Anda di halaman 1dari 5

AL KHAIRAAT

Alkhairaat  berarti, kebaikan adalah organisasi komunitas Islam terbesar di Indonesia


Timur yang berbasis di Palu, Sulawesi Tengah. Organisasi ini didirikan oleh ulama Arab
Indonesia yang lahir di Hadhramaut bernama Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri pada 30
Juni 1930; 91 tahun lalu.

Kehadiran Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri atau juga biasa dipanggil Guru
Tua di Wani pada tahun 1929 merupakan awal mula sejarah pendidikan Alkhairaat di Kota
Palu. Kedatangan Guru Tua di Wani atas permintaan beberapa tokoh masyarakat di Wani
yang ingin belajar Islam lebih baik. Dengan dibantu oleh masyarakat setempat
dibangunlah Madrasah Al-Hidayah. Nama madrasah tersebut merujuk kepada nama
madrasah milik Sayyid Ali Alhabsyie dan Sayyid Abdollah Alhabsyie di Tojo Una-
Una, Ampana.

Hampir setahun Guru Tua tinggal dan menetap di Wani, kemudian beliau


meninggalkan Wani dan menetap di Kota Palu. Kepindahan Guru Tua ke Kota Palu menjadi
awal sejarah berdirinya Lembaga Islam Alkhairaat.
Kehadiran Guru Tua di Kota Palu disambut baik oleh masyarakat setempat dengan
menggunakan tempat mereka sebagai tempat belajar mengajar. Merespon antusiasme
masyarakat yang begitu besar akan pendidikan, Guru Tua pun mendirikan Alkhairaat.
Peresmian madrasah Alkhairaat untuk pertama kalinya bertempat di lantai bawah, rumah Haji
Daeng Marocca (depan masjid Jami), Kampung Baru.
Untuk menegaskan eksistensi Alkhairaat dilembah Palu, Guru Tua yang didukung
oleh istri beliau, Ince Ami, mewakafkan tanah seluas 5 hektar yang kelak menjadi Komplek
Alkhairaat sekaligus Kantor Pengurus Besar Alkhairaat.
Sejarah Singkat Guru Tua

Kehidupannya adalah kehidupan ilmu, pendidikan dan dakwah di jalan Allah.


Beliaulah pendiri madrasah Alkhairaat di kepulauan Timur Indonesia. Keturunan beliau
adalah ad-da'I (pendakwah) atau juru dakwah. Nama lengkapnya adalah As-Sayyed Idrus bin
Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin
Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-
Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah
Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.

Kelahirannya hari Senin Sya'ban 1309 H di Taris Hadramaut, sebelah selatan Yaman.
Beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut. Tiada
dari kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da'i.

Ayahnya Habib Salim seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan
dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan mufti di negerinya.
Kakeknya Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh
Hadramaut yang fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed
Abdurrahman Almasyhur. Kakeknya yang kedua Al-Habib Saqqaf diantara ulama yang
terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut.

Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya Al-Allamah Salim
bin Alwy Aljufri termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup
dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta
mengambil dan menimbah ilmu dari sumber yang murni, maka jadilah beliau pakar dalam
ilmu-ilmu agama dan bahasa, sehingga beliau dilantik menjadi Qadhi dan Mufti di Taris
negerinya menggantikan ayahnya.
Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17
tahun. Dan perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya
untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris. Beliau bersama sahabatnya Habib
Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari
para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan
konco-konconya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah
Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api
perlawanan terhadap penjajah dan konco-konconya dan mereka adalah orang yang pertama
kali menghidupkan api tersebut.

Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan Negara-negara Arab yang merdeka


dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk merubah keadaan di dalam negeri
sekaligus memerdekakan negara secara total. Maka tugas politik yang sangat berbahaya itu di
serahkan kepada Habib Idrus. Beliau memutuskan untuk keluar melalui pelabuhan Aden
selanjutnya ke Yaman dan Mesir dengan tujuan untuk menjelaskan keadaan negerinya
kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan. Beliau mengetahui bahwa
perbuatannya itu membahayakan jiwanya karena inteligen Negara dan mata-mata
pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya, akan tetapi perjalanan itu harus
dilakukan.

Setelah segala perlengkapan dan rancangan disiapkan dengan tepat dan matang serta
penuh kehati-hatian tersebut hampir membuahkan hasil, jika tidak disebabkan oleh
penghianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi membocorkan rahasianya.
Setelah beliau sampai di bandara Aden, tiba-tiba beliau di tangkap kemudian dokumen-
dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintah Inggris untuk
tidak keluar dari bandara Aden dengan tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk
kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke
Indonesia.

Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu


lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Sy. Aminah binti Thalib Aljufri dan
bersama menikmati pahit manisnya kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi
tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-
galanya. Kemudian beliau meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo, beliau
dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah
beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana. Kemudian
beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di
jalan Allah hingga sampailah beliau di Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa
penjajahan Belanda.

