Anda di halaman 1dari 35

RANGKUMAN MANUSIA INDONESIA ABAD 21

YANG BERKUALITAS TINGGI DITINJAU DARI


SUDUT PANDANG PSIKOLOGI

Kelompok 2:

1. Florensia Witty Pranadewi


2. Invia Dwi Sakinah
3. Muthi Husnun Dimanty
4. Nisa Afiffah
5. Winda Aprilianty Cahyani
6. Winda Kusumawardhani

Kelas 2PA01

Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma
Florensia Witty Pranadewi
Invia Dwi Sakinah
Muthi Husnun Dimanty

MANUSIA INDONESIA ABAD 21 YANG BERKUALITAS TINGGI DITINJAU


DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI

1. Pengantar
Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang
tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di
satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia
menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya
hidup masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan
budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan masyarakat dan gaya
hidup.
Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah tertentu.
Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak
tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh
dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat dunia
dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi sekaligus juga
terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan,
makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian
mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa.
Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup global. Teknologi komunikasi
memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja,
di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi, data,
peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa manusia
pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran
prioritas dalam tata nilainya.
2. Kondisi dan Situasi di Abad 21
Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam percaturan
internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses ini. Pengaruh
yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Gaya hidup baru yang
diberi label ‘modern’ diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana
Muthi Husnun Dimanty

dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan
timbulnya gaya hidup global.
Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma,
pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah
memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna
mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung
mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil
sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak.
Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang
tinggi. Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan.
Wajah keluarga juga berubah. Peran suami istri, pola asuh dan pendidikan anak tidak bisa
mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang
diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah.
Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja
akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang
akan mewarnai kehidupan anak dan orang tua di abad 21
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu
yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik
anak. Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad 21.
Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak dalam keluarga
yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang
pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah berubah menjadi
transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk
mengatasi masalah ini dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) masih memerlukan
banyak pengkajian dan pertimbangan.
Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak
sekarang. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk
saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin
ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi
bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini
memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk "menjadi
Muthi Husnun Dimanty

seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk
menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi
Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan
bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani
kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut
merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab
generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk
mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses
pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga,
melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan
negara.
3. Perilaku Manusia Indonesia
a. Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku
masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai
bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan manusia
Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan negara.
Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk tampil
sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah membawa
masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung tidak
mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan sebagainya. Menjadi
Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk bersama oleh masyarakat
"seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi masyarakat agar
bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas diri yang baru, dengan tetap
mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya. Perpaduan berbagai ragam budaya
pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan falsafah gotong royong, semangat persatuan
dan kesatuan, pembangunan bangsa dan negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan
masyarakat.
b. Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) yang dikenal sebagai
Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Segenap
Muthi Husnun Dimanty

lapisan berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan
harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun
berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri
khas kapitalisme.
Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme
global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya,
melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi
ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin tampak
bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."
Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat
individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas
dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi,
lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk
bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya, kapitalisme bukan
lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan
dan menentukan arah tujuan hidup.
Ada pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu
akhirnya memang ‘berhasil’ mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian besar masyarakat
Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru. Keadaan
ekonominya masih sangat jauh untuk bisa tampil dalam persaingan tersebut. Akibatnya,
banyak orang menempuh jalan pintas. Korupsi, kolusi , koncoisme, nepotisme dilakukan
orang dalam berbagai bentuk, yang sama buruknya dengan perilaku menipu, mencuri,
merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk bersaing tetapi sangat mendambakan kehidupan yang diciptakan oleh
sistem kapitalis
Ada lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara tersebut,
tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini adalah
perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri
ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini
Muthi Husnun Dimanty

mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan
mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya, entah sampai kapan.
Dalam periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa masuk
ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi lain, pada saat yang
bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang
menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Benturan antara keyakinan terhadap
nilai-nilai tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang pernah diberikan dalam cara
kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan kehidupan sistem kapitalis
melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam pengaruhnya dalam proses
pembentukan perilaku.
Bayang-bayang kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai
benturan kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era Reformasi,
yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya selaku Presiden Republik
Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Wajah masyarakat muncul beraneka ragam.
Berbagai bentuk perilaku tampak mencerminkan kondisi dan situasi yang dimiliki masing-
masing, baik sebagai individu maupun kelompok, yang semula ditekan kuat-kuat agar tidak
muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik terutama bagi mereka yang berbeda
pendapat.
4. Makna Hukum Dalam Pembentukan Perilaku
Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai dengan
kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di masa yang
akan datang. Dari sudut perilaku masyarakat, maka hukum memiliki dua fungsi, yaitu:
memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/atau
mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan.
Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan tujuan
ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu memerlukan pengawasan.
Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk pengawasan dalam pelaksanaan hukum
bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian adalah kemampuan memilih yang benar dari yang
salah berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu.
Muthi Husnun Dimanty

Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang untuk mampu
bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan berdasarkan pertimbangan moral.,
yaitu:
a. Moralitas Prakonvensional. Pada tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam
bersikap dan bertingkah laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh
lingkungan. Tingkah laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi.
Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung diulang.
b. Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan
norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan
supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga masyarakat
yang baik.
c. Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan dalam
arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan sempit
yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat tertentu.
Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh proses
perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas yang mendasari
perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu:
a. Cara Belajar Instrumental
Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti
oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang
diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi.
Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan
konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka
waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya
konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk.
b. Cara Belajar Observasional
Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku
baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang
lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Menurut Bandura (1986) belajar
observasional dari model ini telah terbukti sebagai sarana yang ampuh untuk
Muthi Husnun Dimanty

meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi
masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi,
maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas
yang diakui kewenangannya mengenai:
- perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum
tersebut
- konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau
menolak melaksanakan perilaku yang dimaksud.
Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi,
yaitu:
- hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh
individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut
- konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus
dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku masyarakat yang
sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, masih diperburuk lagi
dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku:
a. Budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka banyak peluang bagi yang
berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi
subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan yang
sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah yang berbeda atau
dalam kurun waktu yang berbeda.
b. Adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan
kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik
alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam
proses tersebut.
Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum seperti
hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.
Muthi Husnun Dimanty

Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem, maupun
kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil bila tidak didukung
oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku pada tingkat individu
sebagai anggota masyarakat.
Ada dua alternatif keadaan masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni:
menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak
mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya
diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga secara individual, memiliki dua pilihan
tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar observasional di mana unsur keteladanan
(referent power) memegang peranan penting dalam mengubah pola perilaku, maka sikap
pemimpin bangsa dan negara ini menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang
dan semakin besar kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya bagi
masa depan bangsa.
5. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku dan Proyeksi di Abad 21
Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era
globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya
hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara.
Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang
dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global.
Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala
bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi.
Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya
pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya.
Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang
untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan dan situasi krisis
dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri
sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan
belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon
sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat,
dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota
Muthi Husnun Dimanty

masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan
dan kemampuan mengelola pengalaman.
Selanjutnya, dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan
norma di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam
berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan
nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu
dipertahankan secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang
tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan.
Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya hidup
dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam anak, baik untuk
kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional. Ketidakpastian dalam
penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang ditampilkan orang tua dan anggota
masyarakat lainnya dalam bekerja dan berorganisasi, yang selanjutnya bisa dijadikan acuan
oleh anak dalam mengembangkan dirinya.
Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu
menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi
permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin
mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan
kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang
menjadi manusia dewasa.
Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke depan.
Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya, ketika ia sudah
menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan berjalan ke depan. Jadi,
sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan itu dalam upaya
memberikan bekal kepada anak.
Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak
dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya tidak hanya dilihat
sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik
anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang
menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi
Muthi Husnun Dimanty

tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak
padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.
Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku
pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan, meluaskan
wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa
diharapkan melaksanakan tugasnya dalam mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu
anak serta mengusahakan peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan
kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para
orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era
globalisasi.
6. Beberapa Pemikiran Tentang Kualitas Manusia Indonesia
Gambaran manusia Indonesia dewasa ini lebih menandakan sikap instrumental, egosentris,
kurang peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai
kepuasan pribadi.
Bernadette N. Setiadi dkk (1989) menemukan hal-hal yang menguatkan pengamatan
tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan
sangat berorientasi pada hasil akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil
akhir. Enoch Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun
2000 mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah laku
seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dkk (1985) dalam
penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada pertengahan dekade
delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota mempunyai besar nilai terminal
(preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai
instrumental (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh pengutamaan
kompetensi pribadi.
Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar bangsa/negara
membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung persentuhan aspek
kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Bila dikaitkan dengan proses
pembentukan tingkah laku manusia, maka proses globalisasi membawa kemungkinan sebagai
berikut:
Muthi Husnun Dimanty

Terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh terbuka pilihan


pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus
sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif,
perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas)
terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
Mempelajari hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan
kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi bagian dari kelompok.
Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk aktualisasi diri sering membuat manusia
hanyut sehingga melupakan hakiki yang sangat mendasar. Terbawanya manusia dalam banjir
informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami perbedaan antara kebutuhan
dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin (wish and need) yang kemudian
mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia
lalu berkembang menjadi mahluk yang egosentris dan instrumental. Mereka yang tidak mampu
sehingga tidak mungkin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme
dan kekhawatiran, yang bisa melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap kejadian di
lingkungannya
Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat dengan
telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai intervensi
dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi.
Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai sarana belajar
maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan wawasan tentang
konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa ditempuh dalam upaya
rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan dengan memperhitungkan
dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat.
Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar
bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan.
Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar
ia mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi
kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal.
Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas Indonesia,
pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc Clelland yang
Muthi Husnun Dimanty

diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan intervensi lain dalam keterampilan hubungan


antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat sesuatu dalam rangka
menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang menekankan
analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar partisipatif,
penciptaan dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh sumber sebagai sarana belajar.
Dalam rekayasa terencana perlu dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa
dipertahankan dan dikembangkan, mana pula yang harus ditinggalkan karena sudah tidak
sesuai, bahkan bisa menghambat.
Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta kognitif,
pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam tata nilainya.
Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja
yag lemah dan kurang peka terhadap masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal
era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah
laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan
mandiri.
7. Pengembangan Pola Perilaku Manusia Indonesia yang Berkualitas Tinggi dalam
Masyarakat Abad 21
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku
manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang sejarah bangsa
dan negara selama ini, yaitu:
- menjadi bangsa yang memiliki self efficacy
- menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness
Era Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya
pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa dan
negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi penyebab munculnya perilaku yang
mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran
tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku Manusia Indonesia.
Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih, transparan, dan
profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan, apapun yang dilakukannya, di
manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam
berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional
Muthi Husnun Dimanty

menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa berkualitas tinggi dan mampu
mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan memanfaatkannya dengan baik.
Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.
Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode yang
telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan secara jelas dan
tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam
memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya dialog/komunikasi yang bersifat saling isi
dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya.
Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan
meningkatkan kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam,
sosial, budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil
kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia Indonesia yang
berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti)
serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam).
Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif upaya yang
perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan ketidakjelasan
terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian
yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia
maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan
bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21
dengan sikap optimis.
Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang
mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu:
a. Teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939)
b. Teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980)
c. Teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981)
d. Teori Gender dari Carol Gilligan (1982)
e. Teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931)
Muthi Husnun Dimanty

Jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan
sosialisasi adalah keluarga, sekolah, kelompok sebaya, media massa, dan opini publik.
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak,
pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.
Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu dilakukan
secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak berubah menjadi bentuk
perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain
menepuk dada atau menganggap diri paling benar dan bersih. Kehidupan demokrasi yang
sesungguhnya harus dijabarkan secara operasional di tiap tingkatan kemampuan masyarakat
dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-kelompok yang ada. Pendekatan persuasif dan
tidak sekadar responsif sangat diperlukan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan
masyarakat dalam hal kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa
kebersamaan, bahu membahu, saling isi, saling melengkapi.
Aturan yang meliputi seluruh kehidupan, antara lain dalam ketentuan mengenai tanah adat,
kehidupan beragama, kehidupan masyarakat yang berlandaskan bhinneka tunggal ika,
kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan keamanan dalam
bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu ditelaah untuk bisa
memenuhi aspirasi masyarakat.
8. Penutup
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari
aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu
perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual.
Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan
kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas,
peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak.
Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar
kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan
hanyut terbawa arus kehidupan global.
Muthi Husnun Dimanty

Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat
diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini
didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami "learned
helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi
berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori
Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu
mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang
mendasar saja.
Nisa Afiffah
Winda Aprilianty Cahyani
Winda Kusumawardhani

MANUSIA INDONESIA ABAD 21 YANG BERKUALITAS TINGGI DITINJAU


DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI

9. Pengantar
Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang
tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di
satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia
menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya
hidup masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan
budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan masyarakat dan gaya
hidup.
Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak
tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh
dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat dunia
dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi sekaligus juga
terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan,
makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian
mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa.
Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup global.
Teknologi komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan
dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar
yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi
tersebut akan membawa manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan
kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilainya.
10. Kondisi dan Situasi di Abad 21
Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam percaturan
internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses ini. Pengaruh
yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Film, surat kabar,
majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya
tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label ‘modern’ diperkenalkan secara luas. Naisbitt
Winda Kusumawardhani

dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan
bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global.
Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma,
pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah
memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna
mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung
mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil
sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak.
Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang
tinggi. Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan.
Wajah keluarga juga berubah. Peran suami istri, pola asuh dan pendidikan anak tidak bisa
mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang
diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah.
Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja
akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang
akan mewarnai kehidupan anak dan orang tua di abad 21
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu
yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik
anak. Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad 21.
Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak dalam keluarga
yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang
pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah berubah menjadi
transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk
mengatasi masalah ini dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) masih memerlukan
banyak pengkajian dan pertimbangan.
Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak
sekarang. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk
saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin
ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi
bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini
memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk "menjadi
Winda Kusumawardhani

seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk
menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi
Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan
bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani
kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut
merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab
generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk
mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses
pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga,
melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan
negara.
11. Perilaku Manusia Indonesia
c. Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku
masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai
bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan manusia
Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan negara.
Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk tampil
sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah membawa
masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung tidak
mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan sebagainya. Menjadi
Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk bersama oleh masyarakat
"seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi masyarakat agar
bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas diri yang baru, dengan tetap
mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya. Perpaduan berbagai ragam budaya
pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan falsafah gotong royong, semangat persatuan
dan kesatuan, pembangunan bangsa dan negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan
masyarakat.
d. Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) yang dikenal sebagai
Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Segenap
Winda Kusumawardhani

lapisan berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan
harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun
berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri
khas kapitalisme.
Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme
global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya,
melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi
ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin tampak
bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."
Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat
individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas
dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi,
lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk
bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya, kapitalisme bukan
lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan
dan menentukan arah tujuan hidup.
Ada pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu
akhirnya memang ‘berhasil’ mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian besar masyarakat
Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru. Keadaan
ekonominya masih sangat jauh untuk bisa tampil dalam persaingan tersebut. Akibatnya,
banyak orang menempuh jalan pintas. Korupsi, kolusi , koncoisme, nepotisme dilakukan
orang dalam berbagai bentuk, yang sama buruknya dengan perilaku menipu, mencuri,
merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk bersaing tetapi sangat mendambakan kehidupan yang diciptakan oleh
sistem kapitalis
Ada lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara tersebut,
tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini adalah
perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri
ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini
Winda Kusumawardhani

mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan
mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya, entah sampai kapan.
Dalam periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa masuk
ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi lain, pada saat yang
bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang
menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Benturan antara keyakinan terhadap
nilai-nilai tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang pernah diberikan dalam cara
kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan kehidupan sistem kapitalis
melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam pengaruhnya dalam proses
pembentukan perilaku.
Bayang-bayang kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai
benturan kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era Reformasi,
yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya selaku Presiden Republik
Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Wajah masyarakat muncul beraneka ragam.
Berbagai bentuk perilaku tampak mencerminkan kondisi dan situasi yang dimiliki masing-
masing, baik sebagai individu maupun kelompok, yang semula ditekan kuat-kuat agar tidak
muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik terutama bagi mereka yang berbeda
pendapat.
12. Makna Hukum Dalam Pembentukan Perilaku
Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai dengan
kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di masa yang
akan datang. Dari sudut perilaku masyarakat, maka hukum memiliki dua fungsi, yaitu:
memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/atau
mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan.
Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan tujuan
ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu memerlukan pengawasan.
Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk pengawasan dalam pelaksanaan hukum
bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian adalah kemampuan memilih yang benar dari yang
salah berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu.
Winda Kusumawardhani

Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang untuk mampu
bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan berdasarkan pertimbangan moral.,
yaitu:
d. Moralitas Prakonvensional. Pada tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam
bersikap dan bertingkah laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh
lingkungan. Tingkah laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi.
Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung diulang.
e. Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan
norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan
supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga masyarakat
yang baik.
f. Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan dalam
arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan sempit
yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat tertentu.
Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh proses
perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas yang mendasari
perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu:
c. Cara Belajar Instrumental
Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti
oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang
diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi.
Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan
konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka
waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya
konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk.
d. Cara Belajar Observasional
Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku
baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang
lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Menurut Bandura (1986) belajar
observasional dari model ini telah terbukti sebagai sarana yang ampuh untuk
Winda Kusumawardhani

meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi
masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi,
maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas
yang diakui kewenangannya mengenai:
- perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum
tersebut
- konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau
menolak melaksanakan perilaku yang dimaksud.
Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi,
yaitu:
- hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh
individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut
- konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus
dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku masyarakat yang
sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, masih diperburuk lagi
dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku:
c. Budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka banyak peluang bagi yang
berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi
subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan yang
sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah yang berbeda atau
dalam kurun waktu yang berbeda.
d. Adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan
kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik
alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam
proses tersebut.
Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum seperti
hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.
Winda Kusumawardhani

Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem, maupun
kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil bila tidak didukung
oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku pada tingkat individu
sebagai anggota masyarakat.
Ada dua alternatif keadaan masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni:
menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak
mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya
diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga secara individual, memiliki dua pilihan
tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar observasional di mana unsur keteladanan
(referent power) memegang peranan penting dalam mengubah pola perilaku, maka sikap
pemimpin bangsa dan negara ini menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang
dan semakin besar kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya bagi
masa depan bangsa.
13. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku dan Proyeksi di Abad 21
Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era
globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya
hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara.
Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang
dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global.
Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala
bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi.
Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya
pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya.
Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang
untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan dan situasi krisis
dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri
sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan
belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon
sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat,
dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota
Winda Kusumawardhani

masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan
dan kemampuan mengelola pengalaman.
Selanjutnya, dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan
norma di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam
berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan
nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu
dipertahankan secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang
tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan.
Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya hidup
dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam anak, baik untuk
kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional. Ketidakpastian dalam
penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang ditampilkan orang tua dan anggota
masyarakat lainnya dalam bekerja dan berorganisasi, yang selanjutnya bisa dijadikan acuan
oleh anak dalam mengembangkan dirinya.
Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu
menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi
permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin
mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan
kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang
menjadi manusia dewasa.
Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke depan.
Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya, ketika ia sudah
menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan berjalan ke depan. Jadi,
sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan itu dalam upaya
memberikan bekal kepada anak.
Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak
dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya tidak hanya dilihat
sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik
anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang
menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi
Winda Kusumawardhani

tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak
padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.
Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku
pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan, meluaskan
wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa
diharapkan melaksanakan tugasnya dalam mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu
anak serta mengusahakan peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan
kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para
orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era
globalisasi.
14. Beberapa Pemikiran Tentang Kualitas Manusia Indonesia
Gambaran manusia Indonesia dewasa ini lebih menandakan sikap instrumental, egosentris,
kurang peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai
kepuasan pribadi.
Bernadette N. Setiadi dkk (1989) menemukan hal-hal yang menguatkan pengamatan
tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan
sangat berorientasi pada hasil akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil
akhir. Enoch Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun
2000 mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah laku
seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dkk (1985) dalam
penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada pertengahan dekade
delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota mempunyai besar nilai terminal
(preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai
instrumental (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh pengutamaan
kompetensi pribadi.
Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar bangsa/negara
membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung persentuhan aspek
kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Bila dikaitkan dengan proses
pembentukan tingkah laku manusia, maka proses globalisasi membawa kemungkinan sebagai
berikut:
Winda Kusumawardhani

Terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh terbuka pilihan


pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus
sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif,
perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas)
terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
Mempelajari hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan
kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi bagian dari kelompok.
Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk aktualisasi diri sering membuat manusia
hanyut sehingga melupakan hakiki yang sangat mendasar. Terbawanya manusia dalam banjir
informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami perbedaan antara kebutuhan
dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin (wish and need) yang kemudian
mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia
lalu berkembang menjadi mahluk yang egosentris dan instrumental. Mereka yang tidak mampu
sehingga tidak mungkin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme
dan kekhawatiran, yang bisa melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap kejadian di
lingkungannya
Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat dengan
telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai intervensi
dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi.
Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai sarana belajar
maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan wawasan tentang
konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa ditempuh dalam upaya
rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan dengan memperhitungkan
dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat.
Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar
bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan.
Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar
ia mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi
kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal.
Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas Indonesia,
pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc Clelland yang
Winda Kusumawardhani

diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan intervensi lain dalam keterampilan hubungan


antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat sesuatu dalam rangka
menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang menekankan
analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar partisipatif,
penciptaan dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh sumber sebagai sarana belajar.
Dalam rekayasa terencana perlu dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa
dipertahankan dan dikembangkan, mana pula yang harus ditinggalkan karena sudah tidak
sesuai, bahkan bisa menghambat.
Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta kognitif,
pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam tata nilainya.
Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja
yag lemah dan kurang peka terhadap masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal
era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah
laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan
mandiri.
15. Pengembangan Pola Perilaku Manusia Indonesia yang Berkualitas Tinggi dalam
Masyarakat Abad 21
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku
manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang sejarah bangsa
dan negara selama ini, yaitu:
- menjadi bangsa yang memiliki self efficacy
- menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness
Era Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya
pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa dan
negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi penyebab munculnya perilaku yang
mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran
tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku Manusia Indonesia.
Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih, transparan, dan
profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan, apapun yang dilakukannya, di
manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam
berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional
Winda Kusumawardhani

menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa berkualitas tinggi dan mampu
mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan memanfaatkannya dengan baik.
Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.
Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode yang
telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan secara jelas dan
tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam
memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya dialog/komunikasi yang bersifat saling isi
dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya.
Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan
meningkatkan kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam,
sosial, budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil
kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia Indonesia yang
berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti)
serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam).
Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif upaya yang
perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan ketidakjelasan
terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian
yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia
maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan
bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21
dengan sikap optimis.
Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang
mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu:
f. Teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939)
g. Teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980)
h. Teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981)
i. Teori Gender dari Carol Gilligan (1982)
j. Teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931)
Winda Kusumawardhani

Jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan kemampuan
sosialisasi adalah keluarga, sekolah, kelompok sebaya, media massa, dan opini publik.
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak kanak-kanak,
pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.
Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu dilakukan
secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak berubah menjadi bentuk
perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain
menepuk dada atau menganggap diri paling benar dan bersih. Kehidupan demokrasi yang
sesungguhnya harus dijabarkan secara operasional di tiap tingkatan kemampuan masyarakat
dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-kelompok yang ada. Pendekatan persuasif dan
tidak sekadar responsif sangat diperlukan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan
masyarakat dalam hal kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa
kebersamaan, bahu membahu, saling isi, saling melengkapi.
Aturan yang meliputi seluruh kehidupan, antara lain dalam ketentuan mengenai tanah adat,
kehidupan beragama, kehidupan masyarakat yang berlandaskan bhinneka tunggal ika,
kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan keamanan dalam
bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu ditelaah untuk bisa
memenuhi aspirasi masyarakat.
16. Penutup
Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari
aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu
perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual.
Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan
kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas,
peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak.
Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar
kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan
hanyut terbawa arus kehidupan global.
Winda Kusumawardhani

Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat
diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini
didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami "learned
helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi
berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori
Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu
mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang
mendasar saja.

Anda mungkin juga menyukai