Anda di halaman 1dari 31

Posts Tagged “islam dan kesenian”

29 06 2009

Masalah Nyanyian dan Musik


Diposting oleh: Studi Islam pada Fiqih

Pendahuluan

Seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan
dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh
indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak (seni tari, drama). [Ensiklopedi Indonesia. PT Ikhtiar Baru - Van
Hoeve, Jakarta. Jilid V halaman 3080 dan 3081].

Secara umum, seni suara meliputi tiga bentuk, yaitu: (1) seni musik (instrumental art)
merupakan bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang
keluar dari alat musik tersebut; (2) seni vokal yaitu melagukan syair yang hanya
dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik; (3)
gabungan antara seni musik dan seni vokal berupa nyanyian yang diiringi musik.

Bangsa Arab pra-Islam dikenal sebagai penyair yang ulung. Minimnya tradisi tulisan
yang mereka gunakan, membuat seni suara (terutama seni vokal) menjadi alat
komunikasi dan pewarisan pengetahuan yang vital di kalangan bangsa Arab. Bangsa
Arab pun telah mengenal alat musik seperti seruling, rebana, gambus, tambur, dan
lain-lain. Setelah bangsa Arab masuk Islam, orientasi seni mereka berubah mengikuti
orientasi hidup yang diajarkan Islam.

Kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh saw diwarnai oleh sikap sederhana
(zuhud) dan banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh. Membela Islam dan
meluaskannya, menghendaki seluruh pemikiran dan usaha, sehingga sedikit tersisa
waktu untuk menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni) apalagi menikmatinya.
Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum muslimīn pun berbaur dengan berbagai
bangsa yang telah memiliki kebudayaan dan kesenian yang mapan, sehingga
berinteraksilah mereka dengan kesenian Mesir, Persia, dan Romawi. Berbagai
kemenangan pasukan Islam telah membawa pula kekayaan dan waktu luang yang
dapat dinikmati. Akibatnya, mulai ada kalangan masyarakat muslim yang
memfokuskan diri di bidang seni.
Muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M). Setelah itu
kaum muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari
bahasa Yunani dan India. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan
mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat
instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya. Di antara pengarang teori musik
Islam yang terkenal antara lain ialah:

a.) Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang
musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai
tinggi sehingga pengarang-pengarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli
musik ini.

b.) Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik
mengenai not dan irama.

c.) Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.), telah berhasil memperbaiki
musik Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah
Kitab-ul-Alhan wal-Angham (Buku Not dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam
musik sehingga mendapat julukan Imam-ul-Mughanniyin (Raja Penyanyi).

Selain mereka terdapat pula Ibnu An-Nadīm Al-Maushilli (235 H), Hunaian Ibnu
Ishāq (264 H), dan lain-lain. [Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan
Tari. Oleh: ‘Abd-ur-Rahmān Al-Baghdādī. Gema Insani Press.
http://www.musikdebu.com/seni/index.html, February 2006.].

Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah
Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan pejabat lainnya memberikan perhatian
yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik (Lihat Prof. A.Hasjmy,
Sejarah kebudayaan Islam, hlm. 320-321). Banyak sekolah musik didirikan oleh
negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun
sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling teratur adalah yang didirikan oleh
Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M).

Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah
musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi
pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang untuk bekerja di istana dan di rumah
pejabat negara atau pun di rumah para hartawan (Lihat Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm.
322). Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang
sangat terkenal ada di kota Sevilla (Andalusia/Spanyol).

Polemik mengenai nyanyian dan musik

Yusuf Qardhawi dalam bukunya ‘Islam Bicara Seni’ (Solo: Era Intermedia, 2004)
mengatakan bahwa nyanyian, apakah disertai musik atau tidak, telah menjadi
permasalahan yang memancing perdebatan pendapat para ulama Islam sejak dahulu
kala. Ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab), ada
yang menganggapnya mubah (boleh), dan ada juga yang menganggapnya makruh
atau haram. Terdapat ungkapan di kalangan ulama yang mengatakan: “Siapa yang
tidak mengetahui perselisihan fiqh para fuqaha (ahli fiqh), maka ia belum mencium
aroma fiqh.” (Al Ikhwan Al Muslimun: Anugerah Alloh yang Terzalimi. Farid
Nu’man. Depok: Pustaka Nauka, 2004). Sehingga dalam menyikapi perselisihan
tersebut sikap kita adalah meneliti setiap hujjah dengan adil.

a.) Surat Luqman (31) ayat 6: “Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (Lahwal Hadits) untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-
olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” Sebagian sahabat
seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, serta tabi’in seperti Mujahid, Hasan Al-Basri,
Ikrimah, Said bin Zubair, Qatadah, dan Ibrahim An-Nakha’i, menafsirkan “Lahwal
Hadits” (perkataan yang tidak berguna) dengan arti nyanyian (lagu) atau
menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III). Begitu
juga pendapat sebagian ahli tafsir, antara lain Imam Ibnu Katsir yang berkata (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III): “Orang-orang celaka itu telah berpaling dari
mendengarkan Kalamullah dan mengambil manfaatnya. Mereka cenderung
mendengarkan suara seruling nyanyian dengan irama alat-alat musik yang
melenakan.”

Maka Ibnu Hazm (Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm atau lebih dikenal dengan Abu
Muhammad bin Hazm, seorang faqih bermazhab Dawud az-Zhahiri [tekstual],
penyair, ahli manthiq [logika], filsuf, dan ahli kedokteran, hidup di Qordoba
[Andalusia/Spanyol], tiga kali menjadi wazir [menteri], wafat tahun 456 H, karyanya
yang terkenal antara lain al-Muhalla [fiqih], al-Ihkam fi Ushulil Ahkam [Ushul Fiqih],
al-Fishal fi Milal wan Nihal [sejarah firqah-firqah], dan Thuqul Hamam [kajian cinta].
Ibn Hazm banyak berselisih dengan pengikut mazhab Maliki, Adz-Dzahabi [ahli
hadits dan sejarah, murid Ibn Taimiyah, penulis Mizanul I’tidal, Siyar A’lamin
Nubala, dan Al Kaba’ir] termasuk ulama yang membela Ibnu Hazm) membantah
pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Jilid VI, cet. Al
Munirah) bahwa semua pendapat yang semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah atau bukti dengan sebab-sebab sebagai berikut:

Pertama. Pendapat ini bukan berasal dari Rasulullah saw, sehingga pendapat ini bisa
diambil dan bisa juga tidak diambil.

Kedua. Pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah
tentang firman Allah swt dalam surat Luqman ayat 6 yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat ini bertentangan dengan
pendapat lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in, sehingga hal tersebut merupakan
khilafiah di kalangan sahabat dan tabi’in.

Ibnu An-Nahawi dalam kitab Al ‘Umdah mengatakan: “Menyanyi dan


mendengarkannya telah dibolehkan (halal atau mubah) dari sejumlah sahabat dan
tabi’in, di antara sahabat adalah Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abdil
Barr dan lainnya. Juga Utsman, sebagaimana dinukil oleh Al Mawardi dan Shahibul
Bayan dan Ar-Rafi’i. Juga Abdur Rahman bin ‘Auf sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah. Juga Abu ‘Ubaidah Ibnu Jarrah sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Al Baihaqi. Juga Sa’ad bin Abi Waqqas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Qutaibah. Juga Abu Mas’ud Al Anshari sebagaimana diriwayatkan oleh Al Baihaqi.
Juga Bilal dan Abdullah bin Arqam dan Usamah bin Zaid, sebagaimana diriwayatkan
oleh Al Baihaqi, Hamzah sebagaimana di dalam Shahih, Ibnu Umar sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Thahir, Bara’ bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim, Abdullah bin Ja’far sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr,
Abdullah bin Zubair sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Thalib Al Makki, Hassan
bin Tsabit sebagaimana diriwayatkan oleh Abul Faraj Al Ashfahani, Abdullah bin
Amr sebagaimana diriwayatkan oleh Zubair bin Bakkar, Qurdzah bin Ka’ab
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah, Khawwat bin Jubair dan Rabah
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Thalib Al Makki, ‘Amr bin Ash sebagaimana
diriwayatkan oleh Al Mawardi, Aisyah dan Rubayyi’ sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam shahihnya dan Imam lainnya. Adapun para tabi’in adalah, Sa’ad
bin Musayyab, Salim bin Abdillah bin Umar, Ibnu Hassan, Kharijah bin Zaid, Syuraih
Al Qadhi, Said bin Jubair, ‘Amir Asy-Sya’bi, Abdullah bin Abi Atiq, ‘Atha’ bin
Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Umar bin Abdul ‘Aziz, dan Sa’ad bin
Ibrahim Az-Zuhri. Dari kalangan tabi’it tabi’in adalah banyak sekali, antara lain
Imam yang empat (madzahib), Ibnu ‘Uyainah dan Jumhur Syafi’iyah.” Selesailah
perkataan Ibnu An-Nahawi. Ini semuanya disebutkan oleh Imam Syaukani di dalam
Nailul Authar (Nailul Authar, Jilid VIII).

Ketiga. Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Ayat ini tidak
membahas nyanyian, melainkan sikap dan perbuatan orang-orang kafir yang berusaha
menjadikan ayat-ayat Allah swt sebagai senda-gurau. Andaikan Al-Quran dibeli untuk
menyesatkan orang-orang dari jalan Allah swt dan dijadikan sebagai bahan ejekan
maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir tanpa ada
selisih pendapat (khilaf). Inilah yang dicela oleh Allah swt melalui ayat tersebut. Arti
ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan
sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan
Allah swt. Orang-orang yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak
melakukan sholat walaupun apa yang dilakukannya adalah dengan membaca Al-
Quran, buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang
banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa
dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun yang
tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan
apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak
salah melangkah). Dengan demikian, setiap usaha menafsirkan ayat tersebut dengan
arti nyanyian adalah penyimpangan dari makna yang telah ditunjukkan oleh ayat itu
sendiri.

Dalam Tafsirnya, Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan hadits dari Abu Umamah Al-
Baahily, katanya: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh mengajari
budak-budak wanita (untuk menyanyi), tidak halal memperjualbelikan mereka. Harga
jual belinya juga haram.” Imam Ath-Thabari kemudian berkata lagi: “Terhadap
merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan.”

Namun Hadits yang dijadikan sandaran Imam Ath-Thabari tersebut sanadnya dha’if,
terdapat perawi bernama Ali bin Yazid yang menurut Imam Bukhari adalah perawi
Hadits yang munkar (Haditsnya harus ditolak). Imam An-Nasai juga menilai bahwa
orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abu Zur’ah berkata bahwa Haditsnya tidak kuat
riwayatnya, sedangkan Ad-Daruquthni berkata bahwa orang tersebut “matruk”
(Haditsnya harus ditinggalkan).

At Tirmidzi dan Imam Ahmad dalam Musnadnya juga meriwayatkan bahwa Nabi saw
bersabda: “Janganlah engkau jual qainah (budak wanita yang menjadi biduanita),
jangan membelinya, dan jangan mengajarinya (bermain musik). Tiada kebaikan
dalam memperdagangkannya. Dan harganya itu haram.” Hadits ini dha’if karena
kedha’ifan perawinya, yaitu Abdullah bin Zahr dan Ali bin Yazid. Syaikh Al Albani
mendha’ifkannya dalam Dha’iful Jami’ (6189) hal. 893-894.

b.) Surat Al Qashash (28) ayat 55: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat (laghwu), mereka berpaling dari padanya.” Al laghwu (perkataan
yang tidak berguna) ditafsirkan sebagai nyanyian. Pendapat ini dijawab, bahwa secara
zhahir dari ayat ini “Al laghwu” adalah perkataan kotor seperti mengejek, mencaci
maki, perkataan yang menyakitkan dan sebagainya. Karena kesempurnaan ayat
membuktikan hal itu: “Dan mereka berkata, Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amal-mu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-
orang jahil.” (Al Qashash: 55). Ini mirip dengan firman Allah swt yang menjelaskan
sifat-sifat ‘Ibadur Rahman: “Dan apabila orang-orang jahil itu mengejek mereka,
mereka (balas) mengatakan dengan ucapan selamat.” (Al Furqan: 63).

