TRADISI ESTETIS PADA MUSLIM INDONESIA Pendahuluan Munculnya dan penyebaran Islam pada abad ke-13 setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit merupakan proses Islamisasi yang dibawa oleh para pedagang dari negara-negara Timur Tengah dan Turki. Dan didukung melalui ekspedisi dan dipercepat oleh pengaruh para sultan yang memeluk Islam sebagai agama resmi dalam ranah politik kerajaannya seperti Syarif Hidayat-Allāh, atau yang juga dikenal sebagai “Sunan Gunung Jati” dan Sultan Agung yang memerintah Jawa Tengah (Mataram, sekarang Yogyakarta) pada awal abad ke-17. Pada abad ke-13, Islam masuk ke Nusantara bagian barat melalui kontak dagang dengan para pedagang dari Timur Tengah, terutama yang berasal dari Turki dan Persia. Kapal dagang Arab yang terkenal dengan pelayarannya yang luas sehingga melintasi Samudra Hindia ke Indonesia, dan bahkan lebih jauh ke China, para pedagang sufistik membangun koloni-koloni yang meninggalkan tradisi budaya mereka di bagian barat daya Indonesia dengan Sumatra sebagai pulau rempah-rempah terbesar di nusantara. Islam, dengan pembatasan eksplisitnya terhadap peran seni dan aktivitas sosial lainnya, menciptakan lingkungan budaya baru di wilayah tersebut. Seni musik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, menghasilkan tiga kondisi, yaitu pengenalan bentuk-bentuk baru praktik artistik, difusi bentuk- bentuk ekspresi sebelumnya yang terkait dengan ajaran budaya dan/atau agama lain, dan adopsi bentuk- bentuk seni yang sudah ada sebelumnya pada peristiwa yang berkaitan dengan Islam. Islam tiba di Indonesia, membawa serta pengaruh yang kuat pada musik budaya Timur Tengah dan Turki, dari seni membaca Al-Qur'an hingga himne yang sangat berlisensi dari persembahan. seperti rebab dan sarunai, menjadi instrumen utama Ensambel Gamelan Jawa. Selain itu Islamisasi di Indonesia tidak terlepas dari tasawuf. Yang mana merupakan adaptasi dari benteng mistik kuat Hindu dan Budha yang telah mengakar kuat di Indonesia selama berabad-abad. tradisi sufistik yang dibawa oleh Turki yang sangat berpengaruh adalah tradisi sufistik Mevlevi Tarekat yang didirikan oleh Maulana Jalāl ad-Din Rumī (1207-1273), atau lebih dikenal dengan Rumi saja. tradisi sufistik ini sangat masyhur khususnya di Malaya (Sumatera) dan Jawa. Pengaruh sufi Mevlevi Rumi tertanam kuat di Jawa, terutama pada masa kerajaan Mataram Islam pertama, dengan Sultan Agung sebagai Rajanya. Transkulturasi Musikal Menurut Powell (1880), Perubahan musik lokal yang dibawa oleh kemajuan masyarakat di bidang ekonomi, teknologi, dan politik tersebut mengacu pada perubahan budaya yang terjadi ketika orang-orang dari berbagai budaya bersentuhan langsung satu sama lain. Ini bukan berarti menyiratkan asimilasi dalam arti hilangnya budaya, dan itu dapat diamati dan direkonstruksi secara langsung dalam etnografi, proses sejarah yang disimpulkan secara spekulatif dari distribusi ciri-ciri budaya. Sedangkan Menurut Herskovits ketika mengorganisir studi sistematis akulturasi, konsep akulturasi harus "sama sekali tidak berwarna mengenai kompleksitas relatif dari dua budaya yang terlibat, dan apakah itu didominasi oleh yang lain atau kontak terjadi di bidang persamaan komparatif", apakah satu budaya dipinjam dari orang lain atau pertukaran bersifat timbal balik, dan apakah itu antara orang yang melek huruf dan tidak melek