Anda di halaman 1dari 15

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam Terhadap Seni Musik.


Sebagai Media Komunikasi Dakwah. Dalam sejarah agama Islam, seni musik bukan
tergolong hal yang baru. Pada masa Rosulullah dan para sahabat, secara teori, seni musik
belum dikenal masyarakat Islam, walaupun pada saat itu dalam prakteknya seni sudah lebih
dulu di kenal. Hal ini terlihat dari betapa merdu dan indahnya suara adzan yang dilantunkan
oleh Bilal. Betapa Umar bin Khotob seorang panglima perang yang gagah berani hatinya
luluh ketika mendengarkan kemerduan dan keindahan seni bacaan al-Qur’an. Jadi secara
tidak di sadari seni sudah ada dalam sejarah perkembangan agama Islam. Perkembangan
Tamadun dalam pengertian perkembangan terhadap kebudayaan yang tinggi berlangsung di
zaman daulah atau khalifah Abbasiyah. Terjadi peralihan dari kehidupan desa yang sederhana
kepada kehidupan kota yang mewah, dari masyarakat tertutup kepada masyarakat terbuka,
dari menjauhi dunia kepada pendekatan dunia.
Pantulan perubahan itu kelihatan pada seniman yang menyertai masyarakat dalam
perkembangan cita rasanya, menemukan diri dalam perkembangan karya. Dunia seni
mengalami revolusi. Kekayaan kebendaan dan kemewahan melanda kehidupan, sehingga
sering terjadi kerusakan perimbangan antara dunia dan akhirat, ketika aktivitas dunia dari
kawalan agama. Dalam kesenian hal ini menyatakan diri pada karya-karya yang tidak lagi
memperpadukan nilai estetika dan nilai etika Islam. Walaupun demikian dunia seni umat
Islam mengalami perkembangan luar biasa sejalan dengan perkembangan luar biasa
tamaddunnya. Satu abad lamanya tamaddun Islam menyalin kitab-kitab Yunani, Persi dan
India. Diantara kitab-kitab yang disalin itu adalah kitab-kitab ilmu musik. Setelah mereka
pelajari kitab musik Yunani dan India, ahli-ahli Islam menciptakan kitab-kitab musik baru
dengan jalan memperbaharui, menambah dan menyempurnakan alat, sistem dan teknik
musik. Maka seni musik menjadi ilmu tersendiri dalam tamaddun Islam.
Perhatian kepada pendidikan musik telah diberikan semenjak akhir zaman
Muawiyah. Dalam zaman Abasiyah perhatian yang amat besar untuk perkembangan
pendidikan musik di berikan oleh para khalifah dan pembesar. Sekolah musik tingkat
menengah dan tinggi didirikan di berbagai kota. Faktor yang menggalakan pendirian sekolah-
sekolah musik ialah keahlian bernyanyi dan bermusik merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan pekerjaan. Umat Islam yang merupakan pelopor yang mendirikan kilang alat
musik. Pembuatan alat-alat itu menjadi suatu cabang seni halus. Pusat kilang pembuatan alat-
3

alat musik yang amat terkenal ialah Sevilla di Andalusia. Alat-alat yang di keluarkan oleh
kilang ini ialah mizbar (kecapi klasik), ad qodim (kecapi lama), ud kamil (kecapi lengkap),
syahrud (kecapi lengkung), marabba’ (semacam gitar), gitara (gitar), kamanja’(semacam
rebab), ghisyak (semacam rebab). Seni musik mempunyai kedudukan yang berbeda-beda
dalam pandangan ulama. Ada pendapat yang memperbolehkan seni musik, ada juga yang
melarang bahkan mengharamkannya.
Diantara mereka ada yang membuka lebar-lebar terhadap setiap macam lagu dan
warna musik, dengan alasan karena yang demikian itu halal, dan merupakan salah satu
aktivitas yang baik dalam kehidupan, yang dibolehkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Ada
yang mematikan radio atau menutup mata dan telinganya ketika mendengar lagu apapun
seraya mengatakan, “Lagu adalah seruling setan, perkataan yang tak berguna serta
penghalang orang untuk berdzikir kepada Allah dan mengerjakan shalat”. Terutama suara
wanita yang menyanyi, menurut mereka, suara wanita dengan tidak menyanyi pun adalah
aurat, bagaimana pula jika menyanyi. sebagian lagi ada yang menolak sama sekali segala
macam musik apapun musik ilustrasi pengantar siaran berita. Kelompok ketiga bersikap ragu-
ragu diantara dua kelompok ini, kadang cenderung pada kelompok pertama, di saat yang lain
ikut pada kelompok yang kedua. Kelompok yang ketiga ini dan jawaban yang memuaskan
dari Ulama dalam masalah penting yang menyangkut perasaan dan kehidupan manusia
sehari-hari ini, terutama sesudah masuknya berbagai media informasi yang dapat didengar
dan dilihat, yang telah memasuki rumah-rumah dan disertai dengan hal-hal yang serius dan
yang lucu-lucu dan menarik pendengaran orang dengan lagu-lagu dan musiknya suka ataupun
tidak suka. Sebuah perdebatan yang cukup serius boleh tidaknya umat Islam bermain musik
ataupun menyanyikan sebuah lagu.
Ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian mengemukakan antara lain, bahwa
musik dan nyanyian adalah jenis hiburan, permainan atau kesenangan yang bisa membawa
orang lalai / lengah dari melakukan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap agama, misalnya
shalat terhadap diri dan keluarganya, seperti lupa studinya atau malas mencari nafkah,
maupun terhadap masyarakat dan negara, seperti mengabaikan tugas organisasinya atau tugas
negara. Tampaknya dalil syar’i yang dipakai ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian
itu adalah yang disebut saddu al-dzari’ah, yang artinya menutup /mencegah hal-hal yang
dapat mengantarkan orang kedalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Misalnya melihat aurat
wanita bukan muhrim dan bukan istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa mendorong
orang kepada perbuatan yang tercela (berbuat cabul, zina dan sebagainya). Demikian pula
wanita, dilarang memperlihatkan bagian auratnya kecuali pada suaminya, anak-anaknya, dan
4

