1
Dengan demikian, minimal terdapat 11 isu terkait kemudahan berusaha yang
dapat dilihat dalam UU Cipta Kerja yang kemudian juga dibahas lebih lanjut dalam
aturan turunannya (Tabel 1).
2
Penilaian tingkat bahaya sendiri dilakukan dengan memperhitungkan jenis kegiatan
usaha, kriteria usaha, lokasi kegiatan usaha, keterbatasan sumber daya, serta
risiko volatilitas.
Sedangkan, hasil penilaian terhadap potensi terjadinya bahaya memiliki
empat kemungkinan, yakni hampir tidak mungkin terjadi, kemungkinan kecil
terjadi, kemungkinan terjadi, serta hampir pasti terjadi.
Dari penilaian terhadap tingkat bahaya dan potensi terhadinya bahaya inilah akan
diketahui tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, mulai dari
kegiatan berisiko rendah, menengah, serta tinggi. Kegiatan usaha yang dinilai
berisiko rendah, misalnya, membutuhkan izin berupa nomor induk kegiatan
berusaha (NIB). Selain berfungsi sebagai legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha,
NIB sendiri merupakan bukti pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan
usaha sekaligus sebagai identitas pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatannya
(Pasal 8 UU Cipta Kerja).
Kegiatan usaha yang berisiko menengah membutuhkan izin berupa NIB serta
sertifikat standar. Sertifikat standar sendiri dibedakan antara sertifikat standar bagi
kegiatan berusaha berisiko menengah rendah dan menengah tinggi (Pasal 9 UU
Cipta Kerja).
Sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko menengah rendah berupa
pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan
kegiatan usaha. Sedangkan, sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko
menengah tinggi berupa sertifikat standar yang diterbitkan oleh pemerintah pusat
atau daerah berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan
berusaha oleh pelaku usaha.
Sedangkan, kegiatan berusaha yang berisiko tinggi memerlukan perizinan
berusaha berupa NIB serta izin. Izin yang dimaksud adalah persetujuan pemerintah
pusat atau daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi pelaku
usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 10 UU Cipta Kerja).
Untuk mendukung perubahan paradigma perizinan di atas, pemerintah juga
menerapkan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online
single submission (OSS). Penerapan OSS yang telah dibuat sejak 2018 ini diperluas
dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 5/2021, untuk menyelenggarakan
perizinan berusaha berbasis risiko (Tabel 2). Berbagai aturan turunan UU Cipta
Kerja akan “ditanam” di dalam OSS sehingga pelaku usaha dapat
memanfaatkannya untuk mendapatkan NIB, sertifikat standar, serta izin.
3
Perizinan Dasar Berusaha
UU Cipta Kerja berupaya untuk menyederhanakan persyaratan dasar
perizinan berusaha yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang,
persetujuan lingkungan, serta persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik
fungsi. Terkait perizinan pemanfaat ruang, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya
mengubah kewenangan pemberi dan pencabut izin dari sebelumnya oleh
pemerintah pusat dan daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa pemberian
dan pencabutan izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan pusat dan
daerah (Pasal 27 UU 26/2007). Sedangkan, UU Cipta Kerja mengubahnya menjadi,
pemberian dan pencabutan izin pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah
pusat.
Aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang, menugaskan pemberian izin kepada menteri. Dalam hal ini,
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan oleh menteri yang
menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang (Menteri Agraria
dan Tata Ruang). Sedangkan, izin pemanfaatan ruang di perairan pesisir, wilayah
perairan, dan wilayah yurisdiksi diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusah pemerintahan di bidang kelautan (Menteri Kelautan dan Perikanan).
4
PP 21/2021 juga mengatur bahwa pelaksanaan kesesuaian pemanfaatan
ruang untuk kegiatan berusaha diperoleh melalui OSS yang juga digunakan untuk
memperoleh izin berusaha berdasarkan risiko (Tabel 3).
5
untuk melakukan uji kelayakan lingkungan hidup. Lembaga inilah yang kemudian
akan membentuk tim uji kelayakan lingkungkungan hidup yang berkedudukan di
pusat dan daerah. Secara lebih perinci, tim ini dijelaskan dalam Bab II bagian
keenam PP 22/2021.
