Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERMASALAHAN SEPUTAR SENI


Disusun untuk memenuhi tugas

pada Mata Kuliah “Masail al-Fiqhiyah”

Dosen Pengampu: Repa Hudan Lisalam M.Ag.

Disusun Oleh

Kelompok 13:

Wini Rosiyani Pratiwi (211210082)


Ridwan Umaedi Apriana (211210086)

KELAS 4C

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2023 M/1444 H
A. PENDAHULUAN
Kesenian dalam filsafat hukum Islam (usûl fiqh) menduduki tingkat tersier (tasîniya h).
Secara khusus kesenian juga menjadi bagian objek keindahan dalam filsafat estetika.
Keberadaan kesenian meskipun hanya tingkat penyempurna namun memiliki peran besar
terhadap budaya yang menyokong kemajuan umat Islam. Para filsuf muslim terdahulu semisal
al-Farabi, Ibn Sina atau Ibn Rush serta lainya kurang menjangkau pada wilayah kesenian,
meskipun mereka lebih mengenal filsafat Yunani.1 Al-Qur’an di samping memiliki dimens i
seni dan juga sumber inpirasi kesenian yang sangat representatif. Banyak ayat-ayat al-qur’an
yang mengungkapkan hal keindahan. Semisal disebutkan dalam Q.S. Qaf ayat 6,

َ ْ‫اَفَلَ ْم يَنْظُ ُر ْْٓو ا اِلَى السَّ َم ۤا ِء فَ ْوقَ ُه ْم كَي‬


‫ف بَنَيْن َها َو َزيَّنّٰ َها َو َما لَ َها ِم ْن فُ ُر ْوج‬

“Tidakkah mereka melihat ke langit, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya ”

Umat Islam pada awalnya hanya kagum dan terpesona pada al-Qur’an sebagai sebuah kitab
suci yang memiliki komposisi literer terindah. Mereka lebih tertarik untuk mengapresiasi dari
segi ajaran dan estetikanya dari pada melakukan ekspresi kesenian. Pada masa Nabi
Muhammad dan sahabatnya, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai. Bahkan
sebagian mereka baru dalam tahapan pembersihan gagasan-gagasan jahiliyyah yang
sebelumnya telah meresap sedalam-dalamnya. Ini dikuatkan oleh Ibnu Khaldun (w.808/1406)
yang menegaskan, kesenian itu memang terbatas oleh orang- orang Arab zaman jahiliyya h
hingga awal mereka masuk Islam. Inipun hanya sebatas pada seni sastra dan belum pada
persoalan seni yang lain. Adapun cabang- cabang kesenian lain seperti, nyanyian, musik
merupakan kebudayaan non-Arab (al-a’jam) dan mulai terlihat pada masa kejayaan Abbasiyah.
Inipun tidak semua elemen masyarakat menerima. Terutama kalangan fuqahâ` (ahli fiqh) dan
kalam (ahli teologi).
Ulama yang terbuka (inklusif) dan tergugah terhadap kesenian mayoritas dari kaum fils uf
(ahli filsafat) dan sufi (ahli tasawuf). Kedua golongan ulama terakhir ini memandang seni dari
estetika dan subtansial. Estetika merupakan bagian dari filsafat dan tasawuf. Banyak filsuf
yang menguasai musik dan teorinya meskipun tidak menjangkau secara totalitas kesenian yang
lain.

1Abdullah, Amin. Pandangan Islam terhadap Kesenian: Sudut Pandang Falsafah, dalam Islam dan Kesenian .
Yogyakarta: Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Univesitas Ahmad Dahlan.

2
Berbeda halnya dalam khazanah fiqhiyyah, secara umum mayoritas fuqahâ` telah
membatasi pada persoalan kesenian. Mereka meninggalkan kesenian karena kuatir terjerumus
pada hal yang haram. Kesenian juga tidak nampak jelas pada generasi sebelumnya. Baik masa
para tabiin (orang-orang yang mengikuti amaliyah para sahabat) atau sahabat (pengikut Nabi
Muhammad), bahkan tidak nampak pada Nabi Muhammad. Meskipun demikian para fuqahâ`
juga sangat bijak dalam mengharamkan kesenian. Fatwa haramnya kesenian tertentu tidak
secara mutlak. Terkadang dikaitkan dengan hal- hal tertentu semisal musik yang mengunda ng
perzinaan, minuman keras, mengundang perjudian dan keburukan lainya. Suka atau tidak suka,
secara lapang dada dan jujur, umat Islam perlu mengakui dan memahami kenyataan yang
demikian. Akhirnya, setidaknya terdapat empat model pemikiran umat Islam yang
berkembang. Pemikiran model fiqh/hukum Islam, pemikiran model kalam, pemikiran model
tasawuf dan filsafat.