orangorang yang tersebut dalam Surat al-Nuur ayat Larangan ini juga dimaksudkan untuk
menjaga keselamatan dan kehormatan wanita itu sendiri dan juga untuk tidak merangsang
kaum pria. Banyak dalil yang digunakan ulama baik yang diambil dari alQur’an maupun dari
hadits Nabi Muhammad saw. Diantaranya dalil tersebut adalah pertama mereka
mengharamkan lagu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan
Ibnu Abbas serta sebagian tabi’in bahwa mereka mengharamkan nyanyian berdasarkan
firman Allah Swt.

‫َو ِم َن ٱلَّناِس َم ن َیۡش َتِر ي َل ٱۡل َح ِدیِث ِلُیِض َّل َعن َس ِبیِل ٱ ِبَغۡی ِر ِعۡل م َو َیَّتِخ َذاُز ًو ۚا ُأْو َٰٓلِئَك َل‬
‫َو‬
٦ ‫َعَذ اب ُّم نی‬

Artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan(Q.S. Lukman : 6)
Dalil berikutnya adalah al-Qur’an surat al-Qashash ayat 55.

‫ِغ ۡل ِل‬ ‫َٰل‬ ‫ِمَس‬


‫َو ِإَذا ُعوْا ٱلَّلۡغ َو َأۡع َر ُضوْا َعۡن َو َقاُلوْا َلَنٓا َأۡع َٰم ُلَنا َو َلُك ۡم َأۡع َٰم ُلُك ۡم َس ٌم َعَلۡی ُك ۡم َال َنۡب َت ي ٱ َٰج َنی‬

Artinya: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-
amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil"(Al
Qashash: 55).
Nyanyian bagi mereka termasuk al-laghwu (perkataan yang tidak berguna) maka
wajib berpaling dari padanya. Dalil yang ketiga adalah hadits Rasulullah saw. yang artinya :
“Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebatilan, kecuali
tiga permainan; permainan suami dengan istrinya, pelatihan terhadap kudanya dan melempar
anak panah daribusurnya”. (H.R. Ashhabus Sunan Munhthorib). Dalil yang keempat adalah
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang merupakan hadits mu’allaq, dari Abi
Malik atau Amir Al Asy’ari, satu keraguan dari perawi dari Nabi saw, ia berkata: “Benar-
benar akan ada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khomar
(minuman keras) dan alat-alat musik”.(HR. Bukhari).
5

Adapun ulama yang membolekan orang Islam belajar musik dan nyanyian,
memainkan, dan mendegarkan mengemukakan alasanalasan, antara lain sebagai berikut:
Artinya : “Pada dasarnya segala sesuatu itu halal (boleh), sehingga ada dalil yang jelas
menunjukkan keharamannya”. (Yusuf Qordhawi 38 : 1998) Menikmati musik dan nyanyian
itu sesuai dengan fitrah manusia (human nuture) dan gharizah-nya (insting/naluri), yang
memang suka kepada hal-hal yang enak / lezat, indah, menyenangkan,Sebagaimana yang
diingatkan oleh Allah swt dalam.
Tentang menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi saw, di sisi Aisyah Ra. dan
bentakan Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya, “Seruling syetan di
rumah Nabi”, ini membuktikan bahwa kedua wanita itu bukan anak kecil sebagaimana
anggapan sebagian orang. Sebab kalau wanita itu bukan anak kecil, pasti tidak akan
memancing kemarahan Abu Bakar ra. Yang menjadi penekanan disini adalah jawaban Nabi
saw kepada Abu Bakar dan alasan yang dikemukakan oleh Rasulullah saw, bahwa beliau
ingin mengajarkan kepada kaum Yahudi bahwa di dalam agama kita itu ada keluwesan.
Beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan mudah. Ibnu Majah juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Aisyah pernah menikahkan salah seorang wanita
dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka Rasulullah Saw datang dan bertanya, “Apakah
kalian sudah memberi hadiah pada gadis itu?” Mereka berkata, “ya (sudah)”. Nabi berkata,
“Belum”. Maka Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sahabat Anshar itu kaum yang
senang hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang menyanyikan
“kami datang kepadamu… kami datang kepadamu selamat untukmu”. Tidak ada dalam Islam
sesuatu yang baik artinya dan yang dianggap baik oleh jiwa yang bersih dan akal yang sehat
kecuali telah dihalalkan oleh Allah sebagai kasih sayang untuk semuarisalah yang universal
dan abadi.
Imam Al Ghazali membantah orang yang berkata, “Sesungguhnya nyanyian itu
perbuatan sia-sia dan permainan” dengan bantahannya “Dia memang demikian, tetapi dunia
seluruhnya perbuatan sia-sia dan permainan”. Dan, segala macam senda gurau bersama
wanita adalah perbuatan sia-sia, kecuali perkawinan yang bertujuan memperoleh anak.
Sedangkan bergurau/kelakar yang tidak jorok hukumnya halal”. Demikian itu diriwayatkan
dari Rasulullah saw dan dari para sahabat. (Dikutip dari Yusuf Qordhawi) Menurut Quraisy
Shihab (1999) tidak ada larangan menyanyikan lagu di dalam Islam. Bukankah Nabi saw
pertama kali tiba di Madinah, beliau disambut dengan nyanyian “Thala al-badru ‘alaina min
Tsaniyaah al-wadaa”?. Ketika ada perkawinan, Nabi juga merestui nyanyian yang
menggambarkan kegembiraan. Yang terlarang adalah yang mengandung makna-makna yang
6