Kata “Al Laghwu” seperti kata “Al Baathil” yang berarti tidak berguna. Dan
mendengarkan apa-apa yang tidak berguna itu tidak haram selama tidak
menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib. Al laghwu dapat meliputi nyanyian
jika nyanyian tersebut menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib. Tidak semua
nyanyian itu termasuk “Al laghwu.” Sesungguhnya itu tergantung pada niat orangnya,
karena niat yang baik itu bisa mengubah suatu permainan menjadi suatu ibadah, dan
bergurau menjadi suatu ketaatan sementara niat yang kotor itu bisa menghapus amal
kita yang zhahirnya beribadah sementara bathinnya riya, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kamu dan harta kamu, tetapi Dia
melihat pada hati dan amalmu .” (HR. Muslim).

Ibnu Hazm dalam Al Muhalla mengatakan: “Rasulullah saw bersabda,


“Sesungguhnya diterimanya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan
sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung pada niatnya …” (Muttafaqun
‘Alaih: Bukhari dan Muslim). Maka barang siapa yang mendengarkan nyanyian untuk
membantu bermaksiat kepada Allah, maka dia fasiq. Demikian juga terjadi pada
selain nyanyian. Tetapi barangsiapa yang dengan nyanyian (diiringi cara yang sesuai
syariat) itu dia berniat untuk menghibur dirinya dan untuk memperkuat taatnya
kepada Allah dan dengan nyanyian itu ia bersemangat untuk berbuat kebajikan maka
ia termasuk berbuat ketaatan dan kebaikan, dan perbuatannya termasuk barang haq.
Dan barang siapa tidak berniat taat atau maksiat maka itu termasuk laghwun yang
dimaafkan, seperti orang yang keluar ke kebunnya dan duduk di pintu rumahnya
untuk bersenang hati dan mewarnai bajunya dengan warna keemasan atau hijau atau
yang lainnya.” (Al Muhalla: 9/60).

c.) Surat An Najm (53) ayat 59-61: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap
pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu
melengahkan (saamiduun)?”

Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ‘saamiduun’ ialah al-Ghina (nyanyian) [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV]. Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar.
Kabilah ini sering berkata: “samada lanaa ghanna lanaa” (mereka bernyanyi untuk
kita). Pendapat Ibnu Abbas ini didukung oleh Mujahid dan Ikrimah (Lihat Ibnu Al-
Jauzi, Talbis Iblis; dan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV).
Namun ayat ini tidak ada kaitannya dengan nyanyian, melainkan menjelaskan tentang
sikap kafir Quraisy yang heran akan Hari Kebangkitan yang nanti sampai kepada
mereka. Kafir Quraisy menganggap hal tersebut merupakan kejadian yang mustahil,
sehingga mereka mentertawakan ayat Al-Quran yang memberitahukan tentang adanya
Hari Kebangkitan.

Kata “saamidun” tidak tepat diartikan “nyanyian” untuk ayat ini, serta tidak sesuai
dengan susunan ayat. Oleh karena itu, sebagian besar ahli tafsir berpendapat, yang
dimaksud dengan kata “saamidun” adalah “mu’ridhun” (menghindari daripadanya),
atau “ghafilun” (mengabaikan, melupakan). (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV; Tafsir
Ath-Thabari, Juz XXVII; Tafsir Qurthubi, Juz XXVII).

d.) Surat Al-Israa (17) ayat 64: “Dan hasunglah (kobarkanlah, bujuklah) siapa yang
kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (shautika)….”

Perkataan Shautika (suaramu) yang ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk
membujuk manusia, maksudnya tidak lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat.
Sebagian ulama tabi’in seperti Mujahid dan Adh-Dhahaak, mengatakan Shautika
adalah nyanyian dan hiburan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III; Ibnu Al-Jauzi, Talbis
Iblis).

Seperti ayat terdahulu, ayat ini juga tidak ada kaitannya dengan nyanyian. Ayat
tersebut berkaitan dengan perbuatan Iblis yang dibiarkan (hidup dan berbuat apa saja)
oleh Allah swt untuk menggoda dan menyelewengkan manusia dari jalan-Nya. Oleh
karena itu, kata “shautika” pada ayat tersebut tidak dapat ditafsirkan dengan arti
“nyanyian.”

Walaupun arti “shautika” secara lughawi adalah “suaramu,” tetapi arti tersebut
berbentuk kiasan. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mendengar suara Iblis.
Manusia hanya dapat merasakan bisikan dari Iblis (rasa was-was) yang berbentuk
seruan atau ajakan kepada maksiat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan
Ibnu Jarir Ath-Thabari, serta pendapat ahli tafsir secara umum. (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid III).

Seruan Iblis untuk mengajak kepada maksiat terkadang dapat dikaitkan dengan
berbagai jenis hiburan yang kadarnya melebihi takaran atau melampaui batas-batas
yang dibenarkan syara’, seperti main musik dan bernyanyi pada waktu sholat Jum’at.
Pesta yang bercampur antara kaum lelaki dan perempuan adalah suatu peristiwa yang
disenangi syetan, apalagi kalau disertai dengan minuman keras, judi, main
perempuan, menari bersama, dan lain-lain. Namun menafsirkan “shautika” sebagai
nyanyian dan alat musik secara definitif, tidaklah tepat dengan susunan ayat tersebut.
Karena seruan Iblis juga dapat berupa semua bentuk ajakan kepada kemaksiatan atau
ajakan kepada hal yang mubah tetapi secara berlebihan.

e.) Hadits dari Abi Amir atau Abu Malik Al Asy’ari (perawi ragu-ragu), dari
Rasulullah saw beliau bersabda: “Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku
golongan yang menghalalkan zina, sutra, khmar dan Al Ma’azif (alat
permainan/musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing
bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi
golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu.
Ketika itu mereka kemudian berkata: “Datanglah kepada kami esok hari.” Pada
malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas
mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi
monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 5590–Fath. Hadits Mu’allaq:
hadits yang diriwayatkan dengan tidak memakai sanad atau tidak disebut nama rawi
dari yang di permulaan sanad, terkadang mu’allaq tidak disebut sanadnya oleh
seorang ahli hadits lantaran hendak diringkas, padahal sanadnya ada, dan terkadang
memang diriwayatkan begitu saja, yakni dengan tidak bersanad).

Hadist tersebut meskipun ada dalam shahih Bukhari, tetapi termasuk “Mu’allaq,”
bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil (bersambung). Oleh karena itu Ibnu
Hazm menolak karena sanadnya terputus. Selain itu, para ulama hadits mengatakan
bahwa sanad dan matannya tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab/ Muththarib).

Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau
berhasil menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi
yang dibicarakan oleh sejumlah ahli hadits. Satu perawi itu adalah “Hisyam Ibnu
‘Ammar,” perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus, muqri’nya, serta muhaddits
dan alimnya, bahkan Ibnu Ma’in dan Al ‘Ajli men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud
mengatakan, “Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya (yang
benar dari Rasul).” Abu Hatim juga berkata, “Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah
berubah (hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu.” Imam
Ahmad mengatakan, “Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).” Imam Nasa’i
mengatakan, “Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara mutlak).” Sedangkan
Imam Adz-Dzahabi berkata: “Shadaq dan banyak meriwayatkan, namun ada
kemunkarannya.” Para ulama juga mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits
kecuali memakai upah. Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat
terjadi perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah
menjadi fitnah.

Kalaupun hadits tersebut shahih, maka Hadits tersebut menjelaskan perilaku


sekelompok manusia yang tenggelam dalam kemewahan, malam-malam pesta dan
minuman keras. Mereka hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu,
zina dan sutera. Karena itulah Imam Bukhari dalam riwayat lain (At-Tarikh-ul-Kabir
No. 305) meriwayatkan hadits ini dengan kata-kata sebagai berikut: Dari Abi Malik
Al Asy’ari, dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Sungguh akan ada manusia dari
ummatku yang meminum khamr, yang mereka namakan dengan nama-nama lain,
kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi
wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam tanah dan akan mengganti rupa
mereka dengan kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani
halaman 45-46).

Seluruh perawi yang meriwayatkan hadits dari selain Hisyam bin Ammar telah
menjadikan ancaman itu pada orang yang meminum minuman keras, dan bukanlah
pada al-Ma’azif (alat-alat musik).

Mengacu pada hadits Bukhari dalam At Tarikh, maka hadits Bukhari No. 5590 tidak
menunjukkan bahwa diturunkannya azab berupa tanah longsor dan pertukaran rupa,
adalah karena mereka menggunakan alat-alat musik atau karena mendengarkan
nyanyian. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka disebabkan karena mereka
telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan
membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara
lelaki dan perempuan. Selain itu mereka menghalalkan menggunakan alat-alat musik
di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’, sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh hadits Bukhari dalam At Tarikh.

Mengenai perzinaan dan minum khamr, sudah jelas haram hukumnya. Adapun
mengenai pemakaian sutera dan memainkan alat-alat musik maka syara’ telah
mengaturnya. Sutera dihalalkan bagi kaum wanita tetapi haram bagi kaum lelaki
kecuali apabila ada alasan yang membolehkannya, misalnya sakit kulit, maka ia
mendapat rukhshah (keringanan) untuk memakainya (HR Bukhari dan Muslim).
Pemakai sutera yang disebut dalam Hadits Bukhari No. 5590 adalah orang-orang yang
menghalalkan pemakaian sutera bagi kaum lelaki secara mutlak tanpa kecuali. Begitu
pula tentang penggunaan alat-alat musik, syara’ telah membolehkannya dalam acara
pesta pernikahan atau pada hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Sabda Nabi saw:
“Yang membedakan antara halal (nikah) dan haram (zina) adalah memukul rebana
dan lagu-lagu waktu akad nikah” (HR Ahmad). Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw
bersabda: “Umumkanlah pernikahan dan jadikanlah ia di masjid-masjid, dan pukullah
rebana” (HR Tirmidzi). Maksud Hadits Imam Bukhari No. 5590 jatuh kepada
segolongan orang-orang dari kaum Muslimin yang berani menghalalkan penggunaan
alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan syara’. Misalnya
memainkannya di tempat umum (bukan di tempat dan acara khusus) dengan
mengiringi para peminum khmar.

Pada Hadits Bukhari dalam At Tarikh, ditambahkan bahwa para peminum khamr
tersebut juga mendengarkan nyanyian wanita, yang berarti membolehkan wanita
tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan.

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, Rasulullah saw bersabda:
“Segolongan dari umatku akan minum khamr tetapi dengan menyebutkan dengan
nama lain, dan mereka akan didatangi oleh para penyanyi wanita keliling beserta
pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath-ul-
Bari, Jilid X).

Imam Al Ghazali mengatakan: “Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi


wanita yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya
wanita di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah, itu haram.
Adapun menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram
berdasarkan hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) bahwa Nabi saw pernah
mendengar nyanyian dua budak wanita di rumah ‘Aisyah ra” (Al Ihya’:1 148).

Para penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan,
di mana Islam datang untuk memberantasnya secara bertahap. Maka apabila ada
hadits yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjualbelikannya, itu berarti
dalam rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh. [Sistem Masyarakat Islam
dalam Al Qur'an & Sunnah. Yusuf Qardhawi. Solo: Citra Islami Press. 1997.
http://www.isnet.org/].
f.) Hadits Rasulullah saw: “Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin
itu suatu kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya,
pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak panah dari busurnya” (HR.
Ashabus Sunan: Sunan Abu Daud, Sunan An Nasa‘i, Sunan Ibnu Majah. Hadits
Muththarib: bergoncang lantaran tidak tetap maknanya, hadits yang diriwayatkan oleh
seorang rawi dengan satu rangkaian, tapi terdapat pula rawi itu riwayatkan hadits
tersebut dengan rangkaian lain yang maknanya tidak sama, atau ia riwayatkan suatu
hadits dengan satu sanad, tapi ada pula ia riwayatkan dengan sanad itu dengan
perubahan, dan tidak dapat diputuskan mana yang dapat dipakai). Nyanyian tidak
termasuk tiga permainan yang disebutkan dalam hadits ini, sehingga terlarang untuk
dilakukan.

