Anda di halaman 1dari 9

MATERI MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

PADA PRESS CONFERENCE BERSAMA MENTERI-MENTERI


TENTANG UU CIPTA KERJA
Jakarta, 7 Oktober 2020

1. Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja untuk substansi KLHK terbagi


dalam 2 (dua) bagian yaitu bagian persetujuan lingkungan yang menjadi
persyaratan dasar perizinan berusaha dan bagian perizinan berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan. Dan berkaitan dengan 3
UU yaitu UU 32 tahun 2009, UU 41 Tahun 1999 dan UU 18 Tahun 2013.

2. UU CK ini sangat penting, selain sesuai dengan tujuan utamanya untuk


Penciptaan lapangan kerja sehingga menyederhanakan prosedur perizinan dan
mengatasi hambatan penyediaan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, juga
penting dalam menyelesaikan masalah menahun berkaitan dengan masalah-
masalah konflik tenurial terkait kawasan hutan, kriminalisasi masyarakat lokal
(adat) dan masalah-masalah kebun di dalam kawasan hutan.

3. UU ini sekaligus menegaskan keberpihakan kepada masyarakat dengan


mengedepankan restorative justice dan juga mengangkat bahwa perijinan
berusaha juga untuk masyarakat bukan hanya investasi swasta, tetapi juga
melalui perhutanan sosial. Terkait sektor kehutanan, keberpihakan kepada
masyarakat juga tercermin dari pengaturan sanksi dimana pelanggaran yang
dilakukan oleh masyarakat yang bermukim disekitar hutan, dikenakan sanksi
administrasi (bukan pidana) dan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan
hutan (hutsos, kemitraan konservasi, TORA). Oleh karena itu jelas bahwa
dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat.

SUBSTANSI LINGKUNGAN
4. Berkaitan dengan AMDAL
a. Tidak benar bahwa ada kemunduran terkait makna AMDAL dalam
melindungi lingkungan. Karena, prinsip dan konsep dasar pengaturan AMDAL
dalam UU-CK tidak berubah dari konsep pengaturan dalam ketentuan
sebelumnya; perubahan lebih diarahkan untuk penyempurnaan kebijakan dan
aturan pelaksanaan sesuai dengan tujuan UU-CK yang memberikan
kemudahan kepada pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan
dengan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan.

0
b. RUU CK mengintegrasikan kembali Izin Lingkungan ke dalam Perizinan
Berusaha dalam rangka untuk meringkas system perizinan dan
memperkuat penegakan hukum, tanpa mengurangi tujuan dan
fungsinya.
• Memperpendek birokrasi perizinan. Dengan kembali diintegrasikannya
Izin Lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha, maka yang semula pada
UU 32 Tahun 2009 terdapat 4 tahapan yaitu: proses dokumen lingkungan
(AMDAL atau UKL UPL), persetujuan lingkungan, Izin Lingkungan dan Izin
Usaha; menjadi hanya 3 tahap yaitu: proses dokumen lingkungan (AMDAL
atau UKL UPL), persetujuan lingkungan, dan Perizinan Berusaha.
• Memperkuat penegakan hukum. Dalam konstruksi Izin Lingkungan
terpisah dari Perizinan Berusaha, apabila ada pelangaran, kemudian
dikenakan sanksi administrative berupa pembekuan atau pencabutan izin,
maka yang dikenakan adalah Izin Lingkungan. Selama Izin Usaha tdk
dicabut, maka kegiatan dapat tetap berjalan. Dengan diintegrasikan
kembali ke dalam Perizinan Berusaha, maka apabila ada pelanggaran,
maka yang akan terkena konsekuensi adalah Izin utamanya yaitu
Perizinan Berusaha.
Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha tidak perlu mengurus banyak
perizinan yang kita tahu bahwa sangat kompleks dan menyulitkan untuk
masyarakat untuk berusaha bahkan dalam usaha yang sederhana. Hal ini
merupakan salah satu semangat yang didorong dalam omnibus law untuk
menyederhanakan regulasi perizinan menjadi lebih sederhana.

