BAB II
PEMBAHASAN
alat musik yang amat terkenal ialah Sevilla di Andalusia. Alat-alat yang di keluarkan oleh
kilang ini ialah mizbar (kecapi klasik), ad qodim (kecapi lama), ud kamil (kecapi lengkap),
syahrud (kecapi lengkung), marabba’ (semacam gitar), gitara (gitar), kamanja’(semacam
rebab), ghisyak (semacam rebab). Seni musik mempunyai kedudukan yang berbeda-beda
dalam pandangan ulama. Ada pendapat yang memperbolehkan seni musik, ada juga yang
melarang bahkan mengharamkannya.
Diantara mereka ada yang membuka lebar-lebar terhadap setiap macam lagu dan
warna musik, dengan alasan karena yang demikian itu halal, dan merupakan salah satu
aktivitas yang baik dalam kehidupan, yang dibolehkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Ada
yang mematikan radio atau menutup mata dan telinganya ketika mendengar lagu apapun
seraya mengatakan, “Lagu adalah seruling setan, perkataan yang tak berguna serta
penghalang orang untuk berdzikir kepada Allah dan mengerjakan shalat”. Terutama suara
wanita yang menyanyi, menurut mereka, suara wanita dengan tidak menyanyi pun adalah
aurat, bagaimana pula jika menyanyi. sebagian lagi ada yang menolak sama sekali segala
macam musik apapun musik ilustrasi pengantar siaran berita. Kelompok ketiga bersikap ragu-
ragu diantara dua kelompok ini, kadang cenderung pada kelompok pertama, di saat yang lain
ikut pada kelompok yang kedua. Kelompok yang ketiga ini dan jawaban yang memuaskan
dari Ulama dalam masalah penting yang menyangkut perasaan dan kehidupan manusia
sehari-hari ini, terutama sesudah masuknya berbagai media informasi yang dapat didengar
dan dilihat, yang telah memasuki rumah-rumah dan disertai dengan hal-hal yang serius dan
yang lucu-lucu dan menarik pendengaran orang dengan lagu-lagu dan musiknya suka ataupun
tidak suka. Sebuah perdebatan yang cukup serius boleh tidaknya umat Islam bermain musik
ataupun menyanyikan sebuah lagu.
Ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian mengemukakan antara lain, bahwa
musik dan nyanyian adalah jenis hiburan, permainan atau kesenangan yang bisa membawa
orang lalai / lengah dari melakukan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap agama, misalnya
shalat terhadap diri dan keluarganya, seperti lupa studinya atau malas mencari nafkah,
maupun terhadap masyarakat dan negara, seperti mengabaikan tugas organisasinya atau tugas
negara. Tampaknya dalil syar’i yang dipakai ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian
itu adalah yang disebut saddu al-dzari’ah, yang artinya menutup /mencegah hal-hal yang
dapat mengantarkan orang kedalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Misalnya melihat aurat
wanita bukan muhrim dan bukan istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa mendorong
orang kepada perbuatan yang tercela (berbuat cabul, zina dan sebagainya). Demikian pula
wanita, dilarang memperlihatkan bagian auratnya kecuali pada suaminya, anak-anaknya, dan
4
orangorang yang tersebut dalam Surat al-Nuur ayat Larangan ini juga dimaksudkan untuk
menjaga keselamatan dan kehormatan wanita itu sendiri dan juga untuk tidak merangsang
kaum pria. Banyak dalil yang digunakan ulama baik yang diambil dari alQur’an maupun dari
hadits Nabi Muhammad saw. Diantaranya dalil tersebut adalah pertama mereka
mengharamkan lagu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan
Ibnu Abbas serta sebagian tabi’in bahwa mereka mengharamkan nyanyian berdasarkan
firman Allah Swt.
َو ِم َن ٱلَّناِس َم ن َیۡش َتِر ي َل ٱۡل َح ِدیِث ِلُیِض َّل َعن َس ِبیِل ٱ ِبَغۡی ِر ِعۡل م َو َیَّتِخ َذاُز ًو ۚا ُأْو َٰٓلِئَك َل
َو
٦ َعَذ اب ُّم نی
Artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan(Q.S. Lukman : 6)
Dalil berikutnya adalah al-Qur’an surat al-Qashash ayat 55.