Namun jumhur ahli hadits mengatakan bahwa hadits tersebut dha’if. Kalaupun shahih,
maka ungkapan Nabi: “Itu adalah bathil,” tidaklah menunjukkan pengharaman, tetapi
menunjukkan tidak berguna. Abu Darda’ pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku
akan melakukan untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk
melakukan yang haq (kebenaran).” Maksudnya sedikit membolehkan hiburan dalam
rangka menghilangkan kejenuhan sehingga dapat kembali semangat untuk beramal
[Islam Bicara Seni. Op. Cit. hal. 63].

Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits tersebut tidak dimaksudkan
untuk pembatasan mutlak. Orang-orang Habasyah pernah bermain pedang di Masjid
Nabawi (Muttafaqun ‘Alaih - lihat Bulughul Maram, Ibn Hajar al-Asqolani, bab
Masjid), sedangkan hal itu di luar dari tiga permainan tersebut, dan Nabi saw
membiarkannya. Begitu pula dalam hadits ‘Anas ra: “Tatkala Rasūlullāh datang ke
Madīnah, orang-orang Habsyah menari dengan gembira menyambut kedatangan
beliau sambil memainkan senjata mereka.” (HR Abu Dawud).

Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari
Anas ra, beliau berkata: “Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari
(dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh saw. Banyak anak-anak
berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang Habsyah
bernyanyi (dengan sya‘ir): “Muhammad adalah hamba yang shaleh….” (secara
berulang-ulang).” (Lihat Musnad Imam Ahmad, Jilid III; Al-Qastallanī, Irsyad-us-
Sari, Syarh- Shahih Bukhari, Jilid II).

g.) Hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah mendengar suara
seruling penggembala, maka beliau meletakkan kedua jari telunjuk dalam telinganya
dan mengalihkan kendaraannya dari jalan, beliau berkata: “Hai Nafi’, apakah kamu
masih mendengar?” Maka Nafi’ berkata: “Ya.” Lalu berjalan terus sampai Nafi’
berkata: “Tidak.” Maka Ibnu Umar turunkan tangannya dan kembali ke jalan semula
seraya berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah saw mendengar seruling
penggembala maka Nabi berbuat demikian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi.
Baihaqi mengatakan sanadnya hasan. Sedangkan Abu Dawud mengatakan: “Ini hadits
munkar,” yaitu hadits yang dalam sanadnya ada seorang yang banyak salahnya, atau
hadits yang lebih lemah sanadnya daripada hadits ma’ruf.).

Kalaupun hadits ini shahih, maka keharaman mendengarkan seruling tersebut tidaklah
mutlak. Karena seandainya mendengar seruling itu haram mutlak, maka Ibnu Umar
tidak akan memperbolehkan Nafi’ untuk mendengarkannya, dan Rasulullah saw pun
pasti memerintahkan Ibnu Umar untuk melarang dan mengubah kemunkaran itu.
Namun Rasulullah saw sekedar menjauhi suara seruling itu sebagaimana beliau
menjauhi banyak sekali hal-hal yang diperbolehkan dari masalah dunia, seperti makan
sambil bersandar atau beliau tidak suka kalau ada dinar dan dirham yang bermalam di
sisinya, hal tersebut lebih pada masalah afdholiyah (keutamaan) dan bukan halal-
haram yang sharih (jelas). Berdasarkan hal inilah maka sebagian ulama lebih suka
mengatakan makruh mendengarkan suara seruling, dan bukan mutlak
mengharamkannya.

h.) Ibnu Abi Dunya berkata: telah menceritakan kepada kami Ar Rabi’ bin Tsaqlab,
katanya: Farj bin Fadhalah menceritakan kepada kami riwayat dari Yahya bin Sa’id,
dari Muhammad bin Ali, dari Ali ra, katanya Rasulullah saw bersabda: “Jika umatku
telah melakukan lima belas perilaku, maka ia layak mendapatkan bala’ (bencana),”
Ditanyakan, “Apa saja kelima belas perilaku itu ya Rasulullah” Beliau menjawab,
“Jika kekayaan hanya berputar pada kalangan tertentu, amanat menjadi barang
rampasan, zakat menjadi utang, ilmu dipelajari untuk selain agama, seorang lelaki
(suami) menurut pada istrinya dan mendurhakai ibunya, berbuat baik kepada teman
namun kasar terhadap ayahnya sendiri, ditinggikan/dikeraskannya suara-suara di
masjid, yang menjadi pemimpin suatu kaum adalah orang yang paling hina di antara
mereka, seseorang dimuliakan karena ditakuti kejahatannya, diminumnya khamr,
dipakainya kain sutera, mengambil para biduanita, dan orang-orang akhir dari umat
ini telah melaknat orang-orang terdahulu. Maka jikalau sudah demikian, tunggulah
datangnya angin merah, pengamblasan bumi dan pengubahan bentuk.” Dalam sanad
hadits ini terdapat Al Farj bin Fadhalah yang oleh sebagian ahli hadits dinyatakan
dha’if mengenai hafalannya, namun Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam
Takhrijul Misykat (5451).

Hadits ini juga diriwayatkan At Tirmidzi: “Apabila ummatku melakukan lima belas
perkara, maka akan mendapat cobaan .. (salah satunya adalah) mengambil biduanita
dan alat-alat musik.” Hadits ini disepakati atas kedha’ifannya, maka tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah.

i.) Hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Umamah (Tartib Musnad Imam Ahmad,
Jilid V; dan Imam Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VIII): “Sekumpulan umatku
melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya
mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup
di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah
memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan sikap mereka menghalalkan khamr,
memukul rebana dan mengambil budak-budak wanita (untuk menyanyi) bagi
mereka.”

Hadis ini sanadnya dha’if. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Sa’id bin Mansur
dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari Abu
Umamah. Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan Haditsnya
tidak boleh ditulis, dan Farqad As-Sabakhi Haditsnya lemah. Bahkan Imam Ahmad
sendiri mengatakan bahwa Farqad As-Sabakhi riwayat Hadisnya tidak kuat (Ibnu
Hazm, Al-Muhalla, Jilid VI). Tetapi Ibnu Mu’in mengatakan bahwa orang ini “tsiqah”
(dapat dipercaya). At Tirmidzi mengatakan: “Yahya bin Asa’id melemahkannya
namun ada juga perawi-perawi yang mengambil riwayat darinya.”
Imam Az-Zahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan riwayatnya menurut Imam
Bukhari adalah “munkar-ul-hadits” (Hadits cacat yang diriwayatkan oleh satu riwayat
saja dan orang tersebut belum dapat dipercaya). Menurut Imam An-Nasa’i, Haditsnya
“matruk” (harus ditinggalkan). Sedangkan Ibnu Mu’in berpendapat, Hadits Al-Harits
bin Nabhan “Laisa bi syai” (Haditsnya tidak perlu diperhatikan atau tidak perlu
ditulis). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, Mizan-ul-I’tidali fi Naqd-ir-Rijal,
Jilid I, hlm.444, No.perawi Hadis 1649).

Walaupun Farqad As-Sabakhi menurut Ibnu Mu’in dapat dipercaya, namun menurut
Abu Hatim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa dalam
Haditsnya banyak Hadits yang “munkar.” Kemudian menurut Imam An-Nasa’i,
Haditsnya dha’if dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat Muhammad bin Ahmad
Az-Zahabi, ibidem, Jilid III, hlm. 346, No perawi Hadis 6699).

Hadits serupa berasal dari Ibnu Abi Dunya: Abdullah bin Umar Al Jusyami
menceritakan kepada kami, katanya: telah menceritakan kepada kami Ja’far bin
Sulaiman, katanya: Farqad As Sabakhi menceritakan kepada kami: telah menceritakan
kepada kami Qatadah dari Sa’id bin Al Musayyab, katanya: telah menceritakan
kepadaku Ashum bin Amru Al Bajali dari Abu Umamah, dari Rasulullah saw: “Akan
ada suatu kaum dari umat ini yang menghabiskan malamnya di atas makanan,
minuman, dan hiburan. Lalu pada pagi harinya mereka telah diubah bentuknya
menjadi kera dan babi. Dan pasti mereka itu akan amblas ditelan bumi, sehingga pada
esok harinya orang-orang pun bercerita, “Kampung si fulan terbenam tadi malam,
Bani Fulan amblas ditelan bumi tadi malam!” Dan pasti akan dikirimkan bebatuan
dari langit terhadap mereka, sebagaimana pernah dijatuhkan terhadap kaum Nuh, atas
kabilah-kabilah yang ada di dalamnya dan atas kampung-kampung (rumah) yang ada
di dalamnya. Pasti akan dikirimkan pula kepada mereka angin pemusnah yang pernah
membinasakan bangsa ‘Ad, karena mereka meminum khamr, memakan riba,
menjadikan budak-budak wanita untuk menyanyi, dan memutuskan tali
kekeluargaan.” Hadits ini dha’if karena pada perawinya juga terdapat Farqad As-
Sabakhi.

j.) Hadis riwayat Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, Jilid IV, Hadits No. 4927): Dari
Muslim bin Ibrahim, dari Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang
melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik
bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu
Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: “Kudengar
dari Abdullah bin Mas’ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Lagu
atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati.”

Pada sanad Hadits tersebut terdapat seseorang yang “majhul” (tidak dikenal), yaitu
seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Hadits, bila sanadnya majhul maka Hadits
tersebut harus ditolak. Imam Abu Dawud juga mengatakan bahwa Sallam bin Miskin
cenderung kepada pendapat golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya
takdir), sehingga tergolong ahli bid’ah yang tidak boleh diterima riwayatnya.

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya, juga dari Ibnu Mas’ud, Ibnu
‘Adi, dan Ad-Dailami dengan sanad yang dha’if. Menurut Ibn-ul-Qathan, ia
menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa Hadits ini tidak shahih.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan Imam Al-’Iraqi yang
menolak Hadits tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab Syuab-ul-Iman dari Jarir dengan
sanad yang di dalamnya ada seseorang yang bernama Ali bin Hammad. Orang ini
menurut Imam Daruquthni adalah “matruk” (harus ditinggalkan). Selain itu pada
sanadnya ada Abdullah bin Abd-ul-’Aziz bin Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim,
Haditsnya munkar seluruhnya. Akan halnya Ibn-ul-Junaid, beliau berpendapat orang
ini “tidak bernilai sesenpun” (Lihat Abd-ur-Rauf Al-Manawi, Faidh-ul-Qadir, Jilid
IV).

k.) Hadis riwayat Ibnu Ghailan Al-Bazzaz, bahwa Nabi saw bersabda (Lihat Imam
Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VIII; ‘Ala’uddin Al-Burhanfuri, Kanz-ul-Ummal,
Jilid XV, Hadis No. 40689): “Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling.”
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram.”

Hadits-hadits ini sanadnya lemah sebab di dalamnya terdapat dua perawi yang tak
bisa diterima riwayatnya, yaitu ‘Abbad bin Ya’kub dan Ja’far bin Muhammad bin
‘Abbad Al-Makhzumi.

Imam Az-Zahabi berkata, walaupun jujur dalam meriwayatkan Hadits, ‘Abbad bin
Ya’kub adalah anggota kelompok ghulat (ekstrimis) dari Syi’ah dan juga orang yang
terkemuka di antara golongan pembuat bid’ah. Imam Ibnu Hibban menilai orang ini
sebagai pendakwah madzhab Syi’ah Rafidhah. Orang ini selalu mencela ‘Utsman bin
‘Affan dan sahabat lainnya. Perbuatannya menjadi alasan kuat untuk menolak semua
riwayatnya. Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan
Hadits-Hadits munkar dari perawi terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Hibban,
riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat Az-Zahabi, Mizan-ul-I’tidal, Jilid II, No. perawi
4149).