huruf atau antara dua bangsa "primitif". Sederhannya untuk mempelajari dinamika kehidupan manusia maka kita menggunakan kontak budaya sebagai contohnya. Istilah “transkulturasi” dapat mencakup berbagai proses mengenai bagaimana suatu budaya berhubungan antara dua budaya atau lebih, tentang pengaruh musik, dapat mengatur proses dalam gerak, baik secara tidak sengaja atau sebagai sarana tambahan, sehingga musik dari budaya berubah dalam beberapa cara. Dari penyatuan beberapa budaya musik ini maka munimbulkan "akulturasi". Akulturasi musik terjadi ketika musik suatu masyarakat, atau sebagian darinya, berubah sebagai akibat langsung dari pengaruh budaya lain. Seperti musik Barat yang memengaruhi musik dari budaya non-Barat. Akulturasi budaya tersebut biasanya melibatkan pinjaman antar budaya, yang dicirikan oleh transmisi sifat dan elemen yang berkelanjutan di antara komunitas yang beragam. Karakteristik penting menyangkut bahasa musik itu sendiri dan dapat mencakup harmoni, nada suara (pusat nada atau kunci), modalitas (atau tangga nada), irama, dan meter. Ini menjelaskan mengapa musik rakyat menyebar begitu cepat ke seluruh Eropa. Akulturasi dapat terjadi sebagai proses antitesis terhadap tesis untuk menciptakan sintesis baru. Sebagai hasil dari tekanan yang diberikan oleh budaya lebih dominan dari pada bawahan atau penerima budaya, sehingga sering terjadi dominasi satu budaya atas yang lain, yang mengarah ke beberapa kompromi yang dicapai di antara kelompok-kelompok yang berinteraksi dan menghasilkan modifikasi budaya. Menurut Heisenberg, jika ada kondisi pertemuan antara dua alur budaya yang berbeda karena arah, waktu, atau warna mereka dan keduanya berinteraksi, maka akan menghasilkan bentuk budaya yang menarik. Etnomusikologi adalah “studi ilmiah tentang musik dalam tata kelolanya” merupakan bidang studi yang relatif baru di Indonesia sejak tahun 1980-an. Akan tetapi ragam musik etnik di Nusantara tidak cocok untuk penelitian musikologi, khususnya seni musik Barat. Oleh karenanya musik di Nusantara sudah selayaknya dikaji dengan perangkat keilmuan etnomusikologi di mana musikal dan ekstra musikal dianggap sebagai isu budaya. Salah satu contoh yang bisa disebut disini adalah tradisi Gamelan Jawa. Dalam tradisi gamelan Jawa, gending atau gubahan gamelan Jawa jika dimainkan harus diakhiri dengan satu tarikan napas oleh pemainnya sebelum gong terakhir berbunyi. Tidak demikian halnya dengan komposisi Gamelan Bali atau Sunda, karena tidak terpengaruh oleh seluk-beluk tasawuf yang dianut Sultan Agung pada abad ke-17. Penggambaran Sufisme Mevlevi oleh Sultan Agung tidak diragukan lagi berperan dalam membangun masa hening di akhir pertunjukan wayang kulit Jawa yang disebut Sunyaruri. dan tanggapan Sultan Agung yang mengklaim bahwa Gending dan wayang Jawa mewakili tiga tahap kehidupan: lahir, dewasa, dan mati. Sehubungan dengan hal tersebut, Sultan Agung mendirikan Sastra Gending, sebuah manifesto Politiko artistik, yang menekankan pentingnya memainkan Gamelan secara serius sebagai bentuk pemujaan Sufi. Alat Musik Budaya Islam Di antara alat musik Timur Tengah dan Timur Dekat, ada yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia di Sumatera dan Kalimantan. Instrumennya adalah: Ud, atau alat musik tradisional yang disebut Gambus di Sumatra dan Kalimantan; Naqqarah, kemudian di Sumatera dan Kalimantan