Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada
penderita sebagai individu seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi
(Cheville, 2010). Perawatan ini diperlukan bagi penderita dengan penyakit
yang belum dapat disembuhkan seperti kanker dan penyakit infeksi HIV
AIDS.
Sejak penyakit tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada
stadium lanjut bahkan hingga hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan
perawatan paliatif agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi penderita
serta keluarganya (Clinch dan Schipper, 1996). Pemerintah telah memberikan
kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang tertuang dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
604/MENKES/SK/IX/1989. Terdapat empat subkomite di dalam Komite
Nasional Penanggulangan Penyakit Kanker yaitu subkomite pencegahan,
subkomite deteksi dini, subkomite terapi, serta subkomite perawatan
paliatif dan bebas nyeri (Tejawinata, 2012).
Dari data World Health Organization (WHO) diketahui bahwa pada
tahun 2008, 7.6 juta penduduk dunia meninggal karena kanker (13% dari
seluruh jumlah kematian) (WHO, 2012). Penyakit kanker di Indonesia
menjadi penyebab kematian ke-4 terbesar untuk penyakit tidak menular.
Prevalensi penderita kanker Indonesia mencapai 4,3 orang per 1000
penduduk. Dengan jumlah penduduk 237.6 juta jiwa per tahun 2010,
penderita kanker di Indonesia diperkirakan 1.02 juta jiwa. Dari data
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, diperkirakan bahwa angka
kejadian penyakit kanker di Indonesia adalah 0.1% dari jumlah penduduk dan
lebih dari 50% penderita kanker datang pada stadium lanjut (Statistik
Indonesia, 2012).

1
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi merupakan suatu proses untuk
membantu seseorang mencapai potensi fisik, psikologik, sosial, vokasional
dan edukasional sepenuhnya yang konsisten dengan
gangguan/impairement fisiologik atau anatomiknya, keterbatasan
lingkungannya, keinginannya, serta rencana hidupnya (Palma dan Payne,
2001).
Perawatan paliatif muncul sebagai dua bagian yang penting dalam
penanganan penderita stadium lanjut atau kronis. Keduanya sama-sama
memiliki tujuan sebagai perawatan yang komprehensif, multidisiplin,
untuk mempertahankan fungsi fisik dan kemandirian penderita. Dengan
demikian kualitas hidup penderita dapat diperbaiki dan beban perawatan
bagi para keluarga atau pengasuh penderita dapat dikurangi (Tulaar, 2012).

B. Rumusan Masalah
1. Definisi nyeri ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi respon nyeri
3. Apa saja klasifikasi nyeri
4. Bagaimana cara pengukuran nyeri
5. Bagaimana manajemen nyeri pada pasien paliatif

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi nyeri
2. Untuk mengetahui bebagai faktor yang mempengaruhi respon nyeri
3. Untuk mengetahui berbagai klasifikasi nyeri
4. Untuk mengetahui Bagaimana cara pengukuran nyeri
5. Untuk mengetahui Bagaimana manajemen nyeri pada pasien paliatif

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,
2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri
yang berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal. Ada
yang berpendapat lama nyeri kronis adalah berlangsung lebih dari 6 bulan.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri


1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan

3
bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri
dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

C. Klasifikasi Nyeri
1. Klasifikasi nyeri menurut smeltzer & bare (2002) mengklasifikasikan
nyeri berdasarkan durasi yaitu :
a) Nyeri akut

4
Nyeri akut biasanya awitanya tiba-tiba dan umumnya berkaitan
dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan
atau cidera telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6
bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan. Untuk tujuan definisi nyeri
akut dapat dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari beberapa detik
hingga 6 bulan
b) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiter yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan
dengan penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronik dapat tidak
mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyembuhan. Nyeri kronik sering
di identifikasikan sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau
lebih, meskipun dapat berubah antara akut dan kronik.

D. Pengukuran Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sebyektif dan kompleks yang
melibatkan faktor sensori, emosi, psikologi, dan sosial. Saat ini nyeri dapat
dimasukkan sebagai tanda vital ke lima selain respiration rate, tekanan darah,
heart rate, dan suhu tubuh.
Nyeri dapat dinilai menggunakan berbagai alat ukur. Diantaranya
dapat dipakai Self assessment tools dimensi tunggal atau multidimensi.
Apabila nyeri yang diukur dengan sellf assessment tools tersebut tidak sesuai
dengan hasil pemer iksaan fisik, dianjurkan untuk menggunakan behavioral
assessmnet. Pada anak bayi, anak usia dibawah 3 tahun, pasien dengan
gangguan kognitif dapan dipakai skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry,
Consolalility)

5
1.

