Anda di halaman 1dari 18

Ketiga, Musik

Ibuny, Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara
para ulama. Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun
ada juga yang diperselishkan.

Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor,
jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok
diharamkan dalam Islam. Terutama ketika musik itu diiringi dengan kemungkaran,
seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah
seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita. Atau jika menyebabkan lalai
dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya
dan lain-lain.

Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para
ulama berbeda pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga
yang menghalalkannya.

Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar para dua hal.

Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya lemah meski
istidlalnya kuat.

Contoh 1

Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang kuat sanadnya namun
lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat
sanadnya karena semua ayatnya mutawatir. Namun belum tentu yang kuat
sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita ambil ayat berikut ini:

Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah
itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.(QS.
Luqman: 5)

Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar
untuk istidlal mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang
tidak berguna) adalah nyanyian, lagu dan musik.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena secara eksplisit tidak
mengandung pengharaman tentang lagu, musik atau nyanyian. Yang dilarang adalah
perkataan yang tidak berguna. Bahwa ada ulama yang menafsirkannya sebagai
nyanyian musik, tentu tidak boleh memaksakan pandangannya.

Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas. Beliau mengatakan
bahwa yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal itu dikarenakan orang-
orang kafir itu menjadi agama Allah sebagai ejekan. Meski seseorangmembeli
mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka dia pun kafir. Itulah yang disebutkan oleh
Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak mencela orang yang membeli alat
musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai penyesat manusia.
Contoh 2: Hadits Nabawi

Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap
sebagai dalil pengharaman nyanyian dan musik.

Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr
dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)

Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka dari sisi keshahihan sudah
tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga sebagian ulama hadits yang
masih meragukanya.

Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-
alat tertentu dengan namanya secara spesifik dan eksplisit. Di titik inilah
sesungguhnya terjadi selisih pendapat para ulama. Dalil yang bersifat umum masih
mungkin dipersoalkan apabila langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan
sesuatu.

Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun
apakah bentuknya alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.

Contoh 3: Hadits Nabawi

Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi
telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut.
Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian
melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar
mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata:
Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan
seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu Rasulullah menutup telinganya
saat mendengar suara seruling gembala. Namun dari segi kekuatan sanadnya, para
ulama hadits mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits
mungkar kedudukannya lebih parah dari sekedar hadits dhaif.

Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya
bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, "Tidak ada satu
pun dalil yang shahih untuk mengharamkan nyanyian."

Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, "Semua riwayat hadits tentang
haramnya nyanyian adalah batil."

Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana,
gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan
itu terjadi?` Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan`
(HR At-Tirmidzi).

Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik


Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat
nabi SAW, tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian.

Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah
bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu
Bakar Al-Khallal.

Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama
Madinahmemberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.

Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa
Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan
budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan
suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga
Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib,
Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang
menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-
budak wanita dan gitar.

Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar
berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair
mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan
Syami(alat musik) dari Syam?&quot.Ibnu Zubair menjawab, "Dengan ini akal
seseorang bisa seimbang."

Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas
membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat
musik karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan
yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in
menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari
Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan
pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus
memperhatikan faktor-faktor berikut:

1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada
setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`,
maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka
dilarang.

2. Alat Musik yang Digunakan.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam
Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan
yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk
mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik
yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang
dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama
berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu
diharamkan jika melalaikan.

3. Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara`
seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

4. Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang
diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami
sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang
pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).

5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus
dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak
dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka. (HR Abu Dawud)

Kalo antum masih belum puas, silahkan bersabar dengan melanjutkan bacaan ini.
Meskipun antum bilang setumpuk dalil yang mengharamkan musik tapi ada setumpuk
dalil juga yang memberikan batasan kehalalannya- bukankah antum mau tau darimana
ana mengambil ilmu......?

Dalil-Dalil Al-Qur’an yang Dianggap Mengharamkan dan Bantahannya

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan (QS Luqman, 31/6)

Ada atsar shahih dari Ibnu Mas’ud ra yang bersumpah dengan berkata: “Demi ALLAAH
maksudnya adalah nyanyian [ HR Al-Baihaqi, dalam Al-Kubra’, X/223]

Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa tafsir sahabat ra sederajat dengan hadits
marfu’, demikian pendapat Al-Hakim dan Ibnul Qayyim [Ighatsatu Lahfan, I/258-259],
sehingga tafsir ini dianggap merupakan satu-satunya tafsir atas ayat tersebut
Pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama Salaf lainnya, bahwa pendapat tafsir sahabat
ra sederajat dengan hadits marfu’ tidak benar kecuali jika mengenai sabab-nuzul ayat
saja, karena seringkali antara seorang sahabat ra dengan sahabat ra yang lain berbeda
pendapat dalam menafsirkan sebuah ayat, maka bagaimana mungkin disetarakan
dengan hadits marfu’?[Al-Muhalla, IX/10]

Antum ngerti hadist marfu, Ibuny?


Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada
yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan),
atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat
jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang
menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau
munqathi’ (terputus).

Diantara mereka yang tidak setuju dengan pendapat tafsir sahabat ra sederajat dengan
hadits marfu’ ini adalah Imam Ibnu Hazm beliau –rahimahuLLAAH- berhujjah sbb: 1)
Tidak ada seorangpun yang pendapatnya ma’shum kecuali Nabi SAW, 2) Tafsiran
tersebut berbeda dengan tafsiran sahabat ra dan tabi’in yang lainnya, 3) Nash ayat itu
sendiri sudah membantah hujjah mereka sendiri.

