Anda di halaman 1dari 10

A.

Sumber Hukum Islam


Sumber hukum islam sering disebut dengan istilah dalil-dalil syara. Dalil-dalil hukum
(adilat al-syariyah) nerupakan teks-teks hukum yang digunakan sebagai landasan ditetapkannya
suatu ketentuan hukum. Sumber hukum islam terdiri atas :
1. Al-Quran merupakan petunjuk dan bimbingan agama secara umum. Hukum yang terkandung
dalam Al-Quran ada tiga macam:
a. Hukum-hukum itiqadiyah yaitu hukum-hukum yang menyangkut tentang keimanan, baik
kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab Allah, para Nabi dan Rasul, hari akhir maupun
keimanan kepada qadla dan qadar.
b. Hukum khuluqiyyah, yakni hukum yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti. Oleh
karena manusia dituntut memiliki akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk.
c. Hukum-hukum amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik
ibadah, muamalah, jinayah, siyasah dan lain-lain.
2. As-Sunnah adalah ajaran-ajaran nabi yang disampaikan lewat ucapan perbuatan atau
persetujuan. Jadi sunnah nabi bisa berupa perkataan (sunnah Qauliiyah), perbuatan (sunnah
filiyyah), sunnah yang bersifat persetujuan (sunnah taqririyya).
3. Ijma disebut sebagai suatu konsesus atau pendapat. Maka ijma dapat dikatakan kesepakatan
ahli hukum mengenai kasus tertentu setelah wafatnya nabi. Menurut cara terjadinya dan
martabatnya, ijma ada dua macam, yaitu ijma al-sharih dan ijma sukuti. Ijma al-sharih adalah
kesepakatan yang dinyatakan dengan tegas baik ucapan maupun perbuatanoleh para mujtahid.
Ijma sukuti adalah kesepakatan yang hanya dilakukan oleh sebagian mujtahid, sedangkan
lainnya diam setuju atau tidak.
4. Qiyas (deduksi analogi) adalah menetapkan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam al-quran
dengan menganalogikan kepada hukum dalam al-Quran karena ada persamaan illah (indikasi).
Misalnya, tentang hukum narkoba yang tidak ada ketentuannya dalam al-Quran, sementara alQuran secara eksplisit mengharamkan khamr.
5. Istihsan adalah memandang baik memberlakukan hukum khusus sebagai kebijaksanaan dan
perkecualian terhadap hukum umu karena ada alasan yang mengharuskan menetapkan hukum
tersebut misalnya : Jual beli kotoran hewan, Jual beli barang najis diharamkan, tetapi ketika
barang najis itu ada manfaat untuk kelestarian alam berubah menjadi dalil khusus yang
dibolehkan.
6. Istishlah/maslahat: manfaat, artinya menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan kebaikan
yang tepat sasaran sedang hukum tersebut tidak diatur dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik
diperintah atau dilarang. Contoh: pencatatan nikah, kodifikasi Quran, Jatuhnya talaq di muka
pengadilan.
7. Istishab: Keberlangsungan hukum yang lalu sampai masa kini sebelum adanya perubahan status
hukum tersebut. Contoh: Seorang masih berstatus sebagai istri walaupun telah ditinggal suami