2.

3.
Gambar 2.9. 1. Visual Analogue Scale, 2. Numerical Rating Scale,
3.Wong Baker Faces Scale.
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 :Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 :Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.

6
E. Manajemen Nyeri pada pasien paliatif
1. Farmakoterapi
Dalam menentukan terapi medikamentosa yang paling dapat juga
merupakan suatu nyeri neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu,
pasien mencapai derajat analgesia yang memuaskan dengan pemberian
antidepresan. Penggunaan obat opioid dalam jangka lama bukanlah jalan
keluar yang terbaik untuk pengelolaan semua jenis sindom nyeri.

Konsep analgesia multimodal merupakan pendekatan farmakologi


dengan menggunakan dosis kecil dari beberapa obat berbeda yang saling
bersinergi untuk mencapai perbaikan derajat nyeri yang maksimal dengan
efek samping yang minimal dengan memperhatikan interaksi antar obat
dan kondisi pasien.

Dalam penatalaksanaan nyeri nosiseptif dikenal beberapa golongan


obat, antara lain golongan non opioid analgetik dan opioid. WHO
membuat suatu acuan untuk pemakaian obat-obatan yang rasional sesuai
dengan derajat nyeri yang dirasakan. Pemakaian pedoman ini terutama
untuk menangani masalah nyeri nosiseptif.

Tabl 3.2 . Penggunaan analgetik menurut tahapan analgetik WHO

Seseorang dicurigai menderita nyeri neuropatik ketika nyeri


dikeluhkan sebagai terbakar, tertembak, tertusuk-tusuk, tajam, diris-iris,

7
atau sensasi yang aneh. Pada pemeriksaan fisik kadang tidak ditemukan
kerusakan jaringan yang nyata. Analgesik konvensional sering tidak
efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat yang digunakan untuk
mengatasi nyeri neuropatik disebut analgetik adjuvant karena indikasi
utama obat ini adalah bukan untuk nyeri (antidepresan, antikonvulsan,
antihipertensi).

a. non opioid analgesik


Obat golongan ini umumnya digunakan sebagai analgesia
nyeri dengan derajat ringan sampai sedang. Obat-obatan ini
memiliki ceiling effect, yaitu suatu keadaan/dosis dimana
peningkatan dosis lebih lanjut tidak akan lagi menambah efek
analgesianya.
b. nonsteroidal anti inflamamtory drugs (nsaids)

Golongan obat analgetik ini juga bekerja sebagai antipiretik


dan anti inflamasi dengan menghambat enzim Cyclooxygenase
(COX) yang diperlukan dalam sintesa prostaglandin dan
tromboxan. Nyeri yang berasal dari proses inflamasi memberikan
respon yang baik terhadap obat anti inflamasi. Terdapat 2 COX
isoform yaitu COX1 dan COX2. NSAIDs tradisional merupakan
inhibitor non selektif COX1 dan COX2 (contoh: diclofenac,
indometasin, ibuprofen, ketorolac, piroxicam), sedangkan generasi
yang baru merupakan inhibitor selektif COX2 (contoh: meloxicam,
coxib).

Induksi sentral COX secara luas mengakibatkan hilangnya


gairah, selera makan, nyeri yang dirasakan di seluruh tubuh,
perubahan mood, dan gangguan siklus tidur, oleh karenanya
pemberian nonsteroidal anti inflamamtory drugs (NSAIDs) dapat
memberikan manfaat yang memuaskan untuk keadaan tersebut.
Namun demikian, pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang
dengan obat golongan ini harus dimonitor mengenai efek samping

8
obat, antara lain berupa pendarahan gastrointestinal, komplikasi
kardiovaskuler, dan ginjal.
c. opioid
Istilah opioid digunakan untuk semua obat sistetis maupun
natural yang mempunyai aksi kerja pada reseptor opioid di sistem
saraf sentral maupun perifer.
Peresepan opioid ditujukan pada penatalaksanaan nyeri
dengan derajat sedang sampai berat, dan pasien harus diingatkan
mengenai efek samping obat, khususnya ketika direncanakan akan
digunakan dalam jangka panjang. Opioid dimulai dengan dosis
kecil peroral, kemudian dinaikkan sampai mencapai analgesia yang
diinginkan.
Efek samping yang sering dijumpai berupa konstipasi,
mual, drowsiness, pruritus, dan depresi pernafasan. Pemberian
opioid yang berkepanjangan dapat menyebabkan imunosupresi,
melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, yang
mengganggu fungsi limfosit.

