Anda di halaman 1dari 6

MEMBANGUN KOMUNIKASI SOSIAL DI 

MASYARAKAT
Pendahuluan

Pemuda dan mahasiswa secara umum dikenal sebagai kelompok masyarakat yang paling dinamis,
dan sejarah telah mencatat peran mereka dalam perubahan dan pembangunan bangsa dan negara
Indonesia.  Sejarah Indonesia juga telah mencatat, bahwa para pemimpin bangsa dan negara
Indonesia mulai kepemimpinannya pada usia muda.  Oleh karena itu tidaklah berlebihan bahwa
sampai kini bangsa Indonesia tetap menaruh harapan yang besar pada pemuda dan mahasiswa
Indonesia.

Di sisi lain, pihak yang memiliki kepentingan lain bagi bangsa dan negara Indonesia juga
memanfaatkan kelompok paling dinamis ini.  Dalam berbagai perspektif kepentingan, pemuda dan
mahasiswa dijadikan obyek garapan yang secara umum telah diketahui bersama, namun dalam
kadar kesadaran yang berbeda terhadap dampak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks globalisasi seperti yang dihadapi banyak bangsa dan negara di dunia, dua sasaran
pokok kepentingan pihak yang memiliki hegemoni modal adalah penguasaan sumberdaya alam
Indonesia yang melimpah (mulai intensif sejak 1967), dan penguasaan penduduk Indonesia yang
jumlahnya juga melimpah (234 jutaan pada tahun 2004) sebagai pasar dan sumber tenaga murah. 
Dua sasaran pokok ini dilengkapi dengan berbagai sasaran antara yang digarap untuk
mengintensifkan dua sasaran pokok tersebut.

Sasaran antara digarap dengan cara yang sistematis dan terprogram secara berkelanjutan yang
dikemas sedemikian rupa sehingga kebanyakan kita tidak sadar karena dikemas sesuai dengan
langgam hidup kekinian para pemuda dan mahasiswa sendiri.  Pola sasaran disiapkan secara
dialektik sesuai dengan cara-cara ilmiah dan obyektif, sehingga seolah menjadi pola milik pemuda
dan mahasiswa itu sendiri.  Melalui penggarapan terhadap langgam hidup ini pula, pergeseran tanpa
disadari terjadi pada tataran peradaban dan kebudayaan bangsa.  Peluang bagi para pemuda dan
mahasiswa untuk mengenali tatanilai kehidupan bangsanya sendiri mulai diusik dengan
penggarapan sasaran yang lebih fundamental yaitu pendidikan, yang dampak paling dekat adalah
perubahan paradigma berfikir.

Secara sistematis bidang garapan yng telah dan akan terus digarap secara berkelanjutan adalah
bidang teologis, kemanusiaan, politik dan ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.  Obyek
penggarapan dilakukan secara integral, mulai dari para pimpinan (dimulai sejak jaman
pendidikannya di sekolah, mulai tahun 50-60-an secara berkelanjutan dampai saat kini), elit politik,
para manager menengah (aktivis lapangan), sampai pada masyarakat akar rumput.

Persoalan pokok yang kita hadapi saat ini adalah pergumulan yang terjadi antara kesadaran internal
yang ada (sisa modal dasar bangsa, dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat yang memiliki
kesadaran kebangsaan), melawan kekuatan yang secara intensif melakukan penggarapan dengan
cara dan alat canggih yang dimiliki untuk menghancurkan bangsa dan negara Indonesia tercinta. 
Sulit bagi kita untuk membedakan apakah gejala sosial yang terjadi sebagai kepentingan asli atau
hasil penggarapan, dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan untuk menilai.

Masyarakat Yogyakarta, Masyarakat Plural

Sejak jaman Hamengku Buwono I, masyarakat Ngayogyakarto Hadiningrat sudah plural, orang
Madura, Bugis, Makassar, Cina, Arab, dan lain-lain suku bangsa di seluruh Nusantara, sudah
menghuni dan hidup bersama dalam wilayah ini.  Semangat kebersamaan dari kondisi plural
tersebut sudah menjadi bagian kehidupan, di bawah kepemimpinan Raja yang Adil dan Bijaksana. 
Semangat kebersamaan ini ditempa karena rasa senasib (teori Bauer), menghadapi kompeni
belanda, dan ini memang ditumbuhkan secara tepat oleh HB I dengan semangat golong gilig,  Tiada
kekuasaan raja tanpa dukungan rakyat, dan kepemimpinan Raja sangat dibutuhkan untuk melawan
musuh bersama.

Multikulturalisme tumbuh menjadi kesadaran sosial yang secara alami ditempa oleh kesadaran
kebersamaan.  Multikulturalisme bukan pandangan budaya yang datang dari luar, sebagaimana
hembusan pikiran para elit politik sejalan dengan kesadaran yang tumbuh akhir-akhir ini di
Amerika.  Alam mengajarkan kepada kita bahwa keragaman merupakan dukungan dan indikator
stabilitas dan kemapanan sistem.  Sistem yang didukung oleh tingkat keragaman tertentu dianggap
sebagai sistem yang dapat berkembang dan mampu menghadapi berbagai terpaan tekanan terhadap
sistem tersebut.  Pelajaran berharga dari alam ini diterjemahkan secara tepat dengan kredo
Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi kredo negara kita tercinta, Indonesia.

Pada peresmian Universitas Gadjah Mada, Sultan Hamengku Buwono IX berpesan: Jadikan UGM
sebagai universitas Sabang-Merauke ! Pesan ini saya kira bermakna untuk Yogyakarta, dan
semua perguruan Tinggi atau semua masyarakat Yogyakarta: jadikan Yogyakarta sebagai tempat
hidupnya masyarakat Sabang-Merauke.  Lingkungan Yogyakarta harus kondusif terhadap semua
anggota masyarakat yang datang dari seluruh pelosok tanah air.  Yogyakarta untuk Indonesia.

Kesadaran pluralisme atau multikulturalisme ini tidak hanya menjadi kewajiban masyarakat
Yogyakarta sendiri, akan tetapi juga menjadi kewajiban semua saja yang datang dan hidup di
Yogyakarta.  Yang berbeda memiliki kesamaan, dan yang sama memiliki perbedaan, yang penting
adalah semangat golong gilig.

Kebersamaan juga dapat ditumbuhkan apabila didasari oleh kesadaran adanya cita-cita, kehendak,
kepentingan bersama (teori kebangsaan Renan).  Bangsa dapat dibangun melalui penyatuan cita-
cita, dan ini yang sudah dilakukan oleh para founding-fathers kita, Bung Karno-Bung Hatta, dan
para pemimpin bangsa Indonesia.  Sumpah Pemuda mendemonstrasikan hal ini, satu tanah air-satu
bangsa-satu bahasa.  Satu cita-cita adalah Indonesia Merdeka!

Tekad bersatu, tekad bersama sudah dinyatakan, akan tetapi bagaimana prose bersatu, proses
bersama dapat diwujudkan? Secara teoritik ada tiga jalan yang dapat terjadi, yaitu asosiasi,
assimilasi, dan akulturisasi. Asosiasi menuju kebersamaan berarti harus ada pertemuan,
bersinggungan, konvergensi, dan peluang bersatu sangat tergantung dari proses kelanjutannya. 
Asosiasi ini pada dasarnya masih bersifat acak, terbuka, dan dibutuhkan pengarahan atau faktor
pengikat, yang umumnya bersumber dari faktor kepemimpinan, keteladanan, yang lebih sadar akan
perlunya kesatuan.  Assimilasi lebih mengarah pada proses penyatuan karena terdapat syarat untuk
bisa bersatu, ada proses “kimia” nya untuk menyatu menjadi sesuatu yang baru, dan karakter
lamanya melebur menjadi karakter baru hasil penyatuan.  Dibutuhkan kesadaran dari dua pihak agar
“perkawinan” dua karakter ini bisa jumbuh menjadi satu.  Tanpa kesadaran ini maka assimilasi
sebagai suatu proses tidak akan terjadi.  Contoh proses ini pada jaman lalu adalah assimilasi
masyarakat Cina, Arab, Eropa, dengan masyarakat Indonesia lainnya.  Akulturisasi pada dasarnya
adalah proses penyatuan suatu sub-kultur tertentu ke dalam kultur atau sub-kultur lain yang
dianggap lebih mapan (established).  Harus ada pengakuan dari sub-kultur tersebut bahwa
sesungguhnya kultur atau sub-kultur yang akan dimasuki adalah kultur atau sub-kultur yang akan
menjamin kultur yang lebih baik, lebih mapan, lebih membahagiakan, dan memberi kultur baru
yang mencerahkan.

Ketiga proses tersebut di atas secara obyektif dapat terjadi secara simultan, tanpa ada penjenjangan
atau stratifikasi. Seseorang atau sekelompok orang dapat mengalami asosiasi dengan orang atau
kelompok lain, sementara peluang terjadinya assimilasi atau akulturisasi dapat terjadi.

Komunikasi Sosial dan Peluang terjadinya

Komunikasi tidak mensyaratkan penyatuan, dan komunikasi dapat terjadi pada dua komunitas yang
berbeda.  Namun secara ekstrim dapat pula terjadi pada bentuk kesatuan, misalnya keluarga, dapat
terjadi mis-komunikasi. Tidak ada komunikasi antara suami-istri, antara orangtua-anak, kalau di
antaranya tidak terdapat syarat-syarat komunikasi.  Pesan komunikasi tidak tersambung, yang
memberi pesan tidak memahami karakter si penerima pesan dan sebaliknya.

“Nyambung” tidaknya komunikasi banyak ditentukan oleh jenis pesan, cara pemberian-penerimaan
pesan, dan kondisi dan situasi obyektif komunikasi yang terjadi. Pesan yang sepihak dapat
dipastikan tidak menghasilkan komunikasi atau akan mengahsilkan komunikasi yang sifatnya
koersif.  Misalnya bentuk perintah, kebijakan satu arah, yang saat ini masih saja terjadi dalam era
yang terbuka.  Bahkan anak tidak jarang menerima pesan orang tua yang sifatnya imperatif tanpa
argumentasi.  Kondisi semacam ini akan menjadi sumber terjadinya dis-komunikasi di antara ke dua
pihak.

Komunikasi sambung rasa yang dicita-citakan oleh semua pihak hanya dapat terjadi kalau didasari
oleh empati, saling pengertian, saling memahami situasi dan kondisi para pihak.  Komunikasi
sambung rasa ini bukan suatu yang tidak mungkin, namun memang sifatnya obsesif.  Obsesi ini
dapat diwujudkan kalau para pihak sangat menyadari esensinya komunikasi antar pihak. 
Komunikasi sambung rasa ini dapat digunakan untuk menghilangkan penyalah gunaan kekuatan
atau kekuasan yang dimiliki oleh salah satu pihak secara represif dan koersif.  Penggunaan massa di
satu pihak, dan kekuasaan di lain pihak yang telah banyak digunakan sebagai alat represi, sangat
merugikan semua pihak.

Namun komunikasi sambung rasa ini harus dilakukan untuk memahami mengap dan untuk apa para
pihak menggunakan kekuatan atau kekuasaan sebagai alat represi.  Massa menjadi kekuatan represi
digunakan oleh pihak yang mempersepsikan bahwa sudah tidak ada jalan lain yang dapat
digunakan, atau boleh dikata sudah tidak ada jalan lain untuk melakukan komunikasi.  Semua
dianggap buntu, dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan atau kekuasaannya.  Buntu
karena kita belum mampu menggunakan semua kekuatan kemanusiaan kita, nurani, akal, rasa, dan
kepercayaan kita, untuk menyelesaikan masalah.

Pendekatan Komunikasi Sosial menuju kebersamaan dan kekeluargaan

Berbagai pengalaman komunikasi yang selama ini terjadi atau digunakan oleh para pihak,
umumnya menggunakan berbagai pendekatan yang dapat digunakan secara bersama atau sendiri-
sendiri.  Kata kunci kebersamaan dan kekeluargaan menjadi tujuan yang tidak mengandung arti
penyeragaman.  Justru dari yang berbeda (bhinneka) dapat menghasilkan kebersamaan dan
kekeluargaan yang hidup yang efektif dan bermakna (tunggal ika).  Atau boleh dikatakan bahwa
kebersamaan atau kekeluargan hanya dapat terjadi dari kebinnekaan atau keragaman, ini yang
dimaksud dengan mengembangkan semangat multikulturalisme.

Pendekatan teologis, yang menggunakan agama sebagai kekuatan moral utama, karena sangat
disadari bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan untuk merusak lainnya.  Semuanya
menuju pada satu perintah Tuhan untuk melakukan segala perintahnya (taqwa) untuk menyadari
bahwa sesungguhnya kita manusia adalah ummat yang bertugas untuk mensejahterakan bumi
tempat kita hidup.  Kebersamaan dan terjadinya komunikasi sosial berdasar pada landasan teologis
ini hanya dapat dikembangkan kalau didasarkan atas pandangan bahwa agama apapun yang sadar
akan tugas mulianya, merupakan suatu entitas “manusi beragama”.  Namun berbagai kenyataan
yang terjadi memaksa kita menggunakan dasar lain sebagai pendekatan komunikasi, yaitu
pendekatan kemanusiaan, yang sifatnya lebih universal dan mungkin lebih alami.  Di Indonesia
landasan kemanusiaan ini diberi tambahan “yang adil dan beradab”, sehingga nilai kemanusiaan
kita bernuansa adil dan beradab. Komunikasi yang harus terjadi juga bernuansa adil dan beradab,
tidak ada yang ditempatkan di bawah atau di atas, semuanya didasarkan atas peradaban yang benar.

Pendekatan lain yang perlu menjadi bahan kajian kita adalah Pendekatan Politik dan Ekonomi,
yang dicerminkan sebagai pendekatan yang demokratis dan kesejahteraan yang adil (keadilan
sosial).  Secara umum dikatakan sebagai demokrasi sosial (demokrasi yang mengetengahkan atau
yang berorientasi pada kesejahteraan yang adil).  Oleh karena itu perlu diluruskan pengertian
demokrasi yang umumnya diterima sebagai bentuk kebebasan, dengan memasukkan syarat
kesejahteraan dan keadilan sebagai ruhnya.  Komunikasi yang didasarkan atas pendekatan
demokrasi sosial semacam ini belum banyak dipahami dan diimplementasikan.  Akibat tekanan
pengertian demokrasi pada kebebasan, maka penggunaan kekuatan dan kekuasaan atas dasar
kepentingan sepihak dianggap sebagai pembenaran.

Kalau kita sudah sepakat menggunakan landasan empati sebagai proses komunikasi sosial kita,
maka Pendekatan Budaya, menjadi pilihan yang harus dieksplor lebih rinci.  Pemahaman budaya
para pihak menjadi suatu yang perlu, tidak hanya para pendatang harus memahami apa budaya
Yogyakarta, namun orang Yogyakarta juga harus memahami budaya pendatang.  Dan
sesungguhnya budaya Yogyakarta sudah menjadi hasil dari konvergensi berbagai budaya yang
datang sejak ratusan tahun lamanya.  Budaya Yogyakarta yang sebetulnya juga merupakan hasil
rembesan budaya Kraton Yogyakarta, bersumber dari konvergensi dari budaya Jawa-Hindu-
Buddha-Islam, dan dari segi ilmu tidak dapat dipungkiri masuknya pemikiran dan cara berpikir
orang-orang Eropa (Belanda terutama).  Kata kinci adaptif/adaptasi merupakan kata kunci proses
dan produk konvergensi ini (baik proses asosiasi, assimilasi, dan akulturisasi).  Proses konvergensi
ini menunjukkan betapa budaya Yogyakarta sangat adaptif, dan hal ini bukan menunjukkan suatu
kelemahan, akan tetapi justru kekuatan yang bersumber pada kelenturan dan fleksibilitas, toleransi
budaya Yogyakarta terhadap berbagai budaya yang dibawa para pendatang.

Pikiran Solutif untuk Membangun Komunikasi Sosial di Yogyakarta

Komunikasi Sosial dapat terjadi kalau terdapat peluang yang adil bagi parapihak untuk dipahami
atau terjadi konvergensi kepentingan bersama antara penduduk Yogyakarta dan para pendatang. 
Salah satu kepentingan yang sama antara penduduk Yogyakarta dan para pendatang adalah
kehidupan yang tentram, aman, dan sejahtera, tanpa adanya kekhawatiran adanya penggunaan
secara represif baik kekuatan massa maupun kekuasaan yang ditujukan parapihak.  Pendekatan
komunikasi yang dapat dibangun dimulai dengan pendekatan budaya (yang pernah dilakukan oleh
Pemda dan saat ini dilakukan oleh Pemda dan Kapolda) yaitu silaturahmi, gelar seni, dialog, dan
membuka kemungkinan terjadinya asosiasi, assimilasi dan akulturisasi baik secara alami maupun
terarah.
Mungkin bentuk asrama dapat digunakan sebagai bentuk transit sementara, yang untuk selanjutnya
diupayakan berbagai peluang untuk penyatuan antar pihak (dalam bentuk asrama antar pihak atau
pondokan yang lebih manusiawi).  Kajian secara psikologis dan sosiologis, dengan berbagai
pendekatan seperti tersebut di atas dapat dilakukan secara lebih mendalam baik oleh pihak Pemda.
Polda, dan yang terutama oleh kalangan pemuda mahasiswa sendiri.

Penutup dan Refleksi

Kekuatan Budaya Yogyakarta memang patut dikomunikasikan secara obyektif kepada parapihak
baik para pendatang maupun masyarakat Yogyakarta sendiri.  Berbagai pengalaman budya yang
akhirnya membentuk sikap budaya para pendatang yang sudah hidup cukup waktu di Yogyakarta,
dapat digali dan dijadikan sumber dialog para pihak.  Kendala budaya dan bahasa perlu dijembatani
oleh pihak-pihak yang lebih sadar akan kepentingan bersama, baik masyarakat Yogyakarta, maupun
bangsa Indonesia, dalam perspektif masa depan bangsa yang lebih utuh dan sejahtera.

Mengkaji nilai-nilai budaya Yogyakarta yang bersifat mendunia (world view), yang telah
terindentifikasi secara sistematis oleh Dewan Pendidikan dan Komite Rekonstruksi Pendidikan
DIY, memberi petunjuk bahwa sesungguhnya dari Yogyakarta untuk Indonesia dan Yogyakarta
untuk Semesta menjadi sangat potensial.  Bahkan beberapa ekspresi para pelajar SMA, memberikan
ekspresi ini, semoga.

Anda mungkin juga menyukai