Anda di halaman 1dari 4

Fatwa Tarjih

HUKUM MUSIK

(suara muhammadiyah)

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr wb

Apakah benar empat imam Madzhab (Hanafi, Syafi’i, Ahmad, Malik) mengharamkan musik?

Apakah hukum bermusik itu haram secara mutlak, khilafiyah, atau kondisional?

Emir Muslim (disidangkan pada Jum’at, 25 Shafar 1438 H / 25 November 2016 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wr wb Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Jawaban untuk
pertanyaan pertama adalah sebagai berikut.

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (III: 564), pendapat yang masyhur di
kalangan empat Madzhab (Hanafi, Syafi’i, Ahmad, Malik), menggunakan alat musik diharamkan. Seperti
alat musik kecapi, tamborin, gendang, drum, seruling, rebab, dan lainnya, termasuk musik yang
bersenar, semua jenis seruling dan alat musik yang dipetik. Oleh karena itu orang yang
mendengarkannya ditolak kesaksiannya, sebagaimana dalam hadits disebutkan:

Berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy‘ari, dia berkata: berkata kepadaku ‘Amir atau
Abu Malik Al-Asy’ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi saw bersabda: Di
antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras) dan alat-
alat musik [HR Al-Bukhari nomor 5590].

Dari Abi Malik al-Asy’ari (diriwayatkan) dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: Manusia di antara
umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan
di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian
mereka sebagai kera dan babi [HR. Al-Baihaqi, AsSunan Al-Kubra, nomor 17383 dan 20989, dengan
tambahan: mughanniyat (biduanita), Ibnu Majah nomor 4020, Ath-Thabarani, Al-Kabir, nomor 3419]

Mereka mengharamkan alat-alat musik juga berdasarkan firman Allah SwT:

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan.” (Qs Luqman [31]: 6)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah alat-alat musik. Secara
rasional alat-alat musik dapat menyebabkan manusia lalai dari dzikir kepada Allah SwT, dari shalat, serta
merugikan harta. Oleh sebab itu alat-alat musik tersebut diharamkan sebagaimana diharamkannya
khamr.
Syafi’iyah dan Hanabilah memakruhkan batang pohon yang disertai dengan nyanyian dan tepuk tangan.
Sedangkan memukul batang kayu makruhnya jika dibarengi hal-hal yang haram seperti tepuk tangan,
menyanyi, dan menari. Jika tidak dibarengi itu, tidak makruh sebab itu bukan alat musik dan tidak bisa
didengar secara sendiri.

Imam Malik, madzhab Zhahiri, dan sekelompok sufi membolehkan mendengarkan musik meskipun
disertai dengan alat musik yang dipetik dan klarinet. Hal tersebut merupakan pendapat dari beberapa
sahabat (Ibn Umar, Abdullan Ibn Ja’far, Abdullah Ibn Jubair, Mu’awiyah, dan ‘Amr Ibn ‘Ash, dan lainnya),
dan beberapa dari Tabi’in seperti Sa’id Al-Musayyab.

Adapun jawaban untuk pertanyaan nomor dua adalah sebagai berikut:

Musik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan nada atau suara yang disusun sedemikian rupa
sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat
menghasilkan bunyi-bunyian). Sedangkan nyanyian merupakan bagian kecil dari musik, dalam Buku
Tanya Jawab Agama, jilid 5, bab Kesenian, terbitan Suara Muhammadiyah, tahun 2013, hal. 216-217,
disebutkan bahwa kata-kata “perkataan yang tidak berguna” (lahwul-hadits) dalam ayat ini ditafsirkan
sebagai nyanyian. Penafsiran ini tidak sepenuhnya tepat, karena yang dimaksud dengan perkataan yang
tidak berguna (sia-sia) itu sebenarnya adalah segala perkataan yang mengajak orang kepada kesesatan
dan kemaksiatan, baik terdapat dalam nyanyian maupun dalam bentuk lainnya. Sehingga jika teks
nyanyian berisi perkataan yang mengajak orang kepada kebaikan, maka tidak termasuk ke dalam
larangan ayat tersebut. Namun demikian perlu diperhatikan bagaimana suatu seni disajikan, sehingga
disini yang dilarang bukanlah nyanyian sebagai suatu ekspresi seni ansich melainkan cara-cara
penyampaian (visual) seperti halnya disuguhkan oleh kaum wanita yang berpakaian bertentangan
dengan ketentuan hukum Islam, dan isinya (tekstual) yang membawa kepada kemaksiatan.

Ibnu Qudamah (w 620 H) dari Madzhab Hanbali menyatakan, memainkan alat musik seperti gambus,
genderang, gitar, rebab, seruling dan lain-lainnya adalah haram, kecuali, duff (tamboran), karena Nabi
saw membolehkannya dalam pesta nikah. Tetapi di luar pesta perkawinan adalah makruh (al-Mughni,
edisi 1994, jild III: 40-41). Pandangan ini sesuai dengan situasi zaman dan keadaan bagaimana nyanyian
pada waktu itu disuguhkan.