Penggunaan jangka panjang juga menekan produksi


gonadotrofin dan testosteron sehingga menimbulkan masalah
disfungsi seksual dan keseimbangan mood. Walaupun jarang,
opioid dapat menginduksi hiperalgesia sehingga penambahan dosis
akan memperberat keluhan nyeri.

Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemberian


opioid diantaranya adalah:

- Opioid hanya diberikan jika modalitas analgetika yang lainnya


gagal
- Riwayat penyalahgunaan obat, kepribadian patologis, kondisi
rumah dan lingkugan yang tidak mendukung harus
dipertimbangkan sebagai kontra indikasi relatif

9
- Persetujuan dan edukasi pasien mengenai resiko ketergantungan,
penyimpangan kognitif yang mungkin terjadi, dan efek samping.
- Penggunaan opioid yang bertanggung jawab, baik peresepan, cara
pakai, dosis, dan pengawasannya.
d. analgetik adjuvant
Analgesik adjuvant adalah obat-obatan yang indikasi
primernya bukan untuk mengatasi nyeri namun memberikan efek
analgesia pada kondisi nyeri tertentu. Analgesik adjuvant diberikan
pada pasien dengan tujuan
- mengelola nyeri yang sukar disembuhkan dengan analgesik lain
- untuk menurunkan dosis analgesik lain saat dipakai bersama
dengan analgesik adjuvant sehingga dapat mengurangi efek
samping
- secara bersamaan mengelola keluhan selain nyeri.
Pada beberapa kondisi klinis tertentu, analgesik adjuvant
memberikan hasil yang memuaskan sehingga dipakai sebagai obat
lini pertama.
e. Antidepresan
Antidepresan trisiklik merupakan pilihan lini pertama pada
nyeri neuropatik karena keefektifannya. Satu dari tiga pasien
mengalami perbaikan derajat nyeri lebih dari 50%.
Amitriptyline dimulai dari dosis rendah (10-25 mg pada
malam hari) dan bertahap ditingkatkan (sampai dengan 100 mg)
sesuai toleransi pasien. Namun pada pasien lanjut usia harus
digunakan dengan hati-hati karena efek sedasinya yang kuat,
antikolonergik, dan hipotensi ortostatik. Pasien harus diberi
penjelasan mengenai efek samping obat yang mungkin timbul dan
onset analgesia yang diharapkan baru dapat dirasakan dalam
beberapa minggu. Pasien harus mengerti bahwa pemberian obat
golongan ini bukan karena dokter menganggap mereka mengalami
gangguan jiwa.

10
f. Antikonvulsan
Bagi pasien yang tidak berespon memuaskan atau tidak
dapat mentolerir antidepresi trisiklik, direkomendasikan untuk
memakai obat alternatif dengan menambahkan analgetik opioid
bersama antidepresi trisiklik atau menggantikannya dengan
memulai terapi antikonvulsan berupa carbamazepine, fenintoin,
atau gabapentin.
Gabapentin dapat menjadi pilihan utama karena efek
samping sedasi dan confusion lebih rendah.

Antikonvulsan memberikan efek analgesia dengan


menstabilkan membran neuron pada sistem saraf pusat dan
perifer. Beberapa antikonvulsan dilaporkan dapat meningkatkan
GABA (Gamma Amino Butyric Acid) di sistem saraf pusat.
Analgetik ini dipertimbangkan dapat diberikan lebih awal pada
nyeri neuropatik yang bersifat seperti diris-menusuk
(lancinating) dan nyeri hebat (paroxysmal).
g. Anksiolitik dan sedative
Benzodiazepin adalah depresan pada sistem saraf pusat
dengan diduga mempunyai efek potensiasi GABA. Beberapa
peneliti tidak menyarankan pemakaian benzodiazepine dalam
jangka panjang karena kemungkinan terjadi penyalahgunaan obat
dan penurunan kapasitas fungsional.
Pemakaian berkepanjangan berdampak buruk pada perilaku
(menjadi pemarah dan bermusuhan).

Diazepam dapat diberikan peroral 2-10 mg perhari.


