“HUKUM PERJANJIAN”
Disusun oleh :
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dan kehidupan, karena, berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Hukum perjanjian” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang dari
pada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu
dari sekian kewajiban mata kuliah, serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis
pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada ibu Evi
selaku dosen pembimbing serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya
kami hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan
kesempurnaan hanya milik Allah SWT sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis
nanti dalam upaya evaluasi diri.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Buku II KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian
umum bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan
pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam
perikatan dan sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas “kebebasan berkontrak” dalam
membuat perjanjian, asal tidak melanggar ketentuan apa saja, asal tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338
KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa
semua perjanjian “mengikat” kedua belah pihak.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perjanjian.
1. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
4. Tanpa menyebut tujuan
5. Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
6. Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
syarat ada persetuuan kehendak
syarat kecakapan pihak- pihak
ada hal tertentu
ada kausa yang halal
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari
peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih
orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak
atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal
balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin
kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan
pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
2.2 Prestasi dan Wanprestasi
2.2.1 Pretasi
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235
KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah
termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian
“memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk
memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut
dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu
prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
2.2.2 Wanprestasi
Wanprestasi adalah keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang
diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak
dipenuhinya perikatan hukum.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di
dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.
Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut
Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu
pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam
perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi
kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar
perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang
berarti prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas
dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat
berupa 4 (empat) macam:
2.3 Asas-Asas dalam Kontrak Bisnis
Dalam bisnis kontrak sangat dipergunakan orang, bahkan hampir semua kegiatan bisnis
selalu diawali oleh adanya kontrak, kalaupun dibuat secara sederhana. Karena fungsinya yang
sangat penting, maka pembuatan kontrak haruslah memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam
suatu kontrak. Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum
terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum hukum yang
berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan
hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka
yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat umum
mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk kategori
hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak menyeluruh) dari hukum kontrak
tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh karena itu, hukum
kontrak ini disebut hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari
hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa atau
mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan
hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau
tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut :
a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh undang-undang
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah ”pacta sunt servanda” mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, yang dimaksud
dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa kontrak yang dibuat secara sah oleh para
pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my word
is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang talinya, jika
manusia dipegang mulutnya, mengikat secara penuh atas kontrak-kontrak yang dibuat oleh para
tersebut oleh hukum kekuatanya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu
undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang telah dibuatnya oleh
hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu
kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya
persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak
tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
5. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat,
maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban
semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan
kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik
tersebut baru dapat berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah terima
(levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui
asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu kontrak
haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara terang dan tunai. Kontrak harus
dilakukan di depan pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang
sekaligus juga dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem
obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Menurut pasal 1 ayat (11) UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun
1992 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Unsur-unsur perjanjian kredit:
1. Kepercayaan, keyakinan pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan terbayar kembali
2. Waktu, pemberian kredit dan pembayaran kembali memiliki jangka waktu tertentu
3. Resiko, bahwa setiap pemberian kredit selalu memiliki resiko, semakin lama jangka
waktu yang diberikan, semakin tinggi resiko kredit tersebut
4. Prestasi, prestasi dalam perjanjian kredit adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa
uang ataupun barang dan jasa, tapi yang paling sering dijumpai adalah uang)
Jenis-jenis Kredit:
1. Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada bentuk usaha yang menghasilkan
barang dan/atau jasa. Kredit Produktif dapat berupa KMK (kredit modal kerja) yaitu kredit
diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha, atau KI (kredit investasi) yaitu kredit diberikan
untuk membiayai pengadaan barang modal/jasa.
2. Kredit komsumtif, yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan konsumtif
masyarakan pada umumnya
Dari segi jangka waktunya, kredit dibagi menjadi:
1. Kredit jangka pendek, tidak melebihi 1 tahun
2. Kredit jangka menengah, lebih dari 1 tahun tapi tidak lebih dari 3 tahun
3. Kredit jangka panjang, lebih dari 3 tahun
Setiap kredit yang telah disepakati antara pemberi dan penerima kredit, harus dituangkan dalam
bentuk perjanjian kredit. Akar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam. Syarat
sah perjanjian kredit adalah sama dengan syarat sah perjanjian pada umumnya, yaitu yang
tercantum pada pasal 1320 BW: kesepakatan, cakap hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal. Fungsi dari dibuatnya perjanjian kredit adalah sebagai:
Pasal 1874 KUHPer: Akta dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak
tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang untuk dijadikan alat bukti
Pasal 1868 KUHPer: Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh UU
yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat
dimana akta dibuatnya. Yang dimaksud dengan pegawai umum antara lain notaries, PPAT,
pegawai KUA, dll
1. Kreditur, kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah bank atau lembaga
pembiayaan selain bank, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam, pemberi pinjaman
bisa saja individu biasa.