tidak sejalan dengan ajaran Islam.Imam Al Ghazali mengecam mereka yang mengharamkan
musik atau nyanyian, walaupun dia mengakui adanya larangan Nabi saw, tetapi dia
mengaitkan larangan mendengarkan musik atau nyanyian itu dengan kondisi yang
menyertainya, atau dampak negatif yang dilahirkannya.
Al-Marhum Mahmud Syaltut, pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir, dalam buku
Fatwa-fatwanya, seperti dikutip oleh Quraisy Shihab, menegaskan bahwa para ahli hukum
Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan
melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwaperistiwa gembira seperti
lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, memang dipersilahkan, tetapi semua
alasan untuk melarangnya selama tidak menimbulkan dampak negatif tidak dapat dibenarkan.
Kalangan sufi Islam bertanggapan,bahwa ilham turun pada manusia melalui gairat. Dalam
kalangan sufi, musik adalah suatu yang harus ada. Imam Ghazali pernah berkata, bahwa
Gairat diperoleh manusia dengan perantaraan mendengarkan musik, untuk itu, maka Al
Ghazali mengarang sebuah kitab musik yang bernama ”Musik dan Gairat”, yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan Musik and Ecstasy. Musik dan nyanyian penting benar, kata
Ghazali, untuk memperoleh Gairat Tuhan. Dengan musik dan nyanyian lebih lekas diperoleh
nikmat Tuhan.
Ahli-ahli sufi Islam berpendapat, bahwa musik dan nyanyian dapat menyembuhkan
penyakit jiwa dan penyakit badan, dan musik bisa menjadi obat. Teori ini telah dipraktekkan
oleh para sarjana barat dewasa ini. Al-Kindi sendiri telah mempraktekkan musik sebagai
jalan untuk menyembuhkan seorang hartawan yang telah lama menderita sakit. Pelajaran dari
terapi musik (doctrinair of musical therapheutics), sekarang telah diterima orang dalam
lapangan ilmu pengetahuan. Bahkan para sufi menempatkan musik sebagai sesuatu yang
sangat penting keberadaannya. Walaupun ada para ulama yang memiliki dalildalil yang
melarang musik, tetapi sejarah menjelaskan kepada kita bahwa musik diperbolehkan
hukumnya oleh Islam, apa lagi seni musik Nasyid yang memang dijadikan sebagai alat atau
media dakwah untuk mencapai tujuan yang mulia. Acuan normatife berupa dalil-dalil diatas,
ada sejumlah hal sangat elementer yang bisa diungkapkan dan dielaborasi. Pertama, bahwa
Islam sama sekali tidak pernah mempunyai ajaran untuk melawan kecenderungan fitrah
manusia yang senang kepada hal-hal yang enak dan menyenangkan, seperti musik.
Kedua, selama tidak melalaikan orang dan mengingat Tuhan, musik adalah sesuatu
yang boleh. Maha Agung Tuhan yang telah mengkaruniai manusia kecenderungan-
kecenderungan alamiah untuk senang kepada hal-hal yang bersifat hiburan, seperti musik.
Ketiga, nyanyian harus diperuntukkan buat sesuatu yang tidak bertentangan dengan etika
7

