Biografi
Kiai Haji Ahmad Rifai dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di desa Tempuran
Kabupaten Kendal dari pasangan suami isteri K.H. Muhammad Marhum Bin Abi Sujak Seorang
Penghulu Landerad di Kendal dan Siti Rahmah, pada waktu usia Dia sekitar 6 tahun ayah Dia
wafat (Semoga Allah Mengasihinya), sehingga Dia mendapat sentuhan kasih sayang dari
seorang ayah dalam waktu yang singkat, yaitu selama 6 tahun. pada usianya yang begitu muda
itu (6 tahun) itu dia (Ki Ahmad) sudah diasuh oleh kakaknya yang bernama Nyai Rajiyah istri Kiai
As'ari seoarang ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu.
Di sinilah Syekhina belajar ilmu agama kepada kiai As'ari dan diamalkan melalui dakwah lisan
dan tulisan kepada rakyat sekitarnya, sebelum sampai kesuksesannya menelurkan banyak karya
ilmiah yang sarat ilmu dan patriotisme serta cita-cita kemerdekaan yang justru menghadirkannya
pada suatu keadaan yang tidak menguntungkan baginya dan bagi kita (dampaknya sampai
sekarang) yaitu: berpisah dengan keluarga dan menikmati masa masa terakhir hidup dalam
pengasingan meski sempat ada komunikasi lewat surat-menyurat dengan Maufuro tetapi setelah
ketahuan Belanda hubungan benar-benar putus dan para murid semakin terpojok oleh isolasi
Belanda, kitab-kitab banyak disita Belanda dan sekarang cerita ini hanya diketahui oleh
beberapa orang saja bahkan keturunan syeikhina dijawa tidak diketahui, tanah wakaf dijarah
penduduk meski sebagian telah dibeli / dimerdekakan oleh para Saudara Rifaiyah yang semoga
dimuliakan Allah serta isu klasik yang menyerang para muridnya ditambah tidak adanya
regenarasi menjadikan kita minoritas kalah kuantitas bahkan mungkin kualitas.
Dia hidup dipengasingan sampai ajalnya menjemputnya di Ambon pada Kamis 25 Robiul Akhir
1286 H (usia 86 tahun), ada riwayat lain yang mengatakan dia wafat pada 1292 H (92 tahun,
semoga yang ini benar, karena itu berarti dia panjang umur) di kampung Jawa Tondano
Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi Utara dan dimakamkan di komplek makam
pahlawan Kiai Modjo di sebuah bukit yang terletak kurang lebih 1 km dari kampung Jawa
Tondano (Jaton) .
Papan Nama Makam
Pulang ke Kendal menjelang kembali ke kampung halaman di Kendal, Kiai Haji Ahmad Rifai
bertemu dengan ulama-ulama Indonesia di Mekkah ,Nawawi dari Banten, Muhammmad
Khallil dari Madura dan teman yang lain. Dalam pertemuan itu, mereka mengadakan
musyawarah untuk memikirkan nasib umat di Indonesia yang sedang terbelenggu
oleh takhayul, kufarat dan mistis. Bahkan bangsa Indonesia sedang dalam
cengkeraman Belanda hasil musyawarah yang mereka sepakati bersama, mengadakan
pembaharuan dan pemurnian islam lewat pengajian, diskusi, dialog dan penerjemahan kitab-
kitab bahasa Arab ke bahasa Jawa ( Jarwa'ake!).
Di pesantren inilah Syeikhina dibesarkan dan memperoleh pendidikan dan pembinaan dari Kiai
Asy'ari, setelah tumbuh menjadi pemuda dan dianggap cukup pengetahuan ilmu agamanya, Kiai
Ahmad Rifai terjun ke dunia dakwah di Kendal, Wonosobo bahkan Pekalongan, di Kendal ia
mendirikan pengajian dan menghimpun parasantri yang datang dari berbagai daerah, sehingga
menjadi kelompok pengajian yang besar.
Keberhasilan Kiai Ahmad Rifai ini karena dakwah dan pengajiannya sangat menarik sebelum
kegiatannya diketahui oleh pemerintah kafir kolonial setempat, Ahmad Rifai Kiai
keturunan Kraton Yogyakarta ini telah berhasil menggalang kekuatan barangkali belum pernah
dimiliki kiai-kiai lain. Sehingga pada saat ia diasingkan dari Kendal kemudian atas inisiatif sendiri
menetap di Kalisalak , Kiai Ahmad Rifai sudah punya jaringan luas untuk mengembangkan
ajarannya. Strategi dakwah yang dikembangkan kiai Ahmad Rifai saat itu antara lain:
menghimpun anak-anak muda untuk dipersiapkan kelak menjadi kader-kader dakwah, karena
pemuda adalah harapan keluarga dan masyarakat. Di tangan pemudalah urusan umat dan
dalam derap langkah pemudalah hidupnya umat. Sekarang pemuda, esok pemimpin. Pemuda
Qahar dan Maufuro adalah bukti hasil pengaderannya.
