Anda di halaman 1dari 12

Paparan Topik | UU Cipta Kerja

Sebelas Isu Kemudahan Berusaha dalam UU Cipta Kerja

Salah satu tujuan terbitnya UU Cipta Kerja adalah mempermudah kegiatan


berusaha di Indonesia. Terdapat sebelas isu kemudahan berusaha dalam UU Cipta
Kerja dibandingkan dengan aturan sebelumnya.
Fakta Singkat
Kemudahan Berusaha dalam UU Cipta Kerja
 Dibahas dalam Bab III dan Bab IV UU Cipta Kerja

Beberapa Isu Kemudahan Berusaha dalam UU Cipta Kerja


1. Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (RBA)
2. Perizinan Dasar (tata ruang, lingkungan, bangunan)
3. Imigrasi
4. Paten
5. Merek
6. Perseroan terbatas (PT)
7. Penghapusan Izin Gangguan
8. Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)
9. Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
10. Perpajakan
11. Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) diterbitkan, salah


satunya, untuk memberikan kepastian hukum bagi pengusaha untuk berinvestasi.
Potensi ataupun prospek perubahan yang mungkin terjadi dapat dilihat dengan
membandingkan UU Cipta Kerja, beserta turunannya, dengan aturan yang berlaku
sebelumnya.
Jika dielaborasi, tema kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja dibahas
dalam Bab III dan Bab VI. Dua isu terkait kemudahan berusaha dalam Bab III
“Peningkatan Ekosistem Investasi dan Perizinan Berusaha” adalah penerapan
perizinan berusaha berbasis risiko serta penyederhanaan perizinan dasar, yakni
perizinan tata ruang, lingkungan, serta bangunan.
Selain dua hal tersebut, terdapat pula sembilan isu terkait kemudahan
berusaha dalam Bab VI “Kemudahan Berusaha” UU Cipta Kerja. Kesembilan isu
tersebut terkait dengan tema imigrasi, paten, merek, perseroan terbatas (PT),
penghapusan izin gangguan, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha, perpajakan, serta pendapatan daerah dan retribusi
daerah (PDRD).

1
Dengan demikian, minimal terdapat 11 isu terkait kemudahan berusaha yang
dapat dilihat dalam UU Cipta Kerja yang kemudian juga dibahas lebih lanjut dalam
aturan turunannya (Tabel 1).

Perbandingan UU Cipta Kerja, beserta aturan turunannya, dengan aturan


yang berlaku sebelumnya dapat digunakan untuk memberikan penilaian, apakah
perubahan yang terjadi dapat dianggap mempermudah kegiatan berusaha di
Indonesia atau belum.

Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko


Perubahan menonjol dalam UU Cipta Kerja kali ini yaitu menggunakan
paradigma sistem perizinan biasa menjadi perizinan berbasis risiko (risk based
approach/RBA). Paradigma tersebut menggunakan penilaian atas tingkat risiko
sebagai pertimbangan pemberian izin atas setiap kegiatan usaha yang dilakukan.
Oleh karena itu, semakin tinggi potensi risiko kegiatan usaha, semakin banyak pula
perizinan yang dibutuhkan. Begitu pula sebaliknya.
Dalam elaborasinya, UU Cipta Kerja menegaskan bahwa perizinan berusaha
berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala
usaha kegiatan usaha (Pasal 7 UU Cipta Kerja). Sedangkan, penetapan tingkat
risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha diperoleh berdasarkan penilaian
tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.
Penilaian tingkat bahaya yang dimaksud meliputi aspek kesehatan,
keselamatan, lingkungan, serta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.