Maka, benarlah apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm tersebut, berkaitan dengan point
(2) yang dikatakannya misalnya, tafadhal dilihat dalam tafsir Ulama Salaf atas ayat
tersebut, bahwa terjadi perbedaan pendapat tentang makna ayat ini, ada yang
berpendapat maknanya adalah “nyanyian dan musik[Tafsir At-Thabari, XX/126]”; ada
yang berpendapat maknanya adalah “kata-kata yang batil” ada yang berpendapat
maknanya adalah “syirik”[ Tafsir At-Thabari, XX/129]. Bahkan Syaikhul Mufassir di
kalangan Ulama Salaf sendiri, yaitu Imam At-Thabari setelah menyebutkan perbedaan
pendapat tentang tafsir ayat ini berkata: “Yang benar menurut pendapatku adalah:
Segala sesuatu perkataan yang melalaikan dari jalan ALLAAH, maka semua itu yang
termasuk yang dilarang oleh ALLAAH dan Rasul-NYA, karena ALLAAH SWT menjelaskan
dengan lafzh yang umum (‘amm) dan IA tidak mengkhushuskannya dengan sesuatu pun,
maka ia tetap pada keumumannya sampai adanya dalil tentang pengkhushusan
maknanya, maka baik itu musik, atau syirik semuanya bisa saja menjadi maknanya.
[ Tafsir At-Thabari XX/130]” SELESAI KUTIPAN DARI IMAM AT-THABARI

Adapun berkaitan dengan hujjah ke (3) yang dikatakannya juga benar –dengan izin
ALLAAH, insya ALLAAH- karena ayat tersebut mengancam pelakunya menjadi kufr biduni
khilaf (kafir tanpa khilaf lagi), sementara tidak ada keterangan Salaf yang menyatakan
bahwa bermain musik menjadikan pelakunya menjadi kafir sebagaimana ancaman
dalam ayat ini[Bahkan ahlul-hadits setingkat Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya yang
terkenal tentang dosa2 besar, yaitu Al-Kaba’ir tidak memasukkan nyanyian dan musik
sebagai dosa besar yang mengkafirkan pelakunya, maka bagaimana ia bisa menjadi
penyebab kekafiran sebagaimana diancam oleh ayat ini? Bahkan Imam Ibnul Qayyim
yang mengharamkan nyanyian-pun menyatakan bahwa sifat2 dalam ayat ini tidak akan
ada kecuali kepada orang yang amat kufur kepada ALLAAH (Lih. Penjelasannya dalam
kitabnya Ighatsatu Lahfan, I/259). Imam Ibnu Athiyyah juga berpendapat kafirnya pelaku
dalam ayat ini[Al-Wajiz, XI/484], Imam Ar-Razi menyatakan bahwa demikian jahatnya
pelaku yang dicela dalam ayat ini, karena mereka bersifat: (1) Menjual ayat ALLAAH
dengan harga murah, (2) Bersikap sombong luar-biasa, yang dicirikan dengan kalimat (
‫م ْعها‬
َ ‫س‬ ْ َ‫س َت ْك ِب ًرا َكَأنْ ل‬
ْ َ‫م ي‬ ْ ‫ ) ُم‬takabbur yang sangat, (3) Hati yang keras membatu tidak bisa
menerima kebenaran (‫ه َو ْق ًرا‬ ِ ‫ [) َكَأنَّ فِي ُأ ُذنَ ْي‬Al-Kabir, XIII/141-142]; maka kesemuanya itu
tidak mungkin dikarenakan hanya karena ia adalah seorang pemusik atau ia suka
mendengarkan musik. WaliLLAAHil hamdu wal minah..

Ibuny, bahwa perbedaan (ikhtilaf) di kalangan Salaf yang disandarkan kepada dalil
shahih bisa lebih dari 1 pendapat, dan hendaknya orang-orang yang adil dan berilmu
saat meniti jalan salaf tidak mencoba menggiring-giring dan membodoh-bodohi ummat
yaitu dengan hanya menyampaikan 1 pendapat hasil tarjih sebagian mereka, kemudian
meng-klaim-nya sebagai satu-satunya representasi pendapat Salaf dan memvonis
pendapat yang berbeda, namun hendaklah mereka iltizam (komitmen) dengan manhaj
Salaf, yaitu menjelaskan semua pendapat dan menghormatinya sepanjang semuanya
didasarkan kepada dalil shahih.

