Anda di halaman 1dari 7

MODERATOR

Asalamualaikum wr.wb

Shalom, om swastiastu, namo budaya, salam kebajikan.

Perkenalkan kami dari kelompok 4 yang pada hari ini akan memenuhi tugas debat

mata kuliah hukum lingkungan dalam mosi persetujuan lingkungan hidup . Saya Dea Ananda
Sukarsi selaku moderator, Safira Arta Azzahra selaku tim pro, dan Wita Susena selaku tim
kontra dalam perdebatan kali ini .

baik, sebelum dimulainya perdebatan izinkan saya menyampaikan sedikit pengantar terkait
dengan mosi perdebatan kali ini.

Setelah diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang
dikenal dengan undang-undang omnibus law telah merubah rezim izin lingkungan menjadi
persetujuan lingkungan melalui Pasal 13 huruf b. Lebih lanjut, frasa persetujuan lingkungan
disebutkan dan kembali digunakan pada paragraf 3, melalui Pasal 21, yang secara explicit vebis
menyatakan bahwa dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam
memperoleh “persetujuan lingkungan”, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau
menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dimana sebelumnya menggunakan pendekatan berbasis biar (lisence approach) menjadi
penerapan standar, berbaris risiko (Risk-Based Approach/RBA). Dalam hal ini berarti bahwa
diberi izin akan dilakukan oleh pemerintah serta berdasarkan perhitungan nilai taraf bahaya
dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan dan /atau
pemanfaatan sumber daya.

Dengan demikian paradigma ekologi dalam sektor lingkungan kini sedikit bergeser kepada
konsepsi kemudahan berusaha.

Definisi mengenai persetujuan lingkungan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun


2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa
persetujuan lingkungan merupakan Keputusan atau Kelayakan Lingkungan Hidup atau
pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan
dari pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, UU Ciptaker menghapus
ketentuan hak tanggung gugat yang sebelumnya melekat terhadap izin lingkungan.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 masyarakat dilibatkan dalam hal
pembentukan rencana kegiatan usaha melalui konsultasi publik serta pemerintah dapat
memfasilitasi kemitraan

antara masyarakat dan pelaku usaha/kegiatan dalam upaya menanggulangi pencemaran.


artinya, pengawasan terhadap lingkungan melalui instrumen perizinan akan tergantung
sepenuhnya pada politik hukum kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (khususnya yang
terdampak) lebih dilibatkan pada instrumen yang bersifat prefentif .

Baiklah langsung saja kita mulai debat pada hari ini. Untuk yang pertama saya berikan
kesempatan kepada tim pro terlebih dahulu. Kepada tim pro saya persilahkan.

TIM PRO

Persetujuan Lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan


kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah Pusat. Integrasi persetujuan lingkungan ke dalam perizinan berusaha merupakan
solusi untuk menyederhanakan regulasi perizinan yang selama ini dinilai relatif rumit.
Penyederhanaan ini dilakukan agar kemanfaatannya lebih cepat tanpa mengurangi ketegasan
dalam menjalankan pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial yang seimbang dan
berkelanjutan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, selalu
menegaskan bahwa Undang-undang Cipta Kerja, khususnya bagian lingkungan hidup dan
kehutanan berpihak kepada masyarakat dan mengedepankan restorative justice.

Undang-Undang Cipta Kerja ini sangat penting untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
sudah menahun, antara lain masalah-masalah perizinan yang relatif rumit, konflik tumpang
tindih kawasan, kriminalisasi masyarakat lokal di dalam dan di sekitar kawasan hutan,
termasuk masyarakat hukum adat dan juga perkebunan di dalam kawasan hutan.
Untuk menindaklanjuti Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
diantaranya Pemerintah membentuk dan menugaskan Tim untuk berkunjung ke beberapa
daerah guna melaksanakan “Serap Aspirasi” dari masyarakat, pemerintah daerah, akademisi,
dan pemangku kepentingan terkait. Pada tanggal 4 Desember 2020, Serap Aspirasi dilakukan
di Kota Pontianak dengan fokus pembahasan di sektor perizinan berusaha berbasis risiko yang
berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PKTL-KLHK), Sigit
Hardwinarto, juga menegaskan kembali terkait perizinan lingkungan.