Sedangkan Ja’far bin Muhammad bin ‘Abbad Al-Makhzumi, Imam An-Nasai berkata:
“Dia tidak kuat riwayatnya.” Sedangkan Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa orang ini
bukan ahli Hadits (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat Imam Az-Zahabi, Mizan-
ul-I’tidal. Jilid I, No perawi 1518).

Mengenai matannya, Hadits tersebut menjelaskan bahwa penghasilan penyanyi lelaki


maupun perempuan adalah haram. Yang dimaksud dengan penyanyi di sini adalah
biduan dan biduanita yang bernyanyi di tempat-tempat maksiat. Seperti tempat yang
di dalamnya orang-orang tidak merasa takut menenggak minuman keras. Penjelasan
seperti ini diterangkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari
‘Umar bahwa Rasulullah saw telah bersabda (Lihat Al-Hafizh Ad-Dailami, Firdaus-
ul-Akhbar, Jilid II, No. perawi 2371): “Penghasilan Qayinah (budak wanita yang
bernyanyi di arena maksiat) adalah suhtun (haram), dan begitu pula nyanyiannya.
Juga melihatnya (wanita itu) adalah haram. Penghasilannya sama dengan hasil dari
penjualan anjing, (karenanya) hartanya adalah suhtun (haram) pula. Siapa saja yang
daging tubuhnya tumbuh dari yang suhtun itu, maka tempat yang layak baginya
adalah nereka jahanam.”
Pada Hadits tersebut ada perawi yang bernama Yazid bin Abd-ul-Malik An-Naufali
yang menurut Imam Al-Haitsami telah didha’ifkan oleh jumhur ahli Hadits, namun
Imam Al-Haitsami telah menukilkan pendapat Ibnu Mu’in yang mengatakan bahwa
riwayatnya tidak ada masalah (bisa diterima). Selain itu, Imam Al-Haitsami mengutip
perkataan ‘Utsman bin Sa’id: “Aku pernah menanyakan kepada Yahya tentang orang
tersebut. Lalu Yahya menyebutkan bahwa riwayat orang tersebut tidak ada masalah
(bisa diterima).” Namun dalam riwayat Hadits yang lain, Yahya berkata bahwa orang
tersebut tidak bisa diterima riwayatnya. (Lihat Al-Haitsami, Majma’-ul-Fawaid, Jilid
IV; Imam Az-Zahabi, Mizan-ul-I’tidal, Jilid IV).

Berdasarkan Hadits di atas, maka yang dimaksud dengan penyanyi adalah wanita
yang menyanyi di hadapan kaum lelaki dalam suatu ruangan tempat bercampur-
baurnya lelaki dan perempuan, serta di dalamnya banyak orang bermabuk-mabukan.
(Lihat Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz VI, Jilid II).

Itu pula yang dimaksudkan dengan pemusik pada Hadits Abu Ya’la Ad-Dailami
(Lihat Imam Al-Manawi, Faidh-ul-Qadir, Jilid IV): “Penghasilan para penyanyi dan
pemusik adalah haram.”

Berdasarkan pembahasan di atas maka jelaslah bahwa nash-nash yang dijadikan dalil
oleh orang yang mengharamkan lagu-lagu itu mungkin shahih, tetapi tidak sharih
(jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak ada satu pun hadits yang marfu’
(sampai) pada Rasulullah saw yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan
secara mutlak, selain untuk memakruhkan.

Pendapat para ulama

Ibnul ‘Arabi (Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Arabi, Qadhi Sevilla [Andalusia]
bermazhab Maliki, wafat tahun 543 H, karyanya antara lain Ahkamul Quran [tafsir
yang menitikberatkan kajian hukum] dan Al Awashim minal Qawasim [sejarah].
Imam Ibnul ‘Arabi bukanlah ahli tasawuf falsafi Muhyidin Ibnu Arabi [hidup pada
abad ke-7 H] yang bersama Al-Hallaj dan Suhrawardi mempropagandakan doktrin
Wihdatul Wujud) mengatakan dalam Al Ahkaam-ul-Quran, Jilid III: “Tidak ada satu
hadits pun (yang shahih) yang menunjukkan keharaman (secara sharih) nyanyian.”
Demikian juga dikatakan Al Ghazali, Ibnu An-Nahawi dalam Al ‘Umdah, Ibnu
Thahir dalam As-Simaa’ serta Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Perkataan mereka
merupakan salah satu pendapat ulama dalam menyikapi masalah nyanyian dan musik.
Pendapat-pendapat ulama lainnya antara lain sebagai berikut:

Pertama. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya Nail-ul-Authar (Jilid VIII)


menyatakan:

a.) Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik.
Menurut mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah (mazhab
yang dinisbatkan pada Imam Malik yang tinggal di Madinah), Azh-Zhāhiriyah
(mazhab yang dinisbatkan pada Dawud az-Zhahiri yang khas dengan sikapnya
memegang zhahir nash/teks), dan jamā‘ah Sūfiyah (yang sholih: tasawuf sunniyah),
mereka semua memperbolehkannya.
b.) Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: “‘Abdullah
bin Ja‘far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia
sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para budak wanita
(jawārī) dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn
‘Alī bin Abī Thālib ra. Al-Baghdādī juga menceritakan hal itu dari kalangan tabi’in
seperti Al Qadhi Syuraih, Said bin Musayyab, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri, dan
Asy-Sya’bi.

c.) Imām Al-Haramain dalam kitābnya An-Nihayah menukil dari para ahli sejarah
bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang biasa
memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan melihat
gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya: “Apa ini wahai
shahābat Rasūlullāh?” Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata: “Oh, ini barangkali
timbangan buatan negeri Syām,” ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata:
“Digunakan untuk menimbang akal manusia.”

d.) Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan


menyanyi dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).

e.) Abū Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli
Madīnah tentang menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja.”

f.) Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik) tidak
diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa nyanyian semacam ini
halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dari
berbagai kalangan ulama (Nail-ul-Authar, Jilid VIII).

Kedua. Abū Ishāk Asy-Syirāzī dalam kitābnya Al-Muhazzab (Jilid II) mengatakan:

a.) Diharāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu


seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling.

b.) Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara
tersebut tidak boleh.

c.) Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.

Ketiga. Al-Alūsī dalam tafsīrnya Ruh-ul-Ma‘ani (Jilid XXI) mengatakan:

a.) Al-Muhāsibi dalam kitābnya Ar-Risalah berpendapat bahwa menyanyi itu harām
seperti harāmnya bangkai.

b.) Ath-Thursusi menukil dari kitāb Adab-ul-Qadha bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat
menyanyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil. Orang
yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres pikirannya dan tidak
boleh menjadi saksi.

c.) Al-Manawi mengatakan dalam kitābnya Asy-Syarh-ul-Kabir bahwa menurut


mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh
dikerjakan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.

d.) Dari murīd-murīd Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harām
dikerjakan dan didengar.

e.) Ibnu Hajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan
bahwa harāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hāl
demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua
perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja,
seperti mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan
semangat berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan
nyanyian perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunnah.

f.) Sebagian ulamā berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya
pada perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan,
khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.

g.) Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tari-tarian itu bid‘ah. Tidak ada laki-laki
yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi
wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada ākhirat
tidak mengapa bahkan sunnah dinyanyikan.

h.) Imām Balqinī berpendapat tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak
harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan gerakan dan geliat
anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi saw kepada orang-orang Habsyah di dalam
masjid pada hari raya, begitu pula dengan nyanyian.

i.) Imām Al-Mawardī berkata: “Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyi
alat permainan, maka maksud kami adalah dosa kecil dan bukan dosa besar.”

Keempat. ‘Abd-ur-Rahman Al-Jazari dalam kitabnya Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib-il


Arba‘a (Jilid II) mengatakan:

a.) ‘Ulamā-‘ulamā Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan Al-Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumuddin, beliau berkata: “Nash-nash syara’ telah menunjukkan bahwa menyanyi,
menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang
pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah hari untuk
bergembira. Oleh karena itu hari bergembira maka diqiyaskan untuk hari-hari lain,
seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara’.

b.) Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sepanjang
pengetahuannya tidak ada seorangpun dari ulama Hijaz yang benci mendengarkan
nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang
tidak baik. Imam Ghazali menambahkan: “Hanya saja apabila dia mengisi seluruh
waktunya untuk itu, maka ia termasuk orang yang bodoh yang tidak diterima
kesaksiannya. Karena terus-menerus berbuat demikian itu suatu kesalahan,
sebagaimana jika dosa kecil itu terus menerus dilakukan secara rutin, maka akan
menjadi dosa besar. Demikian juga hal-hal yang diperbolehkan, jika berlebihan
(menjadi makruh) dan secara terus-menerus dilakukan akhirnya akan menjadi dosa
kecil.

c.) Para ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah
nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik, seperti menyebutkan sifat-sifat
lelaki bujang dan perempuan dara, atau sifat-sifat seorang wanita yang masih hidup.
Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, dan pemandangan alam
lainya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada orang orang yang
menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa ia benci
terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang-orang yang
mendengarkan nyanyian telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami
bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur
dengan hal-hal yang dilarang syara’.

d.) Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan
untuk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk
momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan
terompet.

e.) Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat
musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya.
Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunnah
melagukannya ketika membaca ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah
aturan-aturan bacaannya.

Kelima. Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ mengatakan bahwa nyanyian
(al-ghina’) adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya.
Sedangkan dalam Al Qamus, al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.
Imam Qurthubi kemudian mengatakan bahwa ulama membagi al ghina’ menjadi dua
kelompok:

a.) Nyanyian yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, band,
pesinden, dan sejenisnya) yang mengenal seluk beluk gubahan lagu, kemudian
mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, lembut, dan menyentuh
hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya. Nyanyian seperti inilah
yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu: mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkan. (Kasyfu Qina’
Halaman 50).

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa memainkan setiap alat musik termasuk seruling,
rebana dan tambur, adalah haram. Ibnu Abbas ra juga pernah ditanya masalah
nyanyian dan musik, ia kemudian balik bertanya: “Bagaimana pendapatmu jika al haq
dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina
(nyanyian) itu?” Si penanya menjawab: “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian
Ibnu Abbas berkata: “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat)
untuk dirimu.”

Menurut Ibnu Taimiyah: “Musik bagi jiwa seperti khmar, dan bahkan dapat
menimbulkan bahaya yang lebih hebat dari itu. Musik dapat mengubah prilaku
seseorang dari taat menjadi tidak taat, menyebabkan perzinaan, dan syirik kepada
Allah swt.”

b.) Nyanyian seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia
sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan yang mengangkut beban, dan sebagainya.
Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk
menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, atau untuk
membunuh rasa sepi. Contoh di antaranya ‘al hida,’ lagu yang dinyanyikan oleh
sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis anak mereka, atau nyanyian gadis-
gadis kecil dalam senda gurau dan permainan mereka. (Kaffur Ri’a halaman 59-60,
Kasyful Qina’ halaman 47-49).

Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa jenis nyanyian ini adalah selamat, atau bersih
dari penyebutan kata-kata yang keji atau hal-hal yang diharamkan. Seperti
menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat, atau
nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang
menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu
mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh
kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian
shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq:

“Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing. Dan tidak pula
bersedekah dan menegakkan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami. Dan
kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.”

Umumnya para ulama mutaakhirin bersikap lebih keras dalam melarang lagu-lagu
(terutama yang memakai alat musik) daripada ulama masa lalu. Hal ini terjadi antara
lain karena mereka lebih memilih untuk mengambil sikap hati-hati, daripada
mengambil yang lebih mudah.

Hal ini terkait dengan kondisi lagu-lagu yang mendominasi di zaman mereka. Begitu
pula kondisi lagu-lagu hari ini yang kebanyakan menyimpang dan keluar batas. Lagu-
lagu cinta yang melenakan syahwat dan memuja wanita/pria telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan manusia yang tenggelam dalam kelezatan duniawi.
Ditambah lagi dengan minum khamr, berkata bohong, dan mempermainkan remaja,
sebagaimana pernah terjadi pada suatu masa dari zaman Abbasiyah. Sehingga
mendengarkan lagu dalam keadaan seperti ini dapat menimbulkan kefasikan terhadap
perintah Allah.