c. Terdapat pandangan bahwa kekhawatiran bahwa masyarakat tidak dapat


melakukan gugatan terkait lingkungan. Hal ini tidak benar sebab gugatan
dapat dilakukan terhadap Perizinan Berusaha-nya (sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara/TUN), dimana Persetujuan Lingkungan menjadi dasar
penerbitan Perizinan Berusaha. Hak setiap orang untuk melakukan gugatan
Keputusan TUN diatur dalam Pasal 53 UU Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam UUCK, Perizinan Berusaha dapat
dibatalkan apabila:
1) persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha
mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta
ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
2) penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; atau
3) kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

d. Berkaitan dengan RISK BASED APPROACH


Konsep perizinan berusaha dalam UU-CK berbasis kepada berbasis pada
model Risk Based Approach (RBA) yang pada dasarnya sudah sejalan
dengan dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan SPPL). Konsep RBA

1
yang dirumuskan dalam UU-CK hanya diperuntukan bagi pelaku usaha, disisi
lain pengelolaan dampak lingkungan juga diwajibkan bagi kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah yang pengaturannya diusulkan dalam bentuk
persetujuan pemerintah pusat.

e. Dalam UU-CK perizinan berusaha akan memuat persyaratan lingkungan yang


dihasilkan dari proses dokumen lingkungan. Persyaratan dan kewajiban
lingkungan dapat dilakukan enforce dalam penegakannya.

f. Fungsi persetujuan lingkungan adalah sebagai dasar pertimbangan


pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Izin
Usaha/ Perizinan Berusaha) dan Komitmen pengelolaan lingkungan pelaku
usaha dapat diawasi dan ditegakkan hukum (termuat dalam Perizinan
Berusaha). Dalam hal ini prosesnya dilakukan melalui sistem OSS sehingga
dapat dipastikan bahwa ketentuan “sebagai prasyarat dan termuat” dalam
perizinan berusaha akan dapat dilaksanakan.

g. Dari data penilaian AMDAL oleh KPA yang berasal dari data tahun 2015 sd
tahun 2019, jumlah rencana kegiatan yang membutuhkan layanan penilaian
kelayakan lingkungan (AMDAL) pertahun secara nasional sebanyak 1000 sd.
1500 kegiatan/tahun. Dari data ini kemudian terjadi overload beban penilaian
AMDAL pada 17 tempat (Pusat, Provinsi, Kabupaten/kota) dan terdapat
beberapa tempat dengan beban penilaian AMDAL yang rendah. Untuk itu
maka diperlukan Komisi Penilai AMDAL yang sesuai dengan beban kerja.

h. Dasar pemikiran penggantian sistem Komisi Penilai Amdal dengan Sistem Uji
Kelayakan adalah berdasarkan evaluasi dan praktek saat ini banyak daerah
yang mengartikan lain pedoman NSPK yang telah dibuat dan banyak daerah
yang kemudian berinisiatif dan berinovasi membuat aturan sendiri sehingga
pelaksanaan di daerah menjadi berbeda-beda, dengan penerapan sistem uji
kelayakan oleh lembaga uji kelayakan maka akan tercipta standarisasi
sistem.

i. Konsep pada RUU CK, Uji Kelayakan dilakukan oleh lembaga uji kelayakan
yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Dalam melaksanakan tugasnya
lembaga uji kelayakan membentuk tim uji kelayakan untuk membantu
gubernur, bupati/walikota melaksanakan kewenangan menerbitkan
Persetujian Lingkungan. Dengan mekanisme ini dapat dipastikan Uji
Kelayakan dilaksanakan sesuai NSPK dan terstandarisasi. Jumlah tim uji
kelayakan yang membantu Gubernur, Bupati/Walikota disesuaikan dengan
beban penilaian AMDAL di masing-masing daerah, sehingga keterlambatan
penilaian AMDAL akibat tumpukan beban dapat dihindari.