Islam. Kalau nyanyian itu penuh dengan syair-syair yang bertentangan dengan etika Islam11,
maka menyanyikannya haram. Dari ungkapan diatas, bisa mengambil sebuah kesimpulan
bahwa seni musik diperbolehkan selagi orang yang menyanyi atau yang mendengarkan lagu
tidak terlena yang akhirnya meninggalkan kewajibannya, baik kewajiban dengan Allah
ataupun dengan sesama manusia. Jadi seni musik diperbolehkan selama ia tidak diikuti atau
dikaitkan dengan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam.
Bahkan para sufi menempatkan musik sebagai sesuatu yang penting keberadaannya.
Walaupun ada para ulama yang memiliki dalil-dalil yang melarang musik. Tapi sejarah telah
menjelaskan kepada kita bahwa musik diperbolehkan hukumnya oleh ulama Islam, apalagi
musik yang dimaksud di sini adalah sebagai alat atau media untuk mengkomukasikan pesan-
pesan dakwah untuk mencapai tujuan yang mulia.
B. Hukum Bermain Alat Musik
Sudah agak lama salah satu pengurus harian MWCNU bandar Kedung Mulyo
memohon kepada alfaqir untuk menjelaskan hukum alat musik sebagaimana yang disebutkan
yaitu gitar, seruling, mandolin, drum, dan alat orkes lainnya .Karena kesibukan, sehingga
alfaqir sudah seminggu tidak sempat menulis. Alat musik sebagaimana di atas memang sudah
lama menjadi perdebatan antarulama.
bila disederhanakan hukum alat musik sebagaimana dimaksud di atas, maka ada dua.
1. Haram
Alhawi Alkabir secara jelas menyebutkan bahwa alat musik sebagaimana di
atas adalah haram. Ada pandangan menarik dari Alghozali dalam Ihya', bahwa
keharaman alat musik di atas itu karena faktor eks (a'ridli) bukan karena entitas alat
musik. menjadi ciri khas budaya para peminum miras dan waria.
2. Mubah
Dalam sebuah syi'ir sebagian ulama dinyatakan bahwa Imam Ibnu Chazmin
membolehkan alat musik di atas, meski oleh sebagian ulama tersebut pendapat Ibnu
Chazmin tidak boleh diikuti. Azzabidi juga mengemukakan, ulama yang
membolehkan alat musik di atas itu tidak mengakui kesahihan hadits yang
menjelaskan keharaman hadits dan tidak menerima alasan bahwa alat musik itu
menjadi ciri budaya.
peminum miras. ika hukum haram itu berlandaskan hadits dan alasan faktor
eks, sedang keduanya tidak wujud, maka hukum haram itu dengan sendirinya gugur,
itu barangkali yg menjadi alasan argumentatif ulama barisan kedua ini. Alfiqhul
Islami menambahkan, bahwa sekelompok sahabat, tabi'in, dan Imam Mujtahid ada
8

yang membolehkan.R isalah ini hanyalah khazanah bagaimana orang berfiqih,


selapang-lapangnya masih dipandu dengan ilmu
C. Sejarah Seni Musik
Sepanjang sejarah, belum pernah ditemukan umat yang menjauhkan diri dari
nyanyian dan musik. Perbedaannya hanya dalam waktu yang mereka gunakan untuk
menikmati lagu atau kapasitas lagu yang mereka nikmati, ada yang banyak dan ada juga yang
sedikit. Bahkan ada juga yang berlebihan, sehingga lagu sudah merupakan prinsip hidupnya.
Akar musik Arab berpangkal pada masa ribuan tahun sebelum masehi. Sudah menjadi
anggapan umum di kalangan ahli-ahli musik bahwa musik Arab bersumber dari musik
Yunani atau Persia. Karena itu maka ditetapkan awal sejarah musik Arab pada masa pra
Islam ketika peradaban Yunani dan Persia sedang berada pada puncaknya.
Akan tetapi perkembangan arkeologi modern serta penemuan-penemuan penggalian
telah membukakan jalan bagi sejarah seni musik dan mengubah secara radikal konsep-konsep
lama mengenai evolusi budaya dunia. Demikianlah bahwa musik Arab berawal dari masa
yang lebih tua dari masa pra Islam. Orang-orang Arab tidak hanya mengagumi kesempurnaan
seni menyanyi, bermain teori musik, alat-alat musik dan pengembangan cara pembuatannya,
tapi mereka juga tertarik pada berbagai aspek komposisi musik dan mereka mengembangkan
model-model gaya puisi serta nyanyian. Mayoritas komunitas Arab pada dasarnya memiliki
kemampuan yang cukup handal dalam seni musik, maka hal yang wajar apabila seni musik
tumbuh cukup subur di dunia Arab. Hal tersebut antara lain di latar belakangi oleh lahirnya
seni musik di daratan Arab. Sejak zaman Jahiliyah dunia Arab telah mengenal musik, bahkan
seni musik telah menjadi trend dan bagian dari gaya hidup mereka sehari-hari.
1. Musik pada masa Rasulullah saw dan sahabat
Kehidupan masyarakat Islam di masa Rasulullah saw ditandai oleh dua
karakteristik, yaitu (1) sederhana, (2) banyak berbuat untuk jihad fi sabilillah
membela Islam dan meluaskannya. Sehingga tidak ada waktu untuk bersenang-
senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni, musik, lagu) apalagi
menikmati.
Orang-orang Islam dengan kepercayaan barunya lebih tertarik oleh seruan jihad
daripada lagu dan musik, ini membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasulullah
bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum muslimin
berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian
sehingga terbukalah mata mereka pada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik
9

Persia dan Romawi. Pada zaman Nabi saw dan sahabat tidak ada kaum pria yang berprofesi
sebagai penyanyi, namun ada yang memiliki suara indah.
Orang Arab pada zaman jahiliyah menganggap nyanyian sebagai suatu yang aib bagi
kaum laki-laki, bahkan bagi kaum perempuan merdeka dan bukan hamba sahaya, maka dari
itu mereka mengkhususkan penyanyi bagi hamba sahaya wanita. Adapun tentang adanya
penyanyi wanita, telah ditunjukan oleh sebagian hadis bahwa di Madinah terdapat penyanyi
wanita.
bahkan Madinah merupakan pusat nyanyian sejak zaman jahiliyah ddibandingkan
penduduk Makkah. Permasalahan lagu dan musik semakin merebak dan marak setelah masa
Rasulullah saw dan sahabat, bahkan banyak penyanyi yang sangat terkenal ketika itu,
diantaranya Izzah al-Maila. Kemudian pada masa bani Umayyah semakin banyak lagi,
bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Dan pada masa bani Abbasiyah para seniman dan
pujangga semakin bertambah lagi dan banyak dari kaum laki-laki yang terhormat masuk ke
dunia musik dan lagu. Mereka banyak mengarang buku-buku tentang musik dan lagu, serta
mengubah syair-syair lagu bagi para penyanyi.