Clonazepam 0,5-1 mg maksimal 20 mg/hari dan Alprazolam 0,25-
0,5 mg maksimal 4 mg/hari

11
h. Steroid
Steroid memiliki anti inflamasi, mengurangi konsentrasi
mediator inflamasi di jaringan, dan menurunkan letupan pada
saraf yang cidera. Pada neoplasma tertentu yang peka terhadap
steroid, obat ini mengurangi odem para tumor, memperkecil
ukuran tumor, dan menurunkan tekanan terhadap jaringan sekitar.
Obat yang dapat dipergunakan diantaranya deksametason,
prednison, dan metilprednisolon.
Pemakaian steroid jangka panjang memberikan efek
samping berupa sindroma cushing, pemambahan berat badan,
hipertensi, osteoporosis, miopati, peningkatan resiko infeksi,
hiperglikemia, peptic ulcer, dan avaskuler nekrosis kaput femur.
i. Analgetik Topikal
Analgetik ini dapat dipakai pada kasus nyeri neuropatik
yang disebabkan kelainan saraf perifer dan disestesia
berkepanjangan. Absorbsi sistemik yang minimal bermanfaat pada
pasien lansia dengan penyakit komorbid dan kesulitan mentolerir
efek samping obat sistemik. Beberapa obat dari golongan ini
diantaranya krim capsaicin, lidokain, prilokain, dan krim yang
mengandung NSAIDs (aspirin, diklofenak, dan indomethasin).
j. Antihipertensi
Clonidine adalah agonis α2 adrenergik dan α1 adrenergik
bloker yang dapat bermanfaat pada bermacam-macam sindroma
nyeri neuropatik, migrain, nyeri paska operasi, nyeri hebat pada
neuropati diabetes, neuralgia post herpestika, nyeri tungkai
nokturnal, causalgia, dan kanker. Aksi kerja obat ini berhubungan
dengan inhibisi letupan lintasan nosiseptor pada kornu posterior
medula spinalis. Clonidine merupakan lini ke dua pada penanganan
nyeri kronik, setelah NSAIDs, antidepresan, atau obat lain gagal.
Nifedipine bekerja dengan memblok kanal kalsium sehingga
menyebabkan vasodilatasi. Obat ini dapat dipakai pada kasus

12
causalgia dan sindroma Raynauds. Nifedipine diberikan peroral 10-
30 mg tiga kali perhari.

Obat antihipertensi lain yang dapat dipakai dalam


penatalaksanaan nyeri kronik antara lain propranolol, reserpine,
phenoxybenzamine, dan prazosin.

2. Terapi Non Farmakologi


a. Terapi Fisik
Fisioterapis menggunakan terapi latihan aktif maupun pasif,
teknik manual, traksi, dan modalitas fisik untuk menangani masalah
nyeri dan hubungannya dengan fleksibilitas, kekuatan, endurance,
keseimbangan, kontrol neuromuskuler, postur, serta mobilitas. Terapi
fisik dapat membantu membangun kepercayaan diri pasien,
mengurangi ketakutan untuk bergerak dan kekawatiran terhadap
cedera ulang.
b. Masase
Merupakan stimulasi sistematik dan mekanis dari jaringan
lunak pada tubuh dengan memberikan tekanan ritmik dan stretching
untuk tujuan terapeutik. Efek fisiologis dari masase dapat berupa efek
mekanis (yaitu peningkatan arus balik vena / venous return dan
drainase limfatik, penglepasan adhesi dan melembutkan jaringan
parut, dan menghilangkan sekresi) maupun efek refleksif (yaitu
peningkatan sirkulasi melalui refleks vasodilatasi, relaksasi general
dan efek sedatif, peningkatan perspirasi dan sekresi glandula sebacea,
dan mengurangi nyeri yang mungkin dengan pengendalian gerbang
atau mengalirkan opiate endogen aatau neurotransmitter). Ekstremitas
yang terbaring dengan santai juga memiliki efek-efek fisiologis dan
dapat mendorong sensasi dari rasa nyaman yang general.
Kontraindikasinya meliputi segala kondisi inflamasi dari
kulit, jaringan lunak, atau sendi, yang mengarah pada infeksi bakterial
(phlebitis, cellulitis, synovitis, abses, arthritis septis), luka terbuka, luka