Artinya: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-
amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil"(Al
Qashash: 55).
Nyanyian bagi mereka termasuk al-laghwu (perkataan yang tidak berguna) maka
wajib berpaling dari padanya. Dalil yang ketiga adalah hadits Rasulullah saw. yang artinya :
“Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebatilan, kecuali
tiga permainan; permainan suami dengan istrinya, pelatihan terhadap kudanya dan melempar
anak panah daribusurnya”. (H.R. Ashhabus Sunan Munhthorib). Dalil yang keempat adalah
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang merupakan hadits mu’allaq, dari Abi
Malik atau Amir Al Asy’ari, satu keraguan dari perawi dari Nabi saw, ia berkata: “Benar-
benar akan ada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khomar
(minuman keras) dan alat-alat musik”.(HR. Bukhari).
5
Adapun ulama yang membolekan orang Islam belajar musik dan nyanyian,
memainkan, dan mendegarkan mengemukakan alasanalasan, antara lain sebagai berikut:
Artinya : “Pada dasarnya segala sesuatu itu halal (boleh), sehingga ada dalil yang jelas
menunjukkan keharamannya”. (Yusuf Qordhawi 38 : 1998) Menikmati musik dan nyanyian
itu sesuai dengan fitrah manusia (human nuture) dan gharizah-nya (insting/naluri), yang
memang suka kepada hal-hal yang enak / lezat, indah, menyenangkan,Sebagaimana yang
diingatkan oleh Allah swt dalam.
Tentang menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi saw, di sisi Aisyah Ra. dan
bentakan Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya, “Seruling syetan di
rumah Nabi”, ini membuktikan bahwa kedua wanita itu bukan anak kecil sebagaimana
anggapan sebagian orang. Sebab kalau wanita itu bukan anak kecil, pasti tidak akan
memancing kemarahan Abu Bakar ra. Yang menjadi penekanan disini adalah jawaban Nabi
saw kepada Abu Bakar dan alasan yang dikemukakan oleh Rasulullah saw, bahwa beliau
ingin mengajarkan kepada kaum Yahudi bahwa di dalam agama kita itu ada keluwesan.
Beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan mudah. Ibnu Majah juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Aisyah pernah menikahkan salah seorang wanita
dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka Rasulullah Saw datang dan bertanya, “Apakah
kalian sudah memberi hadiah pada gadis itu?” Mereka berkata, “ya (sudah)”. Nabi berkata,
“Belum”. Maka Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sahabat Anshar itu kaum yang
senang hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang menyanyikan
“kami datang kepadamu… kami datang kepadamu selamat untukmu”. Tidak ada dalam Islam
sesuatu yang baik artinya dan yang dianggap baik oleh jiwa yang bersih dan akal yang sehat
kecuali telah dihalalkan oleh Allah sebagai kasih sayang untuk semuarisalah yang universal
dan abadi.
Imam Al Ghazali membantah orang yang berkata, “Sesungguhnya nyanyian itu
perbuatan sia-sia dan permainan” dengan bantahannya “Dia memang demikian, tetapi dunia
seluruhnya perbuatan sia-sia dan permainan”. Dan, segala macam senda gurau bersama
wanita adalah perbuatan sia-sia, kecuali perkawinan yang bertujuan memperoleh anak.
Sedangkan bergurau/kelakar yang tidak jorok hukumnya halal”. Demikian itu diriwayatkan
dari Rasulullah saw dan dari para sahabat. (Dikutip dari Yusuf Qordhawi) Menurut Quraisy
Shihab (1999) tidak ada larangan menyanyikan lagu di dalam Islam. Bukankah Nabi saw
pertama kali tiba di Madinah, beliau disambut dengan nyanyian “Thala al-badru ‘alaina min
Tsaniyaah al-wadaa”?. Ketika ada perkawinan, Nabi juga merestui nyanyian yang
menggambarkan kegembiraan. Yang terlarang adalah yang mengandung makna-makna yang
6
tidak sejalan dengan ajaran Islam.Imam Al Ghazali mengecam mereka yang mengharamkan
musik atau nyanyian, walaupun dia mengakui adanya larangan Nabi saw, tetapi dia
mengaitkan larangan mendengarkan musik atau nyanyian itu dengan kondisi yang
menyertainya, atau dampak negatif yang dilahirkannya.
