Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH SINGKAT DDI (Darul Dakwah Wal Irsyad)

Ketika H. Muhammad Yusuf Andi Dagong diangkat menjadi raja di Swapraja Soppeng Riaja (sekarang Kecamatan
Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi selatan) di tahun 1932. Tiga tahun kemudian raja tersebut mendrikan
tiga buah mesjid di wilayah kekuasaannya. Akan tetapi ketiga mesjid yang beliau bangun tersebut kurang berisi
jamaah dikarenakan rendahnya pengetahuan dan pemahaman rakyat Swapraja Soppeng Riaja akan ajaran Islam.
Sehubung degan hal tersebut beliau mengadakan pertemuan di Souraja (rumah besar/kediaman raja) untuk mencari
solusi yang tepat. Dalam pertemuan tersebut menyepakati untuk mendirikan Angngajian (lembaga pendidikan Islam)
dengan meminta bantuan KH. Muhammad Asad, pimpinan (pondok pesantren) Madrasah Arabiyah Islamiyah di
Sengkang Wajo agar mengirim murid kesayangannya, yakni KH Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengolah
Angngajiang tersebut.
Permintaan Arung Swipraja Soppeng Riaja tersebut beberapa kali ditolak oleh KH. Muhammad Asad sebelum
akhirnya permintaan tersebut diterima. Pada tanggal 29 syawal 1357 hijriah atau 21 desember 1938, KH.
Abdurahman Ambo Dalle resmi membuka posantren di mesjid jami mangkoso dengan sistem mengaji Tudang
(Halaqah) kemudian pada tangggal 11 januari 1939 di buka tingkatan Tahdiria, Ibtidaiyah, Iddadia, dan Tsanawiyah.
Posantren tersebut diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso dengan tipologi pendidikan
memadukan Salafiah dan Halafiah. Dalam perkembangannya, MAI membuka cabang di berbagai daerah di Sulawesi
Selatan diantarannya Pangkajene Kepulauan, Soppeng, Wajo, Sindendreng Rappang, dan Majene.
Pada tahun 1947, berdasarkan hasil peretemuan alim ulama Se Sulawesi Selatan serta guru-guru MAI, nama
Madrasah Arabiyah Islamia (MAI) dan cabang-cabangnya di ubah menjadi Darul Dawah Wal Irsyad di singkat DDI,
sebuah organisasi pendidikan dakwah dan sosial masyarakat yang berpusat di Mangkoso. Dua tahun kemudian, atas
permintaan Arung Mallusetasi agar kiranya KH. Abdurahman Ambo Dale menjadi kadi di Pare-pare. Permintaan
tersebut beliau terima dan menunjuk KH. Muhammad Amberi Said sebagai pengantinya memimpin DDI Mangkoso.
Pada 1949 KH. Abdurahman Ambo Dale selaku ketua umum DDI memindahkan pengurus pusat DDI, dari
Mangkoso ke Pare-pare. Sementara itu pondok posantren DDI Mangkoso di beri status sebagai cabang otonom
dengan kewenangan penuh mengatur dan mengelola posantren, namun secara organisasi tetap berada di bawah