2. Musik dalam perkembagan berikutnya


Pada masa sekarang di beberapa kota Islam pada bulan Ramadhan masih
ditemukan tradisi lama yaitu pada waktu makan sahur, banyak orang-orang
berjalan-jalan sambil bernyanyi dan terkadang menggunakan terompet. Selain itu
orasi-orasi pemakaman yang diselenggarakan dengan peraturan agama yang
sangat ketat umumnya dibacakan dengan lagu, dan di beberapa tempat keramat,
musik menyertai upacara-upacara religius bahkan di masa lalu tentara muslim
yang perang menunaikan perang suci (jihad) diiringi semacam musik untuk
meningkatkan keberanian dan keteguhan hati dan perjuangan mereka.
Beberapa tabib muslim ada juga yang menggunakan musik sebagai sarana
penyembuhan penyakit. Baik jasmani maupun rohani, dan di tulis juga beberapa risalah
tentang ilmu pengobatan melalui musik. Bagi orang yang memperhatikan kaum muslimin
dalam realita kehidupannya tidak akan ditemukan konflik antara orang Islam yang berpegang
teguh dengan orang yang menginginkan kenikmatan dengan kebagusan dalam pendengaran
(lagu dan musik).
Pada zaman dahulu kaum muslimin telah mampu membuat jenis-jenis nyanyian yang
bisa membuat hati dan jiwa mereka tenang dan tentram, khususnya di pelosok
perkampungan. Dan ini telah kita alami sejak anak-anak sampai remaja semua jenis tersebut
10

adalah jenis nyanyian natural yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat, sehingga mereka
jauh dari unsur-unsur negatif.

D. Fungsi Seni Musik


1. Musik sebagai media kritik social
Allah menciptakan dunia indah yang telah memberikan inspirasi kreatif bagi
manusia untuk berkarya. Keindahan itu mendorong manusia menggunakan mata,
telinga, dan hati atau perasaannya. Diantara keinahan yang dapat dirasakan telinga
adalah musik. Keindahan musik dapat membangkitkan semangat atau memberikan
gairah hidup, musik juga telah mendorong manusia untuk menciptakan perangkat
lunak dan perangkat keras yang beraneka ragam saat ini, yang dengannya dunia
menjadi hingar-bingar penuh dengan rona dan meningkatnya kesejahteraan hidup
manusia.
Jika ini tanpa musik, maka akan “sepi mencekam”, “dingin” dan “membeku”.
Namun kenyataannya, tidak semua musik diciptakan sesuai dengan apa yang
diharapkan dan digariskan sang pencipta. Kenyataannya, banyak musik yang berkiblat
ke pola-pola yang bertentangan dengan ketentuan agama yang mendorong manusia
berbuat maksiat. Akibatnya tidak sedikit manusia yang terjerumus ke dalam lembah
kemaksiatan, pesimis, menyesali nasib, frustasi, dan timbulnya permusuhan yang
diakibatkan oleh musik. Bagi musisi tertentu, musik bisa dijadikan alat untuk
menuangkan kritik sosial, politik, dan budaya yang mereka tuangkan dalam lirik-lirik
lagu mereka. Selain alat untuk menuangkan kritik sosial, politik, budaya dan
sebagainya, musik juga sering dijadikan sebagai alat mempropagandakan sebuah
“ideologi”. Bahkan, boleh jadi merupakan sarana yang cukup efektif untuk mengajak
para pendengarnya mengikuti apa yang diinginkan oleh para musisi atau penciptanya.
2. Musik Sebagai Terapi
Musik memang fenomenal, kehadirannya telah membuat kehidupan ini
berirama, di samping dampak negatif, banyak pula dampak positif yang dihadirkan
musik bagi kehidupan manusia. Menurut Concetta Tomaino, Direktur program terapi
musik pada Rumah Sakit New Yorker Abraham Amerika musik diyakini dapat
membantu penyakit Parkinson, sebab pada saat mendengarkan atau bermain musik
tubuh si pasien bereaksi. Selain itu ia jua mengatakan bahwa musik mampu menggali
ingatan yang hampir hilang sama sekali.
11