Perizinan dasar yang juga disederhanakan dalam UU Cipta Kerja adalah izin
mendirikan bangunan. UU Cipta Kerja menghapus izin mendirikan bangunan (IMB)
dan menggantikannya dengan persetujuan bangunan gedung (PBG).
Dalam aturan sebelumnya, yakni PP 36/2005, perizinan untuk mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai persyaratan
6
administratif dan persyaratan teknis yang berlaku adalah izin mendirikan bangunan
(IMB) gedung. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yakni PP
16/2021, perizinan tersebut adalah persetujuan bangunan gedung (PBG) (Tabel 5).
Perbedaan definisi antara IMB dan PBG terletak dalam keterangan kesesuaian
persyaratan. IMB memberlakukan kesesuaian dengan persyaratan administratif dan
persyaratan teknis. Sedangkan, PBG menggunakan kesesuaian dengan standar
teknis bangunan gedung. Persyaratan administratif yang dituntut dalam IMB tak
lagi disebutkan dalam PBG. Selain itu, IMB digunakan untuk satu fungsi bangunan
sedangkan PBG dapat digunakan untuk fungsi campuran.
7
di Indonesia (Pasal 20 UU 13/2016). Kewajiban tersebut diperlonggar dalam UU
Cipta Kerja terkait pelaksanaan paten-produk dan paten-proses.
Pelaksanaan paten-produk diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat,
mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi paten. Sedangkan, pelaksanaan
paten-proses diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat, melisensikan, atau
mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. Dalam hal ini, UU
Cipta Kerja memberikan kemudahan dengan memasukkan unsur impor dalam
pelaksanaan paten.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga mempercepat keputusan permohonan paten,
dari 12 bulan (Pasal 124 UU 13/2016) menjadi 6 bulan (Pasal 107 UU Cipta Kerja).
Terkait merek, UU Cipta Kerja menambah kriteria merek yang tidak dapat
didaftarkan dan mempercepat proses pengajuan merek. Dalam aturan lama, yakni
UU 20/2016, terdapat enam kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan. Kriteria
tersebut ditambah menjadi tujuh dalam UU Cipta Kerja. Kriteria yang ditambahkan
adalah “mengandung bentuk yang bersifat fungsional”.
Selain itu, pemeriksaan substantif terkait permohonan merek dipercepat, dari
paling lama 150 hari (Pasal 23 UU 20/2016) menjadi paling lama 90 hari (Pasal 108
UU Cipta Kerja) (Tabel 7).
8
umum, UU 40/2007 menyatakan bahwa pendirian perseroan memerlukan akta
notaris (Tabel 8).
Selain membuka kemungkinan pembentukan perseroan perseorangan, UU
Cipta Kerja juga menetapkan status Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) menjadi
badan hukum. Dalam aturan lama, yakni UU 6/2014 tentang Desa, BUM Desa
dipahami sebagai badan usaha. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja dan aturan
turunannya, PP 11/2021, BUM Desa dipahami sebagai badan hukum.
UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa BUM Desa dapat membentuk unit
usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Hal ini
merupakan perluasan dan penegasan dari aturan sebelumnya. Dalam aturan
sebelumnya, yakni UU 6/2014, disebutkan bahwa BUM Desa dapat menjalankan
usaha di bidang ekonomi tanpa keterangan kemampuan membentuk unit usaha
berbadan hukum. Dari aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 11/2021, unit
usaha BUM Desa dipahami sebagai badan usaha berbadan hukum yang
melaksanakan fungsi dan tujuan BUM Desa (Pasal 1 PP 11/2021). Dengan
penegasan tersebut, BUM Desa yang merupakan badan hukum dapat membentuk
unit usaha yang juga berbadan hukum.
Kemudahan pembentukan perseroan dengan perseroan perseorangan tanpa
akta notaris serta penetapan BUM Desa sebagai badan hukum dapat dianggap
sebagai upaya pemerintah untuk mempermudah masyarakat dalam memulai
usaha.