struktur pengurus pusat DDI. Sejak itu, DDI semakin berkembang dan mengelola puluhan posantren dan ratusan
Madrasah yang tersebar di berbagi Propinsi. Pemindahaan pengurus Pusat DDI kembali terjadi dari Pare-pare ke
Kaballangeng, Kabupaten Pinrang.
KH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE
Eksistensi Darud Dawah Wal Irsyad (DDI) dalam menyebarkan dan menguatkan ajaran Islam dari daratan
Sulawesi hingga menyentuh pelosok-pelosok daratan Nusantara. Eksistensi tersebut tidak lepas dari peranan Syech
Abdurrahman Firdaus, salah seorang ulama dari Mekkah, Saudi Arabiah, yang memberikan nama Darud Dawah
Wal Irsyad (DDI). Beliau meninggalkankan Arab Saudi dikarenakan menghindari penguasa Arab Saudi yang
memiliki faham wahabiyah dan memilih menetap di Sulawesi Selatan (Sengkang), tempat dimana teman dekatnya
Syech Muhammad Asad mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) sekaligus guru dari KH. Abdurrahman
Ambo Dalle.
Peranan Syech Abdurrahman Firdaus sangatlah besar dalam meletakkan dasar Institusi DDI. Selain beliau ulamaulama yang juga berperan penting dalam eksistensi DDI ialah KH. Muhammad Abduh Pabbaja, KH. Mohammad
Nasir, KH. Harunarrasyid serta KH. Amberi Said yang menjaga dan mengembangkan DDI dari Mangkoso ke
daerah-daerah lainnya. Namun, KH. Abdurrahman Ambo Dalle tetap menjadi tokoh sentral dan cikalbakal
berdirinya pondok pesantren dari Darud Dawah Wal Irsyad (DDI) yang sebelumnya benama Madrasah Arabiyah
Islamiyah (MAI) Mangkoso.
KH. Abdurrahman Ambo Dalle memulai pendidikan dengan belajar mengaji pada bibinya yang bernama I Midi.
Proses belajar pada bibinya hanya berlangsung selama 15 hari saja, karena ibu beliau khawatir dengan pergaulan
anak-anak sebayanya di kampung dan memilih mengajar anaknya secara pribadi. Setelah beliau tamat mengaji,
beliau belajar tajwid (bugis; massara baca) pada pengajian yang diasuh oleh kakeknya Puang Caco, imam mesjid
Ujunge. Selain belajar tajwid, beliau juga membantu kakeknya mengajar mengaji anak-anak lainnya.
Selanjutnya ulama yang lahir di desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo pada tahun 1900 ini
melanjutkan pendidikannya berupa tajwid (bugis; baca pitue), hafalan Al-Quran, serta Nahwu dan Sharaf pada
ulama setempat yang bernama H. Muhammad Ishaq. Selama tiga bulan, beliau belajar pada H. Muhammad Ishaq
dan saat beliau berumur 7 tahun Al-Quran di hafalkan dengan baik. Selain belajar pada H. Muhammad Ishaq,
beliau juga beberapa kali belajar Tafsir, Fiqhi, Tauhid dan lain-lain pada ulama-ulama Arab Saudi yang datang