Musik juga diyakini dapat membantu merilekskan pasien yang akan


menjalani operasi sehingga tidak dibutuhkan obat penenang yang berlebihan, serta
mampu mengurangi ketegangan tim operasi yang biasa terjadi dan dialami di ruang
operasi, sehingga operasi bisa dilakukan lebih cepat. Selain menyembuhkan berbagai
penyakit, musik juga diyakini mampu meningkatkan kecerdasan dan kreatifitas
terutama anak-anak. Para peneliti juga mengemukakan bahwa musik mampu
meningkatkan kreativitas, memperbaiki kepercayaan diri murid, mengembangkan
ketrampilan sosial, dan menaikkan ketrampilan motorik persepsi dan perkembangan
psiko motorik.
3. Musik Sebagai Alat dalam Melaksanakan Ibadah
Manfaat lain yang dihadirkan musik bagi kehidupan manusia adalah
digunakannya musik dalam rangkaian ritual keagamaan (ibadah). Sejak awal
kelahirannya, musik sudah identik dengan agama atau kepercayaan, dimana saat itu
musik sering dikaitkan dengan dewa-dewa yang mereka yakini dan dimainkan dalam
rangkaian ritual penyembahan terhadap dewa-dewa tersebut. Hal ini sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh umat Kristiani. Musik dalam agama Kristen merupakan hal
penting dan mendapat tempat mulia yang tidak bisa dipisahkan dari ritual ibadah
mereka. Selain dalam kegiatan ibadah, musik juga digunakan dalam acara-acara lain
seperti perkawinan, pemakaman, pengurapan orang sakit, dan dalam upacara
pertobatan. Umat Kristiani percaya bahwa bernyanyi dan bermain musik merupakan
karunia dari tuhan, dan melantunkan suara untuk bernyanyi dapat mendatangkan
kebahagiaan bagi manusia dan pencipta. Melalui nyanyian seseorang dapat
mengungkapkan perasaan (emosi), susah atau senang, menyuarakan kasih sayang,
kekaguman dan pujian terhadap sang pemrakarsa musik dan nyanyian. Selain umat
Kristiani, penggunaan musik dalam kegiatan ibadah, juga dilakukan oleh sebagian
umat Islam, terutama oleh mereka yang terjun ke dunia sufisme. Dalam dunia sufi
dikenal adanya apa yang disebut musik spiritual (sama), yaitu musik yang dijadikan
sarana untuk menimbulkan keindahan dan menggerakan hati dalam perjalanan
menuju yang maha kuasa dan menggapai cintaNya.
E. Pandangan Ulama tentang Musik
Tujuan syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral dan membersihkan hati
masyarakat dari kotoran-kotoran nafsu. Oleh sebab itu, segala bentuk kegiatan yang akan
menimbulkan kemungkaran dan menggiring seseorang melakukan perbuatan dosa
diharamkan Islam, walaupun kegiatannya terlihat bersifat positif. Termasuk di dalamnya
12

adalah masalah musik dan nyanyian. Musik dan nyanyian dipandang dari manfaatnya dapat
menyegarkan jiwa dan menggairahkan hati sehingga seolah-olah hukumnya boleh. Namun,
karena diiringi oleh hal-hal yang mengandung unsur kemungkaran maka diharamkan. Berikut
ini beberapa pendapat ulama tentang hukum menyanyi, yaitu sebagai berikut: Imam al-
Ghazali dalam kitab ihya’ mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mengharamkan musik,
justru semua nash-nash syariat membolehkan musik dan nyanyian, tarian, menabuh rebana,
permainan perisai, perang-perangan, dan permainan-permainan pada hari-hari kebahagiaan,
seperti walimah pernikahan, aqiqah, dan khitan, menyambut kedatangan seseorang, dan hari-
hari kebahagiaan yang lain yang diperbolehkan menurut syara. Termasuk perayaan yang
diperbolehkan adalah merayakan kebahagiaan dengan berkumpul bersama teman, saudara
dengan diiringi acara makan-makan, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya
nyanyinyanyian. Imam syafi’i berkata: “lagu adalah senda gurau dan hukumnya makruh,
siapa yang memperbanyak mendengarkan lagu adalah orang bodoh yang tertolak
persaksiannya”.
Abu Thayib berkata: “jika mendengarkan lagu yang dilantunkan oleh seorang wanita
yang bukan muhrim hukumnya haram menurut pendapat pengikut al-Syafi’i dengan segala
kondisi, baik menonton secara live (siaran langsung) atau dari balik layar, baik untuk
dikonsumsi bebas maupun menjadi hak milik”. Imam Syafi’i berkata: “seorang tuan/ majikan
yang menyuruh budaknya untuk bernyanyi di hadapan khalayak dan mendengarkan lantunan
lagunya dia adalah orang yang bodoh yang tertolak persaksiannya”. Diceritakan dari Imam
Syafi’i bahwa beliau membenci musik dan nyanyian dengan hentakan pedang, beliau
berpendapat bahwa hal ini merupakan ajaran-ajaran orang-orang kafir zindiq yang membuat
terlena dari alquran. Tentang pengharaman bernyanyi, Imam Syafi’i mengatakan bahwa
seorang laki-laki yang menjadikan bernyanyi sebagai profesi dengan mengajarkan kepada
orang lain sehingga orang-orang mendatanginya, sehingga menjadi populer dan terkenal atau
demikian seorang perempuan/ wanita, maka tidak sah persaksiannya, karena nyanyiannya
merupakan senda gurau yang dibenci yang merupakan perbuatan batil.
Mereka juga digolongkan orang yang bodoh dan jatuh martabat kehormatannya.
Apabila dia tidak menjadikan nyanyian sebagai kegemaran dan tidak menggelutinya, namun
hanya sebagai ungkapan kegirangan sehingga ia berdendang, tidak jatuh kehormatan dan
tidak batal persaksiannya. Menurut satu riwayat dari Malik, bahwa musik dan nyanyian itu
hukumnya mubah.22 Sedangkan menurut Imam Hanafi, musik dan nyanyian yang
diharamkan adalah musik atau nyanyian dengan lirik yang menceritakan seorang perempuan
yang nyata dalam kehidupan atau menceritakan tentang kenikmatan khamr. Hal itu tidak
13