2
Penilaian tingkat bahaya sendiri dilakukan dengan memperhitungkan jenis kegiatan
usaha, kriteria usaha, lokasi kegiatan usaha, keterbatasan sumber daya, serta
risiko volatilitas.
Sedangkan, hasil penilaian terhadap potensi terjadinya bahaya memiliki
empat kemungkinan, yakni hampir tidak mungkin terjadi, kemungkinan kecil
terjadi, kemungkinan terjadi, serta hampir pasti terjadi.
Dari penilaian terhadap tingkat bahaya dan potensi terhadinya bahaya inilah akan
diketahui tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, mulai dari
kegiatan berisiko rendah, menengah, serta tinggi. Kegiatan usaha yang dinilai
berisiko rendah, misalnya, membutuhkan izin berupa nomor induk kegiatan
berusaha (NIB). Selain berfungsi sebagai legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha,
NIB sendiri merupakan bukti pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan
usaha sekaligus sebagai identitas pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatannya
(Pasal 8 UU Cipta Kerja).
Kegiatan usaha yang berisiko menengah membutuhkan izin berupa NIB serta
sertifikat standar. Sertifikat standar sendiri dibedakan antara sertifikat standar bagi
kegiatan berusaha berisiko menengah rendah dan menengah tinggi (Pasal 9 UU
Cipta Kerja).
Sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko menengah rendah berupa
pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan
kegiatan usaha. Sedangkan, sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko
menengah tinggi berupa sertifikat standar yang diterbitkan oleh pemerintah pusat
atau daerah berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan
berusaha oleh pelaku usaha.
Sedangkan, kegiatan berusaha yang berisiko tinggi memerlukan perizinan
berusaha berupa NIB serta izin. Izin yang dimaksud adalah persetujuan pemerintah
pusat atau daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi pelaku
usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 10 UU Cipta Kerja).
Untuk mendukung perubahan paradigma perizinan di atas, pemerintah juga
menerapkan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online
single submission (OSS). Penerapan OSS yang telah dibuat sejak 2018 ini diperluas
dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 5/2021, untuk menyelenggarakan
perizinan berusaha berbasis risiko (Tabel 2). Berbagai aturan turunan UU Cipta
Kerja akan “ditanam” di dalam OSS sehingga pelaku usaha dapat
memanfaatkannya untuk mendapatkan NIB, sertifikat standar, serta izin.

3
Perizinan Dasar Berusaha
UU Cipta Kerja berupaya untuk menyederhanakan persyaratan dasar
perizinan berusaha yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang,
persetujuan lingkungan, serta persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik
fungsi. Terkait perizinan pemanfaat ruang, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya
mengubah kewenangan pemberi dan pencabut izin dari sebelumnya oleh
pemerintah pusat dan daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa pemberian
dan pencabutan izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan pusat dan
daerah (Pasal 27 UU 26/2007). Sedangkan, UU Cipta Kerja mengubahnya menjadi,
pemberian dan pencabutan izin pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah
pusat.
Aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang, menugaskan pemberian izin kepada menteri. Dalam hal ini,
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan oleh menteri yang
menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang (Menteri Agraria
dan Tata Ruang). Sedangkan, izin pemanfaatan ruang di perairan pesisir, wilayah
perairan, dan wilayah yurisdiksi diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusah pemerintahan di bidang kelautan (Menteri Kelautan dan Perikanan).

4
PP 21/2021 juga mengatur bahwa pelaksanaan kesesuaian pemanfaatan
ruang untuk kegiatan berusaha diperoleh melalui OSS yang juga digunakan untuk
memperoleh izin berusaha berdasarkan risiko (Tabel 3).

Terkait perizinan dasar persetujuan lingkungan, UU Cipta Kerja


mempertahankan perlunya tiga jenis dokumen lingkungan, yakni Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL-UPL), serta Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
Pemanfaatan Lingkungan Hidup (SPPL).
Akan tetapi, UU Cipta Kerja memperlakukan Amdal secara berbeda
dibandingkan dengan aturan sebelumnya, yakni UU 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam aturan sebelumnya, Amdal dipahami
sebagai kajian yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha. Sedangkan, UU Cipta Kerja memahami Amdal sebagai
kajian yang digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang
penyelenggaran berusaha serta termuat dalam perizinan berusaha.
UU Cipta Kerja mengeksplisitkan Amdal sebagai hal yang terintegrasi dengan
perizinan berusaha. Hal tersebut termuat dalam Pasal 22 UU Cipta Kerja serta Pasal
1 PP 22/2021 dengan pernyataan, “…serta termuat dalam perizinan berusaha”.
Integrasi tersebut semakin nyata dalam penegasan bahwa persetujuan lingkungan
(yang salah satunya juga memuat Amdal) akan berakhir bersamaan dengan
berakhirnya perizinan berusaha (Pasal 3 PP 22/2021). Dalam aturan sebelumnya,
hubungan izin lingkungan dan izin usaha diatur dalam Pasal 40 UU 32/2009 yang
menyebutkan bahwa dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dibatalkan
(Tabel 4).
Poin lain terkait perizinan lingkungan adalah dihapusnya Komisi Penilai Amdal
yang dalam UU 32/2009 bertugas memeriksa dokumen lingkungan dari usaha atau
kegiatan. UU Cipta Kerja mendirikan Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup

5
untuk melakukan uji kelayakan lingkungan hidup. Lembaga inilah yang kemudian
akan membentuk tim uji kelayakan lingkungkungan hidup yang berkedudukan di
pusat dan daerah. Secara lebih perinci, tim ini dijelaskan dalam Bab II bagian
keenam PP 22/2021.

Perizinan dasar yang juga disederhanakan dalam UU Cipta Kerja adalah izin
mendirikan bangunan. UU Cipta Kerja menghapus izin mendirikan bangunan (IMB)
dan menggantikannya dengan persetujuan bangunan gedung (PBG).
Dalam aturan sebelumnya, yakni PP 36/2005, perizinan untuk mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai persyaratan

6
administratif dan persyaratan teknis yang berlaku adalah izin mendirikan bangunan
(IMB) gedung. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yakni PP
16/2021, perizinan tersebut adalah persetujuan bangunan gedung (PBG) (Tabel 5).
Perbedaan definisi antara IMB dan PBG terletak dalam keterangan kesesuaian
persyaratan. IMB memberlakukan kesesuaian dengan persyaratan administratif dan
persyaratan teknis. Sedangkan, PBG menggunakan kesesuaian dengan standar
teknis bangunan gedung. Persyaratan administratif yang dituntut dalam IMB tak
lagi disebutkan dalam PBG. Selain itu, IMB digunakan untuk satu fungsi bangunan
sedangkan PBG dapat digunakan untuk fungsi campuran.

Imigrasi, Merek, dan Paten


Unsur kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja secara khusus dibicarakan
dalam Bab VI. Beberapa isu yang dapat dicermati adalah imigrasi, merek, paten,
perseroan terbatas (PT), penghapusan izin gangguan, Badan Usaha Milik Desa
(BUM Desa), larangan praktik monopoli dan persaingan usaha, perpajakan, serta
pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Terkait imigrasi, UU Cipta Kerja memperluas cakupan visa kunjungan juga
untuk kegiatan prainvestasi. Selain itu, visa tinggal terbatas (vitas) juga diperluas
untuk kegiatan rumah kedua bagi WNA. Sebelumnya, dalam UU 6/2011, visa
kunjungan diberikan kepada WNA dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan,
pendidikan, sosial budaya, pariwisata, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau
meneruskan perjalanan ke negara lain (Pasal 38 UU 6/2011).
Cakupan tersebut diperluas dalam UU Cipta Kerja dan kemudian ditegaskan
kembali dalam aturan turunannya, yakni PP 48/2021. Dalam PP 48/2021,
disebutkan bahwa visa kunjungan juga dapat diberikan kepada WNA dalam rangka
kegiatan prainvestasi (Pasal 89 PP 48/2021).
Terkait vitas, UU 6/2011 mengatur bahwa vitas diberikan kepada WNA
sebagai rohaniawan, tenaga ahli, pekerja, peneliti, pelajar, investor, lanjut usia,
dan keluarganya, serta orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia untuk bertempat
tinggal dalam jangka waktu yang terbatas.
Aturan terkait vitas diperluas dalam UU Cipta Kerja, yakni juga diberikan
kepada WNA sebagai rumah kedua (Pasal 39 UU Cipta Kerja). Hal tersebut juga
ditegaskan kembali dalam aturan turunannya, yakni PP 48/2021 (Pasal 102) (Tabel
6).
Kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja juga meliputi paten dan merek.
Pengurusan kedua hal tersebut dipercepat. Dalam hal paten, UU Cipta Kerja
memberikan kelonggaran kewajiban pelaksanaan paten. Sebelumnya, dalam UU
13/2016, pemegang paten diwajibkan membuat produk atau menggunakan proses