Al-Marhum Mahmud Syaltut, pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir, dalam buku
Fatwa-fatwanya, seperti dikutip oleh Quraisy Shihab, menegaskan bahwa para ahli hukum
Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan
melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwaperistiwa gembira seperti
lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, memang dipersilahkan, tetapi semua
alasan untuk melarangnya selama tidak menimbulkan dampak negatif tidak dapat dibenarkan.
Kalangan sufi Islam bertanggapan,bahwa ilham turun pada manusia melalui gairat. Dalam
kalangan sufi, musik adalah suatu yang harus ada. Imam Ghazali pernah berkata, bahwa
Gairat diperoleh manusia dengan perantaraan mendengarkan musik, untuk itu, maka Al
Ghazali mengarang sebuah kitab musik yang bernama ”Musik dan Gairat”, yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan Musik and Ecstasy. Musik dan nyanyian penting benar, kata
Ghazali, untuk memperoleh Gairat Tuhan. Dengan musik dan nyanyian lebih lekas diperoleh
nikmat Tuhan.
Ahli-ahli sufi Islam berpendapat, bahwa musik dan nyanyian dapat menyembuhkan
penyakit jiwa dan penyakit badan, dan musik bisa menjadi obat. Teori ini telah dipraktekkan
oleh para sarjana barat dewasa ini. Al-Kindi sendiri telah mempraktekkan musik sebagai
jalan untuk menyembuhkan seorang hartawan yang telah lama menderita sakit. Pelajaran dari
terapi musik (doctrinair of musical therapheutics), sekarang telah diterima orang dalam
lapangan ilmu pengetahuan. Bahkan para sufi menempatkan musik sebagai sesuatu yang
sangat penting keberadaannya. Walaupun ada para ulama yang memiliki dalildalil yang
melarang musik, tetapi sejarah menjelaskan kepada kita bahwa musik diperbolehkan
hukumnya oleh Islam, apa lagi seni musik Nasyid yang memang dijadikan sebagai alat atau
media dakwah untuk mencapai tujuan yang mulia. Acuan normatife berupa dalil-dalil diatas,
ada sejumlah hal sangat elementer yang bisa diungkapkan dan dielaborasi. Pertama, bahwa
Islam sama sekali tidak pernah mempunyai ajaran untuk melawan kecenderungan fitrah
manusia yang senang kepada hal-hal yang enak dan menyenangkan, seperti musik.
Kedua, selama tidak melalaikan orang dan mengingat Tuhan, musik adalah sesuatu
yang boleh. Maha Agung Tuhan yang telah mengkaruniai manusia kecenderungan-
kecenderungan alamiah untuk senang kepada hal-hal yang bersifat hiburan, seperti musik.
Ketiga, nyanyian harus diperuntukkan buat sesuatu yang tidak bertentangan dengan etika
7
Islam. Kalau nyanyian itu penuh dengan syair-syair yang bertentangan dengan etika Islam11,
maka menyanyikannya haram. Dari ungkapan diatas, bisa mengambil sebuah kesimpulan
bahwa seni musik diperbolehkan selagi orang yang menyanyi atau yang mendengarkan lagu
tidak terlena yang akhirnya meninggalkan kewajibannya, baik kewajiban dengan Allah
ataupun dengan sesama manusia. Jadi seni musik diperbolehkan selama ia tidak diikuti atau
dikaitkan dengan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam.
Bahkan para sufi menempatkan musik sebagai sesuatu yang penting keberadaannya.
Walaupun ada para ulama yang memiliki dalil-dalil yang melarang musik. Tapi sejarah telah
menjelaskan kepada kita bahwa musik diperbolehkan hukumnya oleh ulama Islam, apalagi
musik yang dimaksud di sini adalah sebagai alat atau media untuk mengkomukasikan pesan-
pesan dakwah untuk mencapai tujuan yang mulia.
B. Hukum Bermain Alat Musik
Sudah agak lama salah satu pengurus harian MWCNU bandar Kedung Mulyo
memohon kepada alfaqir untuk menjelaskan hukum alat musik sebagaimana yang disebutkan
yaitu gitar, seruling, mandolin, drum, dan alat orkes lainnya .Karena kesibukan, sehingga
alfaqir sudah seminggu tidak sempat menulis. Alat musik sebagaimana di atas memang sudah
lama menjadi perdebatan antarulama.
bila disederhanakan hukum alat musik sebagaimana dimaksud di atas, maka ada dua.