Hujjah Kedua Berikut Bantahannya

Bahwa lafzh Al-Laghwu terdapat banyak dalam Al-Qur’an, dan tafsir yang paling tepat
adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (tafsirul Qur’an bil Qur’an), maka
untuk membuktikan kurang tepatnya menafsirkan lafzh al-laghwu dalam ayat di atas
dengan makna musik, mari kita simak makna al-laghwu di berbagai ayat yang lainnya
menurut tafsir ulama Salafus Shalih, sebagai berikut:

1. Makna Al-Laghwu di Al-Qur’an surat Al-Qashash:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
daripadanya dan mereka berkata: Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu,
kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.”[QS Al-
Qashash, 28/55]

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya bahwa maknanya adalah kata-kata yang
bathil[Tafsir At-Thabari, XIX/597], juga dimaknai penafsiran Ahli Kitab yang bathil atas
Al-Qur’an[Tafsir At-Thabari, XIX/597]; berkata Imam Ibnu Katsir bahwa maknanya agar
jangan bergaul dengan orang-orang yang kurang akalnya dan suka berkata-kata kotor,
[ Tafsir Ibnu Katsir, VI/245] sebagaimana ana sampaikan di atas bahwa metode
menafsirkan yang tepat adalah dengan mengkaitkannya dengan ayat sejenis, Imam Ibnu
Katsirpun –rahimahuLLAAH- mengkaitkan juga tafsir ayat ini dengan lafzh Al-Laghwu
dalam ayat di QS Al-Furqan, 72[Tafsir Ibnu Katsir, VI/245].

Imam –muhyis Sunnah- Al-Baghawi dalam tafsirnya juga memperkuat bahwa maknanya
adalah kata-kata kotor[6]; Imam Al-Biqa’iy menafsirkannya: Apa-apa yang tidak
bermanfaat baik dalam urusan agama maupun urusan dunia[7]; Imam An-Nasafiy
menafsirkannya kebatilan atau celaan orang musyrikin kepada kaum beriman[8]; Imam
Al-‘Izz bin Abdis Salaam menafsirkannya perubahan Ahli Kitab atas Taurat[9].

2. Makna Al-Laghwu di Al Qur’an surat Al-Furqan:

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”[10]

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya bahwa maknanya adalah penafsiran Ahli Kitab
yang bathil atas Al-Qur’an[11], ada juga yang menafsirkan kata-kata jorok dalam
masalah seksual, kebathilan orang musyrikin dan kemaksiatan secara umum[12] dan ini
disepakati oleh Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya[13]; Imam Ibnu Katsir menyamakan
maknanya dengan qawlaz-zuur[14]; Imam Al-Biqa’iy menafsirkannya semua perkataan
dan perbuatan yang bathil[15]. Lebih lanjut bisa ditambah dengan hasil tela’ahan Syaikh
Asy-Syinqithy dalam tafsirnya ayat ini[16] ditafsirkan dengan ayat yang lain, sesuai apa
yang ana tulis. WalhamduliLLAAH.

3. Makna Al-Laghwu di Al Qur’an surat Al-Mu’minun:

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna.”[17]

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya bahwa maknanya adalah hal-hal yang bathil
dan dibenci ALLAAH SWT[18], Imam Al-Biqa’iy menafsirkannya: Apa-apa yang tidak
bermanfaat[19]; Imam Al-Baghawi menyitir pendapat Ibnu Abbas bahwa maknanya:
Syirik, Al-Hasan menafsirkannya: maksiat, Az-Zujjaj menafsirkannya: Semua yang bathil
dan diharamkan baik perkataan maupun perbuatan[20]; Tiga penafsiran terakhir ini
disepakati oleh Imam Ibnu Katsir[21].

Untuk memperkuat tema ini - Al-Qaradhawi menambahkan- kalaupun ada yang ingin
memaksakan, bahwa musik tetap disamakan dengan al-laghwu karena dianggap tidak
bermanfaat, maka beliau katakan bahwa mendengar yang tidak bermanfaat tidak boleh
diharamkan dan dianggap berdosa, selagi ia tidak mengabaikan yang benar dan
melanggar yang haram.
Imam Ibnu Juraij (yang membolehkan mendengarkan musik) pernah ditanya (oleh
mereka yang mengharamkan musik) sebagai berikut: “Jawablah olehmu, di hari Kiamat
nanti musik itu akan datang di kitab hasanat (kebaikan)-mu atau sayyi’at (keburukan) –
mu?” Maka jawab beliau –rahimahuLLAAH-: “Tidak di hasanat maupun di sayyi’at,
karena ia adalah sebagaimana al-laghwu dalam firman-NYA:

“ALLAAH tidak akan menyiksa kamu akibat al-laghwi dalam sumpah-sumpahmu,


melainkan IA akan mengazabmu karena dosa yang disengaja dari dalam hatimu..”[22]

Dengan demikian nampaklah bagi para thalabul ‘ilmi kebenaran penafsiran ayat ini ada
pada lisan Imam Abu Ja’far At-Thabari –rahimahuLLAAH-, bahwa makna Al-Laghwu
tersebut bersifat umum dan tidak ada dalil yang disepakati yang menyatakan
kekhususan maknanya. waliLLAAHil hamdu

Catatan Kaki:

[6] Tafsir Al-Baghawi, VI/214

[7] Tafsir Al-Biqa’iy, VI/195

[8] Tafsir An-Nasafiy, III/48

[9] Tafsir Ibni Abdis Salaam, XXVIII/55

[10] QS Al-Furqan, 25/72

[11] Tafsir At-Thabari, XIX/314.

[12] Ibid, XIX/315

[13] Tafsir Al-Baghawi, VI/99

[14] Tafsir Ibnu Katsir, VI/131

[15] Tafsir Al-Biqa’iy, VI/46

[16] Tafsir Asy-Syinqithy, VI/120

[17] QS Al-Mu’minun, 23/3

[18] Tafsir At-Thabari, XIX/10.