9
Ketiga, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan sanksi pidana tambahan atas
bentuk pelanggaran praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam
aturan sebelumnya, diatur adanya kemungkinan pidana tambahan. Pidana
tambahan yang dapat diberikan berupa pencabutan izin usaha, larangan menduduki
jabatan direksi atau komisaris selama 2-5 tahun, atau penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Ketentuan sanksi pidana tambahan tersebu dihapus dalam UU Cipta Kerja dan tidak
lagi disebut dalam aturan turunannya, PP 44/2021 (Tabel 10).
Pajak
UU Cipta Kerja menyesuaikan beberapa UU Perpajakan yang ada, yakni UU
36/2008 tentang Pajak Penghasilan, UU 42/2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, serta UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Beberapa penyesuaian tersebut meliputi beberapa tema seperti penghapusan PPh
dividen bagi wajib pajak dalam dan luar negeri, perubahan subjek pajak dalam dan
luar negeri, serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
UU Cipta Kerja menghapus PPh dividen bagi wajib pajak badan dalam dan
luar negeri. Dalam ketentuan sebelumnya, diatur PPh bagi dividen dari dalam
negeri yang diterima oleh wajib pajak badan (WP Badan) dalam negeri dengan
kepemilikan saham paling rendah 25 persen dikenai PPh (Pasal 4 UU 36/2008).
Dalam UU Cipta Kerja, dividen dari dalam negeri yang diterima wajib pajak badan
dalam negeri dengan kepemilikan saham berapapun tidak dikenai PPh.
Selanjutnya, UU Cipta Kerja juga menghapus dividen dari dalam negeri yang
diterima oleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) sepanjang dividen tersebut
diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu. Di sisi lain, UU Cipta
Kerja juga membuka kemungkinan penghapusan dividen yang diterima dari luar
negeri yang memenuhi satu dari beberapa syarat tertentu (Pasal 111 UU Cipta
Kerja).
Senada dengan penghapusan dividen di atas, UU Cipta Kerja juga memasukkan
sisa hasil usaha (SHU) koperasi sebagai hal yang dikecualikan dari objek pajak.
Ketentuan tersebut sebelumnya belum tercantum dalam UU 36/2008.
Selain penghapusan dividen, UU Cipta Kerja juga mengecualikan pajak
penghasilan bagi WNA. WNA yang telah tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan diperlakukan sebagai subjek pajak dalam negeri
(SPDN). Akan tetapi, mereka ini akan dikenai PPh hanya atas penghasilan mereka
dari Indonesia untuk 4 tahun pertama (Pasal 111 UU Cipta Kerja). Dalam aturan
10
sebelumnya, WNA tersebut diperlakukan sebagai SPDN dan PPh dikenakan atas
penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia (Pasal 2 UU 36/2008).
Di sisi lain, WNI yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan dapat ditetapkan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN)
dengan memenuhi beberapa persyaratan. Dalam aturan sebelumnya, WNI tersebut
diperlakukan sebagai SPDN atas dasar kewarganegaraan dan dikenai PPh atas
penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia (Pasal 2 UU 38/2008) (Tabel
11).
11
menyusun ranking kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB) dari 190
negara.
Untuk melihat dampak UU Cipta Kerja terhadap kenaikan skor dan peringkat EODB
Indonesia, kesebelas isu dalam kluster kemudahan berusaha UU Cipta Kerja di atas
dapat dimasukkan dalam tiap indikator EODB.
Dari tabel “Indikator Kemudahan Berusaha dan UU Cipta Kerja” dapat dilihat,
terdapat lima indikator yang didukung dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja,
yakni indikator starting a business, dealing with construction permits, registering
property, paying taxes, trading across border, serta enforcing contracts.
Berdasarkan skor dan ranking OEDB Indonesia 2020, hampir semua indikator
kemudahan berusaha Indonesia yang masih lemah telah mendapatkan perhatian
dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja. Hanya satu indikator yang secara skor
masih lemah dan belum mendapatkan perhatian dalam isu kemudahan berusaha
dalam UU Cipta Kerja adalah trading across border (Tabel 13). Dengan demikian,
dapat diharapkan bahwa skor maupun peringkat EODB Indonesia akan meningkat
pada tahun mendatang.
12