1. Haram
Alhawi Alkabir secara jelas menyebutkan bahwa alat musik sebagaimana di
atas adalah haram. Ada pandangan menarik dari Alghozali dalam Ihya', bahwa
keharaman alat musik di atas itu karena faktor eks (a'ridli) bukan karena entitas alat
musik. menjadi ciri khas budaya para peminum miras dan waria.
2. Mubah
Dalam sebuah syi'ir sebagian ulama dinyatakan bahwa Imam Ibnu Chazmin
membolehkan alat musik di atas, meski oleh sebagian ulama tersebut pendapat Ibnu
Chazmin tidak boleh diikuti. Azzabidi juga mengemukakan, ulama yang
membolehkan alat musik di atas itu tidak mengakui kesahihan hadits yang
menjelaskan keharaman hadits dan tidak menerima alasan bahwa alat musik itu
menjadi ciri budaya.
peminum miras. ika hukum haram itu berlandaskan hadits dan alasan faktor
eks, sedang keduanya tidak wujud, maka hukum haram itu dengan sendirinya gugur,
itu barangkali yg menjadi alasan argumentatif ulama barisan kedua ini. Alfiqhul
Islami menambahkan, bahwa sekelompok sahabat, tabi'in, dan Imam Mujtahid ada
8
Persia dan Romawi. Pada zaman Nabi saw dan sahabat tidak ada kaum pria yang berprofesi
sebagai penyanyi, namun ada yang memiliki suara indah.
Orang Arab pada zaman jahiliyah menganggap nyanyian sebagai suatu yang aib bagi
kaum laki-laki, bahkan bagi kaum perempuan merdeka dan bukan hamba sahaya, maka dari
itu mereka mengkhususkan penyanyi bagi hamba sahaya wanita. Adapun tentang adanya
penyanyi wanita, telah ditunjukan oleh sebagian hadis bahwa di Madinah terdapat penyanyi
wanita.
bahkan Madinah merupakan pusat nyanyian sejak zaman jahiliyah ddibandingkan
penduduk Makkah. Permasalahan lagu dan musik semakin merebak dan marak setelah masa
Rasulullah saw dan sahabat, bahkan banyak penyanyi yang sangat terkenal ketika itu,
diantaranya Izzah al-Maila. Kemudian pada masa bani Umayyah semakin banyak lagi,
bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Dan pada masa bani Abbasiyah para seniman dan
pujangga semakin bertambah lagi dan banyak dari kaum laki-laki yang terhormat masuk ke
dunia musik dan lagu. Mereka banyak mengarang buku-buku tentang musik dan lagu, serta
mengubah syair-syair lagu bagi para penyanyi.
adalah jenis nyanyian natural yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat, sehingga mereka
jauh dari unsur-unsur negatif.
adalah masalah musik dan nyanyian. Musik dan nyanyian dipandang dari manfaatnya dapat
menyegarkan jiwa dan menggairahkan hati sehingga seolah-olah hukumnya boleh. Namun,
karena diiringi oleh hal-hal yang mengandung unsur kemungkaran maka diharamkan. Berikut
ini beberapa pendapat ulama tentang hukum menyanyi, yaitu sebagai berikut: Imam al-
Ghazali dalam kitab ihya’ mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mengharamkan musik,
justru semua nash-nash syariat membolehkan musik dan nyanyian, tarian, menabuh rebana,
permainan perisai, perang-perangan, dan permainan-permainan pada hari-hari kebahagiaan,
seperti walimah pernikahan, aqiqah, dan khitan, menyambut kedatangan seseorang, dan hari-
hari kebahagiaan yang lain yang diperbolehkan menurut syara. Termasuk perayaan yang
diperbolehkan adalah merayakan kebahagiaan dengan berkumpul bersama teman, saudara
dengan diiringi acara makan-makan, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya
nyanyinyanyian. Imam syafi’i berkata: “lagu adalah senda gurau dan hukumnya makruh,
siapa yang memperbanyak mendengarkan lagu adalah orang bodoh yang tertolak
persaksiannya”.