[19] Tafsir Al-Biqa’iy, V/391


[20] Tafsir Al-Baghawi, V/409

[21] Tafsir Ibnu Katsir, V/462

[22] QS Al-Baqarah, 2/225

Hujjah Ketiga: Dalil-Dalil Lainnya dari Al-Qur’an

1. Qawla Az-Zuur:

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”[1]

Sebagian Ulama Salaf menafsirkan makna az-zuur dalam ayat ini sebagai nyanyian, di
antara mereka Muhammad bin Al-Hanafiah, Al-Hasan, Mujahid & Abu Jahhaf. Berkata
Al-Kalbi: Maksudnya adalah majlis bathil & mendengar nyanyian adalah termasuk majlis
bathil tersebut[2].

Berkaitan dengan ini mari kita lihat pendapat beberapa ulama Salaf yang lain sebagai
berikut: berkata Imam Abu Ja’far bahwa makna yasyhadunaz-zur ulama berbeda
pendapat, sebagian menafsirkannya syirik kepada ALLAAH, sebagian menafsirkannya
nyanyian, sebagian menafsirkannya kata-kata dusta[3]. Berkata Ibnu Katsir bahwa
sebagian menafsirkannya syirik & menyembah berhala; sebagian lagi menafsirkan dusta,
kefasikan, hal yang tidak bermanfaat & kebathilan; sebagian lagi menafsirkannya majlis
keburukan; sebagian lagi menafsirkannya saksi palsu[4] sesuai asal maknanya[5]. Imam
Al-Baghawi menambahkan bahwa Adh Dhahhak berkata: mayoritas ulama
menafsirkannya syirik; berkata Ali bin Thalhah: maknanya saksi palsu, dan ini diperkuat
bahwa Umar RA mencambuk pelaku saksi palsu 40 cambukan; berkata Ibnu Juraij:
maknanya kedustaan; berkata Mujahid: maknanya sembahan orang-orang musyrik;
berkata Qatadah: maknanya ahlul bathil; berkata Ibnu Mas’ud: maknanya musik &
nyanyian[6]. Berkata Imam Al-Baghawi maknanya hal-hal yang menyimpang dari
kebenaran, seperti kata-kata yang dusta & perbuatan demikian[7]. Berkata Syaikh Al-
Qaradhawi: Kaidah fiqh menyebutkan jika ada beberapa pendapat yang seluruhnya atau
sebagiannya disandarkan pada dalil yang kuat maka ia tidak dapat dimutlakkan
hukumnya[8].

2. Shawtika (Suara Syaithan):

“Dan ajaklah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan
berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan
tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.”[9]
Berkata Imam At-Thabari bahwa terjadi ikhtilaf ulama dalam makna shawtika ini,
sebagian memaknainya: Nyanyian & permainan; ada yang memaknainya: Ajakan untuk
mengikutimu (syaithan) & bermaksiat pada ALLAAH SWT[10]; ada yang memaknainya:
Seruan/ajakan[11]. Imam Al-Baghawi memilih maknanya: Semua seruan ke arah maksiat
pada ALLAAH SWT[12]. Imam Al-Qurthubi mensitir pendapat Ibnu Abbas RA bhw
maknanya adalah bisikan was-wasmu[13].

3. Samidun (Melalaikan):

“Sedang kamu melengahkan(nya)?[14]”

Berkata Imam Abu Ja’far memilih pendapat yang menyebutkan bahwa maknanya:
Melalaikannya[15]. Imam Ibnu Katsir menyebutkan beberapa pendapat, di antaranya:
Ikrimah berpendapat: Nyanyian; Mujahid & Ikrimah (dalam riwayat lain) berpendapat:
keberpalingan; Al-Hasan (dari riwayat Ali RA) berpendapat: kelalaian; Ibnu Abbas
berpendapat: kesombongan[16], ini diperkuat oleh As-Suddi[17]. Imam Al-Qurthubi
mensitir pendapat Al-Mubarrid bhw maknanya adalah mereka yang binasa[18].

Imam Al-Ghazali memiliki pendapat yang cerdas saat mengomentari mereka yang
bersikukuh bahwa makna ayat ini tetap adalah nyanyian, maka ia menjawab sebagai
berikut: Sepatutnya jika kalian berpendapat demikian, maka tertawa & tidak menangis
pun kalian haramkan pula[19], lalu lanjut beliau; Jika hujjahku ini dijawab: Tertawa &
tidak menangis yang dimaksudkan adalah yang mentertawakan & tidak menangis atas
ayat ALLAAH, sesuai konteks ayat ini; Maka kujawab: Demikian pula jika dimaknai
nyanyian & musik, berarti nyanyian & musik yang mengejek ayat ALLAAH SWT &
bermaksiat kepada-NYA, adapun yang tidak demikian maka hukumnya sama dengan
tertawa & tidak menangis dalam hal yang mubah[20]. AlhamduliLLAAH, selesai –dengan
idzin ALLAAH SWT- pembahasan masalah ini berdasarkan ayat Al-Qur’an, insya ALLAAH
pembahasan selanjutnya membahas hadits-hadits tentang musik & nyanyian.
WaLLAAHu waliyyut taufiiq…

