Anda di halaman 1dari 10

3 Unsur Ini Bikin Musik Haram Didengar

https://www.ayobandung.com/read/2020/01/28/77731/3-unsur-ini-bikin-musik-haram-didengar - Penulis: Republika.co.id - Editor : Rizma Riyandi

JAKARTA, AYOBANDUNG.COM -- Alunan lagu maupun musik dan nyanyian sudah ada pada zaman pra-Islam.
Para penyair Arab kala Islam belum datang kerap menyanyikan syair-syair yang mereka buat. Kemudian terus
berkembang hingga tercipta banyak jenis alat musik dengan variasi nada yang dapat dipadukan dengan suara
vokal. Dalam Islam, musik telah diperbincangkan sejak lama dan ada ragam pandangan. Meski begitu, Ahmad
Zarkasih, Lc dalam bukunya berjudul "Lagu, Nyanyian dan Musik, Benarkah Diharamkan?", menjelaskan,
jumhur ulama telah bersepakat soal musik. Para ulama sepakat hukum musik adalah haram selama ada tiga hal
yang menyertainya. Apa saja?

Pertama, musik menjadi haram jika mengandung unsur kemungkaran maupun kemaksiatan. Ulama
mempermasalahkan sisi kemaksiatan yang melekat pada musik tersebut sehingga musik pun menjadi haram.
Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya sendiri. Misalnya bila lagu tersebut
mengajak berbuat kemaksiatan

Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang dinyanyikan seperti musik ritual
peribadatan agama tertentu. Dalam kondisi ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru
ritual ibadah agama lain. Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang
menyanyikan. Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam memerintahkan untuk menutup aurat.
Atau, si penyanyi melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas.

Pada intinya, jika suatu musik mengandung kemaksiatan, haram. Kedua, haramnya musik lantaran terdapat
fitnah yang berarti keburukan di dalamnya. Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada
keburukan, dosa, dan menimbulkan fitnah, maka haram mendengarkannya. Ketiga, musik menjadi haram bila
membuat orang yang mendengarnya meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Seorang Muslim punya
kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah. Dan segala hal yang menghalanginya melakukan
kewajiban itu wajib dihindari.

Kendati demikian, Kitab Tafsir at-Thabari memberi penjelasan dalam kajiannya terhadap Surah Luqman ayat 6.
Allah SWT berfirman, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".
Kitab Tafsir at-Thabari (20/128) mengutip pendapat Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas untuk
menafsirkan ayat tersebut. Menurut dua Sahabat Nabi SAW itu, diksi lahwun pada ayat tersebut berarti musik,
nyanyian dan mendengarkannya. Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga menguatkannya, dengan menyebutkan bahwa,
"Ketika Allah SWT menjelaskan keadaan orang-orang yang berbahagia, mereka adalah yang mendapatkan
petunjuk dari Kitab Allah SWT dan mengambil manfaat dari mendengarkannya".

Kemudian, masih dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah SWT juga menjelaskan tentang keadaan orang yang merugi
dan sengsara (asyqiya) yaitu yang menolak mengambil manfaat dari mendengarkan ayat-ayat Allah SWT, dan
menerima untuk mendengarkan suara seruling, nyanyi-nyanyian dan juga alat musik. Ibnu Mas'ud dan Ibnu
Abbas adalah Sahabat Nabi SAW yang mengharamkan musik. Salah satu dalil yang mengharamkan musik
yaitu hadis riwayat Imam al-Bukhari.

Nabi Muhammad bersabda, "Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan
alat musik". Diksi alat musik yang digunakan dalam hadis itu adalah ma'azif, kata jamak, yang mengacu pada
alat musik yang dipukul. Zarkasih memaparkan, ma'azif pada zaman sekarang mungkin dapat diserupakan
dengan gendang. Jika ada yang menghalalkannya, berarti asalnya itu memang haram.

