Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM KOMERSIAL

“HUKUM PERJANJIAN”

Disusun oleh :

Imanuel Muslila 2016210508

Reza Nur Saifullah 2020210070

Lani Nur Isna 2020210082

Ade Herinda KD 2020210496

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi PERBANAS Surabaya


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dan kehidupan, karena, berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Hukum perjanjian” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang dari
pada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu
dari sekian kewajiban mata kuliah, serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis
pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada ibu Evi
selaku dosen pembimbing serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya
kami hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan
kesempurnaan hanya milik Allah SWT sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis
nanti dalam upaya evaluasi diri.

Surabaya,3 April 2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Buku II KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian
umum bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan
pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam
perikatan dan sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas “kebebasan berkontrak” dalam
membuat perjanjian, asal tidak melanggar ketentuan apa saja, asal tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338
KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa
semua perjanjian “mengikat” kedua belah pihak.

Terjadinya prestasi, wanprestasi, keadaan memaksa, fiudusia, dan hak tangunggan


dikarenakan hukum perikatan menurut Buku III B.W  ialah: suatu hubungan hukum (mengenai
kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut
barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini  diwajibkan untuk memenuhi
tuntutan itu. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu tuntut-
menuntut maka Buku III juga dinamakan hukum perhutangan. Pihak yang berhak menuntut
dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur” sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut
dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu
barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

1.2              RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian dari Perjanjian?.


2. Apa pengertian prestasi dan wanprestasi?.
3. Apa pengertian azas azas kontrak bisnis?.
4. Apa pengertian perjanjian kontrak?.
5. Apa pengertian risiko dan keadaan memaksa?.
6. Apa pengertian fidusia?.
7. Apa pengertian hak tanggungan?.
 

1.3              TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk :

1. Memahami pengertian perjanjian.


2. Memahami prestasi dan wanprestasi.
3. Memehami azas azas kontrak bisnis.
4. Memahami perjanjian kredit.
5. Memahami risiko dan keadaan memaksa.
6. Memahami fidusia.
7. Memahami hak tanggungan.
 

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perjanjian.

1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata


            Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan,
karena ada beberapa kelemahan.

Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:

1. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
4. Tanpa menyebut tujuan
5. Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
6. Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
 syarat ada persetuuan kehendak
 syarat kecakapan pihak- pihak
 ada hal tertentu
 ada kausa yang halal
2. Menurut Rutten
            Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari
peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih
orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak
atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal
balik.
3. Menurut adat
            Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin
kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan
pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
2.2 Prestasi dan Wanprestasi

2.2.1 Pretasi

Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235
KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah
termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.

Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian
“memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk
memeliharanya hingga waktu penyerahannya.

Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut
dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.


2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan
penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat
sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan
tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah
ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian
tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala
ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana
yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu
prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:

1. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.


2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis
suatu lukisan untuk pemesan.
3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan,
perjanjian tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1. Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat
ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah
memenuhi prestasi atau belum.
2. Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang
tidak dapat mengadakan tuntutan.
3. Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4. Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
 

2.2.2 Wanprestasi

Wanprestasi  adalah keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang
diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak
dipenuhinya perikatan hukum.

Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak


melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan
untuk dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga
dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dapat
dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya.
Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan
telah wanprestasi.

Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di
dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.
Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut
Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu
pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam
perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi
kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.

Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan


sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya
“tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan
seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang
dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.

Wanprestasi  berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar
perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang
berarti prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas
dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat
berupa 4 (empat) macam:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada  pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan


peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu
berprestasi;
2. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad
baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
3. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu
memenuhi prestasi namun terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi
sebagai berikut:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-


rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan
oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai
berikut:

1. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;


2. Dapat menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi
tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
3. Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;
4. Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
5. Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.

 
2.3 Asas-Asas dalam Kontrak Bisnis

            Dalam bisnis kontrak sangat dipergunakan orang, bahkan hampir semua kegiatan bisnis
selalu diawali oleh adanya kontrak, kalaupun dibuat secara sederhana. Karena fungsinya yang
sangat penting, maka pembuatan kontrak haruslah memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam
suatu kontrak. Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum
terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
            Hukum mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum hukum yang
berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan
hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka
yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat umum
mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk kategori
hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak menyeluruh) dari hukum kontrak
tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh karena itu, hukum
kontrak ini disebut hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari
hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa atau
mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan
hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
            Asas ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau
tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut :
            a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
            b. tidak dilarang oleh undang-undang
            c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
            d. harus dilaksanakan dengan itikad baik
3. Asas Pacta Sunt Servanda
            Istilah ”pacta sunt servanda” mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, yang dimaksud
dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa kontrak yang dibuat secara sah oleh para
pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my word
is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang talinya, jika
manusia dipegang mulutnya, mengikat secara penuh atas kontrak-kontrak yang dibuat oleh para
tersebut oleh hukum kekuatanya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu
undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang telah dibuatnya oleh
hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
            Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu
kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya
persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak
tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
5. Asas Obligatoir
            Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat,
maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban
semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan
kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik
tersebut baru dapat berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah terima
(levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui
asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu kontrak
haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara terang dan tunai. Kontrak harus
dilakukan di depan pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang
sekaligus juga dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem
obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.