___
Catatan Kaki:

[1] QS Al-Furqan, 25/72

[2] Lih. Ighatsatu Lahafan fi Mashayidis Syaithan, I/260

[3] Tafsir At-Thabari, XIX/314

[4] Dan ini sesuai dengan yang disebutkan dalam HR Bukhari no. 2654 & Muslim no. 87

[5] Tafsir Ibnu Katsir, VI/130-131


[6] Tafsir Al-Baghawi, VI/98

[7] Tafsir Al-Biqa’i, VI/45

[8] Inilah insya ALLAAH yang benar, sesuai dengan berbagai dalil yang telah
dikemukakannya hafizhahuLLAAH, namun jikapun tetap ingin dilakukan tarjih sesuai
dalil yang lebih kuat, maka makna saksi-palsu lebih kuat dalilnya (HR Bukhari-Muslim)
dibandingkan dengan dimaknai musik, waLLAAHu a’lam.

[9] QS Al-Isra’, 17/64

[10] Imam Ibnu Katsir juga menyebutkan kedua makna ini dalam tafsirnya, III/93

[11] Tafsir At-Thabari, XVII/491

[12] Tafsir Al-Baghawi, V/105

[13] Tafsir Al-Qurthubi, X/288

[14] QS An-Najm, 53/61

[15] Tafsir At-Thabari, XXII/559

[16] Ini semua juga menjadi pendapatnya Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya, VII/421

[17] Tafsir Ibnu Katsir, VII/468

[18] Tafsir Al-Qurthubi, XVIII/133

[19] Yaitu ayat sebelumnya (QS 53/60)

[20] Ihya ‘Ulumuddin, II/285

Hujjah Keempat: Hadits Ma’azif

Hadits yang paling terkenal dan yang sering dikemukakan untuk mendukung pendapat
para Ulama yang mengharamkan musik adalah hadits ini, mari sekarang kita bahas
secara rinci, lafzh-nya adalah sebagai berikut:

‫ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر و الحرير و الخمر و المعازف‬

Ada iqamatul-hujjah kami berkaitan dengan hadits ini adalah: pertama bahwa ia
merupakan hadits yang mu’allaq, yang kedua secara sanad-nya terdapat idhthiraab,
yang ketiga secara matan juga terdapat idhthiraab dalam maknanya, yang keempat ia
bertentangan dengan hadits lainnya yang lebih shahih daripadanya. Semua hal tersebut
akan dijelaskan satu-persatu, bi idzniLLAAHi Ta’ala.

Yang pertama, hadits ini dikutip oleh Imam Bukhari dalam kitabnya secara mu’allaq[1]
dari Hisyam bin Ammar dengan rangkaian sanad-nya sampai kepada Abu Amir atau Abu
Malik Al-Asy’Ariy RA yang mendengarnya dari Nabi SAW[2]. Al-Hafizh Ibnu Hajar –
rahimahuLLAAH- telah berusaha keras untuk membantu menyambung sanad hadits ini,
demikian pula Imam Ibnu Qayyim dan usaha terakhir dilakukan oleh Albani –- dalam
kitabnya Ash-Shahihah. Namun karena status mu’allaq-nya itulah Imam Bukhari tidak
memasukkannya dalam shahih-nya secara musnad-muttashil[3], melainkan hanya
sebagai ta’liq saja.

Yang kedua berkaitan dengan idhthiraab[4] dalam sanad-nya, dalam sanad hadits ini
terdapat Hisyam bin Ammar[5], marilah ana kemukakan siapa beliau dan komentar para
muhaddits yang melemahkannya. Ia adalah seorang khatib di kota Damsyiq, ahli Qur’an
dan ahli Hadits yang diakui sebagai tsiqah oleh Ibnu Ma’in (Yahya bin Ma’in) dan Al-Ajali.

Imam Abu Daud berkata tentangnya: Hisyam telah meriwayatkan 400 hadits yang tidak
ada dasarnya sama sekali[6]; berkata Abu Hatim: ia adalah seorang yang benar tapi
berubah diakhir hayatnya[7] dimana ia menerima hadits tanpa diperiksa[8], demikian
juga pendapat Ibnu Sayyar; berkata Imam Ahmad: Tindakannya sedikit tidak
menentu[9]; berkata An-Nasa’I: Ia tidak mengapa (la ba’sa bihi, perkataan ini maknanya
bukan berarti tsiqah tapi malah tersirat ada sedikit kekurangan padanya)[10]; berkata
Adz-Dzahabi: ia seorang yang benar, banyak meriwayatkan hadits tapi ada pula yang
munkar[11]. Sebagian ulama yang lain juga tidak menyenanginya karena ia tidak akan
mengajarkan hadits kecuali dengan diberi upah[12], demikianlah[13].

Kalau dikatakan: Tapi ia adalah perawi hadits Al-Bukhari! Maka kujawab: Benar, tapi
dialah yang menjadi puncak Imam Bukhari dikritik hebat oleh para ulama muhadditsin
lainnya, sehingga Imam Ibnu Hajar membela Imam Bukhari[14], setelah ia menyebut
satu-persatu komentar para pengkritik Hisyam, Ibnu Hajar berkata bahwa beliau (Imam
Bukhari) hanya mengemukakan 2 hadits saja dari Hisyam, kemudian ia menyebutkan
sokongan (muttaabi’) atas hadits Hisyam (yang di-takhrij oleh Imam Bukhari tersebut)
dari sanad yang lain.