7
di Indonesia (Pasal 20 UU 13/2016). Kewajiban tersebut diperlonggar dalam UU
Cipta Kerja terkait pelaksanaan paten-produk dan paten-proses.
Pelaksanaan paten-produk diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat,
mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi paten. Sedangkan, pelaksanaan
paten-proses diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat, melisensikan, atau
mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. Dalam hal ini, UU
Cipta Kerja memberikan kemudahan dengan memasukkan unsur impor dalam
pelaksanaan paten.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga mempercepat keputusan permohonan paten,
dari 12 bulan (Pasal 124 UU 13/2016) menjadi 6 bulan (Pasal 107 UU Cipta Kerja).
Terkait merek, UU Cipta Kerja menambah kriteria merek yang tidak dapat
didaftarkan dan mempercepat proses pengajuan merek. Dalam aturan lama, yakni
UU 20/2016, terdapat enam kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan. Kriteria
tersebut ditambah menjadi tujuh dalam UU Cipta Kerja. Kriteria yang ditambahkan
adalah “mengandung bentuk yang bersifat fungsional”.
Selain itu, pemeriksaan substantif terkait permohonan merek dipercepat, dari
paling lama 150 hari (Pasal 23 UU 20/2016) menjadi paling lama 90 hari (Pasal 108
UU Cipta Kerja) (Tabel 7).

Perseroan Perseorangan dan BUM Desa


Kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja dapat juga dilihat dari
kemudahan pendirian perseroan serta bentuk badan hukum Badan Usaha Milik
Desa (BUM Desa). Dalam Pasal 109, UU Cipta Kerja mengubah berbagi ketentuan
dalam UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. UU Cipta Kerja mempermudah
pendirian perseroan sehingga dapat didirikan oleh satu orang. Akan tetapi,
perseroan tersebut harus memenuhi syarat sebagai usaha mikro dan kecil.
Dalam aturan sebelumnya, perseoran didirikan oleh dua orang atau lebih
dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia (Pasal 7 UU 40/2007).
Aturan tersebut kemudian diperlonggar oleh UU Cipta Kerja dengan kemungkinan
pendirian perseroan oleh satu orang. UU Cipta Kerja mengatur bahwa perseroan
yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh satu orang
(Pasal 109 UU Cipta Kerja). Hal tersebut kembali ditegaskan dalam PP 8/2021 yang
menyatakan bahwa perseroan perorangan termasuk dalam perseroan yang
memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil (Pasal 2 PP 8/2021).
Perseroan yang didirikan oleh satu orang tersebut akan memperoleh status
badan hukum setelah didaftarkan kepada menteri dan mendapatkan sertifikat
pendaftaran secara elektronik (Pasal 6 PP 8/2021). Aturan terkait legalitas
perseroan perseorangan tidak dibahas dalam UU 40/2007. Akan tetapi, secara

8
umum, UU 40/2007 menyatakan bahwa pendirian perseroan memerlukan akta
notaris (Tabel 8).
Selain membuka kemungkinan pembentukan perseroan perseorangan, UU
Cipta Kerja juga menetapkan status Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) menjadi
badan hukum.  Dalam aturan lama, yakni UU 6/2014 tentang Desa, BUM Desa
dipahami sebagai badan usaha. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja dan aturan
turunannya, PP 11/2021, BUM Desa dipahami sebagai badan hukum.
UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa BUM Desa dapat membentuk unit
usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Hal ini
merupakan perluasan dan penegasan dari aturan sebelumnya. Dalam aturan
sebelumnya, yakni UU 6/2014, disebutkan bahwa BUM Desa dapat menjalankan
usaha di bidang ekonomi tanpa keterangan kemampuan membentuk unit usaha
berbadan hukum. Dari aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 11/2021, unit
usaha BUM Desa dipahami sebagai badan usaha berbadan hukum yang
melaksanakan fungsi dan tujuan BUM Desa (Pasal 1 PP 11/2021). Dengan
penegasan tersebut, BUM Desa yang merupakan badan hukum dapat membentuk
unit usaha yang juga berbadan hukum.
Kemudahan pembentukan perseroan dengan perseroan perseorangan tanpa
akta notaris serta penetapan BUM Desa sebagai badan hukum dapat dianggap
sebagai upaya pemerintah untuk mempermudah masyarakat dalam memulai
usaha.