berkunjung ke Kerajaan Wajo, seperti Syekh Mahmud Al-Jawad, Sayyid Abdullah Dahlan dan Sayyid Hasan AlYamani (kakak Dr. Zaki Yamani, mantan Mentri Perminyakan Arab Saudi)1
Setelah belajar pada H. Muhammad Ishaq, beliau melanjutkan pendidikannya di Volk-School selama 3 tahun dan
mengikuti kursus bahasa Belanda di Holland Inlands School (HIS) yang terletak di Sengkang. Volk-School dan
Holland Inlands School (HIS) merupakan lembaga pendidikan formal Belanda yang di Khususkan hanya untuk
keturuna Belanda dan Bangsawan Pribumi. Keikutsertaan KH. Abdurrahman Ambo Dalle pada lembaga pendidikan
Belanda tersebut dikarenakan beliau merupakan keturunan bangsawan bugis, ayahnya bernama Puang Ngati Dg
Patobo dan Ibunya Puang Candara Dewi (Puang Cendaha).
Kedatangan H. Muhammad Asad bin Abd. Rasyid Al-Bugisy di tahun 1928 dan membuka pengajian, baik di mesjid
maupun di rumahnya sendiri, membuat KH. Abdurrahman Ambo Dalle kembali ke Sengkang yang sebelumnya
belajar di Ujung Pandang pada sekolah guru Syarikat Islam (SI). Pertemuan kedua ulama besar tersebut, ketika H.
Muhammad Asad berkunjung ke tempat KH. Abdurrahman Ambo Dalle mengajarkan anak-anak didiknya mengaji.
Kepiawaian KH. Abdurrahman Ambo Dalle dalam memberikan pemahaman, hafalan Al-Quran, dan kemahiran
tangan kiri beliau yang sama dengan tangan kanan, sehingga diangkat menjadi juru tulis kerajaan bawahan
(Sullewatang) Tancung, membuat H. Muhammad Asad mengajak beliau bergabung di pengajiannya.
BERAWAL DI TOSALE
Kemasyuran Darul Dawah Wal Irsyad yang di pimpin oleh KH. Abdurrahman Ambo Dalle sangat cepat menyebar
di Sulawesi Selatan hingga Sulawesi Tengah melalui rutinitas dawah dengan melakukan Safari Ramadhan.
Rutinitas ini berlangsung tiap tahunnya di bulan suci Ramadhan yang dilakukan oleh para santri-santri DDI dengan
cara mendatangi pedesaan-pedesaan selama sebulan penuh untuk berdakwah dan menjadi imam tarwih di mesjid
desa yang dituju. Pada tahun 1940-an, H. Yundi anak dari Muhammad Tahir (Imam Lapeo) melakukan safari
ramadhan di desa Tosale (salah satu desa di Kabupaten Donggala). Dalam prosesi dakwahnya, beliau juga
memperkenalkan Madrasah Arabiyah Islamiyah yang disingkat MAI (sekarang DDI) sebagai tempat belajarnya.
Setelah bulan Ramadhan usai beliau kembali ke Mangkoso, namun beliau masih sering datang berdakwah ke
Tosale2.
Pada akhir tahun 1951, masyarakat desa Tosale diantaranya Danto, Ladjida, Mahmud Bampe dan lain-lain mengirim
surat kepada Pondok Pesantren DDI yang berpusat di Pare-Pare agar kiranya mengirimkan utusannya untuk
berdakwah dan mengajar di desa mereka. Permintaan masyrakat Tosale kepada DDI untuk mengirimkan utusannya
disebabkan oleh pertama, H. Yundi yang senantiasa berdakwah di desa Tosale banyak menceritakan DDI; kedua,
masyarakat Tosale memandang penting ajaran-ajaran Agama Islam; Ketiga, Pondok Pesantren Al-Khairat yang
masyhur di Palu sangat sulit di jangkau melalui transportasi darat. Surat yang dikirimkan oleh masyarakat Tosale
baru mendapat jawaban diawal tahun 1952 dengan mengirimkan santrinya yang bernama Muhammading.
Muhammading memulai proses belajar mengajar di Mesjid karena tempat belajar belum ada. Pembelajaran yang
dilakukan di mesjid ini dibuka sekitar pukul 01:00 WITA hingga setelah Sholat Ashar dengan fokus pembelajaran
pada membaca Al-Quran dan menulis arab, murid-murid beliau antara lain Hasan Danto; Juraid Lanawi; Abdul
Latif Lanano; Sapia Lakunti; Tjante Masiala; Halima Labiccu; Halima Ladukke; Peco Lapaia; Hindo Lahai;
-Haderah Lanano3. Membaca Al-Quran dan menulis arab berulangkali beliau ajarkan tanpa ada tambahan pelajaran
hingga semua murid-muridnya mampu membaca Al-Quran dan bisa menulis arab.
Sejak kedatangan beliau di desa Tosale, Muhammading tinggal di rumah Mahmud Bampe selanjutnya pindah ke
rumah Danto hingga beberapa bulan kemudian masyarakat mendirikan rumah wakaf sebagai tempat tinggal beliau
dan sekolah Ibtidayyah DDI Tosale untuk melancarkan proses belajar mengajar beliau (sekarang lokasinya didirikan
SDN 33 Kabupaten Donggala). Ditempat belajar yang baru tersebut, Muhammading mendapat ketambahan muridmurid, diantaranya Saria Ipari dan saudarinya Hanisa Ipari; Laningko Timpa; Sarah Nonggo; Sisa Lauma dan Kader