Menghimpun kaum dewasa lelaki dan perempuan dari kaum petani, pedagang dan pegawai
pemerintah, dimaksudkan untuk memperkokoh strategi dakwah, penyokong utama dalam segi
finansial dan dewan harian pelaksanaan dakwah pengajiannya itu. Mengunjungi sanak famili
terdekat diajak bicara tentang kondisi agama, politik dan sosial yang dimainkan oleh
pemerintah kolonialisme Belanda dengan membuktikan fakta-fakta yang ada dan langkah yang
akan ditempuh dengan dakwah dan pengajian, supaya memperoleh simpati keluarga. Para
santri dan murid dianjurkan kawin antar sesama murid atau murid dengan anak guru, antar desa
dan antar daerah dimaksudkan agar terjalin hubungan yang mesra dan saling menumbuhkan
kasih sayang dan dapat mengembangkan ilmunya didaerah masing masing. Kiai Maufuro
menikah dengan anaknya bernama Nyai Fatimah alias Umroh.
Pada hari-hari tertentu mengadakan kegiatan khuruj berkunjung ke tempat lain yang miskin
materi dan agama . Dengan kunjungan itu diharafkan akan memperoleh respon dari masyarakat
atau mungkin paling tidak dapat membentengi pengaruh budaya barat yang merusak.
Menghimpun kader-kader muslim terdiri dari santri dan murid dari berbagai daerah kemudian
dijadikan mubalig untuk diterjunkan ke berbagai pelosok guna memberi dan menyampaikan
dakwah ketengah masyarakat.
Menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab dengan kitab berbahasa Jawa yang mudah
dipahami dan diamalkan dengan model karangan sendiri. Untuk menyesuaikan kondisi
masyarakat pada waktu itu, dibuatkan kitab -kitab berbentuk syair atau nadzam yang indah dan
dilagukan sedemikian rupa sehingga menarik minat pembaca dan pendengar, kertas putih,
tulisan merah, untuk setiap Al Qur'an, Al Hadits, Qoulul Ulama (perkataan ulama) serta tiap kata
awal dari syair (yang Mengilhami ditulisnya tulisan ini dengan huruf merah pada awal paragraf)
serta hitam untuk tulisan makna dan komentar, penulisan ini sesuai dengan budaya bangsa
sejak Sultan Agung Mataram XVI dalam penulisan kitab-kitab Arab.
Pemerintah tidak mau lagi jatuh kedua kalinya dalam satu lubang. Sebelum Mubalig Ulung lebih
jauh melangkah, pemerintah kolonial mengambil langkah mengasingkan ulama kharismatik ini ke
luar Kendal, tidak lain agar gerakan dia terhambat dan tidak berkembang. Atas kenyataannya ini
kemudian ia memilih tempat tinggal di Kalisalak sebagai basis perjuangannya. Langkah ini
ditempuh karena Kalisalak merupakan daerah strategis untuk medan dakwah dan memudahkan
kontak hubungan dengan semua pihak dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada umumnya masyarakat disana kaum petani yang pengetahuan agamanya perlu
disempurnakan. Selain itu para murid yang pernah mendapat latihan mental waktu di Kendal
adalah dari Krisidenan Pekalongan, di samping Karisidenan lain, seperti Maufuro Batang, Abu
Ilham Batang, Abdul Azis Wonosobo, Abdul Hamid Wonosobo, Abdul Qohar Kendal, Muhammad
Thuba Kendal, Imamtani Kutowinangun, Muh Idris Indramayu, Muharrar Purworejo, Mukhsin
Kendal, Mas Suemodiwiryo Salatiga, Abdullah ( Dolak ) Magelang, Abu Hasan Wonosobo, Abu
Salim Pekalongan, Abdul Hadie Wonosobo, Tawwan Tegal, Asnawi Pekalongan, Abdul Saman
Kendal, Abu Mansyur Wonosobo, Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Hasan Wonosobo,
Muhammad Tayyib Wonosobo, Ahmad Hasan Pekalongan, Nawawi Batang , Abu Nawawi
Purwodadi.