Dan Nabi Muhammad mengingatkan soal itu agar umatnya mawas diri. Sedangkan Sahabat Nabi yang
membolehkan musik salah satunya adalah Abdullah bin Zubair. Imam As-Syaukani dalam "Nailul-Authar",
menceritakan tentang kisah Abdullah bin Zubair, budak perempuan, dan gitar. Suatu kali, Ibnu Umar bertandang
ke rumah Abdullah bin Zubair dan melihat sebuah alat musik. Lalu dia bertanya benda apa itu, dan bertanya
lagi, "apakah ini alat musik (mizan Syami) dari Syam?". Lalu dijawab oleh Ibnu Zubair, "Dengan ini akal
seseorang bisa seimbang".

---------
Saatnya Meninggalkan Musik
By - Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, - July 17, 2009

Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian.
Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap
lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap
harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas
dari gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya
dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi
berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu
dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan
perjumpaan dengan Rabbnya.

Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan
nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia
dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al
Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai
meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin
jelas dengan hukum keharamannya.

Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama
masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang
masih gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita
dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir
(Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).

Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”


Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)

Allah Ta’ala berfirman,

‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ين َو ِإذَا تُتْلَى‬
ٌ ‫عذَابٌ ُم ِه‬َ ‫َّللاِ بِغَي ِْر ِع ْل ٍم َويَت َّ ِخذَهَا ُه ُز ًوا أُولَئِكَ لَ ُه ْم‬
َّ ‫س ِبي ِل‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ُض َّل‬ ِ ‫ث ِلي‬ ِ ‫اس َم ْن يَ ْشت َِري َل ْه َو ْال َحدِي‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
َ ٍ ‫ش ْرهُ ِب َعذَا‬
‫ب أ ِل ٍيم‬ ُ َ َ َّ
ِّ ِ َ‫آيَاتُنَا َولى ُم ْست َ ْك ِب ًرا َكأ ْن لَ ْم يَ ْس َم ْع َها َكأ َّن فِي أذُنَ ْي ِه َو ْق ًرا فَب‬
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila
dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia
belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)

Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar
ِ ‫“ لَه َْو ا ْل َحدِي‬lahwal hadits” dalam ayat tersebut.
tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan ‫ث‬
Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya.
Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat
tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau
mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas
beliau –radhiyallahu ‘anhu– berkata,

.ٍ‫ ي َُر ِدِّدُهَا ثَالَث َ َم َّرات‬،‫ َوالَّذِي الَ إِلَهَ إِالَّ ُه َو‬،‫ال ِغنَا ُء‬
“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]

Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah.
Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug
(genderang).[2]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang
melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita
bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang
mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian.
Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]

Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana
mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”

Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah,
bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’).
Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di
atas sebagai berikut,

“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya
setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini
menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya,
penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah
penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang
sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat
yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]

Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan ‫ث‬ِ ‫ لَه َْو ا ْل َحدِي‬/lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima
karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”

Allah Ta’ala berfirman,

‫ فَا ْس ُجدُوا ِ ََّلِلِ َوا ْعبُدُوا‬, َ‫امدُون‬


ِ ‫س‬َ ‫ َوأ َ ْنت ُ ْم‬, َ‫ض َح ُكونَ َوال ت َ ْب ُكون‬ ِ ‫أَفَ ِم ْن َهذَا ْال َحدِي‬
ْ َ ‫ َوت‬, َ‫ث ت َ ْع َجبُون‬
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah
(Dia).” (QS. An Najm: 59-62)

Apa yang dimaksud َ‫ سَامِ دُون‬/saamiduun/?

Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa
orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk
kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]

‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi.
Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]

Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela
dalam Al Qur’an.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