1 Ahmad Rasyid A. Said.Hal. 86.


2 Wawancara 22 April 2015, Saleh Danto (Imam Mesjid Jami Tosale) selain bulan Puasa, H. Yundi sering datang dengan anaknya yang
bernama Jallal menggunakan perahu Lette, perahu yang digunakan untuk memuat kopra ke pulau karaseang

3 Wawancara 22 April 2015, Haderah Lanano (Murid Pertama DDI Tosale 1952)

Indeo dari Malei4. Murid-murid beliau yang berjumlah 16 tersebut mendapatkan pelajaran Qawaid, Fiqhi, Akhlaq,
Tauhid, Tajwid dan lain-lain di pagi hari, sedangkan di sore harinya di gunakan oleh murid-murid yang baru ingin
memulai pembelajaran seperti Saleh Danto, Abdurrahman Ali Konti dan lain-lain5.
Setelah setahun tinggal di Tosale, Muhammading kembali ke Pare-Pare di tahun 1953 membawah tiga muridnya
yakni Hasan danto, Abdul Latif Lananu dan Juraid Lanawi. Selanjutnya Muhammading di gantikan oleh M. Sanusi
Salengke bersama istrinya Sitti Raehana. Selanjutnya ditahun 1954, M. Sanusi Salengke di gantikan oleh santri
muda yang bernama Zainul Abidin. Pengajaran yang dibawakan oleh Zainul Abidin sangat mudah di mengerti oleh
murid-muridnya karena penyampaiannya menggunakan Bahasa Indonesia dan menambahkan Bahasa Indonesia dan
Bahasa Bugis sebagai mata pelajaran yang beliau ajarkan. Di tahun 1955 M. Zainul Abidin digantikan oleh Syech
Shodik bersama sang istri Sarifah Hidayah. Syech Shodik adalah orang arab yang diutus oleh DDI Pusat untuk
menggantikan M. Zainul Abidin mengajar di sekolah Ibtidayyah DDI Tosale hingga beliau di gantikan oleh
Muhammad Abdul Asah dan Samsuddin ditahun 1956.
Pada tahun 1957, proses pembelajaran di sekolah Ibtidayyah DDI Tosale mengalami gangguan yang disebabkan
oleh datangnya gerombolan DI/TII. Hal ini memaksa masyarakat dan Muhammad Abdul Asah serta Samsuddin
menyelamatkan diri ke Kabotuvaya yakni salah satu dusun desa Tosale yang terletak di kaki gunung, tempat tersebut
biasanya digunakan oleh masyarakat Tosale untuk menyelesaikan masalah mereka. Muhammad Abdul Asah dan
Samsuddin sempat ditahan beberapa saat oleh tentara DI/TII ketika mengikuti masyarakat Tosale bernama H. Landa
dengan maksud mengambil ikan dilaut. Keadaan desa Tosale yang sering di datangi oleh tentara DI/TII, membuat
kedua santri utusan DDI Pusat Pare-Pare tersebut harus kembali ke Pondok Pesantren. Di tahun 1958, tentara DI/TII
membabi-buta dengan cara membakar pemukiman masyarakat desa Tosale yang menyebabkan pendidikan di