Setelah beliau masuk di negeri tersebut terlihat olehnya gerakan misionaris Kristen
yang mendapat tempat dan pengikut yang banyak dari penduduk muslim yang awam. Karena
kurang hidupnya dakwah islamiyah di negeri itu bahkan hampir tidak terdapat da'i Islam yang
mengimbangi gerakan misionaris yang menentang Islam. Beliau memikul tanggung jawab ini
dan masuk melaksanakan dakwah, menentang musuh-musuh, karena semangat Islam dan
tanggungjawabnya yang pertama sebagai seorang muslim dan kedua sebagai seorang yang
alim.

Al-Ustadz berpendapat bahwa sebaik-baik cara untuk menentang gerakan misionaris


adalah sesuai dengan firman Allah : "Serulah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan
peringatan yang baik serta berdialog (berdebatlah) dengan cara yang baik." Dan juga dari
sabda Nabi SAW : "Mudahkanlah dan jangan menyusahkan, berilah kabar gembira dan
jangan menakut-nakuti." Dengan demikian cara penyebaran ilmu dan budaya Islam haruslah
dengan jalan yang mudah dan cara yang bijak melalui pembukaan sekolah dan majlis Ta'lim
untuk menghimpun anak-anak Islam.

Bangunan sekolah yang pertama adalah di bangun atas biaya beliau sendiri di kota
Palu yang sekarang menjadi Ibukota Sulawesi Tengah, salah satu wilayah yang terletak di
Timur Indonesia, yang merupakan sekolah Islam pertama di Negeri Palu dan kemudian
berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan
kampung-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama "ALKHAIRAAT", dengan
harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali di sebut dalam Al-
Qur'an dan secara resmi madrasah tersebut di buka pada tanggal 14 Muharram 1349 H
bertepatan dengan 11 Juni 1930. dan pada peresmian itu di hadiri oleh para pemuka-pemuka
Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi-petinggi negeri.

Ustadz telah memertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang


dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan
pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan parahu
sampan dengan bermacam resiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam disetiap
saat. Akan tetapi, Ustadz yang dirahmati Allah selalu merasakan kenikmatan di antara
pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Beliau
tabah dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang
perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.

Akhir kata, semua perjuangan beliau terus dilakukannya hingga akhir hayat dengan
tetap mengajar dan berdakwah di jalan Allah, walaupun harus mengorbankan semua yang
berharga yang ada pada dirinya. Beliau berpulang pada 12 Syawal 1389 H bertepatan dengan
tahun 1969 M, setelah beliau berikan bagi umat Islam suatu pelayanan demi pembelaannya
terhadap Islam. Maka berhembuslah rohnya yang suci dan seolah-olah berkata :"79 tahun aku
berjuang semasa hidupku dengan memuji Allah aku telah beramal. Lihatlah madrasah-
madrasah yang ada di seluruh penjuru negeri menjadi saksi bahwasannya ucapan dan
perbuatanku tidaklah sia-sia.
Pengembangan Pendidikan di Alkhairaat

Dalam perkembangannya, ketika dilaksanakan Muktamar I pada tahun 1956, jumlah


madrasah Alkhairaat tercatat sebanyak 25 buah. Keputusan penting yang dihasilkan oleh
Muktamar adalah dibukanya Madrasah Lanjutan Pertama yang dipimpin oleh Ustad Abbas
Palimuri dengan mengakomodasi pelajaran umum dan agama masing-masing 50 persen. Pada
tahun 1963 dilaksanakan Muktamar II Alkhairaat di Ampana. Dilaporkan bahwa jumlah
madrasah naik menjadi 150 cabang. Pada Muktamar Alkhairaat ke 3, jumlah madrasah
meningkat lagi menjadi 450 cabang, Muktamar ke 4 tahun 1980, 556 cabang. Muktamar ke 5
tahun 1986 sebanyak 732 cabang, dan hingga akhir tahun 2004, Alkhairaat telah memiliki
1.561 Madrasah/Sekolah dan 34 Pondok Pesantren yang tersebar di Kawasan Timur
Indonesia.

Di bidang pendidikan tinggi, Alkhairaat membuka Universitas Alkhairaat (UNISA) dengan 5


fakultas definitif dan 2 fakultas persiapan. Kelima fakultas tersebut yaitu Fakultas Agama,
Pertanian, Perikanan, Ekonomi dan Sastra ditambah Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan
serta kedokteran. Sampai tahun 2004, UNISA tercatat telah mewisuda 1.841 sarjana Strata 1
dan D2.

Selain itu, untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada Keluarga Besar Alkhairaat dan
masyarakat umum, dibukalah Rumah Sakit Islam S.I.S Aljufri yang diresmikan bersamaan
dengan Haul ke 35 Habib Idrus Bin Salim Aljufri pada tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai