kesenian dan kebudayaan dalam dunia pesantren seolah sepi dan tidak
begitu diminati. tulisan dalam artikel ini mencoba mencoba untuk
menghidupkan kembali wacana tersebut. Salah satu ulama yang
memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun
opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus
pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali
mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian
terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik<> Dalam
menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama berbeda pendapat.
Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi’i, Malik, Abu
Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya
haram. Seperti kata Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan
menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong
safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.
Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat
hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang
zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-Syafi’i mengutip
sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu
jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-
permainan yang lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci
permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab permainan
bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri
(muru’ah).” [1] Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini
melarang keras musik. Menurutnya, “Jika seseorang membeli budak
perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka
pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk
cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama
Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2] Hal senada diungkapkan Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan
mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini
didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri,
Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas
dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.[3] Adapun pendapat ulama
yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-
Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah
bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan
sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya,
mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan
ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia
berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang
Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik. [4] Tradisi seperti itu juga
dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh
Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan
budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi.
Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai
bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya. Suatu
ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau
melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati
dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim
menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik,
sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya
melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.” [5]
Antara bentuk dan isi Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-
Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang,
ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik
tertentu, semisal seruling dan gitar [6]. Namun, sebagaimana yang
dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat
musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu
yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua
alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat,
sebagai musik pengiring pesta minuman keras. Orang Islam tidak boleh
meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan
mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa
meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).
Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”,
menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip
ketakwaan, dst [7]. Penilaian seperti itu mayoritas muncul dari ulama-
ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal.
Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan
banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri
kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang
sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi. Memang, sejak awal
seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang
pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan
berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits).
Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya dengan
berpijak pada realitas kongkrit. Menurut al-Ghazali, mendengarkan
musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan
perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup
atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin
disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai
keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar
ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya. Dalam
kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala
ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya).
Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran
maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya,
yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu). Atau dalam kaidah yang lain
disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun
ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal
kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam
kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya
tidak bisa ditawar lagi. Musik “Islam” dan “non-Islami” Sekarang
ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang
mengidentifikasi musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non
Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumbui” nama-nama Tuhan,
maka disebut “Islami”. Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi
dengan Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir
(gambus/berbahasa Arab) dianggap musik Islam sementara lainnya
dicap bukan dari Islam. Penilaian tersebut tidak hanya keliru, melainkan
menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri.
Keislaman bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi)
melainkan substansinya. Juga muncul keinginan sebagian orang yang
ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan memasukkan
pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan
menaburi lirik-lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”. Menurut
Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi
kuasa antar keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan
melalui proses legitimasi. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan
terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan agama. Dengan
ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi,
sementara yang lain tidak [8]. Sebetulnya, tidak tepat menghadap-
hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk musik). Keduanya
memiliki independensi masing-masing. Terkadang hubungan keduanya
bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang
dan menyerang. Dalam kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu
disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan keduanya pada proporsi
masing-masing secara adil, bebas, dan merdeka. Wallahu a’lam bi
sawab. Jamaluddin Mohammad, ketua Komunitas Seniman Santri (KSS)
PP. Babakan Ciwaringin Cirebon Endnotes [1] Abi Hamid Muhammad
bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt,
hal 267 [2] Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3 [3] Abi Hamid Muhammad
bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt,
hal 268 [4] Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273
[5] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268 [6] Mohammad Nawawi,
Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt,
hal 75 [7] Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-
Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 106
[7]Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan,
Jakarta: Desantara, 2001, cetakan 2
Sumber: https://www.nu.or.id/opini/pandangan-ulama-terhadap-seni-
musik-1adIY
َو ِم َن الَّن اِس َم ْن َيْش َتِري َلْه َو اْلَح ِد يِث ِلُيِض َّل َع ْن َس ِبيِل ِهَّللا ِبَغْي ِر ِع ْلٍم
َو َيَّتِخ َذ َها ُهُز ًو ا ُأوَلِئَك َلُهْم َع َذ اٌب ُم ِهيٌن
َو ِإَذ ا، ِفي ُع ْر ٍس، َو َأِبي َم ْسُعوٍد اَأْلْنَص اِرِّي،َد َخ ْلُت َع َلى ُقَر َظَة ْبِن َك ْع ٍب
َأْنُتَم ا َص اِح َبا َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ِم ْن: َفُقْلُت، َج َو اٍر ُيَغ ِّنيَن
َو ِإْن، اْج ِلْس ِإْن ِش ْئَت َفاْس َم ْع َم َع َن ا: ُيْفَع ُل َهَذ ا ِع ْن َد ُك ْم ؟ َفَق اَل،َأْهِل َبْد ٍر
َقْد ُر ِّخ َص َلَنا ِفي الَّلْهِو ِع ْنَد اْلُعْر ِس، ِش ْئَت اْذ َهْب
“Aku datang ke sebuah acara pernikahan bersama Qurazah bin
Ka’ab dan Abu Mas’ud Al Anshari. Di sana para budak wanita
bernyanyi. Aku pun berkata, ‘Kalian berdua adalah sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga ahlul badr,
engkau membiarkan ini semua terjadi di hadapan kalian?’.
Mereka berkata: ‘Duduklah jika engkau mau dan dengarlah
nyanyian bersama kami, kalau engkau tidak mau maka pergilah,
sesungguhnya kita diberi rukhshah untuk mendengarkan al lahwu
dalam pesta pernikahan’”. [4]
Yang namanya rukhshah (keringanan), tidak akan
ada jika tidak ada larangan atau pengharaman.
Hadis ini menunjukkan bahwa
memainkan duff dan thabl di luar pesta
pernikahan hukumnya terlarang. Oleh karena ini
Amir bin Sa’ad Al Bajali sempat mengingkarinya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
َو َم َتى َذ ِل َك: ِقيَل، ” َو َم ْس ٌخ، َو َقْذ ٌف، َسَيُك وُن ِفي آِخ ِر الَّز َم اِن َخْس ٌف
َو اْس ُتِح َّلِت، ” ِإَذ ا َظَه َرِت اْلَم َع اِزُف َو اْلَقْيَن اُت: َي ا َر ُس وَل ِهَّللا ؟ َق اَل
اْلَخ ْم ُر
Hukum mendengarkan musik dalam Islam dijelaskan para ulama adalah mubah.
Sebagian ulama menghukumi haram dan sebagian ulama lain membolehkan atau
menghalalkan.
Perbedaan pendapat ini karena adanya ayat dan hadits yang memberikan kebebasan pada
umat muslim untuk berekspresi.
Namun, ada pula yang membatasinya agar tetap sesuai dengan kaidah ajaran agama
Islam.
Lantas, bagaimana kita harus menyikapi hukum mendengarkan musik dalam Islam?
Berikut ini penjelasannya.
Foto: time.com
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-
buruknya suara ialah suara keledai”.
Imam Al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Dalam ayat
tersebut, Allah SWT memuji suara yang baik yang bisa diartikan boleh mendengarkan
nyanyian yang baik.
Di dalam Al-Quran memang tidak dijelaskan hukum mendengarkan musik atau lagu
dengan tegas dan dalam muamalah, kaidah dasarnya yakni al-ashlu fi al-asyaa al ibahah
(semua hukumnya adalah boleh).
Batasan kaidah ini yakni selama musik tersebut tidak berlawanan dengan hukum Islam
atau Syariat
Beberapa ulama yang mengatakan jika musik adalah haram, mendasarkan argumen
tersebut dari surat Luqman ayat 6, yang berbunyi:
َو ِم َن الَّنا ِس َم ْن َي ْش َت ِر ي َلْه َو ا ْل َح ِد ي ِث ِلُيِض َّل َع ْن َس ِبي ِل ال َّلِه ِبَغْي ِر ِع ْل ٍم َو َيَّتِخ َذ َها ُهُز ًو ا ُأو َلِئَك َلُهْم َع َذ اٌب ُمِه ي ٌن
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Baca Juga: 7+ Aturan Islam dan Sunnah Bayi Baru Lahir, Jangan Diabaikan!
Berikut ini adalah pendapat para ulama besar mengenai hukum mendengarkan musik:
Barang siapa yang menghabiskan waktunya dengan mendengarkan nyanyian seperti itu,
maka ia adalah seseorang yang bodoh dan kesaksiannya tidak dapat diterima.
Qadhi Abu Thayyib berkata, “Mendengarkan nyanyian dari wanitia yang bukan muhrim
adalah haram menurut murid murid Imam Syafi’i.”
Imam Syafi’i berkata bahwa. memukul alat musik dengan menggunakan tongkat
hukumnya makruh, karena menyerupai gologan orang-orang yang tidak memilki agama.
2. Imam As-Syaukani
Dalam Naylul Authar dikatakan jika masyarakat di Madinah dan juga ulama yang juga
sependapat dengan mereka serta ahli sufi.