Di antara ulama yang sangat keras terhadap masalah lagu ialah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya, Imam Ibnul Qayyim. Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Ighatsul
Lahafaan” memaparkan segala alasan untuk mengharamkan lagu-lagu. Hal ini
dikarenakan pada masa mereka telah didominasi oleh lagu-lagu shufi. Orang-orang
sufi menganggap lagu-lagu atau pujian itu sebagai ibadah kepada Allah atau minimal
dapat membantu mereka bertaqarrub kepada Allah. Namun pada praktiknya, banyak
kalangan sufi yang mencampurkan permainan musik dengan zikir di masjid-masjid.
Bahkan ada pula yang sambil thawaf di kuburan guru-guru mereka. Hal inilah yang
oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dianggap sebagai bid’ah yang sangat
berbahaya.
Ibnu Qayyim membacakan suatu nasyid (senandung) untuk menentang mereka: “Ia
membaca Al Kitab (Al Qur’an), lalu mereka lagukan, bukan karena rasa takut, tetapi
lagunya yang lalai dan pelupa. Ia melagukan seperti keledai yang berteriak. Demi
Allah mereka tidak bernyanyi karena Allah! Rebana, seruling dan irama yang merdu,
maka sejak kapan kamu melihat ibadah dengan permainan?”

Nyanyian dan musik di masa Rasulullah saw dan sahabat

Imam Malik, Imam Ja’far, Imam Al-Ghazali, dan Imam Abu Dawud Azh-Zhahiri
telah mencantumkan berbagai dalil tentang bolehnya nyanyian dan menggunakan
alat-alat musik. Alasan mereka antara lain:

a.) Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah ra (Shahih Bukhari, Hadīts No. 949, 925;
Shahih Muslim, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh: “Kedua-duanya [perempuan
itu] bukanlah penyanyi”): “Suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku
dua perempuan budak sedang (dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan
rebana) mendendangkan nyanyian Bu‘ats (nama sebuah benteng yang jaraknya sekitar
dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara
kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah). Rasūlullāh saw berbaring
tetapi dengan memalingkan muka. Pada saat itulah Abū Bakar masuk dan ia marah
kepada saya. Katanya: “Di tempat Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan itu,
Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: “Biarkanlah
keduanya, hai Abū Bakar!”. Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya
suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-
orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata
perangnya (di dalam masjid)…..”

Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Shahih Bukhari, Hadīts No.
509, 511): “Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang
ini adalah hari raya kita (umat Islam).”

Bentakan Abu Bakar terhadap kedua budak wanita itu beserta perkataannya,
“Seruling syetan di rumah Nabi saw,” menunjukkan bahwa kedua wanita itu bukan
anak kecil sebagaimana anggapan sebagian orang. Sebab kalau memang keduanya
anak kecil, pasti tidak akan memancing kemarahan Abu Bakar ra.

Jawaban Nabi saw kepada Abu Bakar ra mengajarkan bahwa dalam agama Islam ada
keluwesan. Dan bahwa beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan
mudah. Ini menunjukkan atas wajibnya memelihara tahsin shuratil Islam (gambaran
Islam yang baik) di hadapan kaum lainnya. [Sistem Masyarakat Islam dalam Al
Qur'an & Sunnah. Op. Cit.].

b.) Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa ia pernah
menikahkan seorang wanita kerabatnya dengan laki-laki dari Anshar, maka Nabi
bersabda, “Wahai ‘Aisyah mereka tidak ada permainan? Sesungguhnya Anshar itu
senang dengan permainan.”

Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Aisyah pernah
menikahkan salah seorang wanita dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka
Rasulullah saw datang dan bertanya, “Apakah kalian sudah memberi hadiah pada
gadis itu?” Mereka berkata, “Ya (sudah).” Nabi berkata, Apakah kamu sudah
mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi? ‘Aisyah berkata, “Belum, maka
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sahabat Anshar itu kaum yang senang
dengan hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang
menyanyikan, “Kami datang kepadamu… kami datang kepadamu… selamat untuk
kami dan selamat untuk kamu.”

Hadits ini menunjukkan akan pentingnya memelihara tradisi (yang mubah dan tidak
bertentangan dengan Islam) suatu kaum yang berbeda-beda dan kecenderungan
mereka yang beraneka ragam.

Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah ra (Shahih Bukhari, Hadīts No. 5162;
Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid XVI), bahwa dia pernah menikahkan seorang
wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka Nabi saw bersabda: “Hai
‘Ā’isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang
Anshār senang dengan hiburan (nyanyian).”

Lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahmad berbunyi: “Bagaimana kalau diikuti pengantin itu
oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: ‘Kami
datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu.’ Sebab kaum
Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita.”

Abu Hasan mengatakan bahwa hadits ini menggambarkan kebencian Rasulullah saw
terhadap pernikahan sirri (rahasia). Karena itulah rebana ditabuh seraya didendangkan
dengan maksud memeriahkan atau mengumumkan akad nikah dan mendorong orang
untuk menikah (Imam Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VI).

c.) Imam Nasa’i dan Hakim meriwayatkan dan menshahihkan hadits dari ‘Amir bin
Sa’ad, ia berkata: Saya pernah masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abi Mas’ud
Al Anshari dalam pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa budak wanita (jawārī) mulai
menyanyi, maka aku katakan, “Wahai dua sahabat Rasulullah saw ahli Badar, apakah
pantas ini dilakukan di rumahmu?” Maka kedua sahabat itu berkata, “Duduklah jika
kamu berkenan, mari dengarkan bersama kami, dan jika kamu ingin pergi, maka
pergilah, sesungguhnya telah diberi keringanan (rukhsah) kepada kita untuk
bersenang-senang ketika pesta perkawinan.”

d.) Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Sirin, bahwa ada seorang lelaki
datang ke Madinah dengan membawa budak-budak wanita, maka orang itu datang
kepada Abdullah bin Ja’far dan menawarkan budak-budak itu kepadanya. Maka
beliau memerintahkan salah seorang budak wanita untuk menyanyi, sedangkan Ibnu
Umar mendengarkan. Maka Abdullah bin Ja’far membelinya setelah ditawar.
Kemudian orang itu datang kepada Ibnu Umar sambil mengatakan: “Wahai Aba
Abdir Rahman, saya dirugikan tujuh ratus dirham.” Maka Ibnu Umar datang kepada
Abdullah bin Ja’far kemudian berkata kepadanya: “Sesungguhnya ia merugi tujuh
ratus dirham, maka (pilihlah) kamu harus memberinya, atau kamu kembalikan
kepadanya.” Maka Abdullah bin Ja’far berkata: “Kita akan memberinya.”

Ibnu Hazm mengatakan sanad hadits ini shahih (Al Muhalla 9/63).
e.) Surat Al Jumu’ah (62) ayat 11: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau
permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan,” dan Allah sebaik-baik pemberi rizki.”

Diiringkannya permainan dengan perniagaan menunjukkan akan kesamaan statusnya,


yaitu halal. Allah tidak mencela kedua hal tersebut, kecuali jika melalaikan sahabat
tatkala kedatangan kafilah dagang yang disambut pukulan rebana, sehingga mereka
lupa dengan Nabi saw yang sedang berdiri (berkhutbah) di hadapan mereka. [Islam
Bicara Seni. Op. Cit.].

f.) ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī (‘Abd-ul-Hayy Al- Kaththānī, At-Taratib-ul-


Idariyyah, Jilid II) mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka
ini menyanyi di ruang tertutup (rumah) pada kalangan wanita dalam pesta perkawinan
dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah dan Arnab (Ibnu Hajar Al-Asqalany:
An-Nisa’, Al-’Ashobah fi Tamyiz Ash-Shohabah. Jilid IV).

g.) Imām An-Nasā’i meriwayatkan (Bāb Mengumumkan Pernikahan dengan Suara


[Nyanyian] dan Rebana, Sunan An-Nasa’i, Jilid VI) dari Ibn Hathib bahwa Nabi saw
bersabda: “Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam
suatu pernikahan) adalah (mengumumkannya dengan) memainkan rebana dan
menyanyi.”

h.) Hadis Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Rubayyi’ binti Mu’awwiz
‘Afra, Rubayyi’ berkata bahwa Rasulullah saw datang ke rumah pada pesta
pernikahannya (pesta pernikahan yang didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi
dipisahkan jaraknya). Lalu Nabi saw duduk di atas tikar. Tak lama kemudian
beberapa orang jariah (wanita budak) memukul rebana sambil memuji-muji (dengan
menyenandungkan) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang Badar. Tiba-
tiba salah seorang dari jariah itu berkata: “Di antara kita ada Nabi yang dapat
mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari.” Lalu Rasulullah saw segera
bersabda: “Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan)
tadi.” (Lihat juga Sejarah al-Karmani, Jilid IX; dan Sunan al-Mustafa).

i.) Hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata: “Suatu hari
Rasulullah saw pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau pulang dari
medan perang, datanglah seorang jariah kulit hitam seraya berkata: “Ya Rasulullah,
aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan Allah dengan selamat, aku akan
menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan.” Mendengar hal itu Rasulullah saw
bersabda: “Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan
lakukan.”

Maka jadilah ia menabuh rebana. Ketika tengah menabuh masuklah Abu Bakar, tapi
jariah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk,
dan si penabuh masih asyik dengan rebananya. Begitu pula halnya ketika Ali masuk.
Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di
bawah pinggulnya. Melihat peristiwa itu Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya
syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku duduk di sini, jariah ini masih
memukul rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar, Ali, Utsman masuk, dia masih
memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai Umar, dia buru-buru
melemparkannya.” (Tirmidzi menyebutkan bahwa Hadis ini Shahih).

j.) Hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik: “Sesungguhnya Nabi saw melewati
beberapa tempat di Madinah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jariah yang
sedang memukul rebana sambil menyanyikan: “Kami jariah bani Najjar. Alangkah
bahagianya bertetangga dengan Nabi besar.” Mendengar dendang mereka, Nabi saw
bersabda (Lihat Sunan Mustafa): “Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang
kepada kalian.”

k.) Surat Al Balad (90) ayat 8-9: “Bukankah Kami telah berikan kepadamu dua buah
mata (untuk melihat), lidah dan dua buah bibir (untuk bersuara, mengecap makanan
dan minuman).”

Ayat diatas menunjukkan bahwa manusia boleh melihat dan mendengar apa saja.
Manusia boleh melihat pemandangan, mendengarkan suara-suara burung, kecuali
terhadap apa-apa yang telah dilarang syara’ dalam perbuatan itu (Sauf-ud-Din al-
Aamidi, Al-Ihkam fi Ushul-il-Ahkam, Jilid I). Seseorang dibolehkan mengeluarkan
suara dengan cara apapun, misalnya berbicara, berpidato, berdiskusi, dan bernyanyi,
kecuali bila ada suatu dalil syara’ yang memang melarangnya. Begitu pula tentang
gerakan-gerakan lainnya. [Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari.
Op. Cit.].

Senang terhadap lagu dan suara yang indah merupakan instink manusia. Anak kecil
(bayi) yang menyusu di ayunan ibunya bisa ditenangkan dengan suara-suara yang
indah, dan mengalihkan perhatian dari tangisnya kepada suara itu. Lagu merupakan
kelezatan telinga, sebagaimana makanan yang enak merupakan kelezatan bagi lidah,
pemandangan yang indah itu kelezatan bagi mata, dan seterusnya. Bersenang-senang
di kebun, bersenda gurau dengan sahabat, serta berbagai permainan (diiringi cara
yang sesuai syariat) yang dilakukan oleh seseorang itu dibolehkan, selama tidak
berlebihan sehingga melalaikan dari kewajiban ibadah dan mengingat Alloh swt.

Beberapa kaidah dalam merumuskan hukum

a.) Terdapat kaidah syara’ yang berbunyi (Lihat Zain-ul-’Abidin Ibrahim Al-Misri,
Al-Asybah wan-Nazhair; Mahmud Al-Hamzawi, Al-Fawaid-ul-Bahiyah fil-Qawaidi
wal-Fawaid-il-Fiqhiyyah; Ibnu ‘Abidin, Hasyiyat-ur Radd-ul-Mukhtar): “Hukum asal
segala sesuatu adalah mubah (boleh dipakai dan dimanfaatkan), kecuali bila ada dalil
yang mengharamkannya.”