2
j. Penyusun maupun penilai AMDAL dipersyaratkan harus memiliki sertifikat,
agar dokumen AMDAL yang digunakan dalam menentukan kelayakan
lingkungan suatu usaha dan/atau kegiatan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah/saintifik.
k. Berkaitan dengan KETERLIBATAN MASYARAKAT

Terkait dengan keterlibatan masyarakat, konsep keterlibatan masyarakat


dalam UU-CK adalah Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan
melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan. Fokusing pelibatan masyarakat pada masyarakat
terkena dampak langsung adalah untuk memberikan perhatian lebih terhadap
kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha
dan/atau kegiatan. Dari hasil evaluasi selama ini kepentingan masyararakat
terkena dampak langsung seringkali terdilusi oleh kepentingan lain diluar
kepentingan masyarakat terkena dampak langsung, namun tetap membuka
ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM Pembina masyarakat terkena
dampak.

l. Dalam pengaturan integrasi izin PPLH, norma yang diatur dalam RUU-CK
sudah sejalan dengan pengaturan Pasal 123 UU Nomor 32 Tahun 2009.
Integrasi kajian terkait dengan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan,
pengolahan dan penimbunan B3, LB3, pembuangan air limbah ke laut,
pembuangan air limbah ke sumber air, pemanfaatan air limbah untuk aplikasi
ke tanah integrasi kajiannya dalam dokumen AMDAL atau UKL-UPL.

m. Pengaturan tentang mekanisme keterlibatan masyarakat, kriteria usaha


dan/atau kegiatan yang berdampak penting, sertifikasi kompetensi penyusun
dan penilai AMDAL, pelaksanaan uji kelayakan, jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib UKL-UPL akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.

n. Pengaturan tentang pengawasan: Pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah


sesuai dengan kewenangannya berdasarkan NSPK yang ditetapkan wajib
melakukan pengawasan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap perizinan berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.

Terkait pengaturan sanksi:


a. Pelanggaran administratif, sepanjang pelanggarannya tidak mengandung
unsur mala verse, pengenaan sanksinya dalam RUU CK dilakukan dengan
prinsip ultimum remedium yang mengedepankan pengenaan sanksi
administratif ketimbang sanksi pidana;
b. Dalam hal tindakan administratif atau tindakan pidana dilakukan oleh
korporasi, selain pidana penjara atau denda terhadap pengurusnya, terhadap

3
korporasi dapat dikenai denda administratif atau denda pidana dengan
pemberatan 1/3 lebih besar dari denda pokoknya;
c. Jenis Sanksi didalam UU Cipta Kerja terdiri atas sanksi administratif dan
sanksi pidana;
d. Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban pemulihan
kerusakan lingkungan atau mengganti atas kerugian harta benda atau
kerusakan barang akibat dari kegiatannya;
e. Tujuan pengenaan sanksi administratif bersifat pembinaan kepada pemegang
perizinan berusaha yang melakukan pelanggaran perizinan agar mematuhi
ketentuan yang tertuang dalam perizinan berusaha;
f. Sanksi administratif lebih efektif, karena diterbitkan tanpa melalui proses
persidangan yang terkadang memerlukan waktu lama. Ketentuan lebih lanjut
mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
g. Terkait dengan sanksi ini, pemerintah membagi jenis sanksi ke dalam
beberapa klaster, yaitu:
1) Klaster I: Pengaturan Sanksi terkait pelanggaran perizinan terkait
persyaratan yang tidak dipenuhi
2) Klaster II: Pengaturan Sanksi terkait pelanggaran perizinan terkait
persyaratan pemenuhan K3L yang tidak dipenuhi dan belum berdampak
3) Klaster III: Pengaturan Sanksi terkait pelanggaran perizinan terkait
persyaratan pemenuhan K3L yang tidak dipenuhi dan sudah berdampak
4) Klaster IV: Pengaturan Sanksi terkait pelanggaran tanpa memiliki
perizinan
5) Klaster V: Pengaturan Sanksi terkait pelanggaran tanpa memiliki perizinan
yang sudah berdampak K3L