sebelum adanya bukti yang menyatakan dia telah ditalak. Orang yang hilang dianggap tetap
hidup selagi masih belum ada bukti bahwa ia telah meninggal dunia.
8. Urf: Adat istiadat: suatu kebiasaan yang diakui keberadaanya oleh masyarakat baik perbuatan
atau perkataan selagi tidak bertentangan dengan syariat. Contoh: Syawalan.
9. Sadudzariah adalah mencegah keburukan mencegah perbuatan yang membahayakan atau
merugikan nyata meskipun sesungguhnya perbuatan itu semula bermanfaat/maslahat.
Sadudzariah dapat diartikan jalan menuju sesuatu yang haram hukumnya haram atauu
sebaliknya. Misalnya haram menjual ayam jago kepada penyabung ayam.
10. Madzhab Sahabi: Perkataan sahabat nabi. Fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah kalau tidak
bertentangan dengan qiyas, Misalnya : masa haid sedikitnya 3 hari dan paling lama 10 hari.
11. Syaru man Qablana (syariat sebelum kita) contoh : Hukum qishas diyat.
B. Hukum Islam
Hukum secara bahasa dapat diartikan menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan atas
sesuatu. Hukum islam memiliki batasan untuk tidak beralih dari sumber hukum islam seperti yang
ada diatas terutama Al-Quran dan As-sunnah sebagai hukum secara langsung tertulis. Berdasarkan
batasan yang ada, maka Hukum islam terbagi menjadi tiga hal yaitu:
1. Hukum Taklifi, yaitu hukum yang bersifat tuntutan, baik tuntutan , baik tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan. Hukum Taklifi dibagi menjadi empat macam:
a. Ijab, yaitu suatu tuntutan syara untuk dilakukan dan sifat tuntutannya adalah pasti. Contoh:
sholat, zakat, puasa di bulan Ramadhan.
b. Nadb, yaitu tuntutan syara yang sifat tuntutannya tidak pasti. Hukumnya melakukan
dinamakan mandub (sunnah). Artinya kalau dikerjakan mendapat pahala kalau ditinggalkan
tidak berdosa.
c. Tahrim, yaitu tuntutan syara untuk meninggalkan dan sifat tuntutannya adalah pasti, maka
hukum melakukan perbuatan ini adalah haram, pelakunya mendapat siksa dan
meninggalkannya mendapatkan pahala.
d. Karahah, yaitu tuntutan syara untuk tidak melakukan perbuatan dan sifat tuntutan itu tidak
pasti. Hukum melakukannya adalah makruh, artinya melakukan tidak berdosa ketika
ditinggalkan dapat pahala. Contohnya berjualan saat dikumandangkan adzan jumat.
2. Hukum WadhI (hukum sebab akibat), artinya hukum yang membicarakan tentang sebab harus
dilakukan hukum tertentu, atau syarat yang menjadi sahnya hukum, atau sesuatu yang
menyebabkan hukum itu harus dilakukan. Hukum WadhI dibagi menjadi:
a. Sebab, artinya yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain, atau sesuatu yang
dijadikan syariat menjadi tanda adanya hukum. Contoh wajibnya puasa karena adanya ruyah,
tindakan zina menyebabkan adanya hukuman.
b. Syarat adalah sesuatu yang menhenndaki adanya sesuatu yang lain. Syarat diartikan juga suatu
yang tergantung kepadanya atas sesuatu yang lain. Misalnya wudlu merupakan syaratnya
sahnya sholat, tetapi wudlu itu bukan bagian dari sholat.

c. Mani (penghalang), yaitu sesuatu yang berfungsi sebagai penghalang atas sesuatu yang lain.
Misalnya syarat waris-mewarisi karena adanya ikatan dalam perkawinan, akan tetapi karena istri
dibunuh suaminya, tidak ada hak mewarisi bagi pembunuh dari harta yang dibunuh.
d. Azimah, hukum yang pada umumnya ditetapkan, misalnya sholat dan puasa.
e. Rukhsah, hukum yang bersifat keringanan, misalnya puasa wajib tetapi bagi musafir ada
rukhsah (keringanan) untuk berbuka.
3. Hukum Takhyiri, yaitu hukum yang bersifat pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan,
hukum melakukan kategori ini adalah mubah. Pelaku tidak ada beban dan tidak ada dosa antara
mengerjakan dan tidak mengerjakan.
C. Unsur-Unsur Hukum Islam
Hukum dianggap ada jika telah terpenuhi unsur-unsurnya, maka harus ada yang menetapkan
hukum, adanya hukum yang ditetapkan, perbuatan yang berkaitan dengan hukum itu sendiri dan
siaoa yang harus melaksanakan hukum. Dengan demikian unsur-unsur yang harus ada dalam
hukum syara ada empat macam:
1. Al-Hakim, yang menetapkan hokum
2. Mahkum bih (Hukum yang ditetapkan), adanya tuntutan hukum yang bersifat pasti
untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
3. Makhum fih, perbuatan yang berkaitan dengan hukum. Syara memiliki 3 syarat:
pertama, perbuatan benar-benar diketahui oleh mukalaf, sehingga ia dapat
mengerjakan apa yang diperintahkannya. Jika ada ayat yang global dan tidak jelas,
maka mukalaf tidak harus mengerjakannya. Kedua, tuntutan itu diyakini oleh
mukalaf dari yang memang wajib membuat tuntutan, yakni Allah SWA atau AlHakim. Ketiga, perbuatan yang dituntutkan adalah yang sanggup untuk dilakukan
mukalaf.
4. Mahkum Alaih (Mukalaf yang dibebani hukum), artinya mukalaf yang perbuatannya
berhubungan dengan hukum syari. Dengan demikian, mukalaf harus memahami
daliltaklif (Tuntutan) dan ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
D. Tujuan Hukum Islam
Maksud umum di syariatkan Hukum islam menurut Abd Wahab Khalaf adalah untuk merealisir
kemaslahatan umat dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat primer, sekunder dan tersier.
Tujuan dari hukum menurut teori dari Imam al-Ghazali yaitu teori Maqashid al-Syariah
menjabarkan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk mencapai, menjamin dan melestarikan
kemaslahatan umat manusia. Untuk itu dicanangkan tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling
melengkapi: al-dharuriyyat, al-hajiyyat dan al-Tahsiniyat.