Oleh karena itu Al-Qaradhawi berkata: Perawi seperti ini haditsnya tidak patut diterima,
apalagi dalam hal yang hukumnya masih menjadi pertikaian seperti masalah musik ini
[15].

Masih ada pertanyaan: Tapi Syaikh Al-bani –- telah menyebutkan dalam kitabnya Ash-
Shahihah tentang sanad dari jalur selain Hisyam untuk memperkuat masalah ini! Benar,
bahkan Imam Ibnu Hajar sebelumnya juga telah berusaha menyambung sanad yang
mu’allaq ini dalam kitabnya yang lain Taghliqu Ta’liq, tetapi dalam sanad-nya ada
seorang perawi yang lebih dha’if dari Hisyam yaitu Malik bin Abu Maryam, Imam Ibnu
Hazm dan Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya: Dia tidak dikenali.

Maka riwayat-riwayat hadits ini tidak dapat mengangkatnya ke derajat hadits yang
disepakati karena ia masih mengandung keraguan. Imam Ibnul Qayyim telah berusaha
juga untuk menguatkan hadits ini dari jalan yang lain, ia berkata: Abu Daud telah
meriwayatkan hadits ini dalam sunan-nya secara maushul[16]. Saya berkata: Ini
memang benar, tetapi ia tidak bermanfaat karena sanad-nya dha’if, selain itu dalam
riwayatnya tidak menyebut lafzh ma’azif yang menjadi puncak perselisihan kita. Abu
Daud menyebutnya dalam kitab Al-Asyribah (minuman) berkenaan dengan Ad-
Daazi[17], sama sekali tidak menyebut tentang ma’azif.

Tinggallah hadits Hisyam yang sudah kita bahas di atas. Kalaupun antum masih ingin
membelanya, maka kukatakan bahwa ia juga meriwayatkan dari Shadaqah bin Khalid,
beliau inipun diperbincangkan pula oleh sebagian ulama. Asy Syaukani dalam Naylul-
Authar[18] berkata: Ibnu Junaid menceritakan dari Yahya bin Ma’in tentangnya
(Shadaqah): Dia tidak punya apa-apa; Al-Muzzi meriwayatkan dari Imam Ahmad,
katanya: Ia bukan seorang yang istiqamah[19].

Oleh karenanya Al-Qaradhawi berkata: Disebabkan karena amanah dan keilmuannya


yang amat tinggi itulah maka Imam Bukhari hanya menyebutkan hadits ma’azif ini
secara mu’allaq saja dan ia tidak pernah mau menyebutnya secara muttashil di bagian
manapun dari kitab-kitabnya (padahal Hisyam tersebut adalah perawi yang beliau
terima). Demikian pula ia menamakan bab-nya dengan: “Hadits Berkenaan Orang yang
Menghalalkan Arak dan Menamakannya dengan nama yang Lain”, dan tidak pernah
menyebutnya dengan: “Hadits tentang Haramnya Nyanyian”, malah ia tidak pernah
menyebut satu bab-pun dalam keseluruhan kitabnya tentang haramnya lagu atau
nyanyian[20].

Lalu hujjah yang ketiga, idhthiraab dari sisi matan-nya ialah berkaitan dengan wajhu-
dilalah dari hadits ini, pembahasannya adalah sebagai berikut. Kalaupun ada yang masih
menerima ber-hujjah dengan hadits ini, maka ketahuilah bahwa makna ma’azif ini
berlain-lainan, ada yang mengartikannya al-malahi (alat-alat hiburan) ada pula yang
mengartikannya alatul ‘azfi (alat musik yang bertali)[21], kemudian makna yastahilluna
ini juga bisa mengandung 2 makna yaitu menghalalkan dan yang kedua melakukan
sesuatu secara berlebih-lebihan, dan menurutku karena jika dimaknai menghalalkan
maka akan menjadikan pelakunya kafir tanpa khilaf, karena disandingkan dengan
menghalalkan khamr dan siapa yang mengharamkan khamr maka ia kufur tanpa khilaf,
sementara tidak ada satupun para ulama yang mengkafirkan orang yang menghalalkan
musik.

Lalu jikapun masih kita terima juga bahwa maknanya adalah haramnya musik, maka
timbul lagi pertanyaan apakah haramnya karena dirinya sendiri (haram li dzatihi) atau
karena ia dilakukan sambil minum-minuman keras (haram li ghairihi)? Maka untuk
mengkompromikannya dengan semua pembahasan kita di atas, maka menurutku ia
lebih rajih menjadi haram li ghairihi. waLLAAHu a’lam..

