Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH KEALKHAIRATAAN

Sayyed Idrus bin Salim Aljufri atau yang lebih dikenal dengan sapaan Guru
Tua, adalah sosok yang paripurna di jagad Indonesia Timur. Namanya harum
membentang ke seluruh Indonesia hingga di luar kepulauan Nusantara ini.
Semangatnya besar, menebarkan Islam ke sudut-sudut daerah hingga ke daerah yang
tak terjamak. Ia susuri wilayah-wilayah yang terjal dan beronak hanya untuk
menjadikan umat beraqidah dan berilmu. Akhirnya, wilayah yang disusuri pun jauh
sangat merasakan hasil perjuangannya.
Nasab Beliau adalah : Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin
Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin
Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin
Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-Uraidhi bin Jakfar
As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin
Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.
Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada
14 syaban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M dan wafat pada hari senin 12
Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. Beliau mendapat
pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau,
Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas
mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al
Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah
satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam
kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia.
Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika

dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua
anak perempuan, Syarifah Lulu dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu kemudian
menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah
Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang.
Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar
dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami
kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar.
Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928
bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota
Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan
hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya
singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi
dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ
beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah
masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya
disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh
masyarakat

arab

Palu,

sedangkan

gaji

guru,

Habib

Idrus

yang

akan

mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada
tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya
ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota
Palu.

Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh


Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal
ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya
tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam

belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya
berdagang. Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan
profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil.
Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan
kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang
lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama
tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun
untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun
secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang
berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya
dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para
muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka
perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan
dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956)
lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia
Timur.
Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka
perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat
dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan
Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi
peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat
dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah
di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk
membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan
kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.

Para murid-murid Al-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk


meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid
belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang
hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya
dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib
Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa
madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat
danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan
Pemuda Al-Khairaat.

Anda mungkin juga menyukai