disebut Ketipung; Daf atau rebana; Darabukkah; Davul/Dhol di Bengkulu, dan Zurna (Serunai) atau Rabab di Aceh yang kemungkinan masuk ke Sumatera melalui India. Pengenalan Islam pada awalnya dilakukan oleh para pedagang Persia dan syair Persia digunakan untuk memperkenalkan tradisi musik Islami kepada masyarakat Indonesia dengan mengelilingi pintu nusantara, yaitu Aceh di ujung paling utara Sumatera. Seperti Didong di daerah Goyo, Aceh, merupakan persaingan antara dua grup paduan suara yang masing-masing beranggotakan 30 orang dengan seorang pemimpin bernama Cheh. Ketika Islam pertama kali masuk ke Jawa pada abad ke-15, agama Hindu dan Budha telah kokoh berdiri sebagai agama utama. Pada masa itu, tradisi tari berbasis Natyam Bharata, musik berbasis Gumlao, tradisi festival Kuil, dan mitos-mitosnya, telah berinteraksi secara aktif dengan prinsip-prinsip Heisenberg. Menyusun Tasawuf Utsmaniyah di Indonesia Pada masa kekuasaan Muhammad III (1566-1603) Kesultanan Utsmaniyah (Morse, vol. 23, 1956- 8647), Aceh berada di bawah kekuasaan Sultan Alaudin Manshur Shah b. Sultan Ahmad Perak dan saat itu Syekh Muhammad Nuruddin ar-Ranirī datang ke Aceh untuk kedua kalinya. Mengingat Kesultanan Utsmaniyah berada di puncak pengaruh politik dan budaya, Sultan kemungkinan besar membawa Mathnavi dari Rumi ke Aceh. Tarian seremonial Sufi Darwis, ordo Mavlevi, mungkin juga telah diperkenalkan kepada elite agama Islam di Aceh pada abad ke-16. Ada ranah tasawuf tertentu yang konon dimulai oleh kerabat Nabi Muhammad SAW, dipraktikkan: Turki, Tunisia, Maroko, India, dan Pakistan. Ada dua tarekat sufi di Kesultanan Utsmaniyah Turki, yaitu The Tarekat Mevlevi yang didirikan oleh Mevlana Jalāl Ad-Dīn Muhammad Rūmī di Konya, Turki abad ke-13; dan Bektashi namun kurang menonjol. Dengan lahirnya Republik Turki dengan Kemal Attaturk, tasawuf di Turki dilarang pada tahun 1922. Tarekat Mevlevi, menurut Seyyid Sherefeddin, menggunakan alat musik yang disebut rebab dalam ritualnya di abad ke-13. Rebab adalah satu-satunya instrumen dalam tasawuf yang mampu menelusuri relung hati dalam ritus sufistik Mevlevi, yang mengabdikan dirinya untuk setia kepada Tuhan. Oleh karenanya, Sultan Agung mengamanatkan penciptaan gending Rebab sebagai komponen orkestra gamelan. Ajaran Mevlevi didasarkan pada tiga hal: tarian, musik (ritual), dan cinta. Para anggota tarekat tersebut biasa disebut sebagai para darwis pusar (karena tarian mereka). Melalui, “Cinta” Rumi terinspirasi untuk menulis 25.700 puisi Mathnawi berupa sastra Melayu Kuno yang menggambarkan burung putih, dengan mengakaitkan Darwish yang berpakaian putih ketika melakukan tarian ritual dengan bawahan yang terbuka seperti payung, dalam tradisi vokal Aceh. Dari sini dapat disimpulkan bahwa para penari sufi Mevlevi pernah mengunjungi Aceh dan Jawa pada masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah, Turki. Selain Turki, negara Islam lainnya. Tradisi musik Timur Tengah menggunakan modus, semacam Pathet dalam Gamelan Jawa untuk menggubah musiknya. Rumi adalah seorang ahli teori musik Turki yang percaya pada Instrumen Saz, sejenis gitar berleher panjang. Gambus adalah alat musik yang berakar dari Sumatera Timur, Kalimantan Barat, dan tradisi musik Melayu daerah sekitarnya. Mathnawi harus ditafsirkan sebagai petunjuk bahwa bentuk puisi lain, seperti Ruba'i dan lainnya, hadir dalam sastra Melayu awal, memiliki pola melodi tetap yang mirip dengan pola melodi dalam tradisi Macapat masyarakat Jawa pada masa Indonesia pra-kemerdekaan. Ghazal dan Ruba'i, yang mengacu pada Mathnawi, tidak diragukan lagi merupakan bentuk puisi yang dinyanyikan berdasarkan kebiasaan puisi Turki-Persia kuno. Aksara Arab-Melayu Sociyarakat di ranah Melayu, khususnya wilayah yang meliputi Sumtera, pulau-pulau antara Sumatera Timur dan Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, dan Semenanjung Malaka, disinyalir merupakan hasil tradisi puitis sufi ini. Musik ritual Mevlevi menggunakan tiga instrumen yang terdiri dari dua nay atau seruling yang berfungsi untuk melodi; Tiga buah kemence atau alat musik gesek sebagai pengganti rebab; Dua instrumen kudum atau perkusi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas irama; halile atau simbal; dan dengan lima penyanyi. Bagian utama dari upacara ritual Mevlevi terdiri dari dua tahap rangkaian. Bagian pertama diisi oleh nyanyian para penyanyi Sanjak, di antaranya Mathnawi, yang melantunkan syair-syair untuk Nabi Muhammad saw. Puisi-puisi ini diikuti dengan improvisasi seruling Taksim dan siklus pujian dan doa untuk Sultan Veled. Bagian kedua mencakup empat penyelaman. Bagian ini terdiri dari pembacaan ayat- ayat Al-Qur'an, doa, dan penutup akhir dengan Gulbang. Keakraban hubungan sehari-hari antara masyarakat adat di Sumatera, dan pulau-pulau sekitarnya, dengan pedagang Islam, sejak abad ke-13, dan Jawa sejak abad ke-15. Keakraban hubungan tersebut membawa dampak sebagai berikut: Masuknya pengetahuan pewarnaan pada batik di Jawa; Sastra lisan berupa puisi, seperti Mathnawi, Ruba'i dan beberapa lainnya, sehingga masyarakat Aceh dan Kuna Sumatera berkenan menjadi pantun; Pengenalan huruf Arab ke dalam huruf Arab-Melayu; dan Pengenalan alat musik dari Timur Tengah. Para pedagang membawa berbagai jenis alat musik, antara lain: Rebab , Gambus, atau disebut 'ud, daff yang di Indonesia biasa disebut rebana; tidak atau seruling; naqqarah, atau ketipung; dan saz, yang mana dasar nada dan teori musik istana Turki dikembangkan oleh Rumi. Instrumen-instrumen tersebut seolah-olah telah memperkenalkan tradisi musik Turki ke Indonesia. Namun, ragam instrumen tersebut sulit diterima oleh masyarakat Melayu pada abad ke-16 dan Jawa pada era Sultan Agung pada abad ke-17. Meski demikian umat Islam Sumatera dan Jawa terinspirasi musik dari tarian lokal yang bernuansa sufistik Islam Turki-Persia sehingga memunculkan Samroh atau Sambrah yang berasal dari kata yang sama raq adalah bentuk seni pertunjukan sufistik lokal yang diilhami oleh upacara ritual Darwis Mevlevi. Di hadapan bangsa Portugis di Nusantara, Samroh telah menanamkan sisi tari sufistik dengan gerakan Pencak yang dilakukan sambil berjongkok bukan berdiri. Dan juga Seni bela diri Pencak Silat di kalangan laki-laki Melayu zaman Portugis (1511-1641) yang dilengkapi dengan pakaian atau pakaian Taqwa di Jawa lahir dari Samroh. Masyarakat Islam di Aceh melahirkan tari Seudati, yang berasal dari bahasa Arab syahādatayn. Tradisi puisi di Aceh secara historis diilhami oleh meditasi sufistik dengan Mathnawi dan Ruba'i dari Turki dan Persia. Sultan Agung (1613-1645 M) adalah murid sufi Jawa paling terkenal yang mengharmoniskan seni pertunjukan Keraton Jawa. Dia adalah Raja Mataram II, sebuah dinasti Jawa