13
bakar, penyempitan syaraf (seperti carpal tunnel syndrome), bursitis,
rheumatoid dan gouth arthritis, rheumatic fibrositis, panniculitis
(radang lemak subkutan), arteriosclerosis , thrombosis atau emboli
vena, varicose vena berat, gangguan pembekuan darah (atau sedang
menggunakan antikoagulan), fraktur, dan keganasan.
c. Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama
digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang
dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu,
tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke
otak.
d. Teknik distraksi
Teknik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian
terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi
nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus
nyeri. Saat seseorang menerima input sensori yang berlebihan maka
hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak
(nyeri berkurang atau tidak dirasakan). Stimulus yang menyenangkan
dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus
nyeri yang dirasakan oleh menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara
umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu,
banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu
dalam stimulasi.
Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan
sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri
dibanding stimulasi satu indera saja.
Beberapa teknik distraksi antara lain :
- Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat
pemandang an dan gambar termasuk distraksi visual.
- Distraksi pendengaran

14
Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara
burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih
musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan
diminta untuk berkosentrasi pada nada dan irama lagu. Pasien juga
diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu
seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.
- Distraksi pernafasan
Pasien bernafas ritmik sambil memandang fokus pada satu
objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan
melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian
menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan
menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan pasien
untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar
yang memberi ketenangan
e. terapi okupasi
Okupasi terapi khususnya berfokus pada edukasi pasien
mengenai postur yang sesuai dan ergonomis, aktivitas ekstrimitas
yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari – hari, dan
memfasilitasi seseorang untuk memilih atau kembali ke pekerjaan
yang sesuai. Terapis okupasional harus dilibatkan sejak awal untuk
mengindentifikasi masalah pekerjaan yang berkaitan dengan
pekerjaan, menganalisa dan memberikan saran dalam
memodifikasi pekerjaan dan jika perlu memberikan pelatihan.

f. Latihan Relaksasi dan Biofeedback


Latihan relaksasi dan biofeedback merupakan metode
penanganan perilaku yang telah berhasil digunakan untuk
menangani banyak sindroma nyeri, termasuk miofasial dan nyeri
yang diatur simpatetik. Beberapa teknik relaksasi bisa pada nyeri
kronik, dua yang paling sering yaitu latihan autogenik dan relaksasi
otot progresif.

15
Terapi relaksasi dapat dikerjakan oleh berbagai tim disiplin
keilmuan termasuk didalamnya psikolog, fisioterapis atau perawat.
Teknik yang digunakan diantaranya latihan respon relaksasi yang
dipandu (penggunaan gambar atau suara sebagai media relaksasi),
meditasi, dan hipnosis. Teknik tersebut membantu pasien untuk
dapat berperan aktif untuk dapat menolong dirinya sendiri.
g. Guided Imagery (Imajinasi terbimbing)
Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang
menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan
yang tenang serta konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami
kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan
pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.
h. Elektroterapi
Adalah terapi yang menggunakan arus listrik untuk
menstimulasi syaraf atau otot atau keduanya secara transkutaneus
menggunakan elektroda-elektroda permukaan. Efek fisiologisnya
adalah kontraksi kelompok otot yang dapat meningkatkan lingkup
gerak sendi, melatih otot, meningkatkan kekuatan otot;
Indikasi klinisnya adalah tatalaksana nyeri kronik, nyeri
neurogenik kronik, dan nyeri sistemik luas), tatalaksana efusi sendi
dan edema intersisial (akut dan kronik), menangani spasme otot,
disuse atropi otot, ulkus kulit dan luka; dan gangguan sirkulasi
(insufisiensi vena, gangguan neurovaskuler).
Kontraindikasi umumnya adalah kerusakan sirkulasi
(seperti thrombosis vena atau arteri dan thrombophlebitis),
stimulasi pada sinus karotikus, stimulasi pada area jantung
(terutama pasien yang menggunakan pacemakers), kehamilan,
gangguan kejang, fraktur yang baru, perdarahan aktif, dan
keganasan. Pemakaian harus hat-hati karena dapat menyebabkan
luka bakar dan tidak boleh digunakan pada kulit dengan penurunan
sensasi

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

A. Saran
Dalam penenrapan memanajemen nyeri yang dilkuakan juga dapat optimal
maka pengkajian nyeri dilakukan secara komprehensif .

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz Alimul Hidayat. 2004. Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta :


Salemba Medika.

http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/12/18/home-care-seminar/

http://wwwdagul88.blogspot.com/2009/12/home-care-bab-i-pendahuluan-
untuk.html

http://e-learning-keperawatan.blogspot.com/2008/12/teori-leininger.html

18

Anda mungkin juga menyukai