Madrasah Ibtidayyah DDI Tosale itu sempat hilang beberapa tahun.
MASUK DI KOTA PALU
Rutinitas Safari Ramadhan yang dilaksanakan oleh DDI Pusat ke daerah-daearah merupakan salah satu bentuk
dakwah yang menjadi Visi Misi dari Pondok Pesantren DDI itu sendiri, Visi Misi DDI meliputi Pendidikan, Dakwah
dan Sosial. Setelah mendirikan Madrasah Ibtidayyah DDI di Tosale, Pondok Pesantren DDI seringkali menjadikan
daerah-daerah sekitar Tosale sebagai tujuan safari Ramadhan di tiap tahunnya. Mubalig yang sangat diingat oleh
masyarakat ialah KH. Abdul Halim Dg. Mattantu dan KH. Awaluddin, kedua mubalig tersebut adalah hafidz AlQuran yang diutus DDI Pusat untuk berdakwah dibulan ramadhan pada tahun 1952-19536.
Pemberontakan yang dilakukan DI/TII pada tahun 1957-1958 mengakibatkan aktivitas dakwah DDI sempat terhenti,
namun tahun 1960-an DDI kembali menjalankan dakwah yang dilakukan oleh Abdurrahman Dg. Manessa di Ujuna
Palu, sebelumnya beliau memperkenalkan DDI di daerah pusat Kabupaten Donggala. Aktivitas dakwah
Abdurrahman Dg. Manessa mendapat dukungan oleh keluarga saudagar setempat di Ujuna yakni H. Ambo Sulo
pemilik toko Gadjah Mada, H. Hasan Hafid dan saudaranya H. Kasim Hafid. Selain dari ketiga keluarga saudagar
tersebut, KH. Abdul Halim Dg. Mattantu juga memiliki peran penting dalam aktivitas dakwah DDI yang dilakukan
Abdurrahman Dg. Manessa.
Berkat dukungan para saudagar-saudagar Ujuna Palu, Abdurrahman Dg. Manessa dan KH. Abdul Halim Dg.
Mattantu menjalankan dakwah dan proses kependidikan dengan mendirikan sekolah. Sekolah yang pertama kali
didirikan oleh DDI di Kota Palu adalah PGA (Pendidikan Guru Agama) dengan jenjang pendidikan 4 tahun.
Pendidikan Guru Agama (PGA) terbagi atas dua jenjang pendidikan, yakni PGA 4 tahun atau setara dengan SMP
saat ini dan PGA 2 tahun atau setara dengan SMA saat ini. Pendidikan Guru Agama (PGA) DDI dibangun pada
tahun 1967 dengan kepala sekolah pertama KH. Abdul Halim Dg. Mattantu. Peranan KH. Abdul Halim Dg.
Mattantu dalam memperkenalkan DDI di mulai dengan cara mendatangi perkampungan-perkampungan di kawasan
Kota Palu seperti Lasoani, Donggala Kodi, dan lain-lain. Kunjungan beliau di perkampungan-perkampungan
tersebut, masyarakat sering menunjuknya sebagai imam sholat dan memimpin doa karena memiliki suara yang
sangat merdu serta tajwid yang sangat baik.