B. Analisis Pendapat Ulama Tentang Seni Musik

Seni musik adalah cabang seni yang menggunakan media suara atau bunyi untuk
menyajikan karya yang dihasilkan seniman. Hampir setiap hari seseorang pasti pernah
mendengarkan musik. Sebuah musik memiliki unsur-unsur yang membentuk satu kesatuan
yang membuatnya terdengar indah.

Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumudd in,
al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan
musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaia n
terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik. Dalam menghukumi musik, kata
al-Gazali, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari,
Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram.
Seperti kata Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang
siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah- nya
(kesaksiannya) ditolak”.

Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul- mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh.
Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-

3
Qur’an. Al-Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah
salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang
lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis
permainan. Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memilik i
harga diri (muru’ah).”2

Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya,
“Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi,
maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat
Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2] Hal
senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan
mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh
sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama
lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.3

Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu
Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far,
Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka
mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah
mentradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia
berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya
dengan pagelaran musik.4 Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti
yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerinta hka n
budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua
budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-
saudaranya.

Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang
mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang
mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang

2 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 267
3 Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3
4 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268

4
mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya
melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.”5

Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar
menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunaka n
alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar.6

Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada
alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun
kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainka n
di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras. Orang Islam tidak
boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan:
“Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka
ia termasuk bagian dari kaum itu).

Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita
berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst.7 Penilaian seperti itu
mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-for ma l.
Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunaka n
musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring
tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.

Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf.
Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada
teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada
substansinya dengan berpijak pada realitas kongkrit.

Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan


mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda
mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung

5 Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273


6 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
7 Mohammad Nawawi, Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 75

5
nilai- nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nas ihat
keagamaan. Juga sebaliknya.

Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum
asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di
dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-
ashlu huwa al-hillu). Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-
ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali
terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan
ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.

C. Musik “Islam” dan “non-Islami”

Sekarang ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang mengidentifik as i


musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumb ui”
nama-nama Tuhan, maka disebut “Islami”. Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi dengan
Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir (gambus/berbahasa Arab)
dianggap musik Islam sementara lainnya dicap bukan dari Islam. Penilaian tersebut tidak hanya
keliru, melainkan menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Keislaman
bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi) melainkan substansinya. Juga muncul
keinginan sebagian orang yang ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan
memasukkan pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan
menaburi lirik- lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”.

Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antar
keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan melalui proses legitimasi. Proses ini
berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan
agama. Dengan ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sementara yang
lain tidak.8 Sebetulnya, tidak tepat menghadap- hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk
musik). Keduanya memiliki independensi masing- masing. Terkadang hubungan keduanya
bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang dan menyerang. Dalam

8Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt,
hal 106

6
kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan
keduanya pada proporsi masing- masing secara adil, bebas, dan merdeka.

