Anda di halaman 1dari 5

Para ulama sepakat 

hukum musik adalah haram selama ada tiga hal yang


menyertainya. Apa saja?   

Pertama, musik menjadi haram jika mengandung unsur kemungkaran


maupun kemaksiatan. Ulama mempermasalahkan sisi kemaksiatan yang
melekat pada musik tersebut sehingga musik pun menjadi haram. 

Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya
sendiri. Misalnya bila lagu tersebut mengajak berbuat kemaksiatan.  

Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang


dinyanyikan seperti musik ritual peribadatan agama tertentu. Dalam kondisi
ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru ritual
ibadah agama lain.

Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang
menyanyikan. Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam
memerintahkan untuk menutup aurat. Atau, si penyanyi melakukan
gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas. Pada intinya, jika
suatu musik mengandung kemaksiatan, haram.

Kedua, haramnya musik lantaran terdapat fitnah yang berarti keburukan di


dalamnya. Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada
keburukan, dosa, dan menimbulkan fitnah, maka haram
mendengarkannya.

Ketiga, musik menjadi haram bila membuat orang yang mendengarnya


meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Seorang Muslim punya
kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah. Dan segala hal
yang menghalanginya melakukan kewajiban itu wajib dihindari.

Kendati demikian, Kitab Tafsir at-Thabari memberi penjelasan dalam


kajiannya terhadap Surah Luqman ayat 6. Allah SWT berfirman, "Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan".
Kitab Tafsir at-Thabari (20/128) mengutip pendapat Abdullah bin Mas'ud
dan Abdullah bin Abbas untuk menafsirkan ayat tersebut. Menurut dua
Sahabat Nabi SAW itu, diksi lahwun pada ayat tersebut berarti musik,
nyanyian dan mendengarkannya.  

Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga menguatkannya, dengan menyebutkan bahwa,


"Ketika Allah SWT menjelaskan keadaan orang-orang yang berbahagia,
mereka adalah yang mendapatkan petunjuk dari Kitab Allah SWT dan
mengambil manfaat dari mendengarkannya".  

Kemudian, masih dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah SWT juga menjelaskan
tentang keadaan orang yang merugi dan sengsara (asyqiya) yaitu yang
menolak mengambil manfaat dari mendengarkan ayat-ayat Allah SWT, dan
menerima untuk mendengarkan suara seruling, nyanyi-nyanyian dan juga
alat musik. 

Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas adalah Sahabat Nabi SAW yang
mengharamkan musik. Salah satu dalil yang mengharamkan musik yaitu
hadis riwayat Imam al-Bukhari. Nabi Muhammad bersabda, "Akan ada dari
umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat
musik". 

Diksi alat musik yang digunakan dalam hadis itu adalah ma'azif, kata
jamak, yang mengacu pada alat musik yang dipukul. Zarkasih
memaparkan, ma'azif pada zaman sekarang mungkin dapat diserupakan
dengan gendang. 

Jika ada yang menghalalkannya, berarti asalnya itu memang haram. Dan
Nabi Muhammad mengingatkan soal itu agar umatnya mawas diri.

Sedangkan Sahabat Nabi yang membolehkan musik salah satunya adalah


Abdullah bin Zubair. Imam As-Syaukani dalam "Nailul-Authar",
menceritakan tentang kisah Abdullah bin Zubair, budak perempuan, dan
gitar. 

Suatu kali, Ibnu Umar bertandang ke rumah Abdullah bin Zubair dan
melihat sebuah alat musik. Lalu dia bertanya benda apa itu, dan bertanya
lagi, "apakah ini alat musik (mizan Syami) dari Syam?". Lalu dijawab oleh
Ibnu Zubair, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang".

Sementara ulama mengemukakan riwayat bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan tokoh
kaum musyirikin, yaitu an-Nadhr Ibn al-Harits, yang sengaja membeli buku-buku cerita dan
dongeng ketika melakukan perjalanan perdagangan di Persia. Dia berbangga dengan
kandungan buku itu dan mengundang orang mendengarnya agar mereka beralih dari Alquran.
Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat di atas turun menyangkut seorang dari suku
Quraisy bernama Ibn Khathal yang membeli seorang budak wanita yang pandai menyanyi
sehingga sekian banyak orang terbuai dengan nyanyian dan lengah terhadap Alquran.

Kata yastari/membeli digunakan Alquran untuk segala sesuatu yang diperoleh dengan jalan


menyerahkan sesuatu sebagai pembayarannya. Dalam konteks ayat ini, Sayyid Quthub
melukiskan pembayaran tersebut bisa dalam bentuk harta, waktu, atau bahkan hayatnya.