Abu Thayib berkata: “jika mendengarkan lagu yang dilantunkan oleh seorang wanita
yang bukan muhrim hukumnya haram menurut pendapat pengikut al-Syafi’i dengan segala
kondisi, baik menonton secara live (siaran langsung) atau dari balik layar, baik untuk
dikonsumsi bebas maupun menjadi hak milik”. Imam Syafi’i berkata: “seorang tuan/ majikan
yang menyuruh budaknya untuk bernyanyi di hadapan khalayak dan mendengarkan lantunan
lagunya dia adalah orang yang bodoh yang tertolak persaksiannya”. Diceritakan dari Imam
Syafi’i bahwa beliau membenci musik dan nyanyian dengan hentakan pedang, beliau
berpendapat bahwa hal ini merupakan ajaran-ajaran orang-orang kafir zindiq yang membuat
terlena dari alquran. Tentang pengharaman bernyanyi, Imam Syafi’i mengatakan bahwa
seorang laki-laki yang menjadikan bernyanyi sebagai profesi dengan mengajarkan kepada
orang lain sehingga orang-orang mendatanginya, sehingga menjadi populer dan terkenal atau
demikian seorang perempuan/ wanita, maka tidak sah persaksiannya, karena nyanyiannya
merupakan senda gurau yang dibenci yang merupakan perbuatan batil.
Mereka juga digolongkan orang yang bodoh dan jatuh martabat kehormatannya.
Apabila dia tidak menjadikan nyanyian sebagai kegemaran dan tidak menggelutinya, namun
hanya sebagai ungkapan kegirangan sehingga ia berdendang, tidak jatuh kehormatan dan
tidak batal persaksiannya. Menurut satu riwayat dari Malik, bahwa musik dan nyanyian itu
hukumnya mubah.22 Sedangkan menurut Imam Hanafi, musik dan nyanyian yang
diharamkan adalah musik atau nyanyian dengan lirik yang menceritakan seorang perempuan
yang nyata dalam kehidupan atau menceritakan tentang kenikmatan khamr. Hal itu tidak
13
seni” (art song) khas Arab, mengadopsi elemen-elemen baru seperti modus-modus musikal
asing, dan menolak ciri-ciri lain yang tidak cocok dengan gaya musik Arab. Di samping Ibn
yang Misjah dijuluki “bapak musik Islamis,” terdapat musikolog Islam lain yang dijuluki
“bapak musik” oleh kritikus Barat, Sir Huvert Parry, yaitu Shafi al Dîn karena dua karya
monumentalnya, yaitu Syarafiya dan The Book of Musical Modes. Kontribusi musikologis
Ibn Misjah terdapat dalam sumber informasi terpenting mengenai kehidupan musik pada tiga
abad pertama Islam, yaitu Kitâb alAghânî (“The Book of Songs”) karya Abuu alFaraj al-
Isybahânî, pada abad ke10. Walaupun demikian informasi teoretis tersebut bukanlah yang
pertama karena dua abad sebelumnya, Yuunus al-Kâtib, seorang penulis buku teori musik
Arab, telah terlebih dahulu mengkompilasi koleksi lagu-lagu Arab.
Musisi lain yang juga terkenal pada periode ini ialah: (1) Ibn Muhriz, keturunan
Persia; (2) Ibn Surayj, putra seorang budak Persia yang terkenal karena elegi-elegi dan
improvisasiimprovisasinya (murtajal); (3) AlGharîdh, seorang murid Ibn Muhriz, yang
memiliki latar belakang kelahiran dari keluarga Berber; dan (4) Ma’bad, seorang Negro.
Seperti halnya Ibn Surayj, Ma’bad memiliki suatu gaya personal khusus yang kemudian
diadopasi oleh generasi-generasi penyanyi yang datang kemudian. Buku karya Abû al-Faraj
alIsybahânî yang diterjemahkannya sebagai “The Great Book of Song” tersebut, tersusun dari
21 jilid. Sedemikian komprehensifnya buku tersebut sehingga Ilmuwan Muslim terkenal saat
itu, yaitu Ibn Khaldun, menyebutnya sebagai “biang musik” (Hosein, 1979:38). Pada akhir
masa Ummayah, elemen-elemen yang berbeda dari musik Arab dan musik bangsabangsa
non-Muslim yang kemudian memeluk Islam, tergabung ke dalam gaya musik Islamis klasik.