D. Analisis Pendapat Ulama Tentang Seni Tari


Budaya tari dalam masyarakat Muslim merupakan manifestasi artistik-disajikan
dalam bentuk tertentu-ajaran Islam tentang tauhid (keesaan Allah). Seni tari dapat
dikatakan seni tari Islam atau seni tari yang islamis, jika seni tari tersebut
mengungkapkan pandangan hidup Muslim (konsep tauhid) walaupun pencipta tarian
tersebut bukanlah seorang Muslim. Tauhid adalah esensi Islam yang mencakup seluruh
aktifitas manusia. Tauhid adalah denominator bersama bagi semua seniman yang
berpegang pada dunia Islam. Ilmu seni tari diperkenalkan pertama kali oleh al-Farabi
(872-950) melalui kitabnya yang berjudul ar-raqsu waz-zafnu (kitab tentang tari dan
gerak kaki). Pengaruh kitab ini masih dapat dilihat dalam tari zapin, tari tradisional dari
Riau.
Seni tari Islam berbeda dengan seni tari Barat. Seni tari Islam dalam aplikasinya
selalu berpijak pada norma-norma Islam. Nilai-nilai ilahiyah merupakan worldview bagi
pencipta tari, penari, maupun penikmat tari. 9
Pendapat ulama tentang seni tari berbeda-beda. al-Ghazali beranggapan bahwa
mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubah (boleh), sebab para
sahabat Rasulallah saw. pernah melakukan hajal (berjinjit) pada saat mereka merasa
bahagia. Dalam kesempatan lain Aisyah diijinkan oleh Rasulallah saw untuk menyaksika n
penari-penari Habsyah. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak
layak dilakukan oleh para pejabat dan pemimpin yang menjadi panutan masyarakat, ini
bertujuan agar mereka tidak dikecilkan oleh rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya atau tidak
dijauhi rakyatnya.
Al-Izzuddin Abdussalam berpendapat, bahwa tari-tarian itu adalah bid’ah. Tidak
ada laki-laki yang mengerjakan kecuali kurang akal dan tidak pantas, kecuali bagi wanita.
Tapi menurut pendapat Imam Balqani berpendapat bahwa tari-tarian yang diperbuat
dihadapan orang banyak, tidak haram dan tidak makruh karena tarian itu hanya merupakan

9 Tri Yuliana Wijayanti, Seni Tari Dalam Pandangan Islam, vol 2, Jurnal Ilmiah Sosial Keagamaan, 2018, hlm 51

7
gerakan-gerakan dan bengkokan-bengkokan anggota badan. Ini telah diperbolehkan Nabi
saw kepada orang-orang Habsyah di dalam Masjidnya pada hari raya.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah
menyatakan bahwa ulama-ulama Syafi’iyah seperti yang diterangkan oleh Imam al-
Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulum ad- Din, berkata, Nash-nash syara' telah
menunjukkan bahwa menyanyi menari memukul sambil bermain dengan prisai dan
senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah
hari untuk bergembira, oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari hari yang lain
seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang dibolehkan oleh syara.
Imam Ibnu Hajar menentang pengertian hadis yang membolehkan tarian. Ia
berkata,“Sekelompok sufi telah berdalil kepada hadis tersebut untuk membolehkan tari-
tarian, padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan
tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan prisai dan tombak
merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh
karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang
tujuannya untuk menghibur diri."
Dalam memandang hukum goyangan atau tarian, Syaikh Muhammad al-Albani
menjelaskan bahwa dalam sebuah tarian biasanya ada goyangan tangan, kepala, pundak,
pinggul, pantat, atau kaki. Hukum tarian diambil dari dalil umum, karena tidak ada dalil
khusus yang mengaturnya. Dalam hal ini ada tiga bentuk tarian berdasarkan pelakunya:
Tarian wanita dihadapan suaminya. Tarian seperti ini di bolehkan yang hanya dilakukan
oleh sepasang suami isteri, tidak ada orang lain, walaupun tariannya bias menimbulka n
syahwat.
Tarian perempuan dihadapan anak-anak perempuan. Tarian ini di bolehkan dengan
syarat gerakkan tari hanya gerakan biasa tidak disertai gerakkan pantat dan sejenisnya yang
bisa menimbulkan syahwat. Kalau tarian itu keluar dari batasan tersebut, maka hukumnya
menjadi terlarang.
Tarian laki-laki Tarian yang merupakan adat kebiasaan yang tidak disertai dengan
sesuatu yang menyelisihi syari’at. Pendapat ulama tentang seni tari berbeda-beda. al-
Ghazali beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya
mubah (boleh), sebab para sahabat Rasulallah saw. pernah melakukan hajal (berjinjit) pada