Tidak lama kemudian Ahmad Rifai menikahi janda Demang Kalisalak Alm Martowidjojo namanya
Sujainah lalu ia hidup bersama istrinya di Kalisalak. Di Kalisalak pada mulanya Kiai Haji Ahmad
Rifai menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Namun lembaga itu kemudian berkembang
menjadi majelis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun
perempuan. Satu hal yang menyebabkan pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah
metode terjemahannya, baik Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan
Aceh lebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid,
bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh secara sadar,seperti yang tersirat di dalam
satu bait kitab Ri'ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut:
Wajib saben alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti
pitutur saking Qur'an lan kitab - kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur ningali
kitab Tarjamah jawi pitutur
Artinya: Diwajibkan bagi setiap alim adil ( ulama akhirat ) untuk menejemahkan kitab Arab, agar
orang jawa lebih mengerti ajaran dari Al Qurandan kitab-kitab Arab ( Hadits dan Ulama ) dengan
benar sehingga orang awam mengerti dan segera melaksanakannya.
melihat ( membaca dan mempelajari ) kitab Tarjumah jawa sebagai ajaran. karena metodenya
yang tepat manfaat maka tak mustahil pengajian Ahmad Rifai cepat berkembang. Para muridnya
datang dari daerah yang dekat saja seperti Kendal, Batang dan Pekalongan tetapi juga berasal
dari Kedu , Wonosobo, Magelang , Banyumas, Kerawang, Indramayu dan lainnya . Dan
intensitas pengajaran tauhid , fiqh dan tasawuf rasional yang dijalankan oleh Haji Ahmad Rifai
yang menyebabkan perbedaan antara tradisi keliru yang telah mapan dengan pemikiran barunya
. Mendirikan Pesantren Kiai Haji Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren
di Kalisalak Batang . Sistem pengajaran yang menggunakan terjemahan bahasa jawa untuk
memahami ajaran - ajaran islam , mendorong bertambahnya murid pesantren yang berdatangan
dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara waktu itu kebiasaan di pondok
pesantren masih berlaku pengajian kitab - kiatb berbahasa Arab saja , dan masih asing terhadap
kitab kitab terjemahan. Menurut DR. Karel A. Steenbrink ( Sarjana Belanda ) bahwa di dalam
sejarah dakwah , Ahmad Rifai bisa dianggap hampir satu - satunya tokoh yang bisa memberikan
uraian tentang agama Islam tanpa memakai idiom - idiom Arab dan mampu mengarang buku
dalam bahasa yang menarik karena memakai bentuk syair. Metodologi yang digunakan dalam
pengajarannnya menggaunakan empat tahapan . Keempat tahapan itu adalah:
Tahapan Pertama ; Seorang santri harus belajar membaca kitab Tarojumah terbatas pada
tulisan Jawa. Sistem pengajaran ini dinamakan ngaji irengan , mengejakan satu persatu huruf
kemudian merangkum menjadi bacaan atau kalimat, tingkatan ini merupakan awal di dalam cara
membaca kitab Tarojumah . Disamping itu para Santri harus menghafal syarat rukun iman, dan
islam, ibadah salat dan wiridan " Angawaruhi Ati Ningsun.......!" atau " Sahadat Loro". Setelah
Salat fardlu, diwajibkan mengikuti praktek Salat yang dipimpin oleh lurah -pondok yang
bersangkutan .
Tahapan Kedua ; Mengaji dalil - dalil Al - Qur'an , Hadist dan Qoulul Ulama', yang terdapat Kitab
Tarojumah. Dalam Tahapan ini Seorang Lurah pondok harus menguasai ilmu tajwid Al - Qur'an
dan mampu mengaplikasikannya dalam bacaan Al-Qur'an dengan benar. Pengajian tahap ini
disebut ngaji abangan karena memang tulisan Arab untuk dalil adalah berwarna merah atau
ABANG atau disebut juga ngaji dalil karena hanya dalil saja yang dibaca. Di samping itu santri
harus hafal dan bisa serta paham tentang Syarat - Rukun Puasa dan Salat.
Tahapan Ketiga ; Mengaji dalil dan makna jadi satu dari kitab - kitab Tarojumah , tahapan ini
dinamakan ngaji lafal makno ( belajar menerjemahkan tiap kata dalil / kalimat dalil dengan
bahasa jawa yang ada dibawah dalil itui ) , disini para santri membutuhkan kejelian dalam
mencari arti.