Islam di selatan Jawa Tengah yang menganggap dirinya sebagai penerus sah Kerajaan Majapahit: Wayang dan Gamelan dengan mistisisme Islam atau tasawuf. Puisinya dalam melodi Sinome mengungkapkan prinsip musik dan tarian yang sama dengan Rumi. Dalam skema praktik ritual sufi Tarekat Mevlevi Ada dua bagian utama: Bagian pertama terdiri dari: Naat, bentuk tatanan musik religi Mevlevi yang disusun oleh Buhuriz Mustafa Itri (1640:1712) dalam Maqam Rast (modus Rast ) dengan sajak dari Mevlana (Jalaluddin Rumi ) dengan akhiri doa. Setelah selesai doa, ada bagian yang disebut Gulbang, di mana Syekh atau pemimpin upacara mengucilkan kata Hu dan mengakhiri upacara. Sultan Agung mungkin sangat mengetahui skema tersebut dengan perhatian khusus pada Gulbang dan suara Hu dengan suara seragam. Kemungkinan besar, sisa komposisi Gamelan Gending untuk pukulan gong terakhir secara otomatis diikuti oleh seluruh nafas orkestra Gamelan yang secara historis dimaksudkan oleh Sultan Agung untuk memulai kata Hu, yang berarti Tuhan dalam konteks pemikiran sufistik Islam. meyakini bahwa Gending dan skenario Wayang kulit sejak zaman Sultan Agung secara simbolis bermakna sebagai perjalanan spiritual manusia dari lahir sampai mati. Penyebaran Islam ke Jawa pada abad ke-17 memicu minat pada kepatuhan terhadap syariah dan hal-hal penting yang diperlukan untuk menjadi seorang Muslim yang baik. Esensi yang berhubungan dengan sastra dan musik (Gamelan). Hal ini menunjukkan bahwa Sultan Agung sebagai politikus tradisional pasti sudah mengenal tasawuf, dan memiliki kewajiban lisan untuk mengadaptasi warisan budaya Kerajaan Majapahit ke situasi baru Jawa abad ke-17. Dari sini Sultan Agung melakukan beberapa perubahan yakni mengubah orientasi Buddahalaya Katawang seprti mitos Ratu Kidul, Dewi Laut India, yang mendapat penghormatan pada ritual Kraton Bedoyo; Ia menekankan kembali karakter gubahan meditatif Gamelan yang pernah dipraktikkan di Sekati Gamelan, namun hanya dimainkan pada Festival Sekaten untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad (Maulid) pertama yang diadakan di Demak abad ke-16. ia menyusun kembali silsilah keluarga tokoh-tokoh mitos Wayang Kulit; ia menyisipkan ide Gulbang Turki dan menghilangkan tradisi Kraton untuk festival candi Budha untuk rakyatnya. Dua sumber memperkenalkan tasawuf kepada Sultan Agung yaitu Kerajaan Islam Aceh. Dia, sebagai raja, bagaimanapun, harus menolak untuk menjadi seorang Sufi (pengikut) belaka. Bahkan, Sultan Agung menginginkan kesadaran dirinya ditunjuk sebagai tokoh kebatinan Jawa yang menonjol dengan inti keyakinan Manunggaling Kawula lan Gusti budak dengan Tuhannya, oleh karenanya pada dasarnya Manunggaling Kawula lan Gusti adalah sufistik pada asalnya. Tujuan pertunjukan Wayang Kulit semalaman pada masa pasca Majapahit juga merupakan idealisasi sufistik. Benih cita-cita yang sebelumnya diperkenalkan oleh Buddhisme Hinayana Jawa Timur ditemukan dalam skenario Wayang Kulit, Kunjara Karma, yang juga diukir dalam bentuk relief di Candi Jago dekat Malang. Gambaran Buddha Hinayana tentang praktik penyangkalan dalam hidup tidak realistis, dengan meminta murid-muridnya untuk "mereduksi tubuh seseorang menjadi abu dan menghilangkan kesadarannya". Mistisisme Kristen Jawa yang berkembang di Jawa abad ke-19 juga tidak lepas dari gamelan dan wayang kulit sebagai ekspresi estetika.