Semangat Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya bidang lingkungan hidup dan kehutanan
ini salah satunya adalah menyederhanakan hal-hal yang selama ini dinilai relatif rumit, agar
kemanfaatannya lebih efisien dan efektif. Misalnya, tentang izin lingkungan, bahwa Izin
Lingkungan tidak dihilangkan, namun tujuan dan fungsinya diintegrasikan ke dalam Perizinan
Berusaha. Selain itu, pengintegrasian kembali izin lingkungan ke dalam perizinan berusaha,
memperkuat posisi perlindungan terhadap lingkungan hidup. Persyaratan dan kewajiban
lingkungan tetap dapat di-enforce, karena termuat (terintegrasi) dalam perizinan berusaha.

“Terkait AMDAL, dalam pengaturan tata laksana uji kelayakan lingkungan, yang dulunya
bernama Komisi Penilai Amdal (KPA) diganti dengan “Lembaga Uji Kelayakan” yang terdiri
dari “Tim Uji Kelayakan” yang ada di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Adhoc
yang penugasannya disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, juga dalam penyusunan
dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan, namun tetap membuka ruang bagi pemerhati
lingkungan dan LSM pembina masyarakat terkena dampak tersebut. Hal tersebut dilakukan
agar fungsinya dapat lebih efektif dan optimal,” tegas Sigit Hardwinato.

Selain itu, Sigit juga menyampaikan bahwa KLHK mendapatkan amanah untuk menyusun 3
(tiga) Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta
sanksi administrasi dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk mendukung
pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pertama, RPP Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH) yang memerlukan pengaturan lanjutan antara lain, Integrasi
Persetujuan Lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha, Penguatan Penegakan Hukum
Lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Pengaturan Tata Laksana Uji Kelayakan
Lingkungan (Pasal 24), Pengaturan Tata Cara Pelibatan Masyarakat (Pasal 26), Pengaturan
Sertifikasi dan Kriteria Penyusun Amdal (Pasal 28), Pengaturan mengenai UKL-UPL (Pasal
34), Pengaturan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Hidup / SPPL (Pasal 35), Pokok Pengaturan Integrasi Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan Amdal dan UKL-UPL, Bantuan Pemerintah terhadap UMK (Pasal
32), Pengaturan Baku Mutu Lingkungan Hidup (Pasal 20), Pengelolaan Limbah B3 (Pasal 59,
Pasal 61), Dana Penjaminan Pemulihan Lingkungan (Pasal 55), Pengawasan dan Sanksi (Pasal
71, 76, 82C).

Kedua, substansi RPP Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja bidang Kehutanan yang
memerlukan pengaturan lanjutan antara lain, Prioritas Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
(Pasal 15), Luas Kawasan Hutan yang Harus Dipertahankan Kecukupannya (Pasal 18), Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Pasal 19), Pemanfatan Hutan (Pasal
26, 27, 28, 30, 31 dan 32 ), Perhutanan Sosial (Pasal 29 A dan B), Pembinaan dan Pengolahan
Hasil Hutan (Pasal 33), Pungutan PNBP Pemanfaatan (Pasal 35), Perlindungan Hutan (Pasal
48 dan 49).

Ketiga, substansi RPP Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja bidang Sanksi Administrasi
dan PNBP antara lain, penyampaian azas “Ultimum Remedium” yakni salah satu asas dalam
hukum pidana yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir
dalam penegakan hukum. Sanksi dalam Hukum Administratif merupakan alat kekuasaan yang
bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap norma-norma hukum administrasi (vanWijk/Konijnenbelt, 1984).
Hal-hal tersebut menjadi Dasar Hukum terkait dengan Pasal 110 A dan 110B. Ruang Lingkup
bidang Sanksi Administrasi dan PNBP ini secara garis besar terdiri dari: Ketentuan Umum
(Pasal 1-4), Penyelesaian Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun dan Memiliki Perizinan
Berusaha di dalam Kawasan Hutan (Pasal 5-17), Penyelesaian Kegiatan Usaha di Kawasan
Hutan Tanpa Memiliki Perizinan Berusaha (Pasal 18-30), Penghitungan Denda Administratif
(Pasal 31), Pengaturan dan Pemanfaatan PNBP (Pasal 32-33), Paksaan Pemerintah (Pasal 34-
54), Ketentuan Peralihan (Pasal 55), Ketentuan Penutup (Pasal 56).

Intrupsi:

berdasarkan argumen dari tim kontra, bisakah anda memberikan bukti bahwa uu omnibuslaw
ini sangat berpihak kepada masyarakat? Terima kasih
baik. hal ini dimaknai bahwa izin diberikan langsung kepada rakyat kecil, bukan lagi korporasi.
Izin untuk korporasi membuka hutan primer dan gambut sendiri sudah dihentikan total secara
permanen oleh Presiden RI. Oleh karena itu jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak
pada rakyat, dan melindungi semua hak rakyat sekitar hutan, termasuk hak masyarakat adat.