Dengan berdirinya kekalifahan Abbasiyah pada tahun 750 Baghdad menjadi pusat musikal
terdepan saat itu. Masa kekalifahan Abbasiyah merupakan periode keemasan (Golden Age)
untuk musik Islamis. Pada saat itu penguasaan musik, yang seakan-akan merupakan
keharusan bagi setiap orang yang terpelajar, di antaranya berkaitan dengan virtuositas, teori
estetika, sasaran-sasaran etis maupun terapis, pengalaman mistis, dan spekulasi matematis. Di
samping itu para pemusik profesional juga dipersyaratkan memiliki penguasaan teknis, daya
kreatif, dan pengetahuan ensiklopedis yang memadai.
Di antara para pemusik Abbasiyah terbaik ialah Ibrahîm al-Mawshilî dan Ishâq.
Hampir semua anggota keluarga bangsawan Persia saat itu ialah pimpinan musisimusisi
istana dan sahabat-sahabat dekat dua kalifah, yaitu Hârûn ar-Rasyîd dan al-Ma’mûn (Sabini
1976:2223). Ishâq al-Mawsilî, seorang penyanyi, komposer, dan virtuos ‘Ûd Arab, adalah
seorang musisi Abbasiyah yang hebat. Sebagai seorang musisi yang berkebudayaan luas, ia
telah menulis sekitar 40 buku dalam bidang musik, baik berkaitan dengan toeri maupun
15
kumpulan karya-karya musik, yang konon telah banyak yang hilang (Shiloah dalam EB
2006). ‘Ûd Arab memiliki peranan yang penting dalam menjelaskan temuantemuan ilmiah
teori musik Yunani, yang sebelumnya hanya menggunakan berbagai pengukuran matematis
tanpa disertai pembuktian aplikatif. Dengan demikian para ilmuwan Muslim tidak hanya
mengembangkan temuan-temuan tetrakord Yunani dalam menciptakan berbagai tangga nada,
tapi juga mengembangkannya sehingga bukan hanya lebih banyak memberikan kontribusi
terhadap proses penciptaan musik tapi juga memperjelas pemahaman penemuanpenemuan
teori musik Yunani. Sejumlah teori dikembangkan untuk mensistemasikan intervalinterval
dan struktur-struktur teori modus menjadi lebih mendekati musik klasik Islam daripada
kuncikunci diatonis yang digunakan di Barat saat ini.
Sehubungan dengan itu Lute saat itu merupakan instrumen favorit yang banyak
digunakan untuk mendemonstrasikan temuantemuan teoretis dari para ahli musik. Menurut
Kitâb al-Aghânî, Ishâq adalah penemu teori modusmodus melodi musik Islamis yang
pertama. Salah satu karyanya, Ashbi’, yang berarti “jarijari”, adalah teori penyusunan
modusmodus menurut fret-fret ‘Ûd dan penempatan jari-jari tangan kiri yang berkaitan
dengannya: (Shiloah, 1997:164) Pada bagian atas setiap lagu terdapat petunjuk-petunjuk
mengenai modus dan jenisjenis interval terts dengan kualitas mayor, minor, dan netral/
murni, serta modus ritmis, yang digunakan untuk lagu tersebut.
Terts ialah ialah sebuah interval yang menjangkau tiga nada berurutan dalam suatu
susunan tangga nada. Interval tersebut bervariasi dalam ukuran yang pasti tanpa kehilangan
karakternya. Musik Barat menggunakan terts mayor dan minor sedangkan kebanyakan musik
non-Barat dan musik rakyat menggunakan terts murni (netral), yang ukurannya terdapat di
antara mayor dan minor.
Terts murni dalam musik Islamis yang kira-kira diperkenalkan pada masa tersebut,
memberikan kontribusi terhadap penambahan jumlah modus melodis dari delapan hingga 12
macam dengan cara membuat lebih banyak interval sebagai landasan dalam membangun
melodi-melodi baru. Sementara itu jumlah modus-modus ritmis bervariasi dari enam hingga
delapan, dengan struktur dan isi yang berbeda-beda (Wright, 1992: 681). Kemajuan musik di
dunia Islam pada masa Ummayah, tidak hanya terjadi dalam bidang pendidikan dan
pertunjukan, baik artistik maupun hiburan.
16