Pada perkembangannya, para ahli hukum islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan hukum menjadi
tiga yaitu:
A.

Tujuan yang bersifat Primer (maqashid al-dharuriyyat)


Maqashid al-dharuriyyat didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada, yang ketiadaannya akan
berakibat menghancurkan kehidupan secara total. Artinya, bila sendi-sendi itu, tidak ada,
kehidupan mereka menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak akan tercapai. Di sini ada lima
kepentingan yang harus dilindungi:
1. Hifdz ad-din (perlindungan terhadap agama), Pemeliharaan agama pada dasarnya merupakan
pengistilahan dari cegahan murtad (riddahhi ruju) artinya kembali.
2. Hifdz al-Nafs (perlindungan jiwa), sebagai alasan pengharaman membunuh atau menghilangkan
nyawa orang lain tanpa alas an yang hak.
3. Hifdz an-nasb (perlindungan terhadao keturunan), merupakan pengistilahan dari perintah untuk
menikah dan dilarangnya perzinaan, karena perbuatan itu merusak keturunan (nasab).
4. Hifdz al-aql (perlindungan terhadap akal), merupakan pengistilahan dari pencegahan untuk
mengkonsumsi minuman-minuman keras.
5. Hifdz al-mal (perlindungan terhadap harta), merupakan pengistilahan dari cegahan untuk

mencuri, cegahan makan harta dengan cara batil.


B. Tujuan yang bersifat Sekunder (Maqashid al-Hajiyyat), didefinisikan sebagai seuatu yang
dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk
dalam kategori al-dhauriyyat. Misalnya, membangun masjid untuk menfasilitasi ibadah shalat
sebagai tujuan primer.
C. Tujuan yang bersifat Tersier (Maqashid al-Tahsiniyyat), merupakan sesuatu yang kehadirannya
bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat memperindah. Misalnya memperindah
masjid.

E.

Metodologi penemuan hukum islam


Dalam menentukan hukum islam diperlukan beberapa metode. Mesti diingat kembali bahwa

masalah utama yang mendorong ulama untuk merumuskan berbagai teori dan metode ijtihad
adalah kenyataan abadi yang dihadapi oleh umat islam bahwa nash al-Quran dan hadis terbatas
secara kuantitatif padahal peradaban (peristiwa hukum) selalu berkembang. Maka digunakan
berbagai metode untuk menentukan hukum islam , diantaranya:
1. Metode Penafsiran teks hukum (interpretasi Literal). Pada era kekinian, kebutuhan akan
hukum kontemporer mendesak keberadaannya, sementara teks hukum secara kuantitas
terbatas, di samping keputusan hukum baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah belum atau

kurang jelas. Oleh karena itu, diperlukan istimbat yang menggunakam dua pendekatan yaitu:
Bahasa yaitu mendekati sumber hukum dari segi kebahasaan dan Makna yaitu mendekati
hukum islam dari segi makna dan tujuan dibalik teks hukum.
2. Metode Talili Yaitu meneliti secara seksama apa yang dijadikan dasar konsepsi (penetapan)
hukum. Pondasi ini merupakan sebab adanya hukum berupa alas an-alasan ditetapkannya
hukum maupun tujuan hukum.
3. Metode Sinkronisasi. Metode ini diperlukan saat tejadi pertentangan antara kandungan salah
satu dalil dengan kandungan dalil dengan kandungan dalil lain yang sama derajatnya.
Perubahan mendasar dalam kehidupan manusia sesuai dengan perkembangan zaman selalu
menuntut, pembaharuan, reformasi dan reformulasi rumusan hukum. Jika tidak, hukum yang ada
tidak mampu melahirkan kemaslahatan bagi umat manusia, yang terjadi sebaliknya, hukum menjadi
pengekang dalam kemajuan umat. Seperti kasus zakat yang meniadakan zakat atas pemilik kuda,
Hal ini sangat tidak sesuai dengan jaman sekarang mengingat kuda digunakan sebagai harta
kekayaan. Hal ini tidak adil bagi peternak kambing yang diwajibkan zakat. Selain masalah kuda
juga tentang zakat tanaman yang sebatas terhadap tanaman pokok sedangkan tanaman lain seperti
cengkeh, coklat dan lain-lain mempunyai nilai jual yang tinggi.

B. PENGERTIAN HUKUM
Secara etimologi, kata hukum berarti mencegah atau memutuskan. Mayoritas ahli ushul fiqh
mendefenisikan hukum syara sebagai berikut:


Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan
atau meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan.
Dari defenisi ini dapat dipahami beberapa hal.
1. Khitab Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan seperti KhitabAllah yang berkaitan dengan
zat dan sifat-Nya dalam surat al-Ankabut, 29: 62:


Sesungguhnya Allah menmgetahui segala sesuatu.
2. dalam pandagan ahli ushul fiqh bhawa hukum adalah Khitab Allah itu sendiri atau al-nushus alsyariyah. Hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa yang dikandung oleh khitab Allah atau alnushus tersebut. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Isra, 17: 32:


Jangan dekati perbuatan zina
Menurut ahli ushul fiqh ayat ini adalah hukum. Sedangkan ahli fiqh menyatakan bahwa yang hukum
itu adalah keharaman zina yang diinformasikan oleh ayat in.
Selain itu, dari defenisi hukum diatas dapat diketahui beberapa hal. Istilahkhitab Allah dalam defenisi
ini adalah kalam Allah yang langsung terdapat dalam Al-Quran atau kalam Allah melalui perantaraan yang
berasal dari Sunnah, Ijma dan semua dalil-dalil syara yang dihubungkan kepada Allah untuk mengetahui
hukum-Nya.
Istilah bi al-iqtidha yang terdapat dalam defenisi di atas adalah perintah untuk melakukan atau
mennggalkan dan anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan. Sementara
istilah takhyir mengacu pada pilihan untuk melakukan atau meninggalkan. Sedangkan istilah bi alwadhai mengandung pengertian ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syara atau mani.

C. PEMBAGIAN HUKUM
Mayoritas ahli ushul fiqh membagi hukum syara menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan
hokum wadi. sedangkan sebagian yang lain membaginya kepada tiga macam, yaitu ketentuan yang
dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hokum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang
yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hokum wadhi.
Ketentuan syari yang dikemukakan dalam bentuk tuntutan kemudian terbagi dua, yaitu tuntutan
untuk dikerjakan dan tuntutan untuk ditinggalkan. Masing-masing dari dua tuntutan ini ada yang mengikat
dan ada pula yang tidak mengikat. Tuntutan untuk dikerjakan dengan mengikat menimbulkan hokum wajib,
sedang tuntutan untuk ditinggalkan dengan mengikat menimbulkan hokum haram, sedang yang tidak
mengikat menimbulkan hokum makruh. Sementara ketentuan syari yang dinyatakan dalam bentuk
pilihan/takhyiri menimbulkan hokum mubah.
Hokum wajib, mandub, haram, dan makruh tergolong hokum taklifi sedang mubah menurut sebagian
ulama disebut hokum takhyiri. Walaupun umumnya para ulama ushul menggolongkan mubah pada
kelompok hokum taklifi, akan tetapi, karena ini akan dipakai istilah hokum takhyiri. Sedang hokum wadhI

adalah ketentuan yang perbatan-perbuatan taklifnya yang lain, dan secara keseluruhan hokum wadhI ini
ada tiga yaitu sabab, mani dan syarath.
Keempat macam hokum wajib, mandub, haram dan makruh disebut sebagai hokum takli karena
syari menuntut para mukallaf untuk mentaatinya. Sedang mubah disebut hokum takhyiri karena syari
memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya atai tidak melakukannya. Sementara sabab, syarat dan
mani disebut sebagai hokum wadhi karena ketiganya menjadi tanda penentu ada dan tidak adanya, serta
sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan taklif.
Dalam makalah ini penulis membagi hokum itu menjadi dua yaitu hokum taklifi dan hokum wadhI
dengan mengikuti pendapat jumhur ulama ushul fiqh diatas.
1. Hukum Taklifi dan macam-macamnya
Para ahli ushul fiqh mendefenisikan hokum taklifi sebagaimana dibawah ini:

Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan
atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan.
Hokum taklifi terbagi lima yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
1) Wajib
a. Pengertian wajib
Wajib ialah suatu perbuatan yang dituntut syari (Allah dan atau Rasul-Nya) agar dilaksanakan
mukallaf denga tuntutan yang pasti lagi tegas. Orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan
mendapat pahala dari Allah dan bila ditinggalkan berakibat dosa.
Menurut jumhur ulama, wajib sinonim dengan istilah fardhu dalam semua masalah, kecuali dalam
haji. Dalam haji, wajib berbeda dengan fardhu. Fardhu dalam haj sama dengan rukun, apabila tertinggal
dari salah satu rukun berimplikasi tidal sah haji (batal), seeperti wukuf di Arafah. Sementara, apabila
tertinggal salah satu dari wajib haji tidak menyebabkan haji batal, hanya diwajiban membayar (dam).
b. Macam-macam wajib
Ahli ushul fiqh wajib kepada beberapa macam, yaitu:
1. Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya terbagi dua, yaitu wajib al-mutlaq dan wajib al-muaqat.
Wajib a-mutlaq adalah suatu kewajiban yang dituntut syari kepada mukallaf untuk dilakukan tanpa
ditentukan waktu pelaksanaanya. Misalnya kewajiban mengqhada puasa Ramadhan yang tertinggal
karena uzur dan kewajiban membayar kaffarat bagi orang yang melanggar sumpah. Orang yang
mengqhada puasa, wajib melakukan puasa yang tertinggal kapan ia sanggup. Begitu pula orang yang
bersumpah tanpa dikaitkan dengan waktu, lalu melanggar sumpahnya, ia wajib membayar kaffaratnya
kapan saja ia mampu.
Adapun wajib al-muaqqat adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan mukallaf dalam waktu
yang telah ditentukan syari. Apabila kewajiban itu dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan, maka
perbuatan itu tidak sah. Misalnya kewajiban shalat dan puasa Ramadhan.
Wajib al-muaqqat terbagi tiga, yaitu muassa, mudhayyaq dan dzu syabhaini. (a) wajib muwassa,
yaitu suatu kewajiban yang waktu pelaksanaanya telah ditentukan syari dan waktu yang diberikan cukup
luas, melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu sehingga dalam waktu itu memungkinkan melakukan
amalan yang sejenis dengan kewajiban tersebut. Misalnya, shalat maghrib, waktu yang disediakan untuk
melaksanakannya dari terbenam matahari sampai hilangnya safa merah dilangit. Sedangkan waktu
yang dibutuhkan waktu shalat maghrib lebih kurang 10 menit. (b) waib mudhayyaq, yaitu suatu
kewajiban yang telah ditentukan waktunya dan waktu yang disediakan hanya cukup untuk
pewlaksanaan perbuatan yang diwajibkan, sehingga waktu itu tidak bisa digunakan untuk melaksanakan
amalan-amalan lain. Misalnya, puasa Ramadhan waktu pelaksanaanya sebulan penuh sehingga tidak
dapat dilakukan puasa lain selain puasa RAmadhan dibulan itu. (c) wajib dzusyabhaini, yaitu kewajban