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha


Upaya pemerintah untuk semakin mempermudah kegiatan usaha dalam UU
Cipta Kerja juga dapat dilihat dari larangan praktik monopoli dan persaingan usaha.
UU Cipta Kerja mengubah tiga hal penting dari UU 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perubahaan pertama terkait dengan
tempat pengajuan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Dalam aturan sebelumnya, keberatan atas putusan KPPU diajukan ke
pengadilan negeri (Pasal 44 UU 5/1999). UU Cipta Kerja mengubah ketentuan
tersebut sehingga keberatan atas putusan KPPU diajukan ke pengadilan niaga
(Pasal 118 UU Cipta Kerja). Ketentuan tersebut juga dipertegas dalam Pasal 19 PP
44/2021.
Perubahan kedua terkait dengan sanksi atas pelanggaran praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam aturan lama, disebutkan bahwa sanksi
minimal 1 miliar dan maksimal 25 miliar (Pasal 47 UU 5/1999). Sedangkan, UU
Cipta Kerja hanya mengatur sanksi minimal dan menghilangkan sanksi maksimal
(Pasal 118 UU 11/2020). Ketentuan yang sama juga diperjelas dengan aturan
turunannya, yakni sanksi minimal 1 miliar rupiah (Pasal 6 PP 44/2021).

9
Ketiga, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan sanksi pidana tambahan atas
bentuk pelanggaran praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam
aturan sebelumnya, diatur adanya kemungkinan pidana tambahan. Pidana
tambahan yang dapat diberikan berupa pencabutan izin usaha, larangan menduduki
jabatan direksi atau komisaris selama 2-5 tahun, atau penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Ketentuan sanksi pidana tambahan tersebu dihapus dalam UU Cipta Kerja dan tidak
lagi disebut dalam aturan turunannya, PP 44/2021 (Tabel 10).

Pajak
UU Cipta Kerja menyesuaikan beberapa UU Perpajakan yang ada, yakni UU
36/2008 tentang Pajak Penghasilan, UU 42/2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, serta UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Beberapa penyesuaian tersebut meliputi beberapa tema seperti penghapusan PPh
dividen bagi wajib pajak dalam dan luar negeri, perubahan subjek pajak dalam dan
luar negeri, serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
UU Cipta Kerja menghapus PPh dividen bagi wajib pajak badan dalam dan
luar negeri. Dalam ketentuan sebelumnya, diatur PPh bagi dividen dari dalam
negeri yang diterima oleh wajib pajak badan (WP Badan) dalam negeri dengan
kepemilikan saham paling rendah 25 persen dikenai PPh (Pasal 4 UU 36/2008).
Dalam UU Cipta Kerja, dividen dari dalam negeri yang diterima wajib pajak badan
dalam negeri dengan kepemilikan saham berapapun tidak dikenai PPh.
Selanjutnya, UU Cipta Kerja juga menghapus dividen dari dalam negeri yang
diterima oleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) sepanjang dividen tersebut
diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu. Di sisi lain, UU Cipta
Kerja juga membuka kemungkinan penghapusan dividen yang diterima dari luar
negeri yang memenuhi satu dari beberapa syarat tertentu (Pasal 111 UU Cipta
Kerja).
Senada dengan penghapusan dividen di atas, UU Cipta Kerja juga memasukkan
sisa hasil usaha (SHU) koperasi sebagai hal yang dikecualikan dari objek pajak.
Ketentuan tersebut sebelumnya belum tercantum dalam UU 36/2008.
Selain penghapusan dividen, UU Cipta Kerja juga mengecualikan pajak
penghasilan bagi WNA. WNA yang telah tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan diperlakukan sebagai subjek pajak dalam negeri
(SPDN). Akan tetapi, mereka ini akan dikenai PPh hanya atas penghasilan mereka
dari Indonesia untuk 4 tahun pertama (Pasal 111 UU Cipta Kerja). Dalam aturan

