantian
kurikulum. Berapa kali pergantian kurikulum tidak akan pernah mampu mengejar
percepatan informasi yang ada. Karena itu, pendekatan guru dan murid dalam berinteraksi
akan lebih penting. Perlu keteladanan, membangun kehendak, dan menguatkan – dengan
bekal ilmu pengetahuan tentunya – sehingga anak didiknya mampu mengatasi tantangan
hidupnya.
Permasalahan yang terjadi di era digital saat ini adalah kepribadian generasi
milenial yang individualistik, materialistik dan hedoniatik karena generasi ini dekat dengan
perkembangan teknologi digital, dekat dengan internet dan mememiliki kepekaan yang
begitu kuat terhadap hal-hal yang baru sehingga bisa dengan cepat beradaptasi dengan
dampak negatif mudah terpengaruh budaya dan ideologi lain. Hal ini tidak sesuai dengan
nilai-nilai dalam Pancasila. Diperlukan suatu upaya untuk pembentukan generasi milenial
terutama melalui pendidikannya yaitu pendidikan pembentukan kepribadian. Pendidikan
Pancasila merupakan salah satun pembelajaran untuk membentuk kepribadian yang
pancasilais. Pembelajaran Pancasila untuk generasi ini adalah dengan penguatan dan
penanaman nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pembelajaran ini kaya akan nilai-
nilai karena merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan dan dibelajarkan secara
real dalam konteks yang sebenarnya di dalam kelas maupun di lingkungan sekitar.
Guru mendapatkan tantangan berupa perilaku siswa yang senang berselancar di
dunia maya melalui android, gadget atau handphone canggih yang mereka miliki. Perilaku
siswa ini ditandai oleh adanya kecendrungan lebih senang membaca melalui handphone
ketimbang buku, senang mencari berbagai informasi sendiri tanpa melakukan recheck
lebih dahulu, senang mencari teman melalui akun media sosial, dan terkesan individualis.
Untuk itu, guru dalam pembelajaran harus mampu memanfaatkan Teknologi Informasi,
menggunakan metode yang menyenangkan, memperkaya keilmuan dengan berbagai
sumber bahan bacaan, dan mampu melakukan penelitian.
Demikian uraian yang berkaitan dengan Tantangan Pendidikan Pancasila di era
sekarang menghadapi Generasi Millenial.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. (2019). Selfisme dan Masa Bodoh: Hilangnya Ikatan Sosial di Era
Pascakebenaran Indonesia.Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta, 13 September 2019.

Barni. M . (2019, April). Jurnal Tantangan Pendidikan di Era Millenial : https://e-


journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/TF/article/view/1251

Indonesia, C. (2018, Oct 18). Pendidikan dan Digitalisasi di Era Milenial. Retrieved from
CNN Indonesia: https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20171219114411-
445-263408/pendidikan-dan-digitalisasi -di-era-milenial.

Lestari, R. (2018, Apr 3). Guru BK Kekinian: Solusi Masalah Siswa di Era Millenial.
Retrieved from Selasar: https://www.selasar.com/jurnal/42846/Guru-BK-
Kekinian-Solusi-Masalah-Siswa-di-Era-Millenial.

Mahardika, D. (2018, Oct 18). Tantangan Menjadi GUru di Era Milenial. Retrieved from
Dhinar For Indonesia:
https://dhinarmahardikaa.wordpress.com/2017/11/02/tantangan-menjadi-
guru-di-era-milenial/.

Mucharomah, M. (2017). Kisah sebagai Metode Pembentukan dan Pembinaan Akhlak


dalam Perspektif al-Qur'an. Jurnal Edukasia Islamika, 204-207.

Rukiyati., dkk. (2012). Pendidikan Pancasila. Yogayakarta: UNY Press.

Wahyudi,A. Nababan. Rachman. (2019, Oct 15). Reaktualisasi Konsep Kewarganegaraan


Indonesia. Medan. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.

Zuchdi, D. dkk. (2012). Pendidikan Karakter: Konsep Dasar dan Implementasi di


Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.

Anda mungkin juga menyukai