Catatan Kaki:

[1] Hadits mu’allaq ialah hadits yang perawinya ada seorang atau lebih telah putus dari
awal sanad-nya dan yang dimaksud awal sanad disini ialah pihak mushannif atau
muhaddits seperti Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, dll (-pen)

[2] Rangkaian lengkap sanad-nya adalah: Dari Shadaqah bin Khalid dari AbdiRRAHMAN
bin Yazid bin Jabir dari ‘Athiyyah bin Qays Al-Kilaby dari AbdiRRAHMAN bin Ghanim Al-
Asy’ariy dari Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy’ariy RA (-pen)

[3] Hadits musnad-muttashil ialah hadits yang rangkaian perawi hadits-nya lengkap dari
setiap thabaqat (tingkatan) sampai kepada Nabi SAW (-pen)

[4] Idhthiraab ialah terjadinya kegoncangan pada sanad atau matan-nya, bisa karena
ada syudzudz (keanehan) pada matan-nya ataupun ada seorang rawi yang
diperselisihkan, sehingga para muhaddits tidak sepakat mengenai shahih atau dha’if-nya
(-pen)

[5] Lih. Juga komentar Imam Ibnu Hajar atas dirinya dalam kitab Taghliq At-Ta’liq, V/17-
22

[6] Syarh ‘Ilal At-Turmudzi, I/62; Saya (Abi AbdiLLAAH) menambahkan: Yang saya
temukan perkataan ini dasarnya dari Imam Az-Zuhri, lih. Al-Ilma’ Ila ma’rifati Ushuli
Riwayati wa Taqyid As-Sima’, Al-Qadhi ‘Iyadh, I/243 serta Ar-Rawiy wal Wa’ie, Ar-
Ramharmazi, I/397

[7] ‘Ilalul Hadits, Ibnu Abi Hatim, II/4

[8] Ibid, II/33 dan juga II/135

[9] Mausu’ah Aqwal Imam Ahmad Ibni Hanbal Fil Jarh wa Ta’dil, IX/103; As-Su’alat, hal
247

[10] Mausu’ah Aqwal Daraquthni, harfu Mim XXXi/72

[11] Ialah hadits hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah dalam keadilan
(al-‘adl) dan dalam ingatan (adh-dhabt)

[12] Manhaj Imam Al-Bukhari, I/80


[13] Ulama lainnya yang mengkritik Hisyam diantaranya ialah Al Mirwadzi, katanya: Dia
mengalami kegoncangan dalam hafalannya (Al-‘Ilal, hal 140 no. 247); juga oleh Ibnu Abi
Hatim sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Qaradhawi (Al-Jarh, IX/67); juga
Shalih bin Muhammad dan Ibnu Warah (Fathul Mughits, III/379); Ada pula catatan lain
dari Imam Ahmad tentang aqidahnya (Hisyam) tafadhal dirujuk di Al-Mizan, hal 9234;
Ulama lain semisal Al-Mustamli juga memberikan catatan yang sama atas hal ini, lih.
Adabul Imla’ wal istimla’, oleh As-Sam’ani I/104

[14] Tafadhal dibaca dalam kitabnya Al-Hadyus Saari Muqaddimah Shahih Al-Bukhari,
hal 448-449

[15] Baca juga tulisan Syaikh Salim bin Ali Ats-Tsaqafi, profesor dari universitas Ummul
Qura’ dalam kitabnya Ahkam Al-Ghina’ Wal Ma’azif, beliau menjelaskan dengan rinci
tentang kritik para muhaddits terhadap Hisyam

[16] Hadits maushul ialah hadits yang bersambung sanad-nya sampai pada Nabi SAW

[17] Sejenis biji2-an (di masa kini mungkin pil) yang dimasukkan dalam nabidz (perasan
kurma) untuk menguatkan rangsangannya

[18] Naylul Authar, VIII/267

[19] Qaradhawi berkata: Tapi aku belum mendapati sumber perkataannya (Asy-
Syaukani) ini, waLLAAHu a’lam

[20]Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Hafizh Al-Iraqi –rahimahuLLAAH- tentang


mengapa Imam Bukhari hanya menjadikan hadits ini sebagai ta’liq saja dalam kitab-nya,
serta tidak menggunakan shighat jazm, lih. At-Taqyid wal Idhah, Al-‘Iraqi, I/90

[21] Bahkan para pen-syarah Shahih Al-Bukhari juga berbeda dalam menafsirkan makna
ma’azif ini. 1) Imam Ibnu Hajar menjelaskan perbedaan makna ma’azif ini dalam
kitabnya Al-Fath, dalam muqaddimmah-nya ia berkata artinya alat permainan (I/152,
XI/259); kemudian soal hukum alat musik dalam bab ‘Ied ia berkata: Sebagian
mengharamkannya dan sebagian menghalalkannya (III/371); 2) Al-‘Ayni pen-syarah
lainnya atas kitab Shahih Al-Bukhari dalam kitabnya Al-Umdah, mengartikannya alat
musik yang dipukul/ditabuh (XXV/168), juga bermakna alat permainan (XXXI/166); 3)
Ibnu Baththal dalam kitab syarah-nya mengartikannya alat permainan (V/31); 4) Al-
Kasymiri dalam Al-Faydh, mengartikannya lagu2/al-ghina’ (III/167), dalam bab yang lain
ia menafsirkannya alat musik tiup (VII/97

Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sbb: “Perpecahan yang dilarang adalah
perpecahan dalam agama (QS 6/159) dan (QS 3/7) dan bukan perbedaan dalam
hukum agama. Perbedaan yang kedua ini kita dapatkan para sahabat ra setelah wafatnya
nabi SAW berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. Pendapat mereka berbeda-
beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka telah berijtihad dalam masalah yang
memang diperintahkan untuk itu. Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang
saling mencintai satu sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan Islam.”[18]