Mereka memberikan keringanan dalam hal musik dan lagu, meskipun hanya dengan alat
musik saja.
Baca Juga: Simak Seperti Apa Hukum Khutbah Nikah dalam Agama Islam Berikut
Ini
3. Ibnu Taimiyah
Jika seorang hamba sudah menyibukkan dengan amalan yang tak syari’at, maka tentunya
ia akan kekurangan semangat untuk berbuat hal yang syari’at dan juga memiliki banyak
manfaat.
Sehingga kita sering melihat jika orang yang tidak bisa lepas dari nyanyian maka tidak
akan merindukan lantunan dari Al Qur’an dan tidak bersemangat mendengarnya.
Begitu pun sahabat lain yakni Kadhi Syureih, al-Sya’bi, Sa’id bin al-Musayyab, Az-Zuhri
dan juga Atha’bin Abi Rabah.
5. Imam al-Ghazali
Ia juga mengungkapkan pendapat jika hukum mendengarkan musik serta nyanyian
tidaklah berbeda dengan mendengarkan berbagai bunyi dari makhluk hidup ataupun
benda mati dan juga mendengar perkataan seseorang.
Apabila pesan yang disampaikan dalam musik adalah baik dan memiliki nilai keagamaan,
mak ini tidak jauh berbeda dengan nasihat serta ceramah keagamaan.
Imam Malik berkata, “Apabila kamu membeli seorang budak wanita, dan ternyata dia
adalah seorang penyanyi, maka kamu wajib mengembalikan kepada si penjualnya.”
Begitu pula menurut Imam Sufyan Ats-Tsauri, Hammad, Ibrahim Asy-Sya’bi dan ulama
kuffah lainnya.
Mereka berpendapat bahwa nyanyian yang bersifat religius hukumnya adalah makruh,
sedangkan mendengarkannya termasuk dosa.
Abu Thalib Al-Makki telah mengutip pendapat beberapa ulama, dan berkata bahwa
mendengarkan nyanyian diperbolehkan atau halal.
Dia berkata bahwa Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Mudhirah bin Syu’bah,
Muawiyah dan beberapa sahabat lainnya sudah biasa mendengarkan nyanyian seperti
demikian.
Berdasarkan kajiannya terhadap Alquran dan hadits, aktivitas tersebut tidak bernilai dosa.
Imam Al-Ghazali menulis:
Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus
berdasarkan naqli.
Jalan mengetahui hukum-hukum syara‘ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap
nash.
Yang saya maksud dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW
melalui ucapan dan perbuatannya.
Sementara yang saya maksud dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara analogis yang
dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. "
Selain itu, para ulama ada yang bersepakat bahwa hukum mendengarkan musik tidaklah
haram, kecuali:
Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya sendiri.
Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang dinyanyikan
seperti musik ritual peribadatan agama tertentu.
Dalam kondisi ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru ritual
ibadah agama lain.
Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang menyanyikan.
Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam memerintahkan untuk menutup
aurat.
Atau, si penyanyi melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas. Pada
intinya, jika suatu musik mengandung kemaksiatan, haram.
2. Mengandung Fitnah
Hukum mendengarkan musik menjadi haram jika terdapat fitnah yang berarti keburukan
di dalamnya.
Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada keburukan, dosa, dan
menimbulkan fitnah, maka haram mendengarkannya.
Seorang Muslim punya kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah.
Dan segala hal yang menghalanginya melakukan kewajiban itu wajib dihindari.
Itu dia Mom informasi tentang hukum mendengarkan musik dalam Islam.
Sebenarnya sah-sah saja mengikuti pandangan ulama manapun, asalkan kewajiban kita
sebagai umat Muslim tidak dilupakan, ya.
Saya menulis catatan ini semata-mata untuk amanah ilmu dan kejujuran
ilmu. Untuk menunjukkan bahwa soal musik ini adalah soal ẓannī.
Termasuk perkara ikhtilāf, termasuk perkara ijtihādī. Jadi, jangan
dikesankan bahwa ia perkara ijmak, sehingga siapapun yang berbeda
pendapat langsung dicap ahlu al-bid‘ah atau keluar dari sunah atau
kelompok menyimpang. Mereka yang mengharamkan mengambil
pendapat yang paling berhati-hati. Mereka yang membolehkan juga
punya hujah yang berharga.