8
saat mereka merasa bahagia. Dalam kesempatan lain Aisyah diijinkan oleh Rasulallah saw
untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis
hiburan lainnya tidak layak dilakukan oleh para pejabat dan pemimpin yang menjadi
panutan masyarakat, ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan oleh rakyat, tidak
dijatuhkan martabatnya atau tidak dijauhi rakyatnya.
Al-Izzuddin Abdussalam berpendapat, bahwa tari-tarian itu adalah bid’ah. Tidak
ada laki-laki yang mengerjakan kecuali kurang akal dan tidak pantas, kecuali bagi wanita.
Tapi menurut pendapat Imam Balqani berpendapat bahwa tari-tarian yang diperbuat
dihadapan orang banyak, tidak haram dan tidak makruh karena tarian itu hanya merupakan
gerakan-gerakan dan bengkokan-bengkokan anggota badan. Ini telah diperbolehkan Nabi
saw kepada orang-orang Habsyah di dalam Masjidnya pada hari raya.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah
menyatakan bahwa ulama-ulama Syafi’iyah seperti yang diterangkan oleh Imam al-
Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulum ad- Din, berkata, Nash-nash syara' telah
menunjukkan bahwa menyanyi menari memukul sambil bermain dengan prisai dan
senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah
hari untuk bergembira, oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari hari yang lain
seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang dibolehkan oleh syara.
Imam Ibnu Hajar menentang pengertian hadis yang membolehkan tarian. Ia
berkata,“Sekelompok sufi telah berdalil kepada hadis tersebut untuk membolehkan tari-
tarian, padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan
tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan prisai dan tombak
merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh
karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang
tujuannya untuk menghibur diri."
Dalam memandang hukum goyangan atau tarian, Syaikh Muhammad al-Albani
menjelaskan bahwa dalam sebuah tarian biasanya ada goyangan tangan, kepala, pundak,
pinggul, pantat, atau kaki. Hukum tarian diambil dari dalil umum, karena tidak ada dalil
khusus yang mengaturnya. Dalam hal ini ada tiga bentuk tarian berdasarkan pelakunya:

9
Tarian wanita dihadapan suaminya. Tarian seperti ini di bolehkan yang hanya dilakukan
oleh sepasang suami isteri, tidak ada orang lain, walaupun tariannya bias menimbulka n
syahwat.
Tarian perempuan dihadapan anak-anak perempuan. Tarian ini di bolehkan dengan
syarat gerakkan tari hanya gerakan biasa tidak disertai gerakkan pantat dan sejenisnya yang
bisa menimbulkan syahwat. Kalau tarian itu keluar dari batasan tersebut, maka hukumnya
menjadi terlarang. Tarian laki-laki Tarian yang merupakan adat kebiasaan yang tidak
disertai dengan sesuatu yang menyelisihi syari’at.
Menari dalam fikih disebut ar-raqshu. Disebutkan dalam kamus Mu’jam Al-
Wasith:

‫تنقَّل وحرك جسمه على إِيقاع موسيقى أو على الغناء‬

“(ar-raqshu adalah) seseorang berpindah-pindah posisi dan menggerak- gerakka n


badannya sesuai irama musik atau nyanyian.”

Para ulama yang semangat membimbing umat kepada kebaikan dan mencegah
umat dari keburukan membahas masalah ar-raqshu. Oleh karena itu, kita simak uraian
ringkas berikut tentang hukum menari dalam islam.
Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ض َم َر ًحا ِإنَّكَ لَ ْن ت َ ْخ ِرقَ ْاْل َ ْر‬


ً ُ‫ض َولَ ْن تَبْلُ َغ الْ ِجبَا َل ط‬
}37 :‫وَل {اإلسراء‬ ِ ‫ش فِي ْاْل َ ْر‬
ِ ‫ ََل ت َ ْم‬.

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan cara al-marah, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak
akan sampai setinggi gunung” (QS. Al-Isra: 37).

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya menjelaskan,

10
ِ ْ‫الرق‬
‫ص‬ َّ ‫آن عَلَى النَّ ْهي ِ ع َِن‬ َّ َ‫ قَ ْد ن‬:‫اء ابْ ُن عَقِيل‬
ُ ‫ص الْقُ ْر‬ ِ َ‫اإل َما ُم أَبُو الْ َوف‬
ِ ْ ‫ قَا َل‬.‫اطي ِه‬ ِ ْ‫الرق‬
ِ َ‫ص َوتَع‬ َّ ‫اسْت َ َد َّل الْعُلَ َما ُء ِب َه ِذ ِه ْاْليَ ِة عَلَى ذَ ِم‬
:َ‫ض َم َرحا ً ”فَقَال‬ ِ ‫ش فِي ْاْل َ ْر‬ َ ‫ والرقص أشد المرح والبطر‬.َ‫َوذَ َّم الْ ُم ْختَال‬
ِ ‫”وَل ت َ ْم‬