2.4 Perjanjian Kredit

            Menurut pasal 1 ayat (11) UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun
1992 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Unsur-unsur perjanjian kredit:

1. Kepercayaan, keyakinan pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan terbayar kembali
2. Waktu, pemberian kredit dan pembayaran kembali memiliki jangka waktu tertentu
3. Resiko, bahwa setiap pemberian kredit selalu memiliki resiko, semakin lama jangka
waktu yang diberikan, semakin tinggi resiko kredit tersebut
4. Prestasi, prestasi dalam perjanjian kredit adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa
uang ataupun barang dan jasa, tapi yang paling sering dijumpai adalah uang)
Jenis-jenis Kredit:

Dari segi tujuan penggunaannya, kredit dibagi menjadi:

1. Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada bentuk usaha yang menghasilkan
barang dan/atau jasa. Kredit Produktif dapat berupa KMK (kredit modal kerja) yaitu kredit
diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha, atau KI (kredit investasi) yaitu kredit diberikan
untuk membiayai pengadaan barang modal/jasa.
2. Kredit komsumtif, yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan konsumtif
masyarakan pada umumnya
Dari segi jangka waktunya, kredit dibagi menjadi:
1. Kredit jangka pendek, tidak melebihi 1 tahun
2. Kredit jangka menengah, lebih dari 1 tahun tapi tidak lebih dari 3 tahun
3. Kredit jangka panjang, lebih dari 3 tahun
Setiap kredit yang telah disepakati antara pemberi dan penerima kredit, harus dituangkan dalam
bentuk perjanjian kredit. Akar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam. Syarat
sah perjanjian kredit adalah sama dengan syarat sah perjanjian pada umumnya, yaitu yang
tercantum pada pasal 1320 BW: kesepakatan, cakap hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal. Fungsi dari dibuatnya perjanjian kredit adalah sebagai:

 Perjanjian pokok, yang biasanya diikuti dengan perjanjian penjaminan


 Sebagai alat bukti, mengenai hak dan kewajiban para pihak
 Sebagai alat pemantauan kredit
Bentuk perjanjian kredit dapat berupa akta bawah tangan ataupun akta otentik.

Pasal 1874 KUHPer: Akta dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak
tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang untuk dijadikan alat bukti

Pasal 1868 KUHPer: Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh UU
yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat
dimana akta dibuatnya. Yang dimaksud dengan pegawai umum antara lain notaries, PPAT,
pegawai KUA, dll

Pihak-pihak dalam perjanjian kredit:

1. Kreditur, kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah bank atau lembaga
pembiayaan selain bank, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam, pemberi pinjaman
bisa saja individu biasa.
2. Debitur, debitur (penerima kredit) adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek
hukum, baik individu (person) atau badan hukum (recht person).
Pengakhiran perjanjian kredit:

Perjanjian kredit dapat berakhir oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Pembayaran/pelunasan, tindakan sukarela dari debitor untuk memenuhi perjanjian.


2. Subrogasi, penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga (pasal 1400 KUHper).
3. Pembaruan Utang (novasi), ada tiga bentuk novasi yaitu:
 Mengganti kreditur
 Mengganti debitur
 Merubah obyek/isi perjanjian
1. Perjumpaan utang (kompensasi), kedua pihak memperjumpakan atau memperhitungkan
utang-piutang di antara keduanya sehingga perjanjian kredit menjadi hapus (1425 KUHPer)
 

2.5 Risiko dan Keadaan Memaksa

2.5.1 Risiko

Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan karena ada suatu
kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam. Barang yang dipersewakan
habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah yang harus memikul kerugian-kerugian
itu. Inilah yang disebut risiko.

 Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas, kita lihat peristiwa risiko
berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian
dinamakan : keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa,
sebagai mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.

Bagaimana soal risiko itu diatur dalam hukum perjanjian? Dalam buku ke III kitab undang-
undang hukum perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal, yaitu pasal 1237.
Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si
berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam
perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan,
musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh
“si berpiutang”, yaitu pihak yang menerima barang itu.  Suatu perikatan untuk memberikan suatu
barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan kata lain,
pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang
berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi Dia hanya
memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada satu pihak yang wajib melakukan
suatu prestasi dan suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat
dipakai pada perjanjian sepihak saja.  

2.5.2 Keadaan Memaksa (Overmacht).

            Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan
dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat
dipersalahkan / di luar kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena keadaan
memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan demikian
Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur dalam
wanprestasi.

            Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:

“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga,
apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat
dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya”.

