Ambo Dalle
Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki
banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup.
Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad
Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an.
Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, Gurutta tidak dibiarkan menjadi
bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan
kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah
Rakyat) pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore dan malam harinya. Dalam dunia
permainan anak-anak, Ambo dale adalah seorang penggiraing bola handal sehingga
digelari “Si Rusa.”
Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid,
qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih saja.. melainkan juga mengikuti kursus
bahasa Belanda di HIS dan pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan
Syarikat Islam (SI) di Makassar.
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan
(sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak
pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-
Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke
negeri leluhurnya, Ambo dale segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari
guru besar tersebut.
Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo
yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo
Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan
nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung
Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan
kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara
ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan
Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).
Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti
karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama,
Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H.
Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi
madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas
bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Maka dibukalah pendidikan awaliyah
(setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu
diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya
diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. As’ad dan ulama lainnya. Ambo
Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat,
popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem
madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf
Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka
ketika H.M.Yusuf Andi Dagong ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun
1932, ia pun lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun,
mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama,
diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan
mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu
membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M. As’ad mengizinkan muridnya, yaitu
Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan
dibuka di Mangkoso.
Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat
pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau
Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila
dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional
berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena
telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan
pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng
Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI
Sengkang.
Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta HM.As’ad tidak menghendaki ada
cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan
kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui
negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan
masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.
Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku
imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai
menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti
yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak
kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan
di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan
jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar.
Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan
mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua
anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari
pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal
Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat
dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah
kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata
dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.
Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya. Masyarakat
akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh
sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang
pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena
beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu
mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle,
jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh
sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.
Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada
kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Di mana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air.
Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya
nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata,
berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu
yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.
Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta
merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat. Ancaman datang lagi
dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit
mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai
Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando
Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang
dituduh sebagai ekstrimis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri-santri
yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di
cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara
yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri
MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan
tugasnya.
Hijrah Ke Pare-pare
Tahun 1950, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah
ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan
sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau
membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun
itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati
sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung
tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun
perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad,
bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung
Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri
putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan
dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.
Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi
dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat
dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca
negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk
itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar
sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom
didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang
kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum
putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu.
Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah,
termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan
disesuaikan dengan kemajuan zaman.
Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme
kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta.
Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena
tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia
doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi
murid Gurutta.
Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin
menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-
pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal
itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari
hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama
mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu
itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi
dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah
lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak
hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih
menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.
Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung
memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para
pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda
Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan
Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke
Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya
dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari
Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20
Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan
dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI
Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang
Kodam VII Wirabuana).
Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi
tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI?
Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang
diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu
berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa
ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung
Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu
nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik
Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung
Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.
Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya
hijrah ke Kalimantan Timur. Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana
menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu
menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren.
Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan.
Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin
langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH.
Abubakar Zaenal.
Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan
pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus
diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan
organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh
pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI
Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren
putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat,
sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa
sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah
tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak
mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.
Kitab-kitab Karya Gurutta
Sebagai ulama, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah
kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir
semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah,
akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-
karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi,
yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara
pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat
pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk
mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan
zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun
harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai
ciptaan Allah swt.
Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah
berdasarkan dalil-dalil naqli. Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan
sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri
dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini
kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib,
Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab. Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra)
bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa
kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan
kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih.
yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)
AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa
Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab
Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta
kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas
sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.
Kepribadian Gurutta
Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo
Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat
dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di
jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang
perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang
kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan
cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan
terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak
dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah
media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara
adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan
Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai
anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan
mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke
Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.
Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di
Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun
perempuan. Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang
dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga.
Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada
ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang
diajukan Gurutta.
Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab. Beliau
mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal
yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga
adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya
paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-
lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang
nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang
masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.
Detik-detik Terakhir
Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad.
Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala
kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan
kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif
sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak
mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk
melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun
mesti digendong. Alfatihah
Sumber :
*Pustaka Sejarah Ulama Sulawesi Selatan
* biografi tentang Gurutta Ambo Dalle ditulis oleh Nazaruddin berjudul ”
AMBO DALLE MAHA GURU DARI BUMI BUGIS
Author: admin