Kaidah ini berdasarkan firman Allah swt, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu…” (Al Baqarah: 29). Tidak ada pengharaman kecuali
dengan nash yang shahih dan sharih dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atau
ijma’ yang mu’tabar shahih. Apabila tidak ada nash shahih dan sharih tentang
haramnya sesuatu, maka tidak akan mempengaruhi akan halalnya sesuatu itu, dan
tetap berada dalam lingkup dimaafkan yang luas. Allah swt berfirman: “Dan sungguh
(Allah) telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali
apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al An’am: 119). Rasulullah saw bersabda:
“Apa saja yang telah Allah halalkan di dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa saja
yang telah Dia haramkan itu haram dan apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan.
Maka terimalah dari Allah apa-apa yang telah dimaafkan-Nya, karena sesungguhnya
Allah tidak akan melupakan sesuatu pun.” Kemudian Rasulullah saw membaca
firman Allah: “Dan tidaklah Tuhanmu itu pelupa” (Maryam: 64). (HR. Hakim dan
Bazzar). Rasulullah saw juga bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan
kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya dan menentukan
batas-batas larangan, maka janganlah kamu melanggarnya. Dan Allah mendiamkan
berbagai hal karena kasihan padamu, bukan lupa, maka janganlah kamu mencari-cari
rnasalah itu.” (HR. Daraqhuthni).

Kata-kata “Haram” itu sangat berbahaya. Karena berarti memutuskan akan datangnya
siksa dari Allah bagi yang melakukannya. Imam Malik ra berkata: “Tidak ada sesuatu
yang paling berat bagi saya selain ditanya tentang masalah halal dan haram, karena ini
merupakan kepastian di dalam hukum Allah swt. Dan sungguh saya pernah melihat
ahlul ilmi dan fiqih di daerah kami, salah seorang di antara mereka itu apabila ditanya
tentang masalah seperti ini seakan-akan kematian berada di hadapannya. Tetapi saya
juga melihat ulama di zaman sekarang ini telah mengobral fatwa. Seandainya mereka
mengetahui apa yang akan mereka hadapi kelak pasti mereka akan berhati-hati.
Sesungguhnya Umar bin Khaththab dan Ali serta umumnya para sahabat yang mulia
itu, apabila diajukan kepada mereka persoalan-persoalan ummat, mereka
mengumpulkan para sahabat Nabi saw dan mereka bertanya, baru setelah itu mereka
berfatwa dengan para sahabat, padahal mereka itu adalah sebaik-baik generasi.
Sementara orang-orang sekarang ini telah tertipu dengan kebanggaan mereka.”

Imam Malik juga berkata: “Sikap yang tidak pernah ada pada ulama salaf kita (yang
mereka pantas untuk diikuti) adalah mereka tidak terbiasa mengatakan, “ini halal” dan
“itu haram.” Tetapi mereka mengatakan, “Saya tidak suka” atau “saya berpendapat
demikian.” Adapun halal dan haram, itu iftira’ terhadap Allah swt, tidakkah kamu
mendengar firman Allah swt: Katakanlah, Terangkanlah padaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagian haram, dan (sebagian) halal.
Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-ada saja terhadap Allah.” (Yunus: 59). Imam Syafi’i menukil dalam
kitabnya Al Umm dari Imam Abu Yusuf (murid Abu Hanifah), beliau berkata: “Aku
melihat guru-guru kita dari ahlul ilmi tidak suka berfatwa dengan mengatakan, “Ini
halal” dan “Ini haram” kecuali apa-apa yang ada dalam kitab Allah swt, dengan nyata,
tanpa penafsiran.” [Islam Bicara Seni. Op. Cit. hal. 118-120].

Islam mempunyai karakter sebagai agama yang bersih dan mudah, “…dan Dia tidak
menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian” (Al-Hajj: 78). Nabi saw pun
bersabda: “Sesungguhnya Allah swt tidak mengutusku untuk mempersulit atau
memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim,
dari ‘Aisyah ra.).

Namun sesuatu yang mubah pun bisa menjadi haram bila dilakukan secara berlebihan.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru (adzan) untuk mengerjakan sholat
pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mendatangi (masjid) untuk melakukan
zikrullah (solat Juma’at) dan tinggalkanlah jual-beli…..” (Al Jumu’ah: 9). Jual-beli
adalah perkara mubah, namun jika berlebihan sehingga menghalangi dari ibadah
kepada Alloh swt, maka hal tersebut menjadi dilarang.
b.) Dalam Ushul Fiqh juga dikenal istilah Thoriqotul Jam’i sebagai metode yang
menghimpun dalil-dalil yang kelihatan berlawanan lalu menempatkannya sesuai
konteks, sehingga dalil-dali yang berlawanan tersebut dapat tetap digunakan
[Tarjamah Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al Asqolani. Muqaddimah dari A. Hassan,
Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002.]. Contohnya pada hadits-hadits mengenai syair.

Dari Ubay bin Kaab, bahwa Rosululloh saw pernah bersabda: “Sesungguhnya di
antara syair itu terdapat hikmah” (HR Bukhari).

Dari Abu Hurairoh, Nabi saw pernah bersabda: “Sesungguhnya salah seorang saudara
kalian tidak mengatakan perbuatan keji,” yaitu Abdullah bin Rawahah yang
mengucapkan syair: “Di tengah-tengah kami terdapat Rosululloh yang membacakan
Kitab-Nya, dan kebaikan pun muncul pada pagi hari secara terang benderang. Ia
tunjukkan pada kita petunjuk setelah sebelumnya berada dalam kebutaan, sedang hati
kita meyakini penuh bahwa apa yang ia katakan itu pasti terjadi. Ia senantiasa
menjauhkan tubuhnya dari tempat tidurnya, pada saat dimana orang-orang musyrik
merasa keberatan meninggalkan tempat tidurnya” (HR Bukhari).

Dari Ibnu Umar ra, Nabi saw bersabda: “Penuh perut seseorang dengan nanah yang
merusakkannya adalah lebih baik daripada penuh perutnya dengan syair” (HR
Bukhari).

Hadits Ibnu Umar terlihat berlawanan dengan hadits Ubay bin Kaab dan Abu
Hurairoh, namun ketiga hadits tersebut bisa tetap digunakan. Syekh Musthofa
Muhammad Imaroh dalam kitabnya ‘Saripati Hadits Al-Bukhari’ (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2002.) berkata: “Hadits terakhir khusus berkenaan dengan syair-syair
yang tidak benar, yang mengutarakan kebatilan dan melalaikan manusia dari zikir
kepada Alloh dan membaca al-Quran. Sedangkan syair-syair yang benar maka yang
demikian merupakan hal yang dibolehkan, misalnya pujian kepada Alloh swt dan
Nabi saw, yang juga mencakup zikir dan segala bentuk nasihat yang bermanfaat.”

Contoh penerapan Thoriqotul Jam’i yang lain ialah pada dua hadits berikut:

Abdullah bin Umar berkata: “Rosululloh saw melarang jual beli dalam masjid,
mengucapkan syair dan mencari barang hilang. Beliau juga melarang berkerumun di
dalam masjid sebelum mengerjakan sholat Jumat” (HR Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Tirmidzi).

Dari Abu Hurairoh ra: Pada suatu hari Umar berjalan melewati Hassan yang sedang
bersyair dalam masjid. Umar pun melihat kepadanya dengan tajam. Hassan lalu
berkata: “Dahulu aku pun bersyair di tempat ini dan dihadiri oleh seorang yang lebih
utama darimu (yaitu Nabi saw)” (HR Bukhari dan Muslim).

Mensikapi dua hadits tersebut, Sayyid Sabiq dalam kitabnya ‘Fiqih Sunnah’ (Jakarta:
Penerbit Pena, 2006.) berkata: “Bersyair dilarang apabila mengandung ejekan
terhadap orang muslim, pujian kepada orang zalim, kata-kata cabul, dan sebagainya.
Tetapi bila merupakan kata-kata hikmah, pujian terhadap Islam, atau anjuran berbuat
kebaikan, tidaklah dilarang (meskipun di masjid).”
Kaidah Thoriqotul Jam’i ini pula yang dapat diterapkan pada masalah nyanyian dan
musik, karena seperti telah dibahas sebelumnya, terdapat hadits-hadits yang melarang
nyanyian dan musik namun ada pula yang membolehkannya.

Imam Syafi’i berpendapat (Lihat Imam Syafi’i, Ar-Risalah; Imam Asy-Syaukani,


Irsyad-ul-Fuhul ila Tahqiq-il-Haq Min-Ilm-il-Ushul): “Tidak dapat dibenarkan ada
dua Hadits shahih saling kontroversial yang salah satunya tidak sesuai dengan apa
yang ditetapkan oleh Hadits lainnya, bukan karena adanya kekhususan-keumuman
lafazhnya, karena ada sesuatu yang tidak jelas maksudnya (mujmal), atau adanya
penjelasan (dalam nash lain). Tetapi sifat kontroversial itu hanya boleh terjadi dalam
hal penasakhan (penghapusan hukum lama dengan yang baru), walaupun seorang
mujtahid tidak menemukan nasakh tersebut.”

Imam Al-Khaththabi dalam Ma’alim-us-Sunani (Jilid III) berkata: “Apabila ada dua
Hadits dari segi zhahir lafaznya berbeda, dapat diperkuat oleh salah satu di antara
keduanya setelah ditentukan nilainya masing-masing Hadits tersebut. Setelah itu,
maka tidak boleh ditolak sama sekali atau dianggap antara keduanya saling
bertentangan. Tetapi keduanya dipakai dan ditempatkan pada posisinya masing-
masing. Begitulah sikap para ulama terhadap banyak Hadits.”

Hadits yang paling shahih yang mengharamkan nyanyian adalah Hadits Imam
Bukhari dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam yang mendengar dari Abu Malik
Al-’Asya’ari bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sungguh akan terjadi pada suatu kaum
dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) sutera, khmar, dan alat-alat
musik…” (HR Imam Bukhari, No. 5590).

Juga Hadits Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan Bukhari (dalam kitab At-Tarikh-ul-
Kabir), dari Malik bin Abi Maryam yang meriwayatkan dari Abd-ur-Rahman bin
Ghunam dari Abi Malik Al-’Asy’ari dari Rasulullah saw: “Sekelompok umatku akan
minum khamr dan menyebutkannya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para
penyanyi wanita akan mendatangi mereka, lalu para pemain musik akan melakukan
pertunjukan di hadapan mereka.”

Hadits yang melarang nyanyian terkait dengan nyanyian secara umum. Sedangkan
Hadits-Hadits yang membolehkannya bersifat khusus, yakni terbatas pada tempat,
kondisi, atau peristiwa tertentu. Misalnya, hari raya, pesta pernikahan, pulang
kampungnya seseorang ke negeri kelahirannya, dan sebagainya. Kekhususan tersebut
ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw dalam Hadits-Hadits yang membolehkan
nyanyian, antara lain sikap beliau terhadap Abu Bakar yang menegur dua wanita yang
sedang bernyanyi di rumah Rasulullah saw: “Biarkanlah mereka (melanjutkan
nyanyiannya), wahai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Juga sabda beliau kepada ‘Aisyah ra yang menikahkan seorang perempuan


kerabatnya: “Apakah engkau sudah membawa seseorang bersamanya untuk
bernyanyi?” (HR Ibnu Majah).

Begitu pula sabda Rasulullah saw kepada seorang wanita yang telah bernazar untuk
memukul rebana di hadapan beliau sambil bernyanyi: “Jika engkau sudah menetapkan
nazarmu, maka lakukanlah (sesuai dengan nazar itu).” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Hibban, dan Al-Baihaqi).