Imam al-Qurthubi menambahkan: “Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT


menciptakan mereka manusia.”[19] Lebih jauh Imam Ghazali menambahkan:
“Bagaimana mungkin ummat akan bersatu mendengarkan satu pendapat saja, padahal
mereka telah ditetapkan sejak di alam azali bahwa mereka akan terus berbeda pendapat
kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH (para Rasul as), dan karena hikmah
perbedaan itulah mereka diciptakan.”[20]

Imam Abu Hayyan at-Tauhidi menyatakan: “Tidak mungkin manusia berbeda pada
bentuk lahir mereka lalu tidak berbeda dalam hal batin mereka, dan tidak sesuai pula
dengan hikmah penciptaan mereka, jika sesuatu yang terus menerus membanyak
sementara tidak berbeda-berbeda.”[21] Imam Syihabuddin al-Qarafi mengatakan: “Telah
ditetapkan dalam ushul-fiqh bahwa hukum-hukum syariat seluruhnya dapat diketahui
disebabkan oleh adanya ijma’ bahwa seluruh mujtahid, jika zhan (kecendrungan terkuat
menurutnya) mencapai suatu hukum tertentu maka itulah hukum ALLAH SWT bagi
dirinya dan bagi para pengikutnya.”[22]

Perbedaan pendapat ini dinamakan sebagai perbedaan pendapat yang disyari’atkan (al-
ikhtilaf al-masyru’), tafadhal para pencari ilmu membuka dan merujuk langsung pada
kitab-kitab yang disebutkan, di antaranya sbb:

1. Al-Ikhtilaf Al-Ulama’, yang disusun oleh Imam Abi AbduLLAAH, Muhammad bin
Nashr Al-Mirwazi (wafat th. 294-H).

2. Al-Ikhtilaf Al-Fuqaha’, karangan Imam Abi Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir bin Ghalib Al-Amaliy, digelari Imam At-Thabari (wafat th. 310-H).

3. Al-Awsath fi As-Sunan wa Al-Ijma’ wa Al-Ikhtilaf, karya Imam Muhammad bin


Ibrahim bin Mundzir An-Naisaburiy, digelari Ibnul Mundzir (wafat th. 318-H)

4. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Abil Walid, Imam Muhammad bin


Ahmad bin Muhammad bin Rusyd Al-Andalusiy, digelari Ibnu Rusyd (wafat th. 595-H).

5. Al-Mughniy Fi Fiqhil Imam Ahmad Ibni Hanbal Asy-Syaibaniy, oleh Abil Faraj,
Imam AbdiRRAHMAN bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisiy Al-
Hanbaliy, digelari Syamsuddin (wafat th. 682-H).

6. I’lam Al-Muwaqqi’in an RABBil ‘Alamin, Imam Muhammad bin Abubakr bin Ayyub
bin Sa’d bin Qayyim, digelari Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751-H).

7. Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al-Haqq min ‘Ilmil Ushul, Imam Abi ‘Ali, Muhammad bin
‘Ali bin Muhammad bin AbduLLAAH Asy-Syaukani Ash-Shan’ani, digelari Imam Asy-
Syaukaniy (wafat th. 1255-H).
8. Dll.
___
Catatan Kaki:

[1] QS Hud, 11/118-119

[2] Lih. Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Darul Kutub al-Mishriyyah, juz-IX,
hal 114-115)

[3] QS Al-Maidah, 5/48

[4] QS Ali Imran, 3/113-115

[5] QS Al-Maidah, 5/82-83

[6] HR Al-Baihaqi, dalam Al-Kubra’, X/114 juga dalam Sunan-nya, II/425 no.20838;
Jam’ul Ahadits Lis-Suyuthi, XXV/146;

[7] HR Bukhari, VI/12 no. 1496; Muslim, I/151 no. 131

[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh

[9] QS Ali Imran, 3/105

[10] HR Muslim, Kitabul ‘Ilmi, no.2

[11] Adh-Dha’ifah Lil Albani, IV/75

[12] Ar-Risalah Lisy Syafi’i, hal. 560

[13] Ar-Raddu ‘alal Mukhalif, hal.39

[14] QS An-Nahl, 16/64

[15] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebut masalah ini sebagai masalah2 ilmiyyah
atau khabariyyah, lih. Majmu’ Al-Fatawa, XIX/204

[16] Bahrul Muhith, VI/240 dan Al-Ihkam, IV/162 [17] Ar-Risalah lisy Syafi’i, hal-560,
Maktabah Ilmiyyah, Kairo, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir

[18] Al-Muwafaqaat lisy-Syatibi, juz-4, hal-121, 1

[19] Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 9, hal 114-115

[20] Al-Qisthas al-Mustaqim, hal.61. Bagian dari kumpulan kitab-kitab Al-Qushur Al-
Alawi min Rasa’il Al-Imam al-Ghazali, Maktabah Al-Jundi, Kairo

[21] Al-Imtina’ wa Al-Mu’assanah, juz 3, hal 99, Kairo (tahqiq Ahmad Amin dan Ahmad
az-Zain)

[22] Al-Umniyyah fi Idrak Anniyyah, hal 515, dalam kumpulan kitab-kitab Al-Qarafi wa
Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami (tahqiq AbduLLAH Ibrahim Shalah)

Jadi, apakah salawat nabi yang diputar dikaset itu ’kotor’ sekali dalam pandanganmu,
Ibuny?

Anda mungkin juga menyukai