113 /8( (َو َقْد ُاْخ ُتِلَف ِفي اْلِغ َناِء َم َع آَلٍة ِم ْن آاَل ِت اْلَم اَل ِهي َو ِبُد وِنَها (نيل األوطار
Artinya,
“Nyanyian diperselisihkan (hukumnya) baik dengan alat-alat musik
maupun tanpa alat musik” (Nailu Al-Auṭār, juz 8 hlm 113)
Berikut ini daftar para ulama yang membolehkan mulai masa Al-
ṣaḥābah, Al-tābi‘īn sampai generasi-generasi sesudahnya,
Semua yang disebut ini membolehkan nyanyian dengan alat musik yang
sudah dikenal. Al-Syaukānī berkata,
(نيل.َو َج َز َم ِباِإْل َباَحِة اُأْلْد ُفِو ُّي َهُؤاَل ِء َجِم يًعا َقاُلوا ِبَتْح ِليِل الَّس َم اِع َم َع آَلٍة ِم ْن اآْل اَل ِت اْلَم ْعُروَفِة
)114 /8( األوطار
Artinya,
“Al-Udfuwī menegaskan bahwa para ulama ini semuanya menegaskan
kemubahan (bernyanyi) dan menghalalkan mendengar (lagu) dengan
disertai alat (musik) yang sudah dikenal” (Nailu Al-Auṭār, juz 8 hlm
114)
Tim Admin
18/05/2018
4096
Sebuah fenomena di abad millenium ini, siapa yang tidak mengenal lagu dan
musik. Di kalangan anak muda lagu dan musik cukup digemari, bahkan
sekarang bukan hanya anak muda saja yang suka mendengarkan musik, kaum
tua, anak-anak, dan umat Muslim pun menyukainya. Lagu dan musik
merupakan sebuah seni, ia merepresentasikan perasaan sang penciptanya
(musisi) yang dituangkan dalam bait-bait indah nan syahdu, melalui lagu dan
musik juga bisa menjadi wadah apresiasi, dakwah, dan kritik sosial ataupun
politik negeri ini. Ditambah dengan era informasi dan komunikasi yang mudah
dan cepat, membuat lagu dan musik berubah semakin modern.
َوِم َن الَّناِس َم ْن َيْش َتِرْي َلْهَو اْلَحِد ْيِث ِلُيِض َّل َع ْن َس ِبْيِل ِهَّللا ِبَغْيِر ِع ْلٍم َّوَيَّتِخ َذ َها ُهُز ًو ا
“Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab
yang menghinakan”.(QS. Luqman: 6)
Abdullah bin Mas’ud memgatakan bahwa yang dimaksud dengan kata lahwal
hadis adalah nyanyian atau lagu. Sebagia ulama’ sepakat bahwa nyanyian/lagu
yang diiringi alat musik adalah haram hukumnya.
Penafsiran lain mengenai ayat ini dikemukakan Yusuf Qardlawi, penafsiran tadi
bukan satu-satunya penafsiran untuk ayat tersebut karena ada sebagian ulama’
yang menafsirkan lain bahwa yang dimaksud lahwal hadis adalah berita atau
kisah bohong.
Hadis Nabi SAW. Dari Abu Amir atau Abu Malik al-Asy’ari, ia berkata:
َلَيُك ْو َنَّن ِم ْن ُ َّأِم تْي َأْقَو اٌم َيْسَتِح ُّلْو َن اْلِح َّر َو اْلَح ِرْيَر َو اْلَخ ْمَر َو اَلَم َع اِز َف
“Akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera dan minumam
keras serta alat musik”.(HR. Bukhari)
Yang dimaksud Ma’azif pada ayat diatas adalah semua jenis alat musik. Namun
beberapa ulama’ memberikan komentar bahwa hadis tersebut adalah Mu’allaq
(terputus) antara Imam Bukhari dengan syaikhnya (Hisyam bin Ammar)
Ini adalah pendapat jumhur ulama’. Alasan keharaman lagu dan musik adalah
karena kegiatan tersebut akan menjerumuskan pada keharaman yang lain,
misalnya minum-minuman keras. Mereka yang mengharamkan lagu dan musik
juga berpedoman pada Syadz-dzara’I yang melarang perkara mubah karena
ditakutkan terjerumus pada hal yang haram
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan merea bubar untuk
menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhutbah)”. (QS. Al-Jumu’ah: 11)
Al-Lahwu bermakna lagu dan sejenisnya. Jika lagu diharamkan maka sama
halnya dengan jual beli (perdagangan) juga diharamkan, karena keduanya
berada dala satu susunan lafaz.