“Para ulama berdalil dengan ayat ini untuk mencela joget dan pelakunya. Al-Imam
Abul Wafa bin Aqil mengatakan, ‘Al-Qur’an menyatakan dilarangnya joget dalam firma n-
Nya janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan cara al marah (penuh kesenanga n).
Dan ayat ini juga mencela kesombongan. Sedangkan joget itu adalah bentuk jalan dengan
ekspresi sangat-sangat senang dan penuh kesombongan” (Tafsir Al-Qurthubi, 10/263).

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menari dalam islam (ar-raqshu).


Sebagian ulama Syafi’iyyah membolehkan ar-raqshu (lihat Mausu’ah Fiqhiyya h
Kuwaitiyah, 23/10) berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu’anha,

‫أنظر‬
ُ َ ‫ فو‬. ‫هللا عليه وسلَّ َم‬
ُ‫ فجعلت‬. ‫ على منك ِبه‬. ‫ضعْتُ رأسي‬ ُ ‫النبي صلَّى‬
ُّ ‫ فدعاني‬. ‫يوم عيد في المسج ِد‬
ِ ‫نون في‬ َ ِ‫يزف‬
ْ ‫ش‬ ٌ َ‫جاء َحب‬
‫النظر إليهم‬
ِ ‫أنصرف عن‬
ُ ‫ حتى كنتُ أنا التي‬. ‫إلى لع ِبهم‬

“Datang orang-orang Habasyah menari-nari di masjid pada hari Id. Maka


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilku. Aku letakkan kepalaku di atas bahu
beliau. Dan akupun menonton orang-orang Habasyah tersebut sampai aku sendiri yang
memutuskan untuk tidak ingin melihat lagi” (HR. Muslim no. 892).

Namun jika kita gabungkan dengan riwayat yang lain, maka kita akan ketahui
َ ِ‫يزف‬
bahwa ‫نون‬ ْ (menari-nari) di sini maksudnya bermain alat-alat perang. Sebagaimana
dalam riwayat Bukhari,

‫ف‬ َ ْ‫أنظر حتَّى كنْتُ أنا أَن‬


ُ ‫ص ِر‬ ُ ُ‫ ف َما ِزلْت‬، ‫يلعبون بِ ِحرابِهم فَسَتَرنِي رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم وأنَا أنْظُ ُر‬
َ ‫ش‬ َ
ُ َ‫كان ال َحب‬

“Orang-orang Habasyah bermain- main dengan alat-alat perang mereka. Rasululla h


pun membentangkan sutrah agar mereka tidak melihat aku (‘Aisyah) sedangkan aku

11
menonton mereka. Terus demikian sampai akhirnya aku (‘Aisyah) enggan melihat lagi”
(HR. Bukhari no. 5190).

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah (23/10),

‫ َو أَنَّهُ ِم ْن‬،ٌ‫سفَه‬ َ ‫ين ذَ ِلكَ ِبأ َ َّن ِف ْعلَهُ َدنَا َءةٌ َو‬
َ ‫ص ُم َع ِل ِل‬ِ ْ‫الرق‬ َّ ‫ب الْ َحنَ ِف َّيةُ َو الْ َما ِل ِك َّيةُ َو الْ َحنَا ِبلَةُ َو الْقَفَّال ِم َن الشَّا ِف ِع َّي ِة ِإلَى ك ََر ا هَ ِة‬
َ َ‫فَذَ ه‬
،‫ َولَ ِع ِب ِه ْم ِب ِح َر ا ِب ِه ْم‬،‫سالَ ِح ِه ْم‬ ِ ْ ‫ص الْ َح َبشَ ِة عَلَى الْ َوث‬
ِ ‫ب ِب‬ ِ ْ‫يث َرق‬ َ ‫ َو َح َمل الْ ُعلَ َما ُء َح ِد‬:‫ قَال اْل ْ ََ ِب ُّي‬.‫ َو أَنَّهُ ِم َن اللَّ ْه ِو‬،‫ت الْ ُم ُرو َء ِة‬ ِ ‫س ِقطَا‬
ْ ‫ُم‬
ِ ‫ أ َ ْو كَش‬،‫ص أ َ ْم ٌر ُم َح َّر ٌم كَش ُْربِ الْ َخ ْم ِر‬
‫ْف‬ َ ْ‫الرق‬ َّ ِ‫ص َحب‬ ْ َ‫َّللا بِ ِح َر ابِ ِه ْم َو هَذَ ا كُلُّهُ َما لَ ْم ي‬
ِ َّ ‫ون ِعنْ َد َرسُول‬ َ ُ‫ يَلْعَب‬:‫لِيُ َو افِقَ َما َجا َء فِي ِر َو ايَة‬
‫ فَ َي ْح ُر ُم ِاتفَاقًا‬،‫الْ َع ْو َر ِة َونَ ْح ِو ِه َما‬

“Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Al-Qafal dari Syafi’iyya h


memakruhkan joget dengan alasan karena ia adalah perbuatan dana’ah (rendah) dan safah
(kebodohan). Dan ia merupakan perbuatan yang menjatuhkan wibawa. Dan ia juga
merupakan lahwun (kesia-siaan). Al-Abbi mengatakan, ‘Para ulama memaknai hadits
jogetnya orang Habasyah bahwa maksudnya (bukan joget sebagaimana yang kita ketahui)
namun sekedar lompat-lompat ketika bermain pedang, dan alat-alat perang mereka.’
Sehingga sesuai dengan riwayat yang lain yang menyatakan bahwa mereka (orang
Habasyah) bermain-main di dekat Rasulullah dengan alat-alat perang mereka.’ Demikia n
pemaparan ini semua dengan asumsi joget tersebut tidak dibarengi dengan hal yang
diharamkan syariat seperti minum khamr, membuka aurat, atau yang lainnya. Jika
dibarengi hal yang diharamkan maka hukumnya haram menurut sepakat ulama.”

Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,

ً ‫ صار حراما‬: ‫ أو كان تقليد ا ً للكافرات‬، ‫ ولكن إذا كان على الطريقة الغربية‬، ‫ا لرقص مكروه في اْلصل‬

“Berjoget/menari hukum asalnya makruh. Namun jika dilakukan dengan cara yang
nyeleneh atau meniru orang kafir maka menjadi haram” (Liqaa Baabil Maftuh, 41/18).

12
Dengan demikian yang tepat, hukum menari dalam islam (ar-raqshu) secara umum
adalah makruh. Namun ini jika tidak disertai perbuatan yang dilarang agama seperti diiringi
musik, membuka aurat, bergaya seperti wanita, meniru orang kafir, minum khamr dan
lainnya. Jika dibarengi hal-hal yang diharamkan maka hukumnya haram menurut sepakat
ulama.

Ini mencakup joget/menarinya lelaki di hadapan sesama lelaki, atau


joget/menarinya wanita di hadapan sesama wanita, atau joget/mena rinya lelaki di hadapan
wanita.
Hukum wanita menari di depan lelaki non mahram dalam islam, walaupun hukum
asal ar-raqshu adalah makruh, namun jika dilakukan wanita di depan lelaki ajnabi (non-
mahram) maka hukumnya haram. Karena jelas hal ini menimbulkan fitnah (godaan) yang
besar bagi lelaki, termasuk perbuatan fahisyah dan mendekati zina. Padahal Rasululla h
shallallahu’alaihi wasallam mewanti-wanti fitnah (godaan) wanita, beliau bersabda,

‫النساء‬
ِ َ ‫أضر على الرجا ِل‬
‫من‬ َّ ً‫ما تَركتُ بَعدي فِتنَة‬

“Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki
selain fitnah (cobaan) terhadap wanita” (HR. Al-Bukhari 5096, Muslim 2740).

Beliau juga bersabda,

‫ فإن أو َل فتن ِة بني إسرائي َل‬. ‫ فاتقوا الدنيا واتقوا النسا َء‬. ‫فينظر كيف تعملون‬
ُ . ‫هللا مستخلفُكم فيها‬
َ ‫ وإن‬. ٌ‫إن الدنيا حلوةٌ خضرة‬
‫النساء‬
ِ ‫كانت في‬

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah telah mempercayakan kalian
untuk mengurusinya, sehingga Allah melihat apa yang kalian perbuat (di sana). Maka
berhati-hatilah kalian dari fitnah (cobaan) dunia dan takutlah kalian terhadap fitnah
(cobaan) wanita. Karena sesungguhnya fitnah (cobaan) pertama pada Bani Isra’il adalah
cobaan wanita” (HR Muslim 2742).