10
sebelumnya, WNA tersebut diperlakukan sebagai SPDN dan PPh dikenakan atas
penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia (Pasal 2 UU 36/2008).
Di sisi lain, WNI yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan dapat ditetapkan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN)
dengan memenuhi beberapa persyaratan. Dalam aturan sebelumnya, WNI tersebut
diperlakukan sebagai SPDN atas dasar kewarganegaraan dan dikenai PPh atas
penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia (Pasal 2 UU 38/2008) (Tabel
11).

Izin Gangguan dan PDRD


Sebagai upaya penyederhanaan perizinan berusaha, UU Cipta Kerja
mencabut keharusan mendapatkan izin gangguan. Konsekuensinya, UU Cipta Kerja
juga mengapus aturan terkait retribusi izin gangguan. Selain itu, UU Cipta Kerja
menetapkan kebijakan fiskal terkait PDRD termasuk penetapan tarif yang berlaku
nasional.
Izin gangguan (hinder ordonantie/HO) selama ini diatur dalam peraturan
daerah sesuai dengan Permendagri 27/2009 tentang Pedoman Penetapan Izin
Gangguan di Daerah. Penerapan izin tersebut mendasarkan pada Staatsblad Tahun
1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-
Undang Gangguan. Dalam UU Cipta Kerja, Staatsblad tersebut dihapus (Pasal 110
UU Cipta Kerja).
Konsekuensi terhadap penghapusan izin gangguan, UU Cipta Kerja juga menghapus
retribusi izin gangguan dan objek retribusi izin gangguan dengan mencabut Pasal
141 huruf c dan Pasal 144 dari UU 28/2009.
Selain menghapus ketentuan izin gangguan dan retribusi terhadapnya, UU Cipta
Kerja juga memberikan kemungkinan bagi pemerintah pusat untuk melakukan
penyesuaian terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh pemda
(Pasal 114 UU 11/2020).
Ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam PP 10/2021, yakni “Pemerintah
Pusat sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian tarif
pajak dan/atau retribusi yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai pajak
dan/atau retribusi” (Pasal 3 PP 10/2021). Penyesuaian tarif terkait program
prioritas nasional tersebut akan ditetapkan kemudian dalam perpres (Tabel 12).
Baca juga: Pekerjaan Rumah Menanti Pasca-Cipta Kerja

Kemudahan Berusaha Indonesia


Berbagai isu terkait kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja di atas
secara umum dibuat untuk mempermudah calon pengusaha untuk melakukan
kegiatan usaha di Indonesia. Sebagai salah satu ukuran, setiap tahun Bank Dunia

11
menyusun ranking kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB) dari 190
negara.
Untuk melihat dampak UU Cipta Kerja terhadap kenaikan skor dan peringkat EODB
Indonesia, kesebelas isu dalam kluster kemudahan berusaha UU Cipta Kerja di atas
dapat dimasukkan dalam tiap indikator EODB.
Dari tabel “Indikator Kemudahan Berusaha dan UU Cipta Kerja” dapat dilihat,
terdapat lima indikator yang didukung dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja,
yakni indikator starting a business, dealing with construction permits, registering
property, paying taxes, trading across border, serta enforcing contracts.
Berdasarkan skor dan ranking OEDB Indonesia 2020, hampir semua indikator
kemudahan berusaha Indonesia yang masih lemah telah mendapatkan perhatian
dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja. Hanya satu indikator yang secara skor
masih lemah dan belum mendapatkan perhatian dalam isu kemudahan berusaha
dalam UU Cipta Kerja adalah trading across border (Tabel 13). Dengan demikian,
dapat diharapkan bahwa skor maupun peringkat EODB Indonesia akan meningkat
pada tahun mendatang.

12

Anda mungkin juga menyukai