Anda di halaman 1dari 14

Hukum Menyanyi dan Musik dalam

Fiqih Islam
Posted by Farid Ma'ruf pada 18 Januari 2007

Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam

pandangan Islam? Karena ada sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang

membolehkan. Mohon penjelasannya.

Jawab: 1. Pendahuluan

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang

cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi.Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau

kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang

dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan

permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan

saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau

penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai

media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah

menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad

Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur

kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme

menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan

(fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan

demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik,

tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni

vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler

yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem

kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw

dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat

rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun

demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti

kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian.

Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan,

seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita

atau lingkungan kita.


Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih

Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi

bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk

merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja

perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku

Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau

lingkungan kita.

2. Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu

definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek

penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa

indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke

dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis),

atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni

Dalam Pandangan Islam, hal. 13).

Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama

yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen

musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat

berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal.

Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media

alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui

perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan

dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk

seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam

Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi

topik pembahasan.

3. Tinjauan Fiqih Islam

Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan

variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis,

terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan

hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu,

paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi,

yaitu:

Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).


Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.

Ketiga, hukum memainkan alat musik.

Keempat, hukum mendengarkan musik.

Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau

patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan

kemaksiatan atau keharaman.

Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang

disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para

ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab

al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash

wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal.

21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3).

Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian

fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda

dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.

3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian

mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya

sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-

Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi

Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik.http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga

oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38),

dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):

A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:

a. Berdasarkan firman Allah:

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits)

untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan.

Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di

antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.


Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs.

al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi,Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-

‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).

b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-

alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].

c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya,

mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi

Dunya dan Ibnu Mardawaih].

d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi

Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua

pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid

Dunya.].

f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang

melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat

musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan

(rannatus syaithan).”

B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:

a. Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan

bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang

melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:


Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka

dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau

dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata;

“Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].

c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:

Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku,

lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan

memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata:

“Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw

bersabda:

“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-

Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].

d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah

Saw bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR.

Bukhari].

e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang

melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:

“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah

Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

C. Pandangan Penulis

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi

(ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang

sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak

bertentangan itu.

Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang

saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua

hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah

satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika

terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-

Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat

adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil

yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai

proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak

yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:

Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua

dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.”

(Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan

untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:

Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk

ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).

Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa

dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan,

menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat,

kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula

dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang

dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau

kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh

Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).

Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang

dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian

yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il),

atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–

wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung

pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan

sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang

kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya

memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak

menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-

Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-

Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).

3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian

a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)


Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada

perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-

ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib

terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu,

termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-

perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur,

menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan

sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah

mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:

Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah

mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).

Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi,

melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya.

Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri

adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu,

misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.

Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum

asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar,

suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit

catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya

mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita

mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi

perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja

kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan

mendiamkannya.

Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah,

bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya

mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam

diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:

“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya

(kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah

dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam

Muslim, an-Nasa’i,Abu Dawud dan Ibnu Majah].

b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)


Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu

mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan

antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-

ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya

seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya

berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum,

berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-

Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-

ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan

perbuatan jibiliyyah.

Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang

melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu

boleh mendengarkan nyanyian tersebut.

Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah

nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai

dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-

Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:

“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.”

(Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).

“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs.

al-An’âm [6]: 68).

3.3. Hukum Memainkan Alat Musik

Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya?

Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan

kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:

“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi

Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina

Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam,

hal. 24).

Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan

dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh

Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan

alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli
hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalamMuqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-

Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu

Hajar dalamTaghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul

Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyahdan Imam Ibnul Qayyim dan

masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-

Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan

alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-

16).

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:

“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di

sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal

atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal.

57).

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada

dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika

tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

3.4. Hukum Mendengarkan Musik

a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti

show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan

mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur

kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.

Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau

terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.

Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr.

Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).

b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh

Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan

musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara

langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana

pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset,

VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda

menyebutkan:

Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah

boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni

Dalam Pandangan Islam, hal. 76).

Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat

akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah

syar’iyah menetapkan:

Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram

juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).

4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang

nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun

atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau

kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus

diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):

1. Musisi/Penyanyi.

2. Instrumen (alat musik).

3. Sya’ir dalam bait lagu.

4. Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya:

1). Musisi/Penyanyi

a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus

kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak

mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran,

menentang kezaliman penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan

sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan

kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.


c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan

transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris

wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik

Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang

mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:

a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang

untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan

sarana upacara non muslim.

Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu

diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

3). Sya’ir

Berisi:

a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi

munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)

b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.

c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.

d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.

e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi:

a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).

b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.

c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.

d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).

e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.


4). Waktu Dan Tempat

a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan

saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.

b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).

c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).

d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).

5. Penutup

Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam

pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog

dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.

Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian

pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan

perbedaan itu sangat penulis hormati.

Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya

melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun

peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah

naunganLaa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]

(www.faridm.com)

Wallahu a’lam bi ash-showab.


Bernyanyi di Kamar Mandi
Oktober 22, 2008Anggit DwipramanaTinggalkan komentarGo to comments

Bagi segelintir orang, bernyanyi di kamar mandi menjadi sebuah hobi. dengan melakukannya
seolah ada kepuasan tersendiri. bahkan ada yang mengatakan bahwa beban pikiran menjadi
hilang dengan bernyanyi di kamar mandi. dan secara otomatis stress yang dialami pun hilang
seketika.
melakukan hobi ini bisa pula sebagai ajang latihan bagi seseorang yang ingin menjadi penyanyi.
melantunkan lagu dan nada dimana tidak ada orang yang melihat langsung merupakan sarana
ampuh untuk mengasah bakat menyanyi.
namun apakah aktivitas ini dibolehkan dalam kacamata islam?dalam situs syariahonline, ustad
mengatakan seperti ini.
Pada dasarnya tidak ada hukum khusus mengenai seseorang yang berbicara di dalam kamar
mandi, dengan demikian, karena tidak ada larangan, maka ia kembali kepada hukum asal yaitu
boleh. Asalkan pembicaraan atau nyanyian itu adalah baik. Sehingga yang menjadi penilaian
adalah bukan keberadaanya di dalam kamar mandi, akan tetapi lebih kepada materi pembicaraan
dan nyanyian.
Dalam sebuah riwayat dikatakan; bahwa Aisyah Ra mandi bersama Rasulullah Saw dari air satu
bejana/wadah, maka Rasulullah mendahului Aisyah dan Aisyah mendahului Rasulullah, sampai
kemudian Rasulullah berkata: sisakan air untukku, Aisyah pun juga berkata: sisakan untukku.

Dari hadits di atas jelas bahwa telah terjadi pembicaraan antara Rasulullah dan istrinya ketika
sedang mandi bersama. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak ada larangan berbicara di kamar mandi
selama isi dari pembicaraan itu adalah baik.

Namun apabila aktifitas yang dilakukan di kamar mandi adalah buang air besar atau kecil,
misalnya saja kamar mandi menyatu dengan tempat buang air. Maka ketika sedang buang air
kecil maupun besar, seseorang tidak diperkenankan untuk berbicara, hal itu adalah termasuk adab
/ etika bagi seseorang yang sedang buang hajat. Dalam sebuah hadits dijelaskan: dari Abu Sa’id
Ra berkata: aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: tidak layak dua orang keluar untuk buang
hajat (BAB), keduanya dalam keadaan buka aurat ( buang hajat) kemudian berbincang-bincang,
karena hal itu mengundang murka Allah Swt (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam hadits lain dari Ibnu Umar Ra: ada seorang laki-laki yang melewati Rasulullah Saw yang
sedang buang air kecil, laki-laki itu mengucapkan salam dan Rasulullah tidak menjawabnya (HR.
Jama’ah selain Bukhori).

Dari hadits di atas, jelas bahwa larangan bicara atau yang serupa dengan itu (seperti; bernyanyi
dll) yang dimaksud adalah bagi seseorang yang sedang melakukan buang hajat baik kecil maupun
besar, bukan karena berada di dalam bangunan toilet. Bahkan meskipun tidak didalam bangunan
toiletpun, misalnya di ladang atau disungai, seseorang atau dua orang yang sendang buang hajat,
tidak diperkenankan untuk berbicara / berbincang-bincang. Wallahu a’lam.
sebagaimana yang dkatakan oleh ustad, berbicara atau bernyanyi di kamar mandi sah sah saja.
namun yang dilarang adalah bernyanyi atau berbicara saat buang air baik kecil maupun besar.
satu kesimpulan lagi yang perlu diamalkan adalah janganlah berbicara saat buang air meskipun
diajak berbicara orang lain. namun yang perlu diingat pula adalah diharapkan orang yang diajak
berbicara tersebut meminta maaf kepada yang mengajaknya bicara setelah selesai buang air dan
memberikan penjelasan mengenai hal ini.

Anda mungkin juga menyukai