4 ibid
5 Wawancara 22 April 2015, Abdurrahman Ali Konti seperti Hasan Danto kakak dari pak Saleh Danto dan Haedarah Lanano belajar pagi, kita
yang baru masuk belajar sore, dulu kita diajar itu sama bapak Muhammading pakai bugis

6 Wawancara 22 April 2015, Saleh Danto (Imam Mesjid Jami Tosale)

Suara yang sangat merdu dan penguasaan tajwid yang baik membuat KH. Abdul Halim Dg. Mattantu sering di
datangi masyarakat untuk menjadi imam sholat, khatib dan mengajar anak-anak mereka mengaji. Keinginan
masyarakat agar anaknya diajar mengaji oleh beliau disahuti dengan cara memasukkan anak-anak mereka di PGA
DDI Ujuna karena beliau adalah tenaga pengajar dan kepala sekolah di sekolah tersebut. Cara yang digunakan oleh
beliau ini terbilang berhasil dengan datangnya murid-murid di kawasan Kota Palu dan di tahun 1968 PGA DDI
Ujuna turut berkontribusi dalam Mushabaqah Tilawatil Quran (MTQ) pertama di Ujung Pandang (Kota Makassar,
Sulawesi Selatan saat ini) dengan mengirimkan KH. Abdul Halim Dg. Mattantu sebagai Pelatih sekaligus peserta
dan muridnya Hj. Erni serta dua orang lainnya dari kontingen Sulawesi Tengah. Setelah MTQ Ujung Pandang,
beliau menjadi langganan MTQ sebagai Peserta, Pelatih 7 dan Dewan Hakim8 serta sering diminta untuk menetap dan
menjadi imam di luar daerah Sulawesi Tengah oleh tokoh-tokoh besar dinegara ini, seperti Menteri Penerangan
Harmoko dalam kunjungan safarinya di Kawasan Indonesia Timur, setelah di imami oleh KH. Abdul Halim Dg.
Mattantu, beliau memujinya9 dan meminta agar beliau bersedia menjadi imam di Jakarta. Selain bapak menteri
penerangan, tokoh Muhammadiyah Din Syamsudin setelah di imami oleh beliau di mesjid Kapolda juga meminta
beliau menjadi imam di kompleks perumahaannya 10 dan masih banyak lagi. Namun dari semua permintaan tersebut
beliau tolak dengan santun dan milih Kota Palu sebagai tempat pengabdiannya.
Untuk melancarkan proses pendidikan PGA DDI Ujuna, KH. Abdul Halim Dg. Mattantu dan Abdurrahman Dg.
Manessa meminta bantuan tenaga pengajar kepada pengurus DDI Pusat. Permintaan tersebut bertepatan dengan
kunjungan KH. Abdurrahman Ambo Dalle selaku pimpinan Pondok Pesantren DDI ke Sulawesi Tengah bersama
murid-muridnya yakni Abdurrahim Russang, Abdullah Giling, Addul Latif dan Dr. H. Yunus Saman. Salah satu
murid beliau yang bernama Abdullah Giling diminta menetap di Ujuna Palu untuk berdakwah dan mengajar sebagai
utusan dari DDI Pusat, selain itu utusan tersebut sangat fasih dalam membaca, menghafal dan menafsirkan AlQuran. Tidak berselang beberapa bulan setelah kedatangan Abdullah Giling, anak dari pembesar DDI KH. Abdul
Pabbadja, Gazali Pabbadja berkunjung ke pengurus-pengurus DDI yang berada di Ujuna Palu. Dalam kunjungan
tersebut, Gazali Pabbadja banyak membantu usaha pendidikan dan dakwah DDI di Ujuna Palu, selain itu beliau juga
dinikahkan dengan anak dari saudagar dan pengurus DDI Ujuna yakni Hj. Saenab binti H. Hasan Hafid.
Keberadaan Abdullah Giling di Ujuna Palu hanya 6 bulan saja, karena pengurus pusat DDI menarik beliau untuk
memenuhi permintaan Departemen Agama Republik Indonesia 11. Setelah Abdullah Giling ditarik, Pengurus Pusat
DDI mengutus Prof. Dr. Abd. Rahim (mantan Ketua STAI Pare-Pare) selama satu tahun. Selanjutnya pada tahun
1969 diutus Prof. H. Andi Syamsul Bahri untuk menggantikan Prof. Dr Abd. Rahim yang melanjutkan
pendidikannya. Kontribusi Prof. H. Andi Syamsul Bahri selama di Ujuna Palu adalah menjadikan madrasah sebagai
sekolah formal dengan memadukan konsep pendidikan DDI dengan konsep pendidikan modern, selain itu dosen
yang pernah mengajar di salah satu Universitas di Negeri Jiran dan Brunei tersebut selain bahasa Indonesia, beliau
juga mengajar dan membimbing murid-murid DDI Ujuna Palu fasih dalam bahasa Inggris dan Arab.
Ketika Prof. Andi Syamsul Bahri mengajar, salah satu ulama Sulawesi Tengah meninggal dunia yakni Habib Idrus
bin Salim Al-Djufrie. Meninggalnya ulama Al-Khairat tersebut merupakan kehilangan terbesar bagi para Abnahul
Khairat dan para ulama-ulama lainnya seperti KH. Abdurrahman Ambo Dalle. Pimpinan DDI yang baru sampai di
Soni (salah satu desa di Kabupaten Tolitoli) langsung berangkat menuju Palu bersama muridnya H. Rustam. Saat
berada di rumah duka, beliau membawakan tausiah di malam ketiga meninggalnya sahabat 12 yang juga memiliki visi
misi membumikan Islam di tanah Kaili ini.