13
Kemudian lelaki mukmin dan wanita mukminah diperintahkan oleh Allah untuk
saling menundukkan pandangan, maka jika sengaja memperlihatkan joget dan tarian
kepada lelaki non mahram ini menyelisihi 180 derajat perintah Allah tersebut. Allah Ta’ala
berfirman,

‫ض َن‬
ْ ‫ض‬ ِ ‫) َوقُ ْل لِلْ ُم ْؤ ِمنَا‬٣٠( ‫ون‬
ُ ْ‫ت يَغ‬ َ ُ‫صنَع‬ َ َّ ‫ص ِار ِه ْم َويَ ْحفَظُوا فُ ُرو َج ُه ْم ذَلِكَ أ َ ْزكَى لَ ُه ْم إِ َّن‬
ٌ ِ‫َّللا َخب‬
ْ َ‫ير بِ َما ي‬ َ ْ‫ضوا ِم ْن أَب‬ ُّ ُ‫ين يَغ‬َ ِ‫قُ ْل لِلْ ُم ْؤ ِمن‬
‫ص ِار ِه َّن َويَ ْحفَظْ َن فُ ُرو َج ُه َّن‬
َ ْ‫ِم ْن أَب‬

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah
kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya’” (QS. An-Nur: 30-31).

Lelaki muslim dilarang memandang wanita yang tidak halal baginya dengan
sengaja, baik dengan atau tanpa syahwat. Jika dengan syahwat atau untuk bernikmat -
nikmat maka lebih terlarang lagi.

Dan zinanya mata adalah dengan memandang. Rasulullah Shallallahu’ala ihi


Wasallam bersabda,

‫والنفس تتمنى‬
ُ ، ُ‫اللسان المنطق‬
ِ ‫ وزنا‬،‫النظر‬
ُ ‫العين‬
ِ ‫ فزنا‬، َ‫ أدرك ذلك َل محالة‬،‫ابن آد َم حظَّه من الزنا‬
ِ ‫هللا كتب على‬
َ ‫إن‬
‫ج يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه‬ ُ ‫ والفر‬،‫وتشتهي‬

“sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memilik i
bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata
adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah
berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau
mengingkarinya” (HR. Al-Bukhari 6243).

14
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya, “apa hukum
wanita berjoget/menari di depan lelaki ajnabi (non mahram)?” Mereka menjawab,

‫ ومن‬،‫ والبعد عن أسباب الفتنة‬،‫الواجب على المرأة المسلمة اَلحتشام والتستر بالحجاب الكامل عن الرجال غير المحارم‬
‫ فعلى‬،‫ ومناف للحياء‬،‫ وهو مسبب للفتنة والوقوع في الفاحشة‬،‫ فهو محرم َل يجوز‬،‫أعظمها رقصها أمام الرجال اْلجانب‬
‫المرأة المسلمة اَلبتعاد عن ذلك وعن غيره من أسباب الفتنة‬

“Wajib bagi wanita muslimah untuk berlaku sopan dan menutup dirinya dengan
hijab yang sempurna dari para lelaki yang bukan mahram. Dan wajib juga bagi mereka
untuk menjauhi sebab-sebab fitnah (godaan). Dan di antara godaan yang paling besar
adalah joget/menarinya mereka di depan lelaki yang bukan mahram. Ini hukumnya haram,
tidak diperbolehkan. Dan ini merupakan sebab fitnah dan sebab terjerumusnya seseorang
dalam perbuatan fahisyah (zina). Maka wajib bagi wanita muslimah untuk menjauhkan diri
dari perbuatan tersebut dan dari semua perbuatan yang menyebabkan fitnah (godaan)”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid 3 no. 16638).
Joget dan menarinya wanita di depan suaminya, adapun jogetnya istri khusus di
depan suaminya maka hukumnya halal. Karena jogetnya istri di depan suami tentunya tidak
ada faktor kesombongan, dan juga tidak termasuk perbuatan dana’ah dan safah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutkan,