SUBSTANSI KEHUTANAN
5. Pokok-pokok materi bidang kehutanan yang terdiri atas UU Nomor 41 Tahun
1999 dan UU Nomor 18 Tahun 2013 antara lain:
a. Kawasan hutan Indonesia terdiri atas HPK (10,62%), Hutan Produksi
(24,24%), HPT (22,21%), HL (24%), dan KSA/KPA (18,33%) dengan total
kawasan hutan seluas 120,65 juta hektar atau 63% dari luas wilayah daratan;
Nilai strategis hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, faktor penting
dalam siklus tata air, sumber plasma nutfah, konservasi kesuburan tanah,
komponen penting dalam perubahan iklim dan penyedia ruang untuk
memenuhi dinamika pembangunan. Peran sumber daya hutan dalam
mendorong pembangunan wilayah terkait dengan aspek hutan sosial,
kunjungan wisatawan nusantara, kunjungan wisatawan mancanegara,
produksi hasil hutan bukan kayu, produksi kayu bulat, ekspor kayu olahan,
ekspor tanaman dan satwa liar selalu meningkat setiap tahun dengan tingkat
sumbangan PNBP yang terus meningkat pula. Sektor kehutanan juga

4
memberi sumbangan bagi pembentukan PDB nasional dengan peningkatan
rerata diatas 6% setiap tahun sejak 2015;
b. Pokok-pokok perubahan substansi UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja:
a) Pengukuhan kawasan hutan: menambah norma tentang pemanfaatan
teknologi informasi dan koordinat geografis serta satelit, menghapus
penjelasan Pasal 15 UU Kehutanan, dan belum terintegrasinya sebagian
peta kawasan hutan dengan kebijakan tata ruang nasional pasca UU
Nomor 26 Tahun 2007. Hal ini juga menjadi sangat penting untuk
penetapan tata batas kawasan hutan hingga temu gelang, yang hingga
saat ini berproses cukup panjang dan memerlukan biaya besar. Teknologi
indera jauh (remote sensing) jauh lebih murah dibandingkan dengan
biaya survey terrestris.
b) Berkaitan dengan luasan kawasan hutan tidak ditetapkan dengan angka
persen lagi tetapi dengan prinsip karakteristik dan bido-geo-fisik serta ,
daya dukung dan daya tampung guna menjamin manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat serta
keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan pengaturannya
dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
c) Pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi: Penyederhanaan
perijinan berusaha pada perijinan pemanfaatan hutan dari 14 jenis ijin
menjadi 1 jenis ijin yaitu perizinan berusha pemanfaatan hutan. Perizinan
berusaha meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan hutan. Pemanfaatan
jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hasil
hutan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, Pemberian
perijinan berusaha tidak termasuk kegiatan perhutanan sosial sehingga
mengusulkan penambahan pasal dan ayat baruyang mengatur
perhutanan social serta pengaturan kembali subjek pemanfaatan hutan;
Perubahan jenis-jenis perijinan dalam kawasan menjadi satu jenis
perijinan yaitu perijinan berusaha, dan Pembatasan perijinan berusaha
dalam kawasan hutan.
d) Tanggung jawab atas terjadinya kebakaran pada areal kerja tetap
menjadi tanggung jawab pemegang ijin. Termasuk memperluas tanggung
jawab sebagiaana dimaksudkan dalalam upaya pencegahan, dan
pemeberantasan kerusaha hutan sesuai UU Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
e) Terkait dengan perhutanan sosial, hal yang mendasar adalah pemberian
akses legal terkait kelola kawasan hutan (HKm, HD, HTR, KK, HA) serta
kebijakan yang mendorong penanganan konflik tenurial, pengembangan
usaha kelompok masyarakat, dan pendampingan.
f) Terkait Perkebunan pemegang ijin usaha perkebunan diwajibkan
menyediakan areal sebesar 20% yang merupakan areal plasma kebun
sawit yang arealnya berada di areal HGU dan apabila berada didalam
Kawasan hutan perlu ada pelepasan Kawasan Hutan.