Semua Hadits tersebut di atas mengkhususkan keumuman nash yang mengharamkan


nyanyian, serta membatasinya dengan membolehkannya dalam kondisi dan keadaan
tertentu. Kekhususan ini menunjukkan posisi hukumnya, yaitu makruh melakukan
nyanyian apabila dilakukan secara terus-menerus. Nyanyian tersebut pun tidak boleh
bercampur-baur dengan bentuk kemungkaran, misalnya ada khamr atau
bercampurnya lelaki dan perempuan. Apabila telah bercampur maka tentu hukumnya
haram. [Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari. Op. Cit.].

Nyanyian dan musik yang dibolehkan

Pertama. Faktor yang ada pada penyanyi. Imam Al Ghazali mengatakan bahwa
nyanyian yang harus dijauhi adalah jika penyanyinya seorang wanita (merdeka yang
bukan mahrom) yang tidak halal untuk dipandang dan dikhawatirkan terjadi fitnah
apabila mendengarkannya. Ibnu ‘Aqil (ulama mazhab Hambali) dan Ibnu Hazm
menyatakan haram mendengar nyanyian perempuan (merdeka) yang halal dinikahi
(yang bukan istrinya). Kebolehan mendengar nyanyian perempuan hanya jika
perempuan itu adalah budak dan berada dalam pesta pernikahan.

Suara wanita bukanlah aurat. Karena sahabat wanita dahulu juga bertanya kepada
Rasulullah saw ketika Nabi sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki.
Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri
Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara
dengan orang-orang yang datang (Al Fiqih ‘Alal Madzahibil Arba’ah, ‘Abd-ur-
Rahman Al-Jazari). Namun yang harus dihindari adalah suara merayu atau sengaja
dibut-buat untuk memancing syahwat. Allah swt berfirman: “Maka janganlah kamu
tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al Ahzab: 32). Sehingga nyanyian
perempuan menjadi harus dijauhi kecuali jika perempuan itu bernyanyi kepada
suaminya atau mahromnya ataupun dengan sesama muslimah.

Kedua. Faktor yang ada pada alat musik. Imam Al Ghazali mengatakan jika alat
musik yang digunakan sudah menjadi simbol yang identik dengan para peminum atau
pelaku maksiat lainnya, seperti seruling atau gitar, maka nyanyian tersebut pun harus
dijauhi. Adapun selain itu, tetap pada asalnya yaitu diperbolehkan, seperti duf
(rebana), jalaajil (kempyang), dan seterusnya.

Ketiga. Faktor yang ada pada isi lagu, yaitu sya’ir-sya’irnya. Apabila di dalamnya
terkandung kata-kata kotor dan mencaci, atau perkataan dusta terhadap Allah, Rasul-
Nya atau terhadap sahabat. Maka lagu tersebut, baik menggunakan alat musik atau
tidak, harus dijauhi.

Yusuf Qardhawy menyebutkan syarat lagu yang diperbolehkan antara lain isinya
harus sesuai dengan adab dan ajaran Islam. Bukan lagu yang menyanjung orang-orang
zhalim, para thaghut, penguasa fasik, orang yang bermata keranjang, laki-laki atau
wanita. Melainkan lagu yang didapat dari pujian-pujian untuk Nabi saw, sebagaimana
diwariskan oleh kaum anshar ketika mereka menyenandungkan nasyid, sebagai
sambutan atas kehadiran Rasulullah saw: “Terbitlah bulan purnama di tengah-tengah
kita, dari Tsaniyyatil Wada’. Wajib bagi kita untuk bersyukur, ketika ia berdakwah
menyeru ke jalan Allah.” Termasuk pula lagu yang berisi tauhid atau berisi ajakan
jihad, memperbaiki akhlaq, mengajak persatuan, tolong menolong dalam kebaikan,
dan lain seterusnya.

Syekh Muhammad bin Jamil Ziinu dalam ‘Bimbingan Islam untuk Pribadi dan
Masyarakat’ (Jakarta: Darul Haq, 1994.) mengatakan bahwa nyanyian yang
diperbolehkan antara lain nasyid yang Islami pada waktu kerja yang mendorong
semangat untuk giat dan rajin bekerja terutama bila mengandung doa. Seperti ketika
Nabi saw mengikuti ucapan Ibnu Rawahah dan memberi semangat kepada para
sahabat dalam menggali parit menjelang Perang Khandaq: “Ya Alloh, tidak ada hidup
ini kecuali hidup di akhirat kelak, maka ampunilah Ya Alloh, sahabat Anshar dan
Muhajirin.”

Sahabat Anshar dan Muhajirin lalu menjawab: “Kita adalah orang yang telah
membaiat Muhammad untuk berjuang terus selama hayat dikandung badan.”

Kemudian Nabi saw bersama para sahabat mengikuti ucapan Ibnu Rawahah: “Demi
Alloh, seandainya tidak karena Engkau Ya Alloh, kami tidak akan mendapat
petunjuk, tidak puasa dan tidak sholat. Maka benar-benar turunkanlah kepada kami
ketenangan dan teguhkanlah tapak kaki kami apabila kami berhadapan dengan musuh.
Orang musyrik sungguh telah menganiaya kita, apabila mereka membuat fitnah kami
pun menolaknya.” (Senandung-senandung Nabi saw dan para sahabat saat
membangun masjid dan menggali parit, dapat dilihat lebih jelas dalam Sirah Ibn
Ishaq, Al-Maghazi oleh al-Waqidi, serta At-Thabaqat al-Kabir oleh Ibn Sa’ad).

Juga senandung ibu-ibu ketika mengayun anak-anaknya dan menidurkan mereka,


nyanyian untuk menghibur diri saat perjalanan, tasybib (menyebutkan kebaikan-
kebaikan) tanpa menyebutkan pribadi tertentu (dibolehkan menyebutkan kebaikan
Nabi saw secara langsung), menyebutkan keindahan alam, kisah-kisah yang digubah
menjadi lagu pahlawan perjuangan yang gigih dan pemberani, lagu-lagu hari raya,
hari-hari gembira seperti pesta perkawinan, kelahiran anak, acara khitanan, kehadiran
tamu yang ditunggu-tunggu, kesembuhan seseorang, berpulangnya orang dari ibadah
haji dan lain-lain. Masyarakat umumnya membuat lagu atau pantun yang menandai
saat dan momen tertentu, seperti saat memetik buah atau panen raya dan lainnya.
Seperti juga tembangnya para pekerja dan mereka yang bersama-sama mengangkat
beban yang berat, kemudian melagukan bersama-sama, “Haila, haila, shalli ‘AIa
Nabi.” Ini mengikuti perbuatan sahabat, yaitu ketika mereka membangun masjid
Nabawi dan memikul batu-batu di pundak mereka sambil melagukan: “Ya Allah
sesungguhnya kehidupan (yang hakiki) adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah
kaum Anshar dan Muhajirin.”

Keempat. Kemudian cara melagukan itu sendiri juga menjadi perhitungan. Karena
bisa jadi kalau dilihat dari isi lagunya tidak ada masalah, tetapi cara melagukan dari
penyanyi itulah masalahnya. Seperti mendesahkan suaranya untuk membangkitkan
syahwat bagi orang-orang yang hatinya sakit. Hal ini dapat mengalihkan lagu-lagu itu
dari boleh menjadi haram, syubhat atau makruh. [Sistem Masyarakat Islam dalam Al
Qur'an & Sunnah. Op. Cit.]. Atau jika dalam penampilannya, laki-laki menyerupai
wanita ataupun sebaliknya. “Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai
lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita.” (HR. Imam Ahmad, dari Ibnu ‘Amru bin
Al-‘Āsh).

Kelima. Lagu-lagu itu tidak boleh disertai dengan perbuatan yang diharamkan, seperti
minum khamr, tabarruj (menampakkan aurat) atau ikhtilath antara laki-laki dan
perempuan. Ketika semua persyaratan ini tidak dipenuhi, maka itulah yang dimaksud
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya, “Sungguh akan ada
manusia dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya bukan dengan
nama yang sebenarnya, kepala-kepala mereka dihiasi dengan alat-alat musik dan para
biduanita, Allah akan memasukkan mereka ke dalam tanah dan mereka akan diubah
menjadi kera dan babi.” (HR.Ibnu Majah).

Keenam. Hendaklah nyanyian itu jangan berlebihan sebagaimana juga barang-barang


lain yang diperbolehkan. Terutama nyanyian yang menyentuh perasaan, yang
berbicara tentang cinta dan kerinduan. Karena manusia itu bukan hanya perasaannya
saja, dan perasaan bukanlah hanya cinta saja, dan cinta bukanlah hanya kepada wanita
saja, dan cinta wanita tidak hanya sekedar jasad dan syahwat (fisik dan kesenangan).
Dan hendaknya lagu-lagu, acara dan kehidupan kita berjalan secara seimbang.
Seimbang antara kebutuhan dunia dan akhirat, antara hak pribadi dengan hak
masyarakat, antara akal dengan perasaan. [Islam Bicara Seni. Op. Cit. hal. 99-100].

Ketujuh. Hendaknya setiap orang yang mendengarkan lagu-lagu, mengenal dengan


baik dirinya dan mampu memberikan fatwa pada diri sendiri. Jika lagu-lagu itu
membangkitkan syahwatnya, menimbulkan fitnah dan membuat ia banyak berkhayal,
maka dia harus menjauhinya. [Islam Bicara Seni. Op. Cit. hal. 101-102]. Termasuk
pula bagi penyanyi laki-laki yang bernyanyi di hadapan khalayak perempuan, ia harus
menghentikan nyanyiannya jika menimbulkan fitnah kepada pendengarnya tersebut.

Barra Ibn Malik ra, adalah seorang laki-laki yang bersuara bagus. Ia pernah
melagukan syair dengan irama rajaz (bernada tinggi) untuk Nabi saw di salah satu
perjalanan beliau. Di tengah-tengah ia berlagu dan berada dekat kaum wanita, maka
bersabdalah Nabi saw kepadanya: “Berhati-hatilah terhadap kaum wanita!” Maka
berhentilah Barra’ (dari berlagu). (Hadits shahih riwayat al-Hakim, disetujui oleh adz-
Dzahabi; al-Hakim berkata: “Nabi saw tidak ingin kaum wanita tersebut terkena
fitnah/tergoda akibat senandung Barra”).

Islam dan kesenian

Al Qur’an telah mengingatkan pentingnya unsur keindahan yang telah Allah ciptakan
pada setiap makhluq-Nya, selain unsur manfaat yang juga ada padanya. “Dan Dia
telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.” (An-Nahl: 5).
Ayat tersebut menjelaskan tentang hikmah dan manfaat binatang. Kemudian pada
ayat berikutnya Allah swt berfirman: “Dan kamu memperoleh pandangan yang indah
padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskan ke tempat penggembalaan.” (An-Nahl: 6).

Taujih Qur’ani seperti ini disebutkan berulang kali dalam Al Qur’an di berbagai
lapangan kehidupan. “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasaan. Dan
pakaian taqwa itulah yang paling baik . .” (Al A’raf: 26). “Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan kami telah menghiasi itu
bagi orang-orang yang memandangnya.” (Al Hijr: 16). “Dan Kami hamparkan bumi
itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan
padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” (Qaaf: 7). “Dan yang
menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-
kebun yang berpemandangan indah..” (Al Naml: 60).

Seorang mukmin tidak berhenti terpukau oleh keindahan yang diterima indranya,
melainkan terus merenungi hakikat di balik keindahan tersebut, tentang Alloh swt, zat
yang menciptakan keindahan tersebut. Seorang mukmin juga mencintai keindahan,
karena “Al Jamil” merupakan salah satu asma Allah swt dan sifat-Nya yang mulia.
Seorang mukmin juga mencintai keindahan, karena Rabbnya mencintai yang indah,
Allah itu indah dan mencintai yang indah.

Mungkin ada sebagian manusia yang mengira bahwa mencintai keindahan itu bisa
mengurangi keimanan atau memasukkan seseorang ke lingkup kelalaian dan
kesombongan yang dibenci Allah. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari
kesombongan.” Ada seorang yang bertanya: “Sesungguhnya jika ada seseorang yang
senang memakai baju baik dan sandal baik (apakah itu termasuk kesombongan?).
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah, mencintai keindahan,
sedangkan sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR.
Muslim).