Tahapan Keempat ; Seorang santri diajak memahami maksud yang terkandung dalam kitab -
kitab Tarojumah , karena hampir setiap kalimat mempunyai makna harfiah dan tafsiriah yang
tentunya membutuhkan keterangan dan pemahaman yang dalam . Kitab - kitab Tarojumah
disusun dengan formula lengkap : Kamaknanan , Kamurodan , Kasarahan , Kamaksudan Dan
Kapertelanan , atau dengan kata lain ngaji maksud , ngaji sorah , ngaji bandungan , atau ngaji
sorogan . Pengajian ini berupa pembacaan dan penerangan isi kandungannya dan dilakukan
oleh Syaikhina Haji Ahmad Rifai sendiri dihadapan para santri dan murid pilihan kemudian
mereka satu persatu memcoba menirukan seperti apa kata dia . Dalam pengajian ini diajarkan
pula oleh ulama' itu tentang ilmu dan amalan kesunahan yang tidak tertulis di dalam kitab - kitab
Tarojumahnya.
Kitab - Kitab Tarojumah Karangannya Kitab -kitab karya Kiai Haji Ahmad Rifai di Jawa yang
dapat diketahui pasti ada 62 buah judul kitab rangkuman berbagai soal keagamaan yang diambil
dari Al - Qur'an dan Al - Hadits dan kitab - kitab bahasa Arab karangan ulama' - ulama' terdahulu
yang diterjemahkan secara bebas kedalam bahasa Jawa , karenanya disebut Tarajumah , berisi
ilmu Tauhid , Fiqih dan Tasawuf , memakai huruf Arab Jawa Pegon, sebagian besar berbentuk
nadzam ( puisi tembang ), setiap empat baris dengan akhiran sama dan sebagian lagi natsar
( prosa ) atau natsrah ( nadzam dan natsar sekaligus ) , selain itu ada juga yang berbentuk
miring yang disebut Tanbih Rejeng.
karya Tulis
Kitab - kitab yang disusun di pulau Jawa
ada 62:
Syarihul Iman, berisi Bab Iman , Islam , Ihsan dan barang ta'alu' ( 1255 H ) ;
Nadzam Arja Safa'at , berisi Hikayat Isro' Mi'roj Nabi Sol'Am ( 1261 H ) ;
Rukhsiyah , berisi Bab Salat Jama' - Qosor dan Salat Musafir ( 1269 H ) ;
Surat wasiat kepada Maufuro dan Murid - Murid lainnya ! ( 1275 H ) ;
Perlu diketahui bahwa kitab Tanbih terdiri dari tiga halaman folio sebanyak 114 baris nadzam
dan di dalam setiap tanbih membahas satu masalah agama yang berbeda dengan nyang lain ,
berati dalam 500 tanbih terdapat 500 judul. Kalau tiap satu tanbih dapat dihitung sebuah kitab ,
maka kitab - kitab karangan syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai ada 562 Kitab yang dikarang di
Pulau Jawa saja, kitab - kitab yang dikarang di Ambon yang terdiri dari 60 Tanbih dan 4 kitab
bahasa melayu serta dua surat wasiat kepada Maufuro, jadi kalau ditotal semua karangan Guru
Besar Tarjumah ada 627 buah kitab.
Adapun data mengenai nama kitab, tahun selesai dikarang, dan kandungan bersumber pada :
1. Jadwal Kitab yang disusun oleh Kiai Ahmad Nasihun bin Abu Hasan Paesan
tengah Kedungwuni Pekalongan ( 1966 M ) ;
2. Kitab - kitab karangan Kiai Haji Ahmad Rifai dipulau Jawa
3. Buku Sejarah Nasional karangan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo , Nugroho
Notosusanto dkk. Masa Akhir Perjuangan Dia Di Pulau Jawa
Tahun 1272 H ( 1856 ) adalah tahun permulaan krisis bagi gerakan Syeikhina Kiai Haji Ahmad
Rifai . Hal ini disebabkan hampir seluruh kitab karangan ( dan Hasil tulisan tangan dia ) disita
oleh pemerintah Belanda , disamping itu para murid dan Ahmad Rifai sendiri terus - menerus
mendapat tekanan Ratu Kafir Tanah Jawa ( RKTJ Bukan GITJ ) yaitu Belanda . Sebelum Haji
Ahmad Rifai diasingkan dari kaliwungu KendalSemarang , tuduhan yang dikenakan hanyalah
persoalan menghasut pemerintah Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifai dipenjara beberapa
hari di Kendal , Semarang dan terakhir di Wonosobo .