                        Pasal 1245 KUH Perdata:         

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

                        Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan memaksa


adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan
yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan
untuk membayar ganti rugi dan bunga.

Akibat keadaan memaksa:

1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.


2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3. Resiko  tidak beralih kepada debitur.
Unsur-unsur Keadaan memaksa:

1. Peristiwa yang memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan;


2. Peristiwa yang menghalangi Debitur berprestasi;
3. Peristiwa yang tidak dapat diketahui oleh Kreditur/Debitur sewaktu dibuatnya perjanjian.
 

Sifat Keadaan memaksa:


Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Keadaan memaksa absolut:


            Adalah suatu keadaan di mana debitor sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya
kepada kreditor, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contoh:si A
ingin membayar utangnya pada si B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan
pembayaran utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak dapat membayar utangnya
pada B.

1. Keadaan memaksa yang relatif:


            Adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk melaksanakan
prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang
besar, yang tidak seimbang, atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia,
atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh: seorang penyanyi telah
mengikatkan dirinya untuk menyanyi di suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan,
ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal dunia.

2.6 Fidusia

            Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengatur
tentang sifat-sifat dari jaminan fidusia yang akan dijelaskan di bawah ini.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Sedangkan jaminan fidusia adalah hak-hak jaminan atas benda bergerak, baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai acuan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Ketentuan jaminan fidusia ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dan berikut sifat-sifat dari
jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan undang-undang:
Jaminan fidusia bersifat accesoir, yang berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak yang berdiri
sendiri melainkan kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokok
fidusia itu sendiri;
Jaminan fidusia bersifat droit de suite, yang berarti bahwa penerima jaminan fidusia/kreditur
mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun
benda itu berada, dengan artian bahwa dalam keadaan debitur lalai maka kreditur sebagai
pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun
objek tersebut telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain;
Jaminan fidusia memberikan hak preferent, yang berarti bahwa kreditor sebagai penerima fidusia
memiliki hak yang didahulukan untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil eksekusi benda
jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cedera janji atau lalai membayar utang;
Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang
yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Fidusia, yakni:
Utang yang telah ada, adalah besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit;
Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
Utang yang pada saat eksekusi, dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang
menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia
dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan
kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 Undang-undang fidusia;
Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur sebagai
penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Dan
eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang
jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan
publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran
fidusia;
Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap
jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil penjualan jaminan bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Dan
ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan kreditur;
Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi.
Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor,
mesin pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud
(seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas
tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-
benda yang diperoleh dikemudian hari.

2.7 HAK TANGGUNGAN

            Hak Tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penggunaan hak tanggungan, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga
dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
            Kemudian siapa yang bisa dikatakan sebagai pemengang hak tanggungan atau subjek hak
tanggungan ialah Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Yang dimaksud
sebagai Pemberi hak tanggungan ialah orang atau badan hukum yang mempuyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Sedangkan yang pemegang Hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang.
            Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada
perkembangan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak
tanggungan. Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa
menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal
33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).Kemudian apabila ditinjau dari Yang
ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi macam hak tanggungan ialah
Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan. Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan
sebagaimana Yang ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT)
menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang berdiri di
atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara serta Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya didirikan di atas tanah Hak
Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.
Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya ialah

 Membuat kedudukan seorang kreditor menjadi diutamakan dibandingkan kreditornya


(“droit de preference”);
 Mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (“droit de suite”);
 Dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada pihak-pihak yang
berkepentingan ketika memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas;
 menyederhanakan pelaksanaannya eksekusi.
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni

1. Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh
obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak
membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap
membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
2. Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan
hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin
pelunasannya tersebut.
 

 
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas, maka penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Itu berarti bila seseorang atau lebih menbuat suatu ikatan terhadap
seseorang, orang tersebut bisa dikatakan sudah membuat suatu perjanjian.
2. Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji,
melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
3. Asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu
norma atau aturan atau kaidah. Sebelum membuat suatu aturan biasanya ditentukan dahulu
asasnya yang biasanya lebih bersifah filosofis.
4. Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam
hal ini Bank) yang melahirkan hubungan  hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban
membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan
kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.
5. Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam bentuk kontrak.
Sedangkan keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut), contohnya bencana alam,
seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat tak mutlak
(relatief), contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat dilaksanakan tapi
dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan kerja yang tinggi secara mendadak
akibat dari resulasi pemerintah terhadap produk tertentu krisis ekonomi yang mengakibatkan
ekspor produk terhenti sementara dan lain-lain.
6. Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan
Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan
Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.
7. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
DAFTAR PUSTAKA

www.google.co.id
http://id.shvoong.com/law-and-politics/contract-law/2277711-panduan-bantuan-hukum-di-indonesia/#ixzz1qOYXBiq0
http://blognyayuwwdi.blogspot.com/2012/04/fidusia.html
http://raja1987.blogspot.com/2009/06/hak-tanggungan-subjek-objek-sifat-dan.html
 

Anda mungkin juga menyukai