َد ْع ُهَم ا َيا َأَبا َبْك ٍر َفِإَّن ِلُك ِّل َقْو ٍم ِع ْيًدا َو َهَذ ا ِع ْيُدَنا
Imam Syafi’I, beliau mengatakan bahwa yang melakukan hal tersebut adalah
zindiq.
Imam Hanafi, Nyanyian (musik) adalah haram dan termasuk bagian dari dosa-
dosa
Pertama, Faktor Penyanyi. Yakni kondisi penyanyi, dalam hal ini jika
penyanyinya wanita maka haram melihatnya karena dikhawatirkan akan timbul
fitnah
Kedua, Faktor Alat. Haram jika menggunakan alat-alat seperti seruling, gitar,
dan gendang.
Ketiga, faktor alunan suara atau isi lagu. Kalau terdapat kata-kata yang keji,
mengandung percintaan atau yang dapat mendustakan Allah maka hukumnya
haram
Kelima, Keadaan orang awam. Mendengarkan musik boleh jika tidak melupakan
(melalaikan) waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Dari berbagai pendapat diatas, terjadi ikhtilaf di kalangan ulama’ mengenai
hukum musik dan lagu. Ada yag mengharamkan dan juga ada yang
membolehkan.
Wallahu a’lam
Oleh: Ana Aliyatul Farodisah (Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang)
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم اذا نودى أحدكم إلى وليمة فليأ تها
وأما التطفل وهو حضور الدعوة بغير إذن فحرام إال أن يعلم رضا رب الطعام لصداقة أو مودة
Artinya: Adapun menerombol, yakni menghadiri undangan walimah
tanpa izin, itu hukumnya haram, kecuali bila diketahui kerelaan pemiliki
makanan (sahibul hajat) yang menyediakan untuk sedekah atau ramah
tamah.
ال ابن عبد السالمSSوصرح جماعة منهم الماوردي بتحريم الزيادة على قدر الشبع وال يضمن ق
وإنما حرمت ألنها مؤذية للمزاج
ا منSSا بينهمSSا المالك به لمSSير دعوة إال إذا علم رضSSويحرم التطفل وهو حضور الوليمة من غ
األنس واالنبساط
yang lain juga. Sebagaimana dipaparkan oleh Imam Abu Ishak Ibrahim
Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz II, hal. 476:
الوليمة للعرس والخرس للوالدة واإلعذار للختان والوكيرة:الطعام الذي يدعى إليه الناس ستة
ارCCا من إظهCCللبناء والنقيعة لقدوم المسافر والمأدبة لغير سبب ويستحب ما سوى الوليمة لما فيه
لنعم هللا والشكر عليها واكتساب األجر والمحبة
Artinya: “Ada enam macam undangan jamuan makan bagi manusia: al-
walimah safar haji, dan lainnya. Menurut hemat penulis, hal ini tidaklah
terpenting adalah tujuan dan substansinya sama. Telah juga kita ketahui
atau kesunnahan tersebut, yakni jika dalam jamuan makan tersebut ada
prinsip kesetaraan sosial yang tercederai. Keterangan tentang hal ini bisa
kita simak dalam sabda Rasulullah Saw, sebagaimana penulis kutip dari
َّدْع َو َة َفَق ْد َعَص ى َهَّللاC َو َم ْن َت َر َك ال، ُيْد َع ى َلَه ا اَألْغ ِنَي اُء َو ُيْت َر ُك الُفَقَر اُء،َش ُّر الَّط َع اِم َط َع اُم الَو ِليَم ِة
َو َر ُس وَلُه َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم
Artinya: “Sejelek-jeleknya makanan (tanpa berkah) ialah makanan
َّدْع َو ِة َف ِإْن َخ َّص ُهْمCَو ِإَّن َم ا َت ِج ُب ) اِإْلَج اَب ُة (َأْو ُتَس ُّن ) َك َم ا َتَقَّد َم (ِبَش ْر ِط َأْن اَل َي ُخ َّص اَأْلْغ ِنَي اَء ) ِبال
) ِبَه ا اْن َتَفى َط َلُب اِإْلَج اَبِة َع ْن ُهْم َح َّت ى َي ْد ُع َو اْلُفَقَر اَء َمَع ُهْم
undangan baik pada yang kaya maupun kepada yang miskin. Sebaliknya
diperbolehkan. Hal ini selaras sekali dengan prinsip sosial dalam syariat
Islam dimana prioritas perhatian harus diberikan pada mereka yang lebih
Sumber: https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/ajaran-kesetaraan-sosial-
dalam-pensyariatan-walimah-cEJvP