Hadits Pertama

Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya”
sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak
berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ار َح ٍة لَ ُه ْم‬
ِ ‫س‬َ ِ‫علَ ْي ِه ْم ب‬
َ ‫علَ ٍم يَ ُرو ُح‬ ِ ‫ َولَيَ ْن ِزلَ َّن أ َ ْق َوا ٌم إِلَى َج ْن‬، ‫ف‬
َ ‫ب‬ َ ‫از‬ ِ َ‫ير َو ْالخ َْم َر َو ْال َمع‬ َ ‫لَيَ ُكون ََّن ِم ْن أ ُ َّمتِى أ َ ْق َوا ٌم يَ ْست َِحلُّونَ ْال ِح َر َو ْال َح ِر‬
‫ير إِلَى يَ ْو ِم‬ ِ ‫س ُخ آخ َِرينَ قِ َردَة ً َو َخن‬
َ ‫َاز‬ َ ‫ َويَ ْم‬، ‫ض ُع ْالعَلَ َم‬ َ َ‫َّللاُ َوي‬ ْ ‫ير – ِل َحا َج ٍة فَيَقُولُوا‬
َ ‫ار ِج ْع إِلَ ْينَا‬
َّ ‫ فَيُبَيِِّت ُ ُه ُم‬. ‫غدًا‬ َ ‫ يَأْتِي ِه ْم – يَ ْعنِى ْالفَ ِق‬،
‫ْال ِقيَا َم ِة‬
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina,
sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung
dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan,
lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan
kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka
menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik,
berarti musik itu haram.

Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259).
Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy
Syaukani –rahimahumullah-.

Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat
beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas
memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan
bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya
(menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5
sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:

Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar
langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja
dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.

Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak
akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah
pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat
banyak orang yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat
masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin
melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).

Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih,
yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih
menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?

Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang
terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang
artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya
telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, …]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan
bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits
berikutnya.[8]

Hadits Kedua

Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫َّللاُ بِ ِه ُم األ َ ْر‬


‫ض‬ َّ ‫ِف‬ ِ ‫ف َو ْال ُمغَ ِنِّيَا‬
ُ ‫ت يَ ْخس‬ ِ َ‫علَى ُر ُءو ِس ِه ْم بِ ْال َمع‬
ِ ‫از‬ َ ‫ف‬ َ ُ‫َاس ِم ْن أ ُ َّمتِى ْالخ َْم َر ي‬
ُ َ‫س ُّمونَ َها بِغَي ِْر اس ِْم َها يُ ْعز‬ ٌ ‫لَيَ ْش َربَ َّن ن‬
‫ير‬
َ ‫َاز‬ِ ‫َويَجْ عَ ُل ِم ْن ُه ُم ْال ِق َردَة َ َو ْال َخن‬
“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya
dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan
membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan
babi.”[9]

Hadits Ketiga

Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,

‫ق َو ُه َو يَقُو ُل يَا نَافِ ُع أَت َ ْس َم ُع فَأَقُو ُل‬ َّ ‫ع ِن‬


ِ ‫الط ِري‬ َ ُ‫احلَتَه‬ َ ‫صبَعَ ْي ِه فِى أُذُنَ ْي ِه َو‬
ِ ‫عدَ َل َر‬ ْ ِ‫ض َع إ‬ َ ‫ارةِ َراعٍ فَ َو‬ َ ‫ص ْوتَ زَ َّم‬ ُ ‫س ِم َع اب ُْن‬
َ ‫ع َم َر‬ َ ‫ع َم َر‬ ُ
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ َ
ُ ‫ق َوقَا َل َرأيْتُ َر‬ َّ َ
ِ ‫احلة إِلى الط ِري‬َ َ ِ ‫الر‬
َّ َ‫عاد‬ َ ْ ُ َّ
َ ‫ قَا َل فَ َو‬.َ‫ضى َحتى قلتُ ال‬
َ ‫ض َع يَدَ ْي ِه َوأ‬ ِ ‫ قَا َل فَيَ ْم‬.‫نَعَ ْم‬
ْ
‫صنَ َع ِمث َل َهذَا‬ َ َ‫ارةِ َراعٍ ف‬ َ ‫ص ْوتَ زَ َّم‬ َ ‫س ِم َع‬ َ ‫َو‬
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat
kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu
‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata,
“Iya, aku masih mendengarnya.”

Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”

Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu
lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar
suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[10]

Keterangan Hadits

Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan
menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal.
Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar
mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya
yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-
jelas terlarang.

Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya
menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara
nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan
keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,

َّ ‫ي َال يَ ْندَفِ ُع َّإال بِال‬


ِّ‫س ِد‬ ٌّ ِ‫ض َر ٌر دِين‬ َ ‫اللَّ ُه َّم َّإال أ َ ْن يَ ُكونَ فِي‬
َ ‫س َما ِع ِه‬
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan
pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak
mendengarnya.”[11]

Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan sayuran.”

Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku
melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang
bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai
anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi
mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”

‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya
adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah
kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah
murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian
dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan
nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya
kemunafikan dalam hati.”

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”

Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan
Allah.”

Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian
karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan
nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. …
Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”[12]

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian

1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya


sebagai suatu perbuatan dosa.[13]

2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata
budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan
budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]

3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak
kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan
mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]

4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan
dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat
ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]

Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau
mengatakan,

“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak
disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan
bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan
hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat
dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”

Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang
terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka,
pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an.
Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”[18]

Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang
betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan
bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk
menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena
hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang
tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.

Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul
Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa
lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka
pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan
tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan
ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan
sering keliru.”[19]

Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara
mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat
berikut:

1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.

2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.

3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang
mendengarnya menari dan berdansa.

4. Tidak diiringi alat musik.

5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun


tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).

6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh
kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]

7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau
ketika berjihad.

8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]

Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan
membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata
karena inilah yang disyari’atkan.

Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa
memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul
Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati
seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan
nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling
bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan
kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa.
Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan
melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal
yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]

Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika
seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih
baik.

َّ َ‫ع َّز َو َج َّل إِالَّ بَدَّلَك‬


ُ‫َّللاُ بِ ِه َما ُه َو َخي ٌْر لَكَ ِم ْنه‬ َ ِ‫شيْئا ً ِ ََّلِل‬ َ َ‫إِنَّكَ لَ ْن تَد‬
َ ‫ع‬
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi
ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan
manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran,
niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan.
Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil
‘alamin.

***

Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 16 Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

[1] Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah,
cetakan pertama, tahun 1420 H.

[2] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At Tafasir.

[3] Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483, Mawqi’ At Tafasir.

[4] Lihat Ighatsatul Lahfan min Masho-idisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/240, Darul
Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1395 H

[5] Lihat Zaadul Masiir, 5/448.

[6] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.

[7] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.

[8] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260.

[9] HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[10] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[11] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroini, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga,
tahun 1426 H.

[12] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H

[13] Lihat Talbis Iblis, 282.

[14] Lihat Talbis Iblis, 284.

[15] Lihat Talbis Iblis, 283.

[16] Lihat Talbis Iblis, 280.

[17] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.

[18] Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 1/543, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah,
cetakan ketujuh, tahun 1419 H

[19] Majmu’ Al Fatawa, 11/567.


[20] Seperti terdapat riwayat dari ‘Umar bahwa beliau membolehkan memukul rebana (ad-duf)
pada acara nikah dan khitan. Dan ini adalah pengkhususan dari dalil umum yang melarang alat
musik. Sehingga tidak tepat jika rebana ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan alat musik yang
lain. (Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 61, Asy Syamilah)

[21] Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 44-45, Asy Syamilah.

[22] Ighatsatul Lahfan, 1/248-249.

[23] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

https://rumaysho.com/372-saatnya-meninggalkan-musik.html

BAHTSUL MASAIL

Hukum Dengar Lagu dan Musik

Senin 10 Oktober 2016 18:09 WIB Share:

Assalamu'alaikum wr wb. Pengurus bahtsul masail yang saya hormati. Saya ingin bertanya tentang
hukum musik karena saya mendengar bahwa ada kelompok yang mengharamkannya dengan
mengategorikannya ke dalam perkataan yang sia-sia. Mohon penjelasannya. Saya mengucapkan
terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Sahrul Amin)

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Perihal lagu,
musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Ulama
berbeda pendapat perihal mendengarkan lagu, musik, nyanyian, dan bunyi-bunyian. Sebagian ulama
mengharamkannya. Tetapi sebagian lagi membolehkannya.

Untuk masalah ini Imam Al-Ghazali mengangkat pandangan ulama yang mengharamkannya dan
ulama yang membolehkannya. Namun demikian dalam Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali secara detil
menanggapi dalil dan argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengaharamkannya.
Pada tulisan ini kami mencoba mengangkat ringkasan ulasan Imam Al-Ghazali perihal masalah ini.