7 Wawncara 4 Mei 2015, KH. Abdul Halim Dg. Mattantu banyak hafiz dan hafizah Sulawesi Tengah yang saya latih seperti Andi Tenri Ani dari
Tolitoli, Awalina yang mendapat juara tiga di tahun 1969 dan lain-lain

8 Ibid saya di tunjuk menjadi dewan hakim di MTQ Nasional seperti di Yogyakarta, NTB, Riau, dan Kendari serta daerah-daerah lainnya
9 Ibid bapak harmoko bilang, dalam kunjungan saya di Kawasan Indonesia Timur tidak ada yang bisa mengalahkan pak imam
10 Ibid beliau meminta saya untuk menjadi imam di kompleks perumahannya, selain itu beliau juga menyediakan rumah dan gaji tiap
bulannya

11Wawancara dua tokoh DDI 27 April 2015, Saud (Kepala Sekolah MA DDI Ponegoro) dan 25 April 2015, Muhtar M. Juraid (Imam Mesjid
As-Syifa Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah)

Setelah mengajar selama satu tahun lebih, ditahun 1970-1971 Prof. Andi Syamsul Bahri kembali ke Pare-Pare untuk
melanjutkan pendidikannya di Kairo Mesir. Melihat keadaan tersebut, pengurus DDI pusat mengutus dua tenaga
pengajar ke Ujuna Palu salah satunya adalah KH. Abd. Kadir, B.A (saat ini menjabat sebagai pimpian pengurus DDI
di Kabupaten Parigi Moutong)13. Kedua utusan pengurus DDI Pusat tersebt merupakan utusan yang terakhir ke DDI
Ujuna Palu. Keputusan Pengurus Pusat DDI untuk menghentikan mengirim utusan ke Ujuna Palu dengan
pertimbangan bahwa pendidikan DDI di Ujuna telah berhasil dan mencetak murid-murid yang handal seperti Hj.
Erni, Hamzah Rudji (mantan Kabag Kesra Palu, mantan Kepala Dinas Pendidikan Palu serta mantan Kepala BNN
Palu), Kasmudin Lamasido (guru MTs Palu barat) dan masih banyak lagi. Selain itu, pengurus DDI Ujuna Palu juga
mendapat tenaga pengajar dari berbagai lembaga pendidikan lainnya seperti Al-Khairat yang mengutus Anwar
Abdul Samad dan Hamid dari Banggai Kepulauan.
Hingga saat ini tercatat lembaga pendidikan yang didirikan oleh DDI Palu yakni Madrasah Ibtidayyah DDI Ujuna,
Madrasah Tsanawiyah Ujuna, Taman Kanak-kanan Ummahat DDI Ujuna yang didirikan ada tahun 1974, Sekolah
Dasar DDI Ujuna Palu yang didirikan di akhir tahun 1980-an, selanjutnya tahun 2000 didirikan Madrasah Aliyah
DDI Ponegoro, di tahun 2008 PAUD Sitti Hadijah Ummahat DDI didirikan dan disamping bangunan tersebut,
didirikan bangunan Raodatul Atfal Gaza yang mendapat bantuan dana dari Depertemen Agama Provinsi Sulawesi
Tengah di tahun 2011, serta Raodatul Atfal Ummahat DDI Palu pada tahun 2013.

12 Ibid Gurutta (KH. Abdurrahman Ambo Dalle) dan Guru Tua (Habib Idrus bin Salim Al-Djufrie) sudah pernah ketemu sebelum sekolah ini
dibangun (PGA DDI Ujuna Palu), dalam pertemuan kedua ulama tersebut Guru Tua mengatakan kepada Gurutta, Madrasati madrasatuna dan
Gurutta menjawab hal yang sama kepada Guru Tua hal ini juga di akui oleh Muhtar M. Juraid (Imam Mesjid As-Syifa Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah) dan Asad Syukur.

13 Wawancara 25 April 2015, Muhtar M. Juraid (Imam Mesjid As-Syifa Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah)

Anda mungkin juga menyukai