Al Qur’an Al Karim merupakan mu’jizat Rasul yang agung, ilmiah dan juga indah. Ia
telah membuat bangsa Arab tidak mampu berkutik, yaitu dengan keindahan bayannya,
kerapian susunan dan uslubnya, dan keunikan suaranya apabila dibaca, sehingga
sebagian mereka menamakannya “Sihir.” Keutamaan dalam membaca Al Qur’an
adalah bertemunya antara keindahan suara dan kesesuaian tajwidnya. Oleh karena itu
Allah swt berfirman: “Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil (perlahan-lahan).” (Al
Muzzammil: 4). Rasulullah saw bersabda: “Bukanlah termasuk ummatku orang yang
tidak melagukan Al Qur’an.” (HR. Bukhari). Tetapi dengan lagu yang khusyu’, bukan
main-main atau mengubah makna. “Hiasilah Al Qur’an itu dengan suaramu.” (HR.
Muslim). Nabi saw juga bersabda kepada Abu Musa Al Asy’ari ra: “Seandainya kamu
melihatku, aku mendengarkan suaramu tadi malam, sungguh kamu telah diberi
seruling dari seruling keluarga Daud as.” Abu Musa berkata: “Seandainya aku
mengetahui hal itu, maka aku akan membacakan untukmu dengan bacaan yang lebih
baik.” (HR. Muslim).

Islam tidak menolak kesenian, selama kesenian itu tidak bertentangan dengan nilai-
nilai Islam. Prinsip-prinsip seni dalam Islam ialah tauhid, keindahan, dan manfaat.
Islam mengutamakan ajaran tauhid dan menghindari segala pencemaran syirik, maka
penggunaan mitos serta lambang-lambang tertentu yang mengaburkan inti tauhid
adalah dilarang. Dalam kesenian Islam, bukan saja kandungannya yang mesti suci,
namun bentuk atau salurannya juga mesti suci. Islam juga menolak percampuran
antara nilai baik dan buruk karena dapat mengaburkan ketauhidan beribadah.

Tujuan hidup seorang muslim ialah mengabdikan diri kepada Allah swt, sehingga
tujuan seni dalam Islam adalah juga untuk beribadah dan mengingat Alloh swt.
Karena itulah Islam menolak l’art pour l’art, yaitu seni untuk seni, karena hal tersebut
akan memberi kebebasan kepada seni sebebas-bebasnya tanpa ada tanggung jawab
untuk memberikan manfat bagi manusia yang lain. Karena itu Al Qur’an mencela
para penyair yang tidak bermoral yang tidak mau dibatasi nilai-nilai agama. “Dan
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat
bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka
mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali orang-orang
(penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak menyebut Allah dan
mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman.” (Asy Syu’ara’: 224-227).

Suatu karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan hanya karena
diciptakan oleh seorang Muslim, tetapi juga karena dilandasi oleh wahyu Ilahi, baik
melalui al-Quran maupun sunnah Nabi saw. Karya seni yang mengambil ilham dari
Al Quran akan menjadi karya seni yang abadi dan menjadi sumber inspirasi bagi umat
manusia. Seni Islam hanya akan lahir dari seniman yang taat jiwanya kepada Allah
swt, yaitu manusia yang memiliki peran sebagai Abdullah dan Khalifatullah.

Media elektronika telah menyerbu pedesaan dan mempengaruhi anak-anak mudanya.


Kehidupan di kota bahkan lebih buruk lagi. Tempat-tempat hiburan jumlahnya sangat
banyak dan dipenuhi para pemuda. Banyak di antara mereka yang berpikir bahwa
hidup itu hanya untuk bersenang-senang dan jatuh cinta. Semua itu juga disebabkan
kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Seni dan budaya kita telah tergeser oleh
seni budaya produk Barat yang menekankan kehidupan yang bebas tanpa ikatan
agama. Karena itulah usaha mensyiarkan seni Islam menjadi bagian tak terpisahkan
dari da’wah Islam.

Penutup

Ada sebagian yang memahami bahwa masyarakat Islam itu adalah masyarakat ibadah
dan taat, masyarakat yang serius dan disibukkan oleh amal, maka tidak ada
kesempatan di dalamnya untuk bermain-main, bersenda gurau atau menyanyi. Dalam
masalah-masalah tertentu boleh saja mereka bersikap keras terhadap diri sendiri, akan
tetapi yang berbahaya di sini adalah jika mereka memukul rata sikap keras itu kepada
seluruh masyarakat.

Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang melepaskan segala ikatan nilai untuk
memperturutkan hawa nafsunya. Sehingga jadilah seluruh kehidupannya untuk
bermain-main. Mereka mempromosikan kebebasan serta menyebarkan kerusakan
akhlaq dengan mengatasnamakan seni, atau sarana hiburan.

Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi
menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang
Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa
menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi saw memujinya di
hadapan para sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya
tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga,
maka lihatlah orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw memahami bahwa setiap orang memiliki
kemampuan dan tingkatan yang berbeda-beda. Nabi saw hanya menyampaikan hal-
hal yang wajib kepada orang Badui tersebut. Islam sebagai agama yang sesuai dengan
fitrah manusia, telah memberikan koridor terhadap berbagai manusia dengan
tingkatannya yang berbeda. Sebagaimana sebuah koridor, Islam pun memiliki batasan
yang tidak boleh dilanggar manusia-manusia dengan tingkatan berbeda tersebut.

Dalam masalah nyanyian dan musik, maka hukum asalnya adalah mubah, sehingga
bisa menjadi sesuatu yang dianjurkan (mustahab), makruh, atau haram. Sedangkan
sikap yang harus dihindari adalah mengharamkan (nyanyian dan musik) secara mutlak
atau menghalalkan secara mutlak.

Bisa jadi ada orang yang melarang dirinya terhadap setiap bentuk nyanyian dan
musik, meskipun sekedar suara musik untuk mengiringi siaran berita, maka hal ini
dibolehkan selama ia tidak melakukan hal tersebut terhadap orang lain (kecuali
terhadap musik dan nyanyian yang sudah jelas haramnya). Sesungguhnya memang
terdapat orang-orang yang menginginkan kesempurnaan imannya dan tidak
memerlukan untuk menghibur dirinya selain dengan Al Quran dan mendengarkan
nasehat yang baik. Terhadap orang-orang seperti itu maka kita harus
menghormatinya.

Abu Hanifah pernah ditanya oleh seseorang bahwa bolehkah ia sholat sementara
pakaiannya terkena air lumpur (becekan), maka Abu Hanifah menjawab boleh.
Namun suatu ketika orang tersebut melihat Abu Hanifah (sebelum sholat) sedang
membersihkan pakaiannya yang kena air berlumpur. Orang tersebut pun bertanya
kembali: “Mengapa Anda membersihkannya, bukankah menurutmu hal itu tidak
mengapa?” Abu Hanifah menjawab: “Jawabanku adalah fatwa, sedangkan yang aku
lakukan adalah taqwa.” (Al Ikhwan Al Muslimun: Anugerah Alloh yang Terzalimi.
Op. Cit.). Ustadz-ustadz di Dewan Syariah Pusat PKS (seperti ustadz Muslih dan
Samiun Dzajuli) sering menghindari pertunjukan nasyid. Ketika ditanya, mereka
menjawab hal itu untuk menjaga hafalan Qur’annya, dan mereka pun tidak melarang
murid-muridnya mendengarkan nasyid.

Namun ada pula kalangan awam yang hidupnya begitu terkait dengan musik, mereka
merasa hampa jika tidak mendengarkan musik.

Imam Mawardi menceritakan dari Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash bahwa keduanya
pernah mendengar suara ‘ud (dawai) di rumah Abdullah bin Ja’far. Al Adfuwu
menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah mendengarkan nyanyian budak-
budak perempuannya sebelum menjadi khilafah. Ibnu An-Nahawi dalam kitabnya “Al
‘Umdah” dan Ibnu Thahir mengatakan (tentang bolehnya alat musik kecapi)
merupakan ijma ‘Ahlul Madinah. Ibnu Thahir mengatakan: “Pendapat itu didukung
oleh golongan Zhahiriyah.” Al Adfuwi berkata: “Tidak ada perselisihan riwayat
dalam masalah memukul genderang pada Ibrahim bin Sa’ad yang telah kami
sebutkan, dia termasuk perawi yang diambil haditsnya oleh Ashabus-sittah (yaitu
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah).” [Sistem Masyarakat
Islam dalam Al Qur'an & Sunnah. Op. Cit.].

Karena itulah, terhadap kalangan awam tersebut (selama bukan musik yang
diharamkan) maka kita pun harus bersikap baik terhadap mereka. Tugas kita adalah
mengingatkan mereka agar kewajiban-kewajiban ibadah serta mengingat Alloh swt
tidak terabaikan, dan semoga mereka dapat bergabung dengan kafilah da’i dan pencari
ilmu.

Sedangkan terhadap para aktivis da’wah, maka menjadi afdholiyah (keutamaan) untuk
mengganti waktu-waktu kita yang dipenuhi aktivitas mubah menjadi aktivitas sunnah.

Suatu ketika Hanzhalah bertanya pada Abu Bakar: “Jika kita berada di sisi Rasulullah
saw, beliau mengingatkan kita tentang jannah dan jahannam, sampai-sampai kita
seakan-akan melihatnya. Tetapi apabila kita meninggalkan Rasulullah saw, lantas
sibuk dengan istri, anak-anak, dan usaha-usaha kita dalam mencari nafkah, sampai
kita banyak yang lupa diri.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Jika aku pulang ke
rumah, aku tertawa bersama anak-anak dan bergurau dengan istri.”

Abu Bakar menganggap Hanzalah telah berbuat nifaq, namun Rasulullah tidak
menganggap demikian. Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah yang jiwaku ada pada
genggaman-Nya, jika kalian di rumahmu masing-masing berzikir dan berada dalam
keadaan yang sama seperti kamu berada di sisiku, maka tentu para malaikat akan
berjabatan tangan dengan kalian. Tetapi, hai Hanzhalah (kehidupan ini) kadang-
kadang begini dan begitu (Rasulullah mengulangi-ulangi kata-kata tersebut sebanyak
tiga kali) (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Hanzhalah Al-Asdi).
Dalam riwayat lain disebutkan: “Wahai Handzalah! Sesaat-sesaat (sedikit-sedikit
tidak mengapa).” (HR. Muslim).

Mengobati kejenuhan dengan hiburan (yang halal) itu dibolehkan, dan menjadi suatu
keutamaan bagi para aktivis da’wah, yang menjadikan usahanya menghilangkan
kejenuhan sebagai ibadah kepada Alloh swt. Mereka tidak berlebihan dan sangat
selektif dalam memilih sarana hiburannya.

Al-Adhfawi dalam kitabnya Al-Imta’ berkata: “Sesungguhnya Imam Al Ghazali


dalam sebagian karya fiqihnya telah menegaskan kesepakatan para ulama tentang
halalnya menyanyi tanpa memakai alat musik.” Ibnu Thahir menukil ijma’ para
sahabat dan tabi’in atas bolehnya lagu-lagu tanpa musik, At-Taj Al Fazaari dan Ibnu
Qutaibah menukil ijma’ penduduk Mekah dan Madinah atas hal yang sama. Imam Al-
Mawardi mengatakan bahwa penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad ke-5
H) memberi keringanan bolehnya nyanyian jenis ini pada hari-hari raya. Mereka juga
bersepakat atas bolehnya lagu-lagu yang baik yang menyentuh fitrah serta bersih dari
alat-alat musik dan perangsang, pada saat-saat gembira seperti pesta perkawinan,
kedatangan tamu dan sejenisnya. Dengan syarat yang menyanyi bukan seorang wanita
di hadapan laki-laki asing (yang bukan mahromnya).

Aktivis da’wah adalah qudwah, karena itulah terdapat tuntutan agar mereka ‘sedikit’
lebih baik dari kalangan awam.

Wallohu a’lam bish-showab.

Anda mungkin juga menyukai