Kata lahw adalah sesuatu yang melengahkan, yang mengakibatkan tertinggalnya yang


penting atau yang lebih penting. Ayat di atas, walau menggunakan kata lahwa al-
hadits/ucapan yang melengahkan, para ulama tidak membatasinya pada ucapan atau bacaan
saja. Mereka memasukkan segala aktivitas yang melengahkan. Menurut al-Biqa’i, ia adalah
segala yang melengahkan berupa aktivitas yang dilakukan dari saat ke saat dan yang
membawa kelezatan sehingga waktu berlalu tanpa terasa. Seperti nyanyian, lelucon, dan lain-
lain.

Al-Qurthubi menjadikan ayat ini sebagai satu dari tiga ayat yang dijadikan dasar oleh ulama
memakruhkan dan melarang nyanyian. Ulama ini menyebut nama-nama Ibn Umar, Ibn
Mas’ud, dan Ibn ‘Abbas ra., tiga orang sahabat Nabi SAW., serta sekian banyak ulama lain
yang memahami kata lahwu al-hadits dalam arti nyanyian. Ibn Mas’ud—tulisnya—bahkan
bersumpah tiga kali menyatakan bahwa kata al-lahwu di sini adalah nyanyian. Ayat kedua
adalah QS. al-Isra ayat 64 dan ketiga yaitu QS. an-Najm ayat 61.

Dalam satu pertanyaan yang diajukan kepada penulis tentang hukum nyanyian, penulis
menjawab bahwa: Agama Islam memperkenalkan dirinya antara lain sebagai agama yang
sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia sehingga tidak mungkin ada
suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Salah satu fitrah itu adalah
kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa pemandangan alam, keindahan
wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga suara merdu. Tuhan tidak mungkin
menciptakan itu dalam diri manusia kemudian dia mengharamkannya.

Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama,
lagu, dan keharmonisan. Musik telah lama dikenal manusia dan digunakan untuk berbagai
keperluan selain hiburan, seperti pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan
bayi.
Memang, kebanyakan ulama abad II dan III Hijrah—khususnya yang berkecimpung di
bidang hukum—mengharamkan musik. Imam Syafi’i, misalnya, menegaskan bahwa
diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma) dan bahwa
tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian mengumpulkan orang
mendengar nyanyiannya. Imam Abu Hanifah memandang bahwa mendengar nyanyian
termasuk dosa. Ini berbeda dengan pandangan kaum sufi. Mereka pada umumnya
mendukung nyanyian. Ibn Mujahid tidak menghadiri undangan kecuali jika disuguhkan
nyanyian.

“Ramat Allah turun kepada kelompok sufi, antara lain karena mereka mendengar nyanyian
yang mengesankan hati mereka sehingga mereka mengakui kebenaran,” begitu kata sufi
besar, al-Junaid.

Imam al-Ghazali secara tegas membolehkan musik. Bahkan ia berpendapat bahwa nyanyian
dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri). Boleh jadi
lebih dari apa yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain. Pendapat ini didukung oleh hampir
semua kaum sufi.

Al-Ghazali mengecam mereka yang mengharamkan musik/nyanyian. Walaupun dia


mengakui adanya larangan Nabi, ia mengaitkan larangan mendengar musik atau nyanyian itu
dengan kondisi yang menyertainya atau dampak negatif yang dilahirkannya. Hadis Nabi yang
melarang nyanyian, antara lain, adalah yang dilakukan wanita di hadapan lelaki di bar
(tempat menyuguhkan minuman keras). Ada haditshadit Nabi yang sahih menunjukkan
kebolehan bernyanyi atau menggunakan alat musik, antara lain bahwa ‘Aisyah RA., pernah
mendengar nyanyian di rumah Nabi dan Nabi tidak menegurnya.

Menurut al-Ghazali, adanya izin kepada Aisyah menunjukkan bolehnya menyanyi. Adapun
larangan yang ada, ia harus dilihat konteksnya. Ulama-ulama yang melarang musik
menamainya sebagai alat  al-malahi (alat-alat yang melalaikan dari kewajiban/sesuatu yang
penting). Dalam konteks inilah musik menjadi haram atau makruh. Tetapi, jika musik
mendorong kepada sesuatu yang baik, maka ia dianjurkan. Lagu-lagu berbahasa Arab sekali
pun, atau yang berirama kasidah, dapat saja menjadi haram bila mengandung kalimat yang
tidak wajar atau mengundang rangsangan kemungkaran.

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam fatwanya
menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna
membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa-
peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, memang
diperselisihkan. Tetapi semua alasan untuk melarangnya — selama tidak menimbulkan
dampak negatif -- tidak dapat dibenarkan. Demikian Wa Allah A’lam.

====

*) Naskah diambil dari buku  "Tafsir al-Mishbah Vol. 10" yang diterbitkan penerbit Lentera
Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website
penerbit.

Anda mungkin juga menyukai