Terimakasih kepada tim pro atas paparannya, selanjutnya kesempatan saya berikan kepada tim
kontra. Kepada tim kontra saya persilahkan.

TIM KONTRA

Baik terimakasih moderator.

Selamat siang semuanya, selamat siang tim pro yang saya hormati.

Mengenai mosi yang di angkat pada kali ini saya sebagai tim kontra menyatakan tidak setuju.
Salah satu perubahan yang krusial dalam omnibus law ialah perubahan ketentuan izin
lingkungan menjadi persetujuan lingkungan dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar
perizinan berusaha dan pengadaan lahan. Sehingga suatu usaha pemanfaatan sumberdaya alam
yang tadinya mewajibkan adanya izin lingkungan kini hanya memerlukan persetujuan
lingkungan. Persetujuan lingkungan tersebut lah yang nantinya akan menjadi bagian dari
perizinan berusaha.

Perubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan tidak hanya merubah kata “izin”
menjadi “persetujuan”. Perubahan ini juga berdampak pada hilangnya tahapan-tahapan dari
izin lingkungan itu sendiri. Dalam regulasi sebelumnya, usaha yang berdampak pada
lingkungan harus memohon penerbitan izin lingkungan dan melakukan penyusunan Amdal.
Setelah itu, dokumen Amdal yang telah disusun akan dinilai kelayakannya. Namun dengan
adanya omnibus law, maka tahapan dan proses ini akan berubah, bahkan hilang.

Ketika izin lingkungan berubah menjadi persetujuan lingkungan maka penilaian terhadap
dokumen Amdal akan hilang. Dalam naskah yang beredar memperlihatkan bahwa pasal-pasal
mengenai komisi penilai Amdal itu dihapus tanpa adanya pasal pengganti. Sehingga proses
untuk mendapatkan persetujuan lingkungan hanya membutuhkan dokumen Amdal yang telah
disusun dan peryataan kesanggupan pengelolaan lingkungan saja. Selain itu, subtansi yang ada
di Amdal pun akan berubah.

Intruksi

Apakah perubahan yang dilakukakn oleh pemerintah terkait yang tim anda paparkan barusan
berdampak buruk? apa anda bisa menjelakannya lebih detail ?

Baik terimakasih langsung saya jawab.

Tanpa adanya izin lingkungan bisa berdampak semakin leluasanya para pelaku bisnis yang
bersentuhan dengan sektor lahan pertanian, perkebunan, kehutanan yang kerap diduga
melakukan pelanggaran. Ini menyulitkan pengawasan penegakan hukum dan bisa
menimbulkan konflik masyarakat dengan perusahaan yang melanggar.

Izin lingkungan yang merupakan instrumen pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh dunia usaha. Maka jika kita melihat kalau saja izin lingkungan itu diganti
menjadi persetujuan lingkungan, ini akan menyulitkan penegak hukum dalam menangani kasus
lingkungan yang melibatkan pelaku usaha.

Izin Satu kali intruksi lagi, apakah boleh ?

Apakah perubahan yang dari izin menjadi persetujuan tersebut berdampak kepada banyaknya
pelaku usaha yang mengajukan persetujuan ?

Tentunya iya, karna dalam persetujuan lingkungan ini syarat-syaratnya tidak serumit syarat
izin lingkungan. Ini yang membuat para pelaku usaha berbondong-bondong untuk mengajukan
persetujuan lingkungan.

Jika melihat UU PPLH sebelum berubah, maka izin lingkungan dengan Amdal di dalamnya
merupakan bagian dari instrumen pengendali pada unit area usaha. Dengan diintegrasikannya
izin lingkungan ke perizinan berusaha maka posisinya tidak lagi berada di instrumen
pengendali, tetapi pindah ke instrument pemanfaatan.
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
kemungkinan akan menjadi dokumen mati, sebab tidak adanya ruang kontrol dengan
dihapuskannya komisi Amdal dan ruang keberatan oleh masyarakat.

Lantas jika seperti itu maka tidak ada lagi instrument pengendali dalam sebuah unit usaha
pemanfaatan lingkungan. Termasuk juga instrument pengawasan yang hilang karena Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang tidak
berfungsi.

Baiklah sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada tim pro dan tim kontra yang sudah
menyempaikan argument nya masing-masing. Dengan berakhirnya perbedatan hari ini saya
slaku moderator pamit undur diri. Wassalmualaikum wr wb.

Anda mungkin juga menyukai