Maka selama di Kalisalak persidangan panjang dialaminya , menghasut , mendoktrin jamaah
membuat Syair - Syair protes dan beberapa Kitab yang isinya menyinggung Anti
kolonial Belanda dan Kroni - kroninya serta mengkader pejuang pejuang militan di Pesantrennya
adalah selalu menjadi tuduhannya. Tuduhan itu dari wedono Kalisalak yang meminta agar Haji
Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak ternyata tidak bisa dibuktikan sebagaimana dalam surat
keputusan kelima dari Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist yang dibuat pada tanggal 2 Juli
1855menyatakan bahwa seluruh tuduhan terhadap Haji Ahmad Rifai belum bisa dibuktikan , dan
perlu diperiksa dalam persidangan biasa . Untuk sementara waktu waktu perkara tersebut
ditutup.
Pada tahun 1856 Jendral Albertus Jacub Duymaer Van Twist oleh Jendral Charles Ferdinand
Pahud, Wedono Kalisalak memandang perlu untuk mengangkat kembali permasalahan
pengasingan Kiai Haji Ahmad Rifai , namun ternyata jendral Pahud pun menyatakan menolak
sebagaimana yang ditulis dalam suratnya tertanggal 23 November 1858. Akan tetapi tekad dan
dendam Iblis Wedono Kalisalak tidak berhenti sampai disini , Dia menulis surat kepada Bupati
Batang tertanggal 19 April 1859 No.1 A yang isinya diteruskan
ke Karisidenan Pekalongan oleh bupati Batangpada tanggal 24 April 1859 No.29 . Inti surat
tersebut isinya adalah sebagaimana bunyi surat yang pernah dikirim sebelumnya tertanggal 9
November 1858 No.578 dan 5 November 1858 No.700, mengigat belum juga mendapat
perhatian dari Residen Pekalongan, maka diperjelas lagi dengan suratnya tertanggal 29 April
1859. Selain itu pada tanggal 30 April 1859 Residen Pekalongan menulis surat kepada Buiten
Zorg diBogor yang isinya agar Kyai Haji Ahmad Rifai disidangkan ke pengadilan dan diasingkan
dari Kalisalak. Pada tanggal 6 Mei 1859 secara resmi Haji Ahmad Rifai dipanggil Residen
Pekalongan Franciscus Netscher untuk pemeriksaan terakhir dan syarat untuk memenuhi
pengasingan keAmbon. Sejak tanggal 6 Mei 1859 Haji Ahmad Rifai sudah tidak diperkenankan
kembali ke rumah lagi untuk menunggu keberangkatan pengasingan hingga tanggal 9 Mei 1859,
berdasarkan surat keputusan No.35 tertanggal 19 Mei 1859 K.H. Ahmad Rifai meninggalkan
jamaah beserta para keluarganya karena mulai hari itu dia diasingkan di Ambon,Maluku.
Setelah dua tahun Haji Ahmad Rifai di Ambon dia telah mengirim kitab sebanyak empat buah
dalam bahasa Melayu dan 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu juga surat wasiat
tertanggal 21 Dzulhijjah 1277 H kepada menantunya Kyai Maufura bin Nawawi di
Keranggongan, Batangyang isinya agar para muridnya beserta keluarganya jangan sekali-kali
taat pada pemerintah Belanda dan orang-orang yang berkolaborasi dengannya. Setelah di
Ambon Haji Ahmad Rifai bersama Kyai Modjo dan 46 ulama lainnya dipindahkan ke kampung
Jawa Tondano, Manado,Sulawesi Utara karena ia bersama ulama-ulama Tarojumah
menganggap perlu lahirnya organisasi Rifaiyah secara nasional , dan dia tinggal disana untuk
menanti panggilan dari sang Robb, Dia wafat dengan tenang sebagai " Pahlawan Islam dan
bukan Pahlawan Nasional" pada Kamis25 Robiul Akhir 1286 H (usia 86 tahun) , ada riwayat lain
yang mengatakan dia wafat pada 1292 H (92 tahun, semoga yang ini benar, karena itu berarti
dia panjang umur) di kampung Jawa Tondono Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi
Utara dan dimakamkan dikomplek makam pahlawan kiai Modjo disebuah bukit yang terletak
kurang lebih 1 km dari kampung Jawa Tondano (Jaton).