Berkaitan dengan kesenian, Muhammadiyah dalam Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-
27 di Malang tahun 2010, telah membahas tentang kebudayaan dan kesenian. Di antara rumusan dalam
putusan itu, menyatakan Islam adalah agama rahmat. Islam datang untuk membawa manfaat dan
maslahat bagi manusia. Dalam waktu yang sama Islam datang untuk menghindarkan mereka dari segala
madharat atau bahaya dan kerusakan. Oleh karena itu, tidak heran jika Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat demi kemajuan yang sesuai dengan
ketinggian derajat manusia itu sendiri.

Melihat kebudayaan yang ada dan berkembang di masyarakat, kebudayaan bisa diklasifikasikan menjadi
tiga kategori:

Kebudayaan yang diakui syariat, adalah semua kebudayaan dan hasil karya manusia yang tidak
bertentangan dengan nas-nas AlQur’an dan Hadits. Kebudayaan tersebut diterima, diakui dan bahkan
terkadang bisa dijadikan sumber hukum. Dalam kaidah fiqhiyah disebutan:

yang artinya “Adat istiadat itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum”. Akan tetapi, adat yang bisa
dijadikan sumber hukum ialah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kebudayaan yang mulanya bertentangan dengan syariat, lalu diperbaiki sehingga sesuai dengannya.
Contohnya adalah syair-syair yang dilantunkan orang-orang jahiliyah dahulu yang mengandung unsur-
unsur kemusyrikan. Ketika Islam datang melantunkan syair tetap dibenarkan, namun tentu saja tidak
boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama, seperti kemusyrikan, bid’ah dan halhal
yang membantu kedzaliman.

Kebudayaan yang bertentangan dengan syariat Islam, adalah semua hasil karya manusia yang menyalahi
nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah atau mengandung unsur-unsur kemusyrikan, bid’ah, khurafat,
takhayul, kedzaliman dan hal-hal negatif lainnya. Ditinjau dari segi asas umum ajaran agama, nyanyi dan
musik termasuk kategori mu’amalah duniawiyah, sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:

Pada asasnya segala sesuatu itu adalah mubah (diperbolehkan) sampai terdapat dalil yang melarang.

Atas dasar itu, maka menari, menyanyi dan memainkan musik pada dasarnya mubah. Larangan timbul
karena suatu yang lain, misalnya dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan agama.

Terkait dengan kesenian, disebutkan dalam Buku Tanya Jawab Agama, jilid 5, terbitan Suara
Muhammadiyah, pada bab Kesenian, tahun 2013, hal. 214, bahwa dalam kehidupan sehari-hari sekarang
ini musik semakin memenuhi rongga kehidupan. Musik dengan berbagai aliran (genre) telah menjadi
sebuah kebutuhan bagi manusia, serta sebagai ekspresi dari rasa keindahan yang dimiliki oleh manusia.
Pemenuhan terhadap rasa keindahan itu merupakan kebutuhan yang tidak dapat diingkari.

Para filosof hukum Islam merumuskan tiga skala prioritas kebutuhan manusia menurut hukum Islam
yang disebut maslahah, yaitu pertama, maslahah dharuriyah, yakni kebutuhan yang harus dipenuhi,
kelangsungan hidup seseorang akan terancam atau menjadi tidak berarti apa-apa lagi; Kedua, maslahah
hajjiyah, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi, hanya saja apabila tidak terpenuhi, kelangsungan hidup
seseorang tidak terancam. Akan tetapi, ia akan menjadi sengsara, mengalami kesulitan dan
kehidupannya tidak wajar atau normal; Ketiga, maslahah tahsiniyah, ialah suatu kebutuhan yang apabila
tidak dipenuhi tidak menyebabkan terancamnya hidup seseorang dan tidak membuatnya sengsara dan
berada dalam kesulitan. Kebutuhan akan musik sifatnya komplementer yang pemenuhannya membuat
hidup manusia yang sudah normal menjadi lebih indah dan lebih luks. Kebutuhan terhadap seni secara
umum dapat dikategorikan sebagai maslahah tahsiniyah. Di dalam hadits disebutkan:

Dari Abdullah bin Mas’ud (diriwayatkan) dari Nabi saw, beliau bersabda: Tidak akan masuk surga, orang
yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan. Seorang laki-laki bertanya,
Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk
kesombongan)? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah itu indah menyukai yang indah, kesombongan itu
menolak kebenaran dan meremehkan manusia [HR. Muslim nomor 131].

Seni suara sebagai ekspresi indah manusia, dengan demikian tidak dapat dikatakan bertentangan
dengan agama. Namun demikian perlu diperhatikan bagaimana suatu seni itu disajikan.

Selain itu dijelaskan dalam Buku Tanya Jawab Agama, jilid 2, terbitan Suara Muhammadiyah, bab
Masalah Kesenian dan Adat, halaman 19, dijelaskan bahwa seni suara, khususnya alat-alat bunyian
hukumnya berkisar pada illatnya, dan hal itu ada tiga macam:

Apabila musik menarik kepada keutamaan, maka hukumnya sunnah,

Apabila musik hanya sekedar untuk main-main belaka (tidak mendatangkan apa-apa), maka hukumnya
makruh. Akan tetapi, apabila mengandung unsur negatif maka haram.
Apabila musik menarik kepada maksiat maka hukumnya haram.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya musik itu diperbolehkan secara
kondisional yang berarti juga diharamkan secara kondisional.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah

Anda mungkin juga menyukai