‫ وكل ما كان أدعى‬،‫أما رقص المرأة أمام زوجها وليس عندهما أحد فال بأس به؛ ْلن ذلك ربما يكون أدعى لرغبة الزوج فيها‬
‫ كما يسن للزوج أيضا ً أن‬،‫ و لهذا يسن للمرأة أن تتجمل لزوجها‬،‫لرغبة الزوج فيها فإنه مطلوب ما لم يكن محرما ً بعينه‬
‫يتجمل لزوجته كما تتجمل له‬

“Adapun joget/menarinya wanita di depan suaminya tanpa dilihat orang lain, maka
tidak mengapa. Karena ini terkadang bisa membangkitkan cinta suami terhadap istrinya.
Dan semua hal yang membangkitkan cinta suami terhadap istrinya adalah hal yang dituntut
dalam syariat, selama bukan perbuatan yang haram secara dzatnya. Oleh karena itu istri

15
disunnahkan untuk berhias di depan suaminya. Sebagaimana juga suami disunna hka n
untuk berhias bagi istrinya” (Liqa Asy-Syahri, 12/19).

Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman mengatakan, “Jogetnya seorang istri khusus
untuk suaminya hukumnya halal dalam bentuk apapun. Wallahu’alam” (Fatawa Syaikh
Masyhur Hasan Alu Salman, fatwa no. 49, Asy-Syamilah).
E. Kesimpulan
Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan oleh
para pejabat dan pemimpin yang menjadi panutan masyarakat, ini bertujuan agar mereka
tidak dikecilkan oleh rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya atau tidak dijauhi rakyatnya.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah
menyatakan bahwa ulama-ulama Syafi’iyah seperti yang diterangkan oleh Imam al-
Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulum ad- Din, berkata, Nash-nash syara' telah
menunjukkan bahwa menyanyi menari memukul sambil bermain dengan prisai dan
senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah
hari untuk bergembira, oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari hari yang lain
seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang dibolehkan oleh syara.
Al-Abbi mengatakan, ‘Para ulama memaknai hadits jogetnya orang Habasyah
bahwa maksudnya (bukan joget sebagaimana yang kita ketahui) namun sekedar lompat -
lompat ketika bermain pedang, dan alat-alat perang mereka.’ Sehingga sesuai dengan
riwayat yang lain yang menyatakan bahwa mereka (orang Habasyah) bermain-main di
dekat Rasulullah dengan alat-alat perang mereka.’ Demikian pemaparan ini semua dengan
asumsi joget tersebut tidak dibarengi dengan hal yang diharamkan syariat seperti minum
khamr, membuka aurat, atau yang lainnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

(Abdullah), Amin. Pandangan Islam terhadap Kesenian: Sudut Pandang Falsafah, dalam Islam dan
Kesenian. Yogyakarta: Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Univesitas Ahmad Dahlan

Ab Majid, Mohamad Kamil bin Hj, and Muhammed bin Yusof. "Ke arah memperkasakan islamisasi seni
muzik sebagai satu alternatif: satu pengamatan awal." Jurnal Hadhari Edisi Khas 105 (2008): 121.

Pratiwi, Hanameyra. "Analisis Sanad dan Matan Hadis tentang Musik." Jurnal Riset Agama 1.1 (2021): 59-
70.

Mufidah, Anis. Pandangan ulama terhadap mata pelajaran seni tari di SMP/Mts (Studi Kasus pada Ulama
Pesantren Ilmu Al-Quran Singosari dan Ulama Pesantren Luhur Malang). Diss. Universitas Negeri
Malang, 2009.

Tasawuf, Diskursus Pemikiran Fiqih Dan. "Pandangan Islam Terhadap Seni Musik."

Nur'Aini, Amalia Dwi. Lenggak lenggok tari Jaipong dalam perspektif hadis: studi kritik analisis hadis
Sahih Muslim nomor indeks 2128 dengan pendekatan budaya. Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.

Said, Irhamsyah. Tinjauan fatwa mui no. 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi terhadap tari-
tarian (study kasus kelurahan tegal sari mandala ii kecamatan Medan Denai). Diss. Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, 2017.

17

Anda mungkin juga menyukai