yang telah ditentukan waktu pelaksanaanya yang dari satu segi muassa (luas) dan dari segi lain
mudhayyaq (sempit). Misalnya, haji, disatu segi disebut mudhayyaq karena ibadah haji hanya dapat
dilakukan pada bulan-bulan tertentu dan hanya dapat dilaksanakan satu kali satu tahun. Namun, dari
segi lain, haji disebut muassa karena untuk melaksanakan haji tidak menghabiskan semua bulan-bulan
haji tersebut.
2. Wajib dilihat dari segi orang yang ditutntut melaksanakannya terbagi kepada wajib aini dan wajib
kafaI. (a) wajib aini, yaitu suatu kewajiban yang dituntut syari untuk dilakukan setiap mukallaf, tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti kewajiban shalat dan puasa. (b) wajb kafaI, yaitu suatu
kewajiban yang dituntut syari kepada sejumlah mukallaf melaksanakannya. Apabila kewajban itu telah
dilaksanakan sebagian mukallaf, maka orang lain terlepas dari tuntutan kewajiban. Tetapi, bila tidak ada
seorang pun mukallaf melakukannya hingga kewajban itu terlantar, maka semua mukallaf berdosa,
seperti menyelenggarakan jenazah dan melakukan amar maruf nahi munkar.
3. wajib dilihat dari segi jumlah dan ukuran yang diwajbkan terbagi menjadi dua bagian; wajib
muhaddad dan wajib ghairu muhaddad. Wajib muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan syari
jumlahnya hingga seorang mukallaf belum terlepas dari kewajiban itu kecuali bila telah melaksanakan
sesuai jumlah yang telah ditentukan. Misalnya, zakat harta yang telah ditentukan kadar nisab dan jumlah
zakat yang dikelaurkan. Sementara wajib ghairu muhaddad, yaitu suatu kewajiban yang tidak ditetapkan
syari jumlah dan ukurannya. Mengenai ukuran kewajiban itu diserahkan pada para ulama, pemimpin
dan umat untuk menetapkannya, seperti penentuan hukuman jarimah tazir (tindak pidana yang tidak
termasuk dalam hudud dan qishash. Bentuk dan ukuran hukuman ini menjadi wewenang hakim (qadhi).
4. Wajib dilihat dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan terbagi menjadi wajib al-muayyan dan
wajib al-mukhayyar. Wajib al-muayyan ialah suatu kewajiban yang diperintahkan syari kepada mukallaf
untuk melakukan perbuatan yang sudah ditentukan. Mukallaf tidak dapat memilih yang lain kecuali
sesuai perbuatan yang telah ditentukan, seperti kewajiban melunasi hutang. Disini perbuatan yang harus
dilakukan mukallaf adalah melunasi hutangnya.

2) Mandub
a. Pengertian Mandub
Mandubsecara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan, disenangi dan dipandang penting. Dalam
kajian hokum islam, mandub disebut pula dengan nafilah, mustahhab, ihsan, tatawwu, sunat dan almarghub fih. Secara istilah mandub adalah ketentuan-ketentuan syari tentang berbagai amalian yang
harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat. Dan pelakunya diberi imbalan tanpa
ancaman dosa bagi yang meninggalkannya. Ketentuan-ketentuan tersebut pada umumnya dinyatakan
dengan sighat thalab, namun disertai qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut tidak
mengikat, seperti ayat 282 surah alBaqarah yang berbunyi:

wahai orang-orang yang beriman jika kalian berhutang piutang untuk waktu tertentu, maka hendaklah
kalian mencatatnya.
Penggalan ayat ini melahirkan ketentuan untuk menulis hutang piutang dengan tuntutan wajib,
karena dinyatakan shighat amar. Akan tetapi pernyataan berikut dari ayat yang sama, yang berbuanyi:
Membuat tuntutan tersebut tiak mengikat, sehingga hokum mencatat hutang piutang jadi mandub.
b. Pembagian mandub
Ulama ushul fiqh membagi mandub atau sunnah kepada tiga macam:

1. Sunnah al-hadyu atau sunnah al-muakkadah (sunat yang sangat dianjurkan), yaitu segala perbuatan
yang sangat ditekankan untuk dilakukan umat islam, orang yang melakukan perbuatan sunat ini
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa, tetapi ia hanya mendapat celaan.
2. sunnah al-masru (sunnah yang tidak terlalu dianjurkan) yaitu segala perbuatan yang dianjurkan
dilakukan mukallaf dan berpahala bagi orang yang melakukannya.namun orang yang tidak
melakukannya tidak bedosa dan tidak mendapat celaan dari syari
3. sunnah al-zaidah yaitu segala bentuk perbuatan yang dimaksudkan untuk meneladani dan mengikuti
nabi. Apabila seseorang melakukannya mendapat pahala dan apabila diringgalkan tidak berdosa.
3) Haram
a. pengertian haram
haram secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya dan sesuatu yang dilarang.
Secara istilah haram islah tuntutan syari kepada mukallaf untuk meninggalkannya dengan tuntutan yang
mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang mentaatinya dan baasan dosa bagi yang melanggarnya.
Tuntutan tersebt biasanya dinyatakan dalam bentuk kalimat larangan apakah dengan kata-kata ,
seperti pada ayat tiga al-Maidah yang berbunyi:

diharamkan bagi kamu bangkai, darah dan daging babi


Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, menilik kepada jalan ketetapannya.
1) perkara yang ysabit (tetap) haramnya dengan nassh yang qathI yaitu : nash kitab dan sunnah yang
diharamkan dengan nash yang tiga macam ini, itulah yang dinamai : haram atau mahzhur.
2) Pekerjaan yang tsabit harramnya dengan nash yang tidak qathi yakni : yang tsabit dengan abar
ahad dan qiyas.
b. Pembagian haram
1. Haram zati, yaitu haram karena zatnya.
2. haram li Arhidin (haram) atau ghairu zati, yaitu haram yang dilarang bukan karena zatnya, tetapi ada
hal lain yang terkait dengannya.
4) Makruh
a. Pengertian Makruh
Istilah makruh berasal dari kariha, berarti sesuatu yang tidak disenangi, dbenci atau sesuatu yang
dijauhi. Secara istilah makruh yaitu apa yang diminta oleh syari dari mukallaf itu menghentikan
pekerjaannya. Permintaan itu tidak pasti. Karena shighatnya itu sendirilah yang menunjukkan demikian.
b. Pembagian Makruh
1. Makruh Tahrim, yaitu perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti, tetapi didasarkan
pada dalil zanni.
2. Makruh Tanzih, yaitu tuntutan atau perintah syari kepada mukallaf meninggalkan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya makruh makan daging kuda.
5)

Mubah
Mubah secara bahasa berarti melepaskan dan memberitahukan. Secara istilah mubah adalah
sesuat yang dibolehkan, sesuatu yang dibolehkan kita mengambilnya, dibolehkan kita tidak
mengambilnya.
Menurut urf Syara

sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan meninggalkannya.


2.

Hukum WahI dan Macam-macamnya


Hokum wadhI adalah ketentuan-ketentuan yang diletakkan syari sebagai pertanda ada dan tidak
adanya hokum taklifi.
a. Sebab
(1) Pengertian Sebab
Secara bahasa bearrti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara istilah
sebab didefenisikan sebagai:

Sesuatu yang dijadikan syariat sebagaii tanda bagi adanya hokum, dan tidak adanya sebab sebagai
tanda bagi tidak adanya hokum.
(2) Pembagian Sebab
a. sebab terbagi kepada dua macam, yaitu sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan ia tidak mampu
untu mewujudkannya. Apabila sebab ni terwujud maka terbentuklah hokum. Dan yang kedua sebab
yang merupakan perbuatan mukallaf dan mukallaf mampu mewujudkannya.
b. Dari segi pengaruh terhadap hokum, sebab terbagi menjadi dua yaitu sebab yang berpengaruh
terhadap hokum taklifi dan sebab yang terpengaruh terhadap perbuatan mukallaf.
b. Syarath
Yang dimaksud dengan syatrath adalah sesuat yang terwujud atau tidaknya sesuat perbuatan amat
tergantung kepadanya. Jika syarath tidak terpenuhi maka perbuatan taklifmnya pun secara hokum tidak
akan terwujud.
Syarath ada dua macam, yaitu syrath yang menyempurnakan sebabsekaligus juga menjadi
menyempurnakan terhadap nishab yang merupakan sebab wajibnya zakat.dan yang kedua, syarath
yang meyempurnakan musahab.
c.

Mani

Secara istilah mani adalah sesuatu yang ditetapkan syari sebagai penghalang bagi adanya hokum
atau berfungsinya sebab (batalnya hokum).
Mani terbagi dua macam, yaitu mani al-hukm yaitu sesuatu yang ditetapkan syari sebagai
penghalang adanya hokum. Dan mani al-sabab, yaitu Sesutu yang keberadaanya menghalangi
berfungsinya suatu sebab

Anda mungkin juga menyukai