diperbolehkan karena dapat menimbulkan syahwat dan memancing orang yang


mendengarkannya untuk meminum khamr. Musik atau nyanyian yang tujuannya untuk
disaksikan dan untuk mengetahui sastra ilmu balaghah (ilmu sastra Arab) tidak diharamkan.
Begitu juga musik atau nyanyian yang bernapaskan tentang hikmah, nasihat, dan
menceritakan tentang hal-hal yang mubah, seperti bunga, matahari, dan air. Adapun
perkataan perkataan dari Imam Abu Hanifah yang dikutip oleh Asmaji Muchtar dalam
bukunya Dialog Lintas Madzhab, bahwa menyanyi dimakruhkan dan mendengarkannya
termasuk perbuatan dosa adalah nyanyian yang mengandung keharaman Dalam suatu riwayat
Imam Ahmad melarang anak yatim menjual budak wanita penyanyi yang diwariskan
kepadanya, sekalipun harganya lebih mahal.
Dari sini dapat dipahami, seandainya penjualan penyanyi itu halal dan lagu-lagu itu
dibolehkan, niscaya Imam Ahmad tidak melarang anak yatim menjual budaknya yang
penyanyi. Tetapi karena nyanyian itu haram, maka harga penyanyinya pun diharamkan.24
Imam Ahmad juga mengatakan bahwa dalam suatu walimah, apabila mengandung hal-hal
seperti alat musik dan nyanyi-nyanyian maka tidak wajib mendatangi undangan walimah
tersebut.25 Lain halnya dengan Abu al-Hasan ibn Salim, beliau ditanya “mengapa engkau
menolak nyanyian, padahal al-Junayd, Sirri as-Suqthi, dan Dzun Nuri biasa mendengarkan
nyanyian?”. Abu al-Hasan menjawab “bagaimana aku akan menolak nyanyian, sedangkan
orang-orang yang lebih baik dariku seperti Abdullah ibn Ja’far ath-Thayyar membolehkannya
dan ia pun biasa mendengarkan nyanyian. Aku hanya menolak nyanyian yang melalaikan dan
senda gurau belaka.
F. Musik Klasik di Dunia Islam
Gaya musik musik Islam klasik mengalami perkembangan yang signifikan pada masa
Kekhalifahan Ummayah (661750). Istana-istana di kawasan ibu kota kekhalifahan yang saat
itu dipindahkan ke Damaskus, Syria, diramaikan oleh para musisi, baik pria maupun wanita.
Walaupun elemen-elemen asing non-Arab memainkan peranan yang sangat penting dalam
musik mereka, namun sebagian besar musisi terkenal saat itu memiliki latar belakang
kelahiran dan kebudayaan Arab. Dengan demikian latar belakang kebangsaan telah
memberikan kontribusi terhadap khasanah karakteristik musik di suatu wilayah kebudayaan.
Musisi periode Ummayah pertama yang paling terkenal ialah Ibn Misjah, yang dikenal
sebagai “bapak musik Islamis.” Misjah yang lahir dari sebuah keluarga Persia di Mekah,
adalah ahli teori musik, penyanyi, dan virtuoso Lute.
Ia mempelajari teori serta praktek musik Persia dan Bizantium di Syria dan Persia. Ia
banyak menggabungkan berbagai pengetahuan musik yang diperolehnya ke dalam “lagu
14

