Anda di halaman 1dari 7

UAS FIQIH

HUKUM SENI MUSIK DALAM ISLAM


Nama : Muhammad Jauhar Kholish
NIM : 1191060063
Kelas : 5B Ilmu Hadis
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : Saifudin Nur, M.Ag

A. Pengertian Seni Musik

Pengertian musik secara umum adalah waktu dalam bunyi. Musik adalah bunyi yang
diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera
seseorang. Pengertian musik pun dikenal cukup bermacam-macam. Musik adalah seni yang
terbentuk dari kumpulan suara dan irama yang selaras atau harmonis. Dalam pengertian
musik dapat dipahami, terdapat suara-suara dengan nada yang sudah disusun sesuai
komposisi tertentu, sehingga terdengar merdu dan indah di telinga. Musik adalah cabang seni
yang timbul dari pikiran dan perasaan manusia yang dapat dimengerti dan dipahami berupa
nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama lagu dan
keharmonisan sebagai suatu ekspresi diri Hukum musik dalam Islam pada dasarnya adalah
mubah. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum musik dan lagu. Sebagian ulama
menghukumi haram dan sebagin ulama lain membolehkan atau menghalalkan. Direktur
Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA menjelaskan, bagian yang disepakati
keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana
perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam.Terutama ketika
musik itu diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika
dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita.
Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau
menunda-nundanya dan lain-lain. Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti
itu, barulah kemudian para ulama berbeda pendapat. Ada yang masih tetap
mengharamkannya namun ada juga yang menghalalkannya.

Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat Nabi SAW,
tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah
bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin
Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal. Jika diteliti dengan cermat, para
ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik ,karena mereka mengambil sikap
wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf
dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang
tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga
dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah. Sedangkan ulama yang mengharamkan
musik apabila mengandung tiga unsur. Ustaz Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya berjudul
"Lagu, Nyanyian, dan Musik Benarkah Diharamkan" menjelaskan, musik menjadi haram
hukumnya jika musik itu, baik dimainkan biasa, atau dalam pertunjukkan atau sekedar iseng-
isengan, disajikan sambil disertai dengan kemunkaran alias kemaksiatan yang nyata. Yang
kemaksiatannya memang disepakati oleh segenap ulama. Ulama sepakat ini bukan soal
musiknya Akan tetapi kemaksiatan yang menempel di dalam musik itu yang menjadi titik
haramnya Dan kemaksiatan itu bisa saja menempel pada lagu atau lirik yang disampaikan

B. Dalil yang Berkaitan dengan Seni Musik


- QS. Luqman 31: Ayat 6

‫ولِٓئكَ لَهُ ْم َع َذا بٌ ُّم ِهي ٌْن‬


ٰ ُ‫ض َّل ع َْن َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ بِ َغيْر ِع ْل ٍم ۖ َّويَتَّ ِخ َذهَا هُ ُز ًوا ۗ ا‬
ِ ِ ‫س َم ْن يَّ ْشت َِريْ لَ ْه َو ْال َح ِد ْي‬
ِ ُ‫ث لِي‬ ِ ‫َو ِمنَ النَّا‬

Artinya: "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka
itu akan memperoleh azab yang menghinakan."
Disebutkan dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata: "Abdullah Ibnu Mas’ud ra. berkata ketika Ia
ditanya tentang ayat, " dan di antara manusia ada orang yang menggunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.", maka Ia mejawab "(ia
merujuk kepada) "al-ghina'" (nyanyian). Demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Dia. "Ia mengulanginya sebanyak tiga kali” . Kata Ibnu Abbas dalam
penjelasannya tentang ayat di atas: "Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah, Ia berkata, "ia
adalah "alghina'". (nyanyian) dan yang menyerupainya.

- QS. Al-Qasas 28: Ayat 55

َ‫َواِ َذا َس ِمعُوا اللَّ ْغ َو اَ ْع َرضُوْ ا َع ْنهُ َوقَا لُوْ ا لَن َۤا اَ ْع َما لُنَا َولَـ ُك ْم اَ ْع َما لُـ ُك ْم ۖ َس ٰل ٌم َعلَ ْي ُك ْم ۖ اَل نَ ْبت َِغى ْال ٰج ِهلِ ْين‬

Artinya: "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya
dan berkata, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah
kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.""
Menurut Abu Ja'far dalam tafsir al-Tabari bab 225 juz 4 hal: 446, kata-kata (‫ )اللغو‬berarti kata-
kata keji dan kotor. Sebagian orang mengatakan bahwa nyanyian itu merupakan bagian dari
perkataan (‫ )اللغو‬itu sehingga diwajibkan untuk menghindarinya. Pendapat Yusuf al-Qardawi
menjelaskan bahwa maksud (‫ )اللغو‬dalam ayat di atas ialah kata-kata keji seperti mencerca,
memaki dan sebagainya. Akan tetapi walau bagaimanapun sekiranya nyanyian termasuk
dalam maksud ayat tersebut, didapati bahwa meninggalkannya bukan hal yang wajib akan
tetapi lebih disukai untuk ditinggalkan. Ini karena makna perkataan (‫ )اللغو‬adalah sama seperti
perkataan (‫ )الباطل‬yang bermaksud sesuatu yang tidak memberi faedah karena mendengar
sesuatu yang tidak memberi faedah bukanlah sesuatu yang diharamkan selagi ia tidak
melalaikan ataupun meninggalkan kewajiban.
Selanjutnya al-Qardawi menegaskan dengan berdasarkan pendapat Imam al-Ghazali berkata:
"Apabila seseorang itu bersumpah dengan nama Allah tanpa adanya sebarang niat ataupun
maksud untuk bersumpah, jadi lafaz sumpah yang keluar dari mulutnya tidak membawa
sebarang makna. Oleh karena itu dia tidak dihitung sebagai berdosa apabila melanggar
sumpahnya.
Selanjutnya Al-Qardawi berpendapat bukan semua nyanyian merupakan satu kerja yang sia-
sia. Hukumnya berdasarkan kepada niat penyanyinya. Ini karena niat yang baik, dapat
mengubah hiburan, satu hal yang dianggap sia-sia, menjadi satu taqarrub ataupun
mendekatkan diri kepada Allah. Niat yang baik juga dapat menjadikan senda gurau sebagai
satu bentuk ketaatan, sementara itu pula niat yang buruk pula, akan menjatuhkan nilai
amalan-amalan yang baik. Amalan-amalan ini walaupun pada kenyataannya merupakan satu
ibadah, tetapi jika terdapat dalamnya sifat riya ia tidak mempunyai makna.

- Hadis yang membolehkan nyanyian dan permainan

Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari

‫ يا عائشة ماكان‬، ‫روى البخاري بسنده عن عائشة أنها زفت امرأة الى رجل من االنصاري فقال نبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫معكم لهو فإن النصار يعجبهم اللهو‬

Artinya: “Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Aisyah r.a. bahwasannya ia


mengawinkan seorang perempuan kepada seorang lelaki Ansar. Maka kata Rasulullah saw. "
Wahai Aisyah adakah ada hiburan bersama kamu karena orang Anshar suka kepada
hiburan””.

Hadis di atas memberikan penjelasan bahwa Nabi SAW mengharuskan adanya hiburan yang
berbentuk musik ataupun nyanyian untuk meramaikan acara perkawinan karena pada masa
itu adalah masa untuk bergembira.

- Hadis yang melarang nyanyian dan permainan

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashar, bahwa al-Sya’bi menyatakan:

‫ والذكر ينبت اليمان في‬،‫ إن الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء الزرع‬:‫سمعت رسول هللا صلى عليه وسلم يقول‬
‫القلب كما ينبت الماء الزرع‬.

Artinya: “Saya mendengar dari Rasulullah SAW. bersabda Sesungguhnya nyanyian itu
menumbuhkan sifat-sifat nifaq (munafik) di dalam hati seperti air yang menumbuhkan
tanaman, dan zikir dapat menumbuhkan iman di dalam hati seperti air dapat menumbuhkan
tanaman”.
C. Pendapat Madzhab tentang Musik

Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu
perbuatan dosa.

Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut
adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat
‘aib.”

Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai
karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan
nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”

Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam
hati dan aku pun tidak menyukainya.”

Penjelasan :

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Nyanyian (musik, hukumnya) haram dan termasuk
bagian dari dosa-dosa.” Bahkan pengikut-pengikut beliau menjelaskan dengan terang-terangan
akan keharaman seluruh alat-alat musik. Secara terang-terangan mereka mereka menyatakan
bahwa musik adalah sebuah maksiat yang mewajibkan kefasikan, dan tertolaknya kesaksian
karenanya. Bahkan yang lebih nyata dari itu adalah mereka berkata: “Sesungguhnya
mendengarkan nyanyian (musik) adalah kefasikan, dan menikmatinya adalah kekufuran.”

Adapun Imam Malik rahimahullah, beliau pernah ditanya tentang nyanyian (musik) yang
dirukhshah (dibolehkan, diberi keringanan) oleh penduduk Madinah, maka beliau berkata: “Yang
melakukannya disisi kami hanyalah orang-orang fasiq.” Dan beliau berkata: “Jika ada seseorang
membeli seorang budak wanita, dan ternyata dia mendapatinya adalah seorang penyanyi, maka
boleh baginya untuk mengembalikan budak wanita itu dengan menyebutkan aibnya (karena
keahlian nyanyi merupakan aib).”

Adapun Imam Syafi’i rahimahullah, maka para sahabat-sahabatnya yang mengenal madzhabnya
secara terang-terangnya menegaskan akan keharaman alat-alat musik tersebut. Bahkan telah
mutawatir darinya bahwa dia berkata: “Aku tinggalkan Baghdad (yang padanya terdapat) sebuah
perkara yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya dengan at-Taghbir,
dengannya mereka memalingkan manusia dari al-qur`an.” At-Taghbir adalah sya’ir-sya’ir yang
mengajak untuk zuhud di dunia, dimana salah seorang vokalis melantunkannya sesuai dengan
nada-nada pukulan gendang dan semisalnya.

Maka subhanallah, Imam Syafi’i secara terang-terangan menegaskan bahwa orang yang
melakukan perbuatan tersebut adalah zindiq, maka bagaimana pula seandainya dia mendengar
nyanyian-nyanyian musik di zaman sekarang yang para pembantu-pembantu syetan telah
berupaya untuk memperdengarkannya kepada manusia baik ridha atau tidak ridha? Bagaimana
seandainya Imam Syafi’i rahimahullah mendengar perbuatan sebagian orang yang menisbahkkan
dirinya kepada madzhabnya pada hari ini yang mengatakan bolehnya mendengarnya nyanyian
(musik) dan tidak haram? Dan mereka mengatakan bahwa itu adalah syair yang kebaikannya
adalah baik, dan keburukannya adalah buruk? Dimana mereka telah mencampur aduk perkara
manusia dalam urusan agama mereka, dan seakan-akan mereka datang dari jagat lain dan tidak
mengenal nyanyian (musik) pada hari ini.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Pemilik budak wanita, jika dia mengumpulkan manusia
untuk mendengarkan nyanyian budak tersebut, maka dia adalah orang dungu yang tertolak
kesaksiannya.” Dan beliau berkata tentangnya dengan perkataan keras: “Itu adalah perbuatan
diyatsah (yaitu perbuatan yang menunjukkan tidak adanya cemburu pada diri seorang laki-laki
terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh keluarganya, dan sikap seorang dayyuts diancam oleh
Nabi dengan “Tidak akan masuk kedalam surga.”)

Adapun Imam Ahmad rahimahullah, maka putra beliau yaitu Abdullah bin Ahmad berkata: “Aku
pernah bertanya kepada bapakkau tentang nyanyian (musik), maka dia menjawab: “Nyanyian
(musik) itu akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, dan itu tidaklah membuatkan
takjub.” Kemudian dia menyebutkan ucapan Imam Malik rahimahullah: “Yang melakukannya di
sisi kami hanyalah orang-orang fasiq.”

Maka merekalah Imam empat madzhab, mereka semua telah bersepakat akan keharaman
nyanyian (musik), dan menegaskan dengan terang-terangan tentangnya. Bahkan telah dinukil
dari para ulama kaum muslimin akan adanya ijma’ atas masalah tersebut. Mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa ta’ala merahmati Ibnul Qayyim saat beliau berkata tentang musik:
“Maka mendengarnya adalah haram menurut Imam-Imam Madzhab, dan ulama muslim yang
lain, dan tidak pantas bagi orang yang telah mencium aroma ilmu untuk bersikap tawaqquf (diam
bimbang) dalam mengharamkan hal tersebut. Minimal, musik itu adalah syi’arnya orang-orang
fasiq dan para peminum khamr.”

Maka inilah perkataan para imam, yang berbicara dengan hak, seraya memberikan nasihat
kepada para hamba-hamba Allah. Seandainya seorang pemerhati memperhatikan nyanyian dan
musik yang mengetuk pendengaran-pendengaran mereka, maka pastilah mereka akan
memberikan komentar dengan komentar para imam tersebut.Seorang laki-laki berkata kepada
Ibnu ‘Abbas radiallahuanhuma: “Apa yang anda katakan tentang nyanyian (musik)? Apakah
halal atau haram?” Maka dia menjawab: “Bagaimana pendapatmu tentang kebenaran dan
kebatilah jika keduanya datang pada hari kiamat, maka dimanakah kiranya nyanyian (musik)
tersebut?” Maka laki-laki itu menjawab: “Akan berada bersama kebatilan.” Berkatalah Ibnu
‘Abbas radiallahuanhuma: “Pergilah, engkau telah memberikan fatwa kepada dirimu sendiri.”

Inilah dia Ibnu ‘Abbas radiallahuanhuma telah menetapkan hujjah atas lelaki tersebut, dan lelaki
tersebut telah memutuskan perkara atas dirinya dengan dirinya sendiri. Itu adalah sebuah perkara
yang bisa diketahui dengan fitrah sekalipun kitabullah dan sunnah Nabi Shalallahu alaihi wa
salam telah berbicara tentangnya dan sebagian kecilnya sudah mencukupi bagi orang-orang yang
adil dalam mencari kebenaran.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

‫يم‬ ٍ ‫س َم ْع َها َكَأنَّ فِي ُأ ُذنَ ْي ِه َو ْق ًرا فَبَش ِّْرهُ بِ َع َذا‬


ٍ ِ‫ب َأل‬ ْ َ‫ستَ ْكبِ ًرا َكَأنْ لَ ْم ي‬
ْ ‫َوِإ َذا تُ ْتلَى َعلَ ْي ِه آيَاتُنَا َولَّى ُم‬

“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami dia berpaling dengan menyombongkan diri
seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri
kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” [QS. Luqman: 7]

‫صي ًرا‬
ِ ‫سا َءتْ َم‬ َ ‫سو َل ِمنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْل ُهدَى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر‬
ْ ُ‫سبِي ِل ا ْل ُمْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما تَ َولَّى َون‬
َ ‫صلِ ِه َج َهنَّ َم َو‬ ُ ‫ق ال َّر‬
ِ ِ‫َو َمنْ يُشَاق‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” [QS. An-Nisa’: 115]

D. Pendapat Pakar dan Ulama tentang Musik

Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali
menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-
Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat
dan komentar para ulama tentang musikDalam menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama
berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari,  Syafi’i, Malik, Abu
Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam
Syafi’i,  ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi
maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”. Bahkan,
kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh. Permainan
seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-
Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis
permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang lain. “Dan saya”,
tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab
permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru’ah).”

Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya, “Jika
seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka
pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat Imam
Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id.

Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan
mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian
besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya.
Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.

E. Kesimpulan

Musik merupakan sesuatu yang diharamkan, termasuk memainkan jenis-jenis alat musik
seperti rebana, memperbolehkan menabuh rebana pada waktu-waktu tertentu.
Hal ini menunjukan seruling, gitar, dan lain sebagainya. Akan tetapi di lain kesempatan
beliau bahwa bermusik atau memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat
musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada
hukum asalnya, yaitu mubah.Jika dikontekstualisasikan pada masa kini, dimana musik
menjadi hal yang sangat digandrungi oleh semua kalangan, maka seseorang harus
memperhatikan hal-hal berikut:
 Baik music maupun si penyanyi tidak melanggar syariat
 Tidak melalaikan atau menyita waktu (beribadah)
 Lirik dari musik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama
 Cara menyanyikanya tidak berlebih-lebihan
 Tidak disertai dengan perbuatan maksiat.

Anda mungkin juga menyukai