5
6. Terkait dengan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H pada pengaturan tentang
pengenaan sanksi serta tentang hukum acara perkara perusakan hutan dapat
disampaikan sebagai berikut:
a. Pengaturan sanksi dikembalikan kepengaturan UU eksisting (UU 18/2013).
b. SUBYEK pengenaan sanksi adalah setiap orang, baik orang perseorangan
maupun korporasi, baik sebagai pemilik perizinan berusaha maupun selain
pemilik perizinan berusaha;
c. Pengecualian terhadap pengaturan sanksi adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh masyarakat yang tinggal didalam dan/atau sekitar hutan paling
singkat 5 tahun berturut-turut, hanya dikenakan sanksi administrasi (tidak
pidana), yaitu:

Pasal 12 huruf a s/d f dan huruf h UU CK Terkait UU 18/2013


a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai
dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau
memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;
f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar;
Pasal 17 ayat (2) huruf b,c, d UU CK Terkait UU 18/2013
b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat di dalam kawasan hutan;
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat;
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan
yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; dan/atau
TENTANG KETERLANJURAN KEBUN DALAM KAWASAN HUTAN
7. UU CK sekaligus menjawab dispute UU 41 dan UU 18 tentang masalah
penggunaan tanpa ijin kehutanan di dalam kawasan hutan , ada sinkronisasi
norma larangan dalam Pasal 50 UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan Norma
larangan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H, sehingga tidak terjadi tumpang
tindih dan tidak ada norma larangan yang tertinggal.

6
8. Secara khusus UUCK juga menegaskan untuk mengatasi masalah yang selama
ini selalu ada yaitu untuk tidak terjadi kriminalisasi dan dapat mengakomodir
pelanggaran yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5
tahun secara terus menerus dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana)
dengan pertimbangan bahwa masyarakat menetap dan bermukim disana. Data
menunjukkan bahwa lebih dari 20.000 desa ada didalam dan di sekitar kawasan
hutan, termasuk diantaranya sekitar 6700 desa di kawasan hutan konservasi.
Yang seperti ini ditegaskan tidak boleh dipidanakan atau dikriminalisasi.
9. UU CK juga mengatasi masalah yang sudah cukup panjang sejak desentralisasi
big bang dimana ijin-ijin kebun sesuai dengan UU Pemda (1999 dan 2004)
diberikan oleh Kabupaten dan ternyata berada dalam kawasan hutan tanpa ijin,
sehingga menjadi terlanjur. Penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit
dalam kawasan hutan yang memiliki perizinan (dispute tata ruang) dengan
pengaturan sebagai berikut:
a) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan
memiliki perizinan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-
Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan
persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya undang-undang ini tidak
menyelesaikan persyaratan, dikenai sanksi administratif, berupa:
pembayaran denda administatif; dan/atau pencabutan izin. Pengaturan
ketentuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan
sanksi administratif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b) Penyelesaian perambahan hutan (kebun sawit, tambang, dan kegiatan


lainnya) yang tidak memiliki perizinan dengan pengaturan sebagai berikut:
1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di kawasan hutan tanpa
memiliki Perizinan Berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya
Undang-Undang ini dikenaisanksi administratif, berupa: penghentian
sementara kegiatan usaha; denda; dan/ataucpaksaan pemerintah;
2) Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan,
dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan
kawasan hutan.
3) Pengaturan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara
pengenaai sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasannya besaran denda ditentukan berdasarkan: luasan kawasan
hutan yang dikuasai; jangka waktunya dihitung sejak mulai panen; dan
prosentase dari keuntungan yang diperoleh setiap tahun;

***
Jakarta, 7 Oktober 2020

7
8

Anda mungkin juga menyukai