seni” (art song) khas Arab, mengadopsi elemen-elemen baru seperti modus-modus musikal
asing, dan menolak ciri-ciri lain yang tidak cocok dengan gaya musik Arab. Di samping Ibn
yang Misjah dijuluki “bapak musik Islamis,” terdapat musikolog Islam lain yang dijuluki
“bapak musik” oleh kritikus Barat, Sir Huvert Parry, yaitu Shafi al Dîn karena dua karya
monumentalnya, yaitu Syarafiya dan The Book of Musical Modes. Kontribusi musikologis
Ibn Misjah terdapat dalam sumber informasi terpenting mengenai kehidupan musik pada tiga
abad pertama Islam, yaitu Kitâb alAghânî (“The Book of Songs”) karya Abuu alFaraj al-
Isybahânî, pada abad ke10. Walaupun demikian informasi teoretis tersebut bukanlah yang
pertama karena dua abad sebelumnya, Yuunus al-Kâtib, seorang penulis buku teori musik
Arab, telah terlebih dahulu mengkompilasi koleksi lagu-lagu Arab.
Musisi lain yang juga terkenal pada periode ini ialah: (1) Ibn Muhriz, keturunan
Persia; (2) Ibn Surayj, putra seorang budak Persia yang terkenal karena elegi-elegi dan
improvisasiimprovisasinya (murtajal); (3) AlGharîdh, seorang murid Ibn Muhriz, yang
memiliki latar belakang kelahiran dari keluarga Berber; dan (4) Ma’bad, seorang Negro.
Seperti halnya Ibn Surayj, Ma’bad memiliki suatu gaya personal khusus yang kemudian
diadopasi oleh generasi-generasi penyanyi yang datang kemudian. Buku karya Abû al-Faraj
alIsybahânî yang diterjemahkannya sebagai “The Great Book of Song” tersebut, tersusun dari
21 jilid. Sedemikian komprehensifnya buku tersebut sehingga Ilmuwan Muslim terkenal saat
itu, yaitu Ibn Khaldun, menyebutnya sebagai “biang musik” (Hosein, 1979:38). Pada akhir
masa Ummayah, elemen-elemen yang berbeda dari musik Arab dan musik bangsabangsa
non-Muslim yang kemudian memeluk Islam, tergabung ke dalam gaya musik Islamis klasik.
Dengan berdirinya kekalifahan Abbasiyah pada tahun 750 Baghdad menjadi pusat musikal
terdepan saat itu. Masa kekalifahan Abbasiyah merupakan periode keemasan (Golden Age)
untuk musik Islamis. Pada saat itu penguasaan musik, yang seakan-akan merupakan
keharusan bagi setiap orang yang terpelajar, di antaranya berkaitan dengan virtuositas, teori
estetika, sasaran-sasaran etis maupun terapis, pengalaman mistis, dan spekulasi matematis. Di
samping itu para pemusik profesional juga dipersyaratkan memiliki penguasaan teknis, daya
kreatif, dan pengetahuan ensiklopedis yang memadai.
Di antara para pemusik Abbasiyah terbaik ialah Ibrahîm al-Mawshilî dan Ishâq.
Hampir semua anggota keluarga bangsawan Persia saat itu ialah pimpinan musisimusisi
istana dan sahabat-sahabat dekat dua kalifah, yaitu Hârûn ar-Rasyîd dan al-Ma’mûn (Sabini
1976:2223). Ishâq al-Mawsilî, seorang penyanyi, komposer, dan virtuos ‘Ûd Arab, adalah
seorang musisi Abbasiyah yang hebat. Sebagai seorang musisi yang berkebudayaan luas, ia
telah menulis sekitar 40 buku dalam bidang musik, baik berkaitan dengan toeri maupun
15

kumpulan karya-karya musik, yang konon telah banyak yang hilang (Shiloah dalam EB
2006). ‘Ûd Arab memiliki peranan yang penting dalam menjelaskan temuantemuan ilmiah
teori musik Yunani, yang sebelumnya hanya menggunakan berbagai pengukuran matematis
tanpa disertai pembuktian aplikatif. Dengan demikian para ilmuwan Muslim tidak hanya
mengembangkan temuan-temuan tetrakord Yunani dalam menciptakan berbagai tangga nada,
tapi juga mengembangkannya sehingga bukan hanya lebih banyak memberikan kontribusi
terhadap proses penciptaan musik tapi juga memperjelas pemahaman penemuanpenemuan
teori musik Yunani. Sejumlah teori dikembangkan untuk mensistemasikan intervalinterval
dan struktur-struktur teori modus menjadi lebih mendekati musik klasik Islam daripada
kuncikunci diatonis yang digunakan di Barat saat ini.
Sehubungan dengan itu Lute saat itu merupakan instrumen favorit yang banyak
digunakan untuk mendemonstrasikan temuantemuan teoretis dari para ahli musik. Menurut
Kitâb al-Aghânî, Ishâq adalah penemu teori modusmodus melodi musik Islamis yang
pertama. Salah satu karyanya, Ashbi’, yang berarti “jarijari”, adalah teori penyusunan
modusmodus menurut fret-fret ‘Ûd dan penempatan jari-jari tangan kiri yang berkaitan
dengannya: (Shiloah, 1997:164) Pada bagian atas setiap lagu terdapat petunjuk-petunjuk
mengenai modus dan jenisjenis interval terts dengan kualitas mayor, minor, dan netral/
murni, serta modus ritmis, yang digunakan untuk lagu tersebut.
Terts ialah ialah sebuah interval yang menjangkau tiga nada berurutan dalam suatu
susunan tangga nada. Interval tersebut bervariasi dalam ukuran yang pasti tanpa kehilangan
karakternya. Musik Barat menggunakan terts mayor dan minor sedangkan kebanyakan musik
non-Barat dan musik rakyat menggunakan terts murni (netral), yang ukurannya terdapat di
antara mayor dan minor.
Terts murni dalam musik Islamis yang kira-kira diperkenalkan pada masa tersebut,
memberikan kontribusi terhadap penambahan jumlah modus melodis dari delapan hingga 12
macam dengan cara membuat lebih banyak interval sebagai landasan dalam membangun
melodi-melodi baru. Sementara itu jumlah modus-modus ritmis bervariasi dari enam hingga
delapan, dengan struktur dan isi yang berbeda-beda (Wright, 1992: 681). Kemajuan musik di
dunia Islam pada masa Ummayah, tidak hanya terjadi dalam bidang pendidikan dan
pertunjukan, baik artistik maupun hiburan.
16

Anda mungkin juga menyukai