2. Debitur, debitur (penerima kredit) adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek
hukum, baik individu (person) atau badan hukum (recht person).
Pengakhiran perjanjian kredit:
2.5.1 Risiko
Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan karena ada suatu
kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam. Barang yang dipersewakan
habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah yang harus memikul kerugian-kerugian
itu. Inilah yang disebut risiko.
Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas, kita lihat peristiwa risiko
berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian
dinamakan : keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa,
sebagai mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.
Bagaimana soal risiko itu diatur dalam hukum perjanjian? Dalam buku ke III kitab undang-
undang hukum perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal, yaitu pasal 1237.
Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si
berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam
perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan,
musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh
“si berpiutang”, yaitu pihak yang menerima barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu
barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan kata lain,
pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang
berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi Dia hanya
memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada satu pihak yang wajib melakukan
suatu prestasi dan suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat
dipakai pada perjanjian sepihak saja.
Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan
dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat
dipersalahkan / di luar kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena keadaan
memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan demikian
Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur dalam
wanprestasi.
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga,
apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat
dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya”.
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
2.6 Fidusia
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengatur
tentang sifat-sifat dari jaminan fidusia yang akan dijelaskan di bawah ini.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Sedangkan jaminan fidusia adalah hak-hak jaminan atas benda bergerak, baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai acuan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Ketentuan jaminan fidusia ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dan berikut sifat-sifat dari
jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan undang-undang:
Jaminan fidusia bersifat accesoir, yang berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak yang berdiri
sendiri melainkan kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokok
fidusia itu sendiri;
Jaminan fidusia bersifat droit de suite, yang berarti bahwa penerima jaminan fidusia/kreditur
mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun
benda itu berada, dengan artian bahwa dalam keadaan debitur lalai maka kreditur sebagai
pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun
objek tersebut telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain;
Jaminan fidusia memberikan hak preferent, yang berarti bahwa kreditor sebagai penerima fidusia
memiliki hak yang didahulukan untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil eksekusi benda
jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cedera janji atau lalai membayar utang;
Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang
yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Fidusia, yakni:
Utang yang telah ada, adalah besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit;
Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
Utang yang pada saat eksekusi, dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang
menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia
dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan
kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 Undang-undang fidusia;
Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur sebagai
penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Dan
eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang
jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan
publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran
fidusia;
Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap
jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil penjualan jaminan bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Dan
ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan kreditur;
Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi.
Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor,
mesin pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud
(seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas
tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-
benda yang diperoleh dikemudian hari.
Hak Tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penggunaan hak tanggungan, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga
dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Kemudian siapa yang bisa dikatakan sebagai pemengang hak tanggungan atau subjek hak
tanggungan ialah Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Yang dimaksud
sebagai Pemberi hak tanggungan ialah orang atau badan hukum yang mempuyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Sedangkan yang pemegang Hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang.
Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada
perkembangan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak
tanggungan. Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa
menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal
33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).Kemudian apabila ditinjau dari Yang
ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi macam hak tanggungan ialah
Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan. Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan
sebagaimana Yang ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT)
menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang berdiri di
atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara serta Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya didirikan di atas tanah Hak
Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.
Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya ialah
1. Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh
obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak
membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap
membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
2. Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan
hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin
pelunasannya tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, maka penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Itu berarti bila seseorang atau lebih menbuat suatu ikatan terhadap
seseorang, orang tersebut bisa dikatakan sudah membuat suatu perjanjian.
2. Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji,
melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
3. Asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu
norma atau aturan atau kaidah. Sebelum membuat suatu aturan biasanya ditentukan dahulu
asasnya yang biasanya lebih bersifah filosofis.
4. Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam
hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban
membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan
kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.
5. Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam bentuk kontrak.
Sedangkan keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut), contohnya bencana alam,
seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat tak mutlak
(relatief), contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat dilaksanakan tapi
dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan kerja yang tinggi secara mendadak
akibat dari resulasi pemerintah terhadap produk tertentu krisis ekonomi yang mengakibatkan
ekspor produk terhenti sementara dan lain-lain.
6. Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan
Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan
Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.
7. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.co.id
http://id.shvoong.com/law-and-politics/contract-law/2277711-panduan-bantuan-hukum-di-indonesia/#ixzz1qOYXBiq0
http://blognyayuwwdi.blogspot.com/2012/04/fidusia.html
http://raja1987.blogspot.com/2009/06/hak-tanggungan-subjek-objek-sifat-dan.html