Dalam ringkasan ulasannya, Imam Al-Ghazali cenderung memperbolehkan mendengarkan musik,


lagu, dan nyanyi-nyanyian. Berikut ini kutipannya.

‫اعلم أن قول القائل السماع حرام معناه أن هللا تعالى يعاقب عليه وهذا أمر ال يعرف بمجرد العقل بل بالسمع ومعرفة‬
‫الشرعيات محصورة في النص أو القياس على المنصوص وأعنى بالنص ما أظهره صلى هللا عليه و سلم بقوله أو فعله‬
‫وبالقياس المعنى المفهوم من ألفاظه وأفعاله فإن لم يكن فيه نص ولم يستقم فيه قياس على منصوص بطل القول بتحريمه‬
‫وبقى فعال ال حرج فيه كسائر المباحات وال يدل على تحريم السماع نص وال قياس ويتضح ذلك في جوابنا عن أدلة‬
‫المائلين إلى التحريم ومهما تم الجواب عن أدلتهم كان ذلك مسلكا كافيا في إثبات هذا الغرض لكن نستفتح ونقول قد دل‬
‫النص والقياس جميعا على إباحته أما القياس فهو أن الغناء اجتمعت فيه معان ينبغي أن يبحث عن افرادها ثم عن‬
‫مجموعها فإن فيه سماع صوت طيب موزون مفهوم المعنى محرك للقلب فالوصف االعم انه صوت طيب ثم الطيب‬
‫ينقسم إلى الموزون وغيره والموزون ينقسم إلى المفهوم كاالشعار والى غير المفهوم كأصوات الجمادات وسائر‬
‫الحيوانات أما سماع الصوت الطيب من حيث إنه طيب فال ينبغي أن يحرم بل هو حالل بالنص والقياس‬
Artinya, “Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, ‘Aktivitas mendengar (nyanyian, bunyi, atau musik)
itu haram’ mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.’ Hukum
seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan naqli. Jalan
mengetahui hukum-hukum syara‘ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya
maksud dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan dan
perbuatannya.
Sementara yang saya maksud dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari
ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas
terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang
mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang
tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain. Sementara (pada amatan kami)
tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang menunjukkan keharaman aktivitas ini. Hal ini
tampak jelas pada tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang
cenderung mengharamkannya. Ketika tanggapan kami terhadap dalil mereka demikian lengkap, maka
itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas dalam menetapkan tujuan ini. Hanya saja kami mulai
membuka dan mengatakan bahwa nash dan argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan aktivitas
mendengarkan nyanyian atau musik.

Argumentasi qiyas menyatakan bahwa kata ‘bunyi’ itu mengandung sejumlah pengertian yang perlu
dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini mengandung pengertian sebuah aktivitas
mendengarkan suara yang indah, berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh perasaan. Secara
lebih umum ‘bunyi’ adalah suara yang indah.

Bunyi yang indah ini terbagi atas yang berirama (terpola) dan yang tidak berirama. Bunyian yang
berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan suara yang tidak terpahami seperti
suara-suara tertentu. Sedangkan mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak
lantas menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda mati dan suara hewan
itu halal berdasarkan nash dan argumentasi qiyas,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268).

Berangkat dari apa yang kemukakan di atas, Imam Al-Ghazali tidak menemukan satupun nash yang
secara jelas mengharamkannya. Kalau pun ada nash yang mengharamkan musik dan nyanyian,
keharamannya itu bukan didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena dibarengi
dengan kemaksiatan seperti minum-minuman keras, perzinaan, perjudian, ataupun melalaikan
kewajiban.

Adapun aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian itu sendiri, menurut Imam Al-Ghazali seperti
disebutkan di atas, halal. Jadi Imam Al-Ghazali memisahkan secara jelas antara musik beserta
nyanyian itu dan kemaksiatan yang diharamkan secara tegas di dalam nash maupun qiyas terhadap
nash. Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dengan baik. Sikapi
semua perbedaan dengan bijak. Kami selalu terbuka menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb. (Alhafiz Kurniawan)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/71877/hukum-dengar